PBB TETAPKAN HARI PEDULI AUTISME SEDUNIA


PBB menetapkan tgl 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Sedunia


Negara negara di dunia sudah seharusnya berusaha menghilangkan kesan yang ada di masyarakat bahwa mempunyai anak penyandang autisme adalah "sesuatu yang memalukan". Jumlah penyandang autisme di seluruh dunia telah mencapai 35 juta jiwa. Karena itu sudah waktunya bagi negara negara di dunia untuk bahu membahu meningkatkan kepedulian terhadap masalah autisme.


Wakil delegasi PBB dari Qatar, Nassir Abdelaziz Al-Nassir yang dikenal di negaranya sebagai aktivis pembela hak azasi individu penyandang cacat telah berhasil mengangkat masalah autisme sebagai salah satu agenda tahunan PBB. Beliau telah berhasil mendapatkan dukungan suara bulat dari 50 negara anggota PBB dengan menetapkan tanggal 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Sedunia. Agenda yang akan dibahas adalah penanggulangan autisme di bidang diagnosa, riset, intervensi perilaku pada usia dini dan pengobatan .


Berbagai event penting telah dijadwalkan di kantor pusat PBB sehubungan dengan hari Autisme Sedunia ini antara lain Pameran Lukisan, Diskusi Panel bersama para ahli neurology dan wakil dari World Health Organization (WHO) untuk menanggulangi masalah autisme. Tema yang diangkat adalah "Tantangan, Tanggung Jawab dan Tindak Lanjut untuk meningkatkan kepedulian akan masalah autisme."


Berbagai negara di dunia masih tidak mengakui bahwa autisme adalah gangguan perkembangan jiwa (neurological disorder) sehingga berdampak luas pada kurangnya usaha terpadu untuk menanggulangi masalah autisme.


PBB telah memasukkan masalah autisme ke dalam kategori krisis dan akan mendapatkan prioritas utama untuk penanggulangannya. Seluruh anggota PBB sepakat untuk menindaklanjuti masalah autisme. Kenyataan bahwa usaha untuk menindak lanjuti pencegahan, pengobatan dan penyembuhan autisme dinilai sudah tidak efektif karena autisme adalah gangguan perkembangan neurology yang paling cepat pertambahan jumlah penyandangnya di seluruh dunia.


(Catatan: Artikel ini merupakan intisari atau terjemahan bebas dari sumber di bawah)
Sumber: *UN Press Conference By Qatar On World Autism Day Resolution*UN Third Committee Calls On Assembly To Designate 2 April World Autism Day


Diambil dari: www.puterakembara.org

Gepeng di Banda Aceh: Ada Gula Ada Semut

Gepeng di Banda Aceh: ada gula ada semut
Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik


Berdasarkan penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh-Dinas Sosial NAD-ILO dan YAB Aceh (2006), di Banda Aceh dan sekitarnya kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan merupakan jumlah terbanyak (55 %), disusul anak yang bekerja di jalanan (32 %) dan anak jalanan yang hidup di jalan (14 %). Mereka umumnya bukan penduduk Banda Aceh, hanya 26 % berasal dari Banda Aceh, sisanya 74 % dari kabupaten/kota lain di NAD, seperti Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur maupun dari Aceh Selatan.

Terdapat beberapa praktek keterlibatan anak bekerja, berakibat anak putus sekolah atau sekolah tidak teratur (1) orang tua mengajak anak ikut bekerja di jalanan lalu anak ada berhenti sekolah saat itu juga atau beberapa waktu kemudian (2) orang tua menyuruh anak berhenti sekolah dan bekerja di jalanan dan (3) anak dalam level pemikiran dan keputusannya merasa bertanggungjawab terhadap keluarga sehingga pergi dari kampung dan bekerja di jalanan di Banda Aceh, uang yang diperoleh seluruhnya diserahkan kepada orang tua. Pada kasus seperti ini, anak masih sekolah, mereka permisi kepada guru beberapa hari atau minggu untuk tidak masuk sekolah

Sub kultur kemiskinan
Dari 110 anak yang diwawancarai dalam penelitian tersebut, sebanyak 91 orang pengemis dan peminta sumbangan. Kemiskinan disebutkan sebagai alasan utama orang tua dan anak-anak mengemis. Mengemis bahkan telah dianggap sebagai cara paling mudah dan paling menjanjikan dalam mencari nafkah.

Hasil observasi dan analisis jawaban responden, kemiskinan menjadi alasan turun ke jalanan. Pada kenyataannya kemiskinan mereka sesungguhnya dipelihara. Terdapat upaya-upaya untuk memposisikan diri dan keluarganya untuk tetap miskin. Ditemukan proses mengkambinghitamkan (scapegoat) kemiskinan, karena dengan kemiskinan demikian mereka tetap merasa layak untuk mengemis. Karena hanya dengan tampilan kemiskinan seperti itulah orang lain akan marasa iba dan terketuk hatinya untuk bersedekah, membantu sesama yang fakir-miskin.

Pada awalnya, ada mengemis karena di kampung tidak ada pekerjaan atau akibat suasana di kampung tidak aman pada saat itu. Namun pasca konflik dan ketika berbagai bantuan telah diberikan pemerintah dan NGO, mereka tetap berada di jalanan dan mengikutsertakan anak-anaknya. Bahkan anak-anak masih bayi dijadikan tameng untuk menyentuh rasa belas kasihan orang lain, karena tanpa bayi tersebut, mereka merasa dirinya tidak cukup untuk menghiba belas kasihan orang lain. Bayi-bayi itu bahkan ada disewakan.

Sesekali, lihatlah kehidupan mereka di losmen atau kamar kost. Ada orang tua si anak tidur-tiduran atau menonton televisi/VCD di kamar, anak-anaknya mengemis di jalanan. Juga menjadi tidak langka ketika anak-anak dan pengemis memiliki handphone yang dibeli dari hasil mengemis.

Kemiskinan dalam banyak kasus yang ditemukan bukan kemiskinan dimana mereka berusaha untuk keluar, justru banyak kasus, orang tua memperkuat tali ikatan lingkar setan (vicious circle) kemiskinan pada anaknya. Perilaku ini kemudian memperpanjang siklus kemiskinan (poverty culture) sebab nyatanya orang tua tidak terlalu khawatir kalau anak-anaknya tidak sekolah.
Proses transfer pemiskinan ini mempengaruhi persepsi anak tentang diri dan keluarganya. Terjadi proses marjinalisasi pasif oleh orang tua sehingga anak “menikmati” lembar demi lembar uang ribuan yang diperoleh dari mengemis. Dalam fokus group diskusi dengan anak-anak, mereka kurang responsif ketika diminta mengekspresikan diri, masa depan dan perasaan sebagai anak. Beberapa anak bahkan mengaktualisaikan diri dalam peran sentral keluarga. Mereka merasa bertanggungjawab mencari nafkah keluarga. Orang tuapun demikian, ada berkata: “Long dari Pantonlabu (Aceh Utara) jak sětet aneuk mita raseuki, ken long hana keureuja, tapi pe pastě aneuk keurija, lako long kakeuneung tsunami. Si aneuk menyo tatham diplung le u Sigli, di tinggai pat nyang galak bak ngen jih”.


Hal ini relevan dengan jawaban 50 % anak bahwa orang tua dan keluarga sebagai orang pertama kali membawa ke jalanan. Mereka berangkat dari Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie dan dari Aceh Selatan. Anak-anak dibawa orang tua atau neneknya ke Banda Aceh untuk mengemis atau meminta sumbangan. 11 % lainnya mengatakan dibawa pertama kali oleh saudara kandung. Tampak jelas dominasi orang tua/keluarga terhadap anak yang dipersepsikan sebagai asset secara ekonomi akibat berbagai “kelemahan” anak seperti menurut, tidak malu, patuh maupun tidak berbohong. Orang tua melihat ada nilai jual tersendiri pada diri anak, yang dapat menarik perhatian dan rasa iba orang lain, karena iba atau kasihan justru menjadi alasan seseorang memberi.
Dilihat dari latar belakang daerah asal anak, 74 % dari luar Kota Banda Aceh. Daerah yang umumnya pertanian. Namun subkultur kemiskinan yang mereka pelihara menyebabkan mereka telah kehilangan cara hidup di desa (Weinberg: 1965). Mereka adalah masyarakat pedesaan dengan latar belakang petani atau nelayan, namun mereka tidak lagi memiliki sensifitas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di desa. Disatu sisi mereka masyarakat pedesaan, namun tidak melihat desa sebagai tempat mencari nafkah, kota dianggap sebagai tempat mudah mencari uang. Copes (1986) menggambarkan pergerakan seperti ini bersifat tidak dapat balik, jika mereka keluar dari desa untuk mencari nafkah di kota ia telah “membakar jembatannya” (burn his own bridge), sangat sulit baginya untuk kembali menjadi petani.

Kemiskinan keluarga anak-anak tersebut lebih condong dilihat dari konteks sosio-kultural, disamping kemiskinan struktural. Sebagai subkultur, keadaan yang mereka hadapi memang merupakan bagian dari kultur kehidupan mereka dan mereka merasa berhak hidup dalam kondisi seperti itu. Oscar Lewis (1966) mengatakan: tingkah laku dan kebudayaan masyarakat miskin turut berpengaruh terhadap kemiskinannya. Sekali kemiskinan menima mereka maka norma, tingkah laku dan kebudayan kemiskinan yang berkembang dalam kehidupannya akan mengekalkan keadaan kemiskinannya. Berbagai sifat-sifat dan perilaku dari subkultur kemiskinan seperti malas, apatis, kurang kreatif, kurang mandiri, dan lain-lain menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Ada Gula
Saya mengatakan, mengemis bukanlah upaya mereka untuk bertahan hidup, tapi banyak diantara mereka justru menjadikan mengemis sebagai kebiasaan hidup. Kemiskinan dijadikan kambing hitam, karena ketagihan, keenakan atau kemalasan sudah lebih dominan. Mereka “menikmati” kemiskinan, tetap menjual kemiskinan dan itu pula dianggap sebagai cara memperoleh uang dengan mudah. Ini merupakan alasan pembenaran yang dicari-cari, karena tidak semua orang miskin menjadi pengemis. Observasi peneliti di desa asal anak, seperti di Aceh Utara, Aceh Besar dan Banda Aceh ada keluarga yang jauh lebih miskin namun mereka tidak mengemis.
Subkultur ini, secara eksternal juga dilanggengkan oleh masyarakat. Penghasilan anak-anak dari mengemis dan meminta sumbangan misalnya, rata-rata di atas Rp. 50 ribu, bahkan ada anak mengaku Rp. 100-150 ribu sehari terutama pada Jum’at, Sabtu dan Minggu dan pada hari-hari besar keagamaan jumlah pendapatan meningkat sampai 200 persen. Hal ini dimaknai sebagai salah satu peran serta masyarakat mematrikan anak-anak tetap dalam subkultur kemiskinan dan jalanan.

Ada “gula” di Aceh sebagai faktor menyebabkan banyak pengemis di jalanan. Karena kebaikan hati kita memberikan uang, dengan alasan kasihan, membantu sesama dan alasan lain, namun hal tersebut justru meningkatkan jumlah pengemis. Kebaikan ini, diantaranya dapat bersumber dari pemahaman keliru tentang tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah atau pemaknaan menolong terhadap orang yang susah. Dalam konteks ini kita memberikan untuk menjerumuskan, karena dengan pemberian tersebut anak-anak terbiasa mengemis dan pada akhirnya malas.

Homogenitas anak jalanan serta masyarakat dari aspek suku dan agama salah satu sumber banyaknya “gula” sebagai faktor penarik. Kuatnya kebersamaan yang dilandasi faktor keagamaan dan kebudayaan dalam masyarakat sangat mempengaruhi cara berfikir dan bersikap terhadap anak-anak tersebut, anak-anak yang berasal dari rakyat biasa yang sering disebut ureung le.

Sepanjang observasi peneliti pada level participating observer ditemukan adanya faktor agama, budaya dan kebudayaan (termasuk pengaruh konflik secara psikologis) yang mempengaruhi terus berlangsungnya pengemis. Anak mengkomunikasikan secara verbal keadaan dan kebutuhannya, misalnya anak yatim, untuk biaya sekolah dan dengan bahasa menggugah hati, demikian juga tampilan pakaian lusuh serta atribut-atribut lain, sehingga menyentuh sisi kemanusiaan maupun emosional seseorang untuk memberi atau kalaupun tidak memberi, menolak dengan kata-kata atau isyarat yang tidak menyakitkan bagi anak.

Keputusan untuk memberi atau tidak, sepanjang yang diamati, dominan ditentukan oleh respon, image, persepsi atau mood seseorang maupun bergantung situasi saat itu, dimana berada atau bersama siapa. Seseorang ada kalanya memberi agar dianggap pahlawan atau penyelamat, ketika dia memperoleh keberuntungan dan berbagai keputusan/perilaku situasional. Faktor sensitifitas agama, budaya dan kebudayaan berkontribusi baik sebagai latar belakang maupun tujuan. Sehingga ketika dipertanyakan: apakah seseorang menyadari ketika memberi dia sedang melakukan “tidak mendidik anak” atau saat tidak memberi, dia “sedang mendidik anak” jawabannya berbeda-beda.

Kita akan Tetap Menaburkan Gula?
Pemerintah dan NGO telah melakukan berbagai langkah kampanye dan penanggulangan. Dinas Sosial maupun instansi lain, termasuk NGO telah memberikan bantuan langsung, pelatihan dan berbagai pendampingan dan pendidikan. Namun, selama gula tetap ditabur di jalanan masalah ini tidak akan dapat ditanggulangi, karena ketika mengemis sudah menjadi sub kultur dan ketika mereka telah kehilangan kreatifitas serta telah membakar jembatannya, maka mengemis tetap dianggap sebagai pekerjaan menguntungkan. Baru-baru ini PKPA, Dinas Sosial Aceh dan beberapa lembaga lain atas dukungan ILO-IPEC telah melakukan seruan bersama kepada masyarakat agar tidak menjadikan mereka tetap dengan budaya kemiskinannya.

Diperlukan dukungan dan perhatian dari seluruh masyarakat untuk tidak melanggengkan mereka sebagai pengemis. Dalam seruan bersama yang disampaikan, jika kita ingin menyumbang dan beramal, salurkanlah melalui lembaga-lembaga seperti baitul mal, pesantren, panti asuhan, lembaga pendidikan, atau mari kita jadikan mereka sebagai anak angkat dengan cara mengasuh dan menyekolahkannya. Selama masyarakat tetap memberikan maka selama itu pulalah pengemis akan tetap menjamur di Aceh.

Sebelum tsunami, Dinas Sosial NAD melalui panti telah membimbing dan mendidik anak-anak tersebut, namun apa yang terjadi, banyak orang tua justru tidak rela anaknya dibina, dilatih dan disekolahkan, karena orang tua merasa kehilangan pendapatan, sebab anak-anak tersebutlah sesungguhnya alat mereka untuk mengemis. Mereka banyak yang sehat jasmani dan rohani. Satu kasus bahkan tidak mau diobati (dioperasi) karena jika penyakitnya itu sembuh, dia merasa tidak layak jual lagi. Orang tidak akan kasihan lagi. Juga ibu-ibu tersebut, tanpa ada bayi atau anak-anak, mereka akan sulit memperoleh belas kasihan orang lain.


Banyak masyarakat mengeluhkan pemerintah dan NGO. Saya sependapat keluarga-keluarga tersebut harus diberikan bantuan modal usaha, keterampilan dan pendampingan pengembangan usaha yang kontiniu. Anak-anak itupun harus pula bersekolah, karena pada usia seperti itu, mereka tidak berkewajiban untuk mencari nafkah. Hak mereka adalah untuk memperoleh pendidikan, bimbingan dan pengasuhan layak. Namun, masyarakatpun harus sepakat, memberikan uang di jalanan bukanlah cara yang terbaik dalam membantu sesama, dalam bersedekah atau agar dikatakan pemurah.

Penulis Manager Program Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh

FOTO

KETERLIBATAN ANAK DALAM PENANAMAN DAN PERDAGANGAN GANJA DI ACEH



Oleh : Sulaiman Zuhdi Manik

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh, Mei-Juni 2007, atas dukungan ILO-IPEC melaksanakan Rapid Asessment Keterlibatan Anak dalam Penanaman dan Perdagangan Ganja di Kabupaten Aceh Besar, Aceh.

Total sebanyak 90 anak (60 ll dan 30 perempuan), 50 orang tua anak (30 laki-laki dan 20 orang perempuan) dan 30 orang pemangku kepentingan menjadi subjek dan informan dalam penelitian ini melalui wawancara maupun FGD.

Penelitian ini menemukan, ganja pertama kali dibawa ke Aceh dari India, ketika Belanda membuka perkebunan kopi di daerah Gayo (Aceh Tengah) tahun 1904. Saat itu, Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh dengan ibu kota Sigli (Pidie). Tanaman ganja digunakan sebagai anti hama bagi tanaman kopi.

Di lokasi penelitian, ganja mulai ditanam penduduk antara 5-7 tahun yang lalu. Keterlibatan masyarakat menanam ganja terkait dengan kemiskinan, kemiskinan juga dipengaruhi faktor keterisoliran dan keterbelakangan pendidikan penduduk.

Dari 90 orang anak yang diwawancarai di dua desa lokasi penelitian, 65 orang menyatakan tidak sekolah, hanya 25 orang yang masih sekolah. Berbagai alasan dikemukakan dalam fokus group diskusi (FGD) maupun wawancara, seperti karena sekolah jauh, disuruh orang tua bekerja, keinginan anak itu sendiri, maupun akibat ajakan teman, dan di desa lain, faktor anak tidak sekolah karena di desa tersebut tidak tersedia lembaga pendidikan formal.

Di salah satu desa, jumlah uang jajan anak sekolah, menjadi persoalan. Terdapat tarif jajan anak sekolah dan ini diamati sudah menjadi tradisi. Seorang ibu mengatakan, keluarga yang mayoritas bertani sulit memenuhi jajan anak. Seorang anak SD harus diberikan uang jajan ke sekolah antara Rp. 1.000-5.000.

Anak SMP antara Rp. 3.000-10.000,- Anak SMA antara Rp. 5.000-10.000. Jumlah jajan tersebut bagi umumnya anak menjadi persyaratan agar mau ke sekolah. Jika orang tua tidak memberikan jajan, anak tidak akan ke sekolah.

Orang tua menyadari anaknya ada tidak sampai ke sekolah, mereka hanya pergi dari rumah. Menurut seorang informan, hal ini disebabkan, orang tua sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak dapat mengontrol anak.

Orang tua pergi ke ladang pagi hari dan kembali sore atau malam. Walaupun sudah diberikan jajan tapi ada anak yang tidak sampai ke sekolah, mereka justru ke warung. Faktor lain yang ditemukan, kuatnya pengaruh teman sebaya, berdasarkan wawancara dengan anak hal ini berkaitan dengan sekolah atau guru yang cenderung tidak mereka sukai.

Di kedua desa anak yang bekerja pada orang lain mendapat upah Rp. 20-50 ribu/hari, tergantung pekerjaannya. Anak-anak yang membantu orang tua tetap mendapat upah Rp. 20 ribu/hari. Mereka diajak bekerja karena tidak mau sekolah, agar tidak meminta uang jajan kepada orang tua.

Di dua desa lokasi penelitian terlibat dalam penanaman dan perdagangan ganja. Anak mempunyai kesempatan yang sama dengan orang dewasa untuk melakukan setiap kegiatan mulai penanaman, perawatan, panen, pengeringan, pembungkusan sampai perdagangan.

Dari 90 anak yang diwawancarai, 64 orang (53 laki-laki dan 11 perempuan) mengaku saat ini terlibat dalam penanaman (17 orang ikut memperdagangkan), sisanya 26 anak, mengaku tidak terlibat (tujuh laki-laki dan 19 perempuan) namun mereka mengetahui orang tuanya memiliki ladang. Dari 64 orang yang terlibat, 54 orang mengatakan bekerja bersama orang tua/keluarga, tujuh orang memiliki ladang sendiri dan tiga orang mengelola bersama teman.

Sebanyak 57 dari 64 orang anak yang saat ini terlibat mena nam ganja menyatakan, orang tua mereka tidak melarang atau bahkan mengajak mereka, tujuh anak lain mengatakan orang tuanya bersikap diam, yang dipahami anak sebagai sikap memperbolehkan

Kategori keterlibatan anak dapat dibagi menjadi: (a) anak yang bekerja membantu orang tua/keluarga (mengelola kebun keluarga), dengan mendapat upah harian atau tidak (adakalanya orang tua memberikan setelah hasil panen dijual). (b) anak yang bekerja di kebun orang lain dengan mendapat upah harian. (c) bekerja sendiri (mengolah kebun sendiri), hasilnya sebahagian kecil diserahkan kepada keluarga dan bekerja bersama teman, hasil dibagi rata, dari hasil pembagian ini ada diberikan kepada keluarga.

Faktor pendorong dan penarik keterlibatan anak diantaranya:

* 1. Kebiasaan masyarakat: di kedua desa, ganja dianggap sudah biasa ditanam dan dijual.
* 2. Putus sekolah: kemiskinan berkorelasi terhadap anak putus sekolah, akibat tidak sekolah mendorong anak ikut bekerja dengan orang tua atau di ladang orang lain
* 3. Ingin membantu orang tua: karena tidak sekolah orang tua meminta anak membantu orang tua bekerja di lahan sendiri atau lahan orang lain.
* 4. Ada pekerjaan: diminta orang lain membantu bekerja dengan upah Rp. 20-50 ribu/hari
* 5. Ingin mendapatkan uang: anak ingin memiliki uang dari hasil kerjanya, dengan bekerja bersama orang tua, mencari upahan di ladang orang lain, menanam ganja sendiri atau bersama teman.
* 6. Teman: anak yang telah bekerja menanam dan memiliki uang sendiri menjadi penarik maupun pendorong bagi anak yang lain untuk terlibat

Keterlibatan anak-anak dalam penanaman dan perdagngan ganja berdampak kurangnya minat bersekolah karena telah menghasilkan uang. Selain itu, alasan berhenti sekolah juga karena mereka ingin membantu orang tua atau memiliki uang sendiri.

Dengan alasan seperti ini keterlibatan anak, selain menjadi faktor menyebab sekaligus menjadi tujuan. Karena bekerja mereka menjadi putus sekolah dan karena putus sekolah mereka lalu bekerja, menghasilkan uang untuk membantu keluarga atau untuk diri sendiri.

Bagi anak-anak di lokasi penelitian, ganja dianggap sudah biasa. Beberapa anak mengatakan ganja tidak haram karena tidak ada najisnya. "Kecuali kalau sudah mengakibatkan mabuk baru berdosa." Bagi mereka menghisap ganja sama dengan menghisap rokok.

Larangan menghisap ganja sama dengan larangan merokok, hingga jika seorang anak sudah tidak dilarang orang tuanya merokok berarti dia sudah dapat menghisap ganja.

Perlindungan Khusus bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik
Manager Program Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh

Deklarasi Hak-Hak Anak menyatakan, anak karena ketidak-matangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran. Anak (seseorang yang berusia di bawah 18 tahun) dikategorikan sebagai orang yang lemah dan rawan. Kelompok beresiko karena sifatnya tergantung kepada orang dewasa, karena tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral dan spiritualnya belum matang. Belum bisa berpikir seperti orang dewasa berpikir, belum mampu membuat keputusan mana yang baik dan kurang baik. Hingga kendati mereka dalam batas tertentu telah memiliki pendirian atau pilihan namun karena secara mental dan fisik belum matang menyebabkan perbuatannya dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan.

Peradilan Khusus
Di Indonesia sekitar 4.277 anak berusia di bawah 16 tahun menjalani proses pengadilan. Sekitar 13.242 anak berusia 16-18 tahun dipenjara dan 98 % diantaranya laki-laki. Sedikitnya 80 % kasus anak yang ditangani di kepolisian diteruskan ke dalam proses peradilan forma, dimana 80 % adalah kasus petty crimes (kejahatan ringan). Dari jumlah tersebut sekitar 83 % menjalani proses peradilan dan dihukum penjara. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jumlah anak yang ditahan polisi berdasarkan data BAPAS, 2004-2005 mencapai 60 orang dan 73 anak terlibat kasus makar (Naning P & Hadi Utomo: 2007)

Penyelenggaraan peradilan khusus bagi anak-anak telah berlaku dalam sistem peradilan yang mengacu kepada UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Ketentuan lain yang relevan seperti UU No. 23 tentang Perlindungan Anak, UU No. 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia pengertian anak berada dalam penafsiran hukum negatif. Sebagai subjek hukum, anak memiliki tanggungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukan, namun karena statusnya di bawah umur, anak memiliki hak-hak khusus, hak untuk memperoleh normalisasi dari perilakunya yang menyimpang sekaligus tetap mengupayakan agar anak memperoleh hak atas kesejahteraan layak dan masa depan lebih cerah.

Pengertian anak dalam hukum pidana di Indonesia mencakup pengertian bahwa anak dinilai belum mampu untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya dan anak berhak atas pengembalian hak-haknya melalui proses substitusi hak-hak anak yang timbul dari aspek hukum perdata dan tata negara untuk mensejahterakan anak dan berlangsungnya rehabilitasi mental-spiritual si anak akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan serta hak untuk memperoleh pelayanan, asuhan dan hak-hak lainnya dalam proses hukum acara pidana

Peradilan bagi anak yang melakukan penyimpangan bukan untuk menghukum tapi bertujuan untuk memberikan kepentingan yang terbaik kepada anak (the best interests of the child). Hal ini merupakan prinsip yang seharusnya melandasi dalam setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh siapapun. Pasal 3 Konvensi Hak Anak menyebutkan, ”Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, para penguasa pemerintahan atau badan legislatif, kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama.”

Penjatuhan pidana yang dilakukan seorang hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana merupakan perampasan kemerdekaannya, untuk itu penjatuhan pidana kepada anak harus dijadikan sebagai ultimum remedium, sebagai pilihan terakhir dan pilihan ini harus melalui pertimbangan sangat matang dan melibatkan banyak pihak berkompeten dan itu juga harus diyakini bertujuan untuk memberikan atau dalam rangka kepentingan yang terbaik bagi anak.

Fakta Peradilan Anak di Indonesia
Berbagai masalah dalam penerapan sistem peradilan anak hingga kini masih terjadi seperti akibat kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap berbagai ketentuan nasional dan internasional tentang peradilan anak. Faktor lain menyangkut batasan usia anak yang berbeda pada instansi yang menangani perkara anak.

UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak juga memiliki kelemahan yang merugikan anak, misalnya batas usia anak diajukan ke pengadilan adalah 8 tahun. Di banyak negara batasan usia minimal pertanggungjawaban perbuatan kriminal 12 tahun atau lebih tinggi. Di Austria misalnya 14 tahun, Portugal 16 tahun, Belgia 18 tahun dan Luxemburg usia minimal 18 tahun.

Pasal 5 UU No. 3 tahun1997 dinyatakan, dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, dapat diperiksa oleh Penyidik. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat anak tersebut tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan si anak kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan

Proses peradilan anak sebagaimana dimaksud UU No. 3 tahun 1997 masih sering diabaikan. Ketika diperiksa Kepolisian, anak tidak dampingi petugas kemasyarakatan, psikolog atau penasehat hukum. Ada anak-anak di tahan, ada hakim memerintahkan anak ditahan dan banyak lagi kejanggalan atau bahkan pelanggaran hukum yang dialami anak-anak yang (disangka atau terbukti) melakukan tindak pidana.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, pengadilan anak (juvenile court) didasarkan pada asas parent patriae, dimana penguasa harus bertindak apabila anak membutuhkan pertolongan dan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak dijatuhi hukuman pidana tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan sesuai kebutuhan si anak.

Lembaga pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia umumnya juga tidak layak, di beberapa daerah LAPAS belum ada atau LAPAS dijadikan tempat titipan tahanan orang dewasa. Penjara Indonesia saat ini sangat tidak layak dalam konteks kepentingan terbaik bagi anak, bila dilihat dari aspek infrastruktur dan fasilitasnya maupun petugas. Malah yang terjadi, LAPAS dipenuhi dengan tahanan orang dewasa yang merupakan titipan karena penjara dewasa over kapasitas dan tahanan titipan tersebut adalah tahanan kasus narkoba. Tidak salah kemudian, banyak orang menyatakan bahwa LAPAS adakalanya justru menjadi lembaga pendidikan kriminal bagi anak.

Penutup
Dalam pertimbangan UU No. 3 tahun 1997, diakui bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang, namun nyatanya banyak anak-anak dizalimi secara hukum
Proses hukum terhadap anak tidak hanya untuk membuktikan kesalahannya dan apa akibat dari kesalahannya.

Hal terpenting harus dibuktikan mengapa si anak melakukan penyimpangan, bagaimana upaya pemerintah, masyarakat dan keluarga untuk menanggulangi perilakunya. Kebijakan kriminal (criminal policy) mengenai perbuatan menyimpang yang dilakukan anak tidak seharusnya disamakan dengan penyimpangan orang dewasa. Penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan anak bukan hanya proses pembuktian kesalahannya tapi harus membuktikan tindakan-tindakan yang berdasarkan situasi dan kondisi objektif si anak, bukan atas dasar criminal mind yang datang dari dalam diri si anak.

Anak yang berkonflik dengan Hukum: Hukuman atau Perlindungan ?

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

Pernahkah kita melihat, mendengar atau mengetahui seorang anak yaitu seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, disidangkan di pengadilan hanya karena ia berkelahi dengan anak seusianya? Atau pernahkah kita melihat, mendengar atau mengetahui seorang anak dipenjara karena melakukan perbuatan kriminal?

Anak sebagai kelompok lemah dan rawan
Deklarasi Hak-Hak Anak menyatakan, anak karena ketidak-matangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran.

Anak dikelompokkan sebagai orang yang lemah dan rawan. Kelompok sangat beresiko karena sifatnya tergantung kepada orang dewasa, karena tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral dan spiritualnya belum matang. Belum bisa berpikir seperti orang dewasa berpikir, belum mampu membuat keputusan (adjustment) mana yang baik dan kurang baik. Hingga kendati mereka dalam batas tertentu telah memiliki pendirian atau pilihan namun karena keadaan mental dan fisik yang belum matang tadi, menyebabkan perbuatan atau keputusannya dianggap belum dapat dipertanggungjawabkannya.

Secara sosiologis, budaya atau sistem nasional di dunia, anak-anak dikesampingkan. Mereka adalah kelompok yang dieksklusi secara sosial, kultural atau secara legal karena dianggap belum memiliki kapasitas memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Tidak ada satu sistem hukum di dunia, baik sistem hukum kontinental, englo section atau sistem hukum lain yang menjelaskan, anak-anak memiliki kapasitas yang legal (legal capacity) untuk memutuskan, hingga anak-anak tidak dibenarkan dan dilibatkan dalam kegiatan politik. Mereka tidak diakui untuk ikut dalam pemilihan atau memilih wakil-wakil yang dianggap mewakili suara mereka. Tidak dapat dipilih untuk ikut menentukan kebijakan walaupun anak-anak adalah kelompok yang paling rawan terhadap resiko kalau terjadi kesalahan pengambilan keputusan atau kebijakan.

Anak-anak, juga dianggap lemah hingga belum mampu mengambil keputusan dan melakukan kegiatan seksualitas, reproduksi, walau kenyataannya mereka menjadi sasaran eksploitasi seksual paling banyak. Tapi walaupun dianggap tidak mempunyai kapasitas melakukan aktivitas seksual dalam beberapa sistem hukum termasuk di Indonesia namun terkadang mereka dianggap bertanggungjawab atau ikut bertanggungjawab secara legal bila eksploitasi seksual terjadi kepada mereka. Anak-anak bukan dianggap korban dari satu kejahatan yang harus dilindungi tapi ikut mempertanggungjawabakan secara legal apa yang mereka alami.

Perlakuan Khusus
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia pengertian anak berada dalam penafsiran hukum yang negatif. Sebagai subjek hukum, anak memiliki tanggungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Akan tetapi, karena statusnya masih di bawah umur, maka si anak memiliki hak-hak khusus, hak untuk memperoleh normalisasi dari perilakunya yang menyimpang sekaligus tetap mengupayakan agar si anak memperoleh hak atas kesejahteraan layak dan masa depan lebih cerah.

Dengan demikian, pada hakikatnya pengertian anak dalam hukum pidana di Indonesia mencakup pengertian bahwa anak dinilai belum mampu untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya dan anak berhak atas pengembalian hak-haknya melalui proses substitusi hak-hak anak yang timbul dari aspek hukum perdata dan tata negara untuk mensejahterakan anak dan berlangsungnya rehabilitasi mental-spiritual si anak akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan serta hak untuk memperoleh pelayanan, asuhan dan hak-hak lainnya dalam proses hukum acara pidana

Anak yang melakukan kejahatan sebenarnya tidak harus dijatuhi pidana, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 3 tahun 1997, pasal 22 dan 24. Sebenarnya penjatuhan pidana yang dilakukan seorang hakim, sebagai perampasan kemerdekaan terhadap seorang anak, harus sebagai hal ultimum remedium, sebagai pilihan terakhir dan pilihan ini tentu saja harus melalui pertimbangan sangat matang dan melibatkan banyak pihak berkompeten dan itu juga harus diyakini bertujuan untuk memberikan atau dalam rangka kepentingan yang terbaik bagi anak tersebut. Dan kita tentu mahfum, penjara Indonesia hari ini sangat tidak layak dalam konteks kepentingan terbaik bagi anak, baik bila dilihat dari aspek infrastruktur dan fasilitasnya maupun petugasnya. Malah yang terjadi sekarang, penjara anak juga dijejali tahanan orang dewasa yang merupakan titipan karena penjara dewasa over kapasitas dan tahanan titipan tersebut adalah tahanan kasus narkoba. Celaka bukan?

Perlakuan khusus bagi anak sangat diperlukan karena pada dasarnya proses hukum yang dilakukan tersebut tujuannya tidak hanya sebagai proses untuk membuktikan kesalahannya dan apa akibat dari kesalahannya tersebut, jika terbukti. Hal penting yang juga harus dicari pembuktiannya adalah mengapa si anak melakukan penyimpangan tersebut serta apa dan bagaimana upaya yang seharusnya dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga dalam menanggulangi perilakunya itu.

Hal ini diperlukan dan seharusnya menjadi nafas dalam suatu proses peradilan anak, karena, bila merujuk kepada keadaan mental dan fisiknya yang belum matang, maka situasi, keadaan atau pengaruh dari luar dirinya memiliki peranan lebih besar dibanding yang berasal dari dirinya yang sebenarnya, sehingga anak memang tidak pada tempatnya untuk dibebankan tanggungjawab atas apa yang dia lakukan.

Kita, sebagai orang dewasa sebenarnya lebih dan harus bertanggungjawab dari anak itu sendiri. Oleh karena itu dari aspek kebijakan kriminal (criminal policy) perbuatan menyimpang yang dilakukan anak tidak dapat dan seharusnya tidak disamakan dengan penyimpangan yang dilakukan orang dewasa. Penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan anak dengan demikian bukan hanya sekedar proses pembuktian kesalahannya tapi harus dapat membuktikan tindakan-tindakan yang berdasarkan situasi dan kondisi objektif si anak, bukan atas dasar criminal mind yang datang dari dalam diri si anak.

Peradilan bagi anak yang melakukan penyimpangan pada hakikatnya bukan untuk menghukum tapi bertujuan untuk memberikan kepentingan yang terbaik kepada anak (the best interests of the child), kepentingan terbaik anak adalah merupakan prinsip yang seharusnya melandasi dalam setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh siapapun. Pasal 3 Konvensi Hak Anak menyebutkan, ”Dalam semua tindakan yang menyangkut anak- anak, baik yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, para penguasa pemerintahan atau badan legislatif, kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama.”

Fakta Indonesia
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, pengadilan anak (juvenile court) didasarkan pada asas parent patriae, dimana penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan dan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak dijatuhi hukuman pidana tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan sesuai kebutuhan si anak.

Tentu saja, proses hukum seperti ini sangat jauh berbeda dengan realitas Indonesia. Kendati telah diberlakukan UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, namun nyatanya sistem peradilan anak yang terjadi di Indonesia masih sangat compang-camping.

Betapapun dalam pertimbangan UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak diakui bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang, namun nyatanya banyak anak-anak di Indonesia yang mengalami kezaliman secara hukum

Pasal 5 UU No. 3/1997 dinyatakan, dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. (2) apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. (3) apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan Proses seperti dinyatakan UU di atas, nyatanya sering diabaikan.

Ketika diperiksa di kantor Kepolisian, anak tidak dampingi petugas kemasyarakatan, psikolog atau penasehat hukum. Ada anak-anak di tahan di tahanan kepolisian, ada hakim yang memrintahkan anak ditahan dan banyak lagi kejanggalan-kejanggalan atau bahkan pelanggaran hukum yang dialami anak-anak yang (disangka atau terbukti) melakukan tindak pidana.

Benar statement Save the Children International Alliance, bahwa kondisi sekarang jauh lebih buruk bagi anak-anak bahkan bila dibandingkan dari 100 tahun lalu. Benar juga bahwa Indonesia bukanlah negara hukum dan tapi negara undang-undang, karena menyangkut perlindungan dan kesejahteraan anak, di Indonesia tak kurang ada 97 peraturan yang memiliki kekuatan hukum.

Akhirnya, kita yang mengklaim diri sebagai manusia dewasa, kita yang dianugrahi kekuasaan, kewenangan dan berbagai kebijaksanaan harus lebih berkomitmen untuk memperhatikan dan melindungi anak-anak, karena mereka juga kita anggap penerus darah kita, penerus generasi bangsa-negara. (Sulaiman Zuhdi Manik)

Akses Pendidikan dan Pekerja Anak di Propinsi NAD

Akses Pendidikan dan Pekerja Anak di Propinsi NAD
Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

Pada awal pembicaraan mengenai kebijakan pekerja anak sering diasumsikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak dianggap membahayakan. Namun tahun 1990 mulai muncul pemahaman, pekerjaan tertentu yang dilakukan anak dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan anak bagi masa depannya. Pekerjaan ringan setelah pulang sekolah, magang, pekerjaan di lahan milik keluarga atau pekerjaan lain yang tidak menghasilkan uang bagi anak tidak dikategorikan sebagai pekerja anak. Istilah pekerja anak diartikan sebagai pekerjaan yang menghalangi anak bersekolah dan pekerjaan yang membahyakan kesehatan, fisik dan mentalnya (Rogers & Swinnerton).

Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, permasalahan pekerja anak sesungguhnya merupakan persoalan yang serius, dilihat dari jumlahnya, lokasi kerjanya, bentuk pekerjaannya, cara kerjanya maupun akibat-akibat yang ditimbulkan dari mereka bekerja.

Berdasarkan data Dinas Sosial Propinsi NAD, tahun 2006 jumlah pekerja anak berusia 10-14 tahun mencapai 19.299 orang. Jumlah tersebut ditambah dengan 736 anak yang diidentifikasi sebagai anak jalanan dan 50.994 sebagai anak terlantar. Sementara data Badan Pusat Statistik NAD tahun 2005, dari 460,896 anak berusia 10-14 tahun 17,279 dikategorikan sebagai pekerja anak.

Penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Agustus-September 2006, di Kota Banda Aceh, periode Agustus-September 2006, diidentifikasi sebanyak 110 orang anak-anak yang bekerja di jalanan dengan berbagai jenis pekerjaan seperti pengemis, pemulung, penyemir sepatu dan pedagang asongan.

Sementara pada penelitian PKPA periode Oktober-Desember 2006 di tujuh kabupaten/kota di Provinsi NAD, ditemukan sekitar 1.000-1.500 anak-anak yang bekerja di sektor perikanan dan 500-750 diantaranya bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Diantara pekerjaan berbahaya yang dilakukan anak-anak adalah menyelam untuk menangkap lobster, gurita dan tripang, menembak ikan, bekerja di kapal-kapal pukat serta memancing ikan di laut dalam.

Di Kabupaten Simeulue, penelitian PKPA, Oktober-Desember 2006, ditemukan anak-anak yang bekerja baik secara langsung atau tidak langsung pada sektor rekontruksi seperti mengangkat pasir dan batu dari pantai ke lokasi pembangunan, mengangkat kayu dari gunung dengan upah Rp. 2.500,-/batang maupun sebagai buruh bangunan.

Pada penelitian PKPA bekerjasama dengan ILO-IPEC, UNICEF dan Dinas Sosial Propinsi NAD terhadap anak-anak korban konflik di 5 kabupaten di Propinsi NAD (Maret 2007) juga ditemukan adanya kecenderungan anak-anak korban konflik untuk bekerja, karena mereka putus sekolah atau akibat orang tua kurang mampu secara ekonomi. Bahkan anak-anak yang masih sekolah, ditemukan sudah memiliki persepsi tentang dunia kerja yang menghasilkan uang, baik sebagai cara untuk mencapai cita-cita maupun sebagai pilihan ketika mereka terpaksa putus.

Saat ini PKPA sedang melaksanakan penelitian mengenai keterlibatan anak dalam drug trafficking di Kabupaten Aceh Besar. Temuan sementara, ada anak-anak terlibat secara langsung. Dari 90 anak yang diwawancarai, 64 orang (53 laki-laki dan 11 perempuan) mengaku bekerja di sektor yang berdasarkan Konvensi ILO No. 182 dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Data-data berdasarkan penelitian di atas belumlah menggambarkan realitas jumlah pekerja anak yang sesungguhnya di Propinsi NAD. Diperkirakan masih banyak anak-anak lain yang bekerja baik pada jenis pekerjaan yang diperbolehkan maupun dalam bentuk pekerjaan yang berbahaya dan eksploitatatif, di sektor formal maupun informal.

Faktor Penyebab
Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di atas, ditemukan banyak faktor yang menyebabkan anak terpaksa bekerja. Kemiskinan ditemukan sebagai salah satu penyebab utama (prime suspect). Bahkan dalam kasus anak-anak jalanan di Banda Aceh, kemiskinan telah menjadi subkultur.

Kemiskinan pada awalnya dijadikan orang tua sebagai alasan untuk menyuruh/mengajak anak-anaknya bekerja menghasilkan uang, akan tetapi kemiskinan kemudian dijadikan kambing hitam untuk tetap mempekerjakan anaknya karena dengan kemiskinan yang dikondisikan mereka dapat memperoleh uang dengan cara mudah, dimana jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan bekerja sebagai petani di desa.

Kemiskinan memang masih menjadi persoalan umum. Berdasarkan data Dinas Sosial tahun 2006 masih terdapat 1.898.072 keluarga fakir miskin di Propinsi NAD. Hal ini secara langsung memiliki keterkaitan dengan jumlah pekerja anak. Bagi keluarga miskin, mempekerjakan anak seringkali dijadikan cara untuk menambah penghasilan. Dari lima penelitian yang dilakukan PKPA di NAD, bukan hanya orang tua menginginkan anaknya bekerja untuk menghasilkan uang, anak-anak itu sendiri ditemukan berkeinginan bekerja baik untuk membantu keluarga maupun untuk kebutuhan dirinya sendiri. Keinginan demikian, seringkali ditanggapi orang tua secara kontraproduktif, dengan harapan dapat meringankan beban orang tua.

Kemiskinan, pendidikan dan pekerja anak, dari lima penelitian tersebut, memiliki korelasi sangat kuat. Keterkaitan antara ketiganya seolah-olah sebagai sesuatu yang abadi. Pekerja anak bukan hanya sebagai produk kemiskinan namun sekaligus sebagai unit cost kemiskinan yang menyebabkan anak-anak putus sekolah. Menurut pakar ekonomi, dengan mengirimkan anak memasuki pasar kerja, keluarga miskin tampak tidak mengikuti tingkah laku ekonomi rasional. Mereka hanya memiliki sedikit alternatif. Pilihan antara mempertahankan hidup jangka pendek dan perkembangan anak jangka panjang sangat terbatas. Kemiskinan melahirkan pekerja anak dan mengabadikan kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi. Dikaitkan dengan teori siklus kemiskinan (cycle of poverty) --dalam ilmu Ekonomi dan Sosiologi, istilah lingkaran kemiskinan merujuk kepada fenomena sosial dimana orang miskin menunjukkan kecenderungan tetap miskin sepanjang hidup bahkan mungkin sampai beberapa generasi.

Dalam satu dokumen ILO-IPEC (2004) disebutkan, kemiskinan akan menggiring pekerja anak ke suatu titik dimana mereka akan melahirkan generasi baru yang sama atau mungkin lebih miskin. Kemiskinan diwariskan dari satu generasi ke generasi dimana pekerja anak merupakan perantara aktif, menyebabkan lingkaran setan kemiskinan tetap lestari, sekaligus menyebabkan kemampuan nasional untuk memerangi kemiskinan secara keseluruhan terus menurun.

Faktor lain, berkaitan dengan tradisi yang banyak dianut masyarakat. Memberikan pekerjaan kepada anak dianggap bagian dari proses belajar untuk menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain melatih dan memperkenalkan kepada dunia kerja anak juga diharapkan dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga (PKPA: 2003). Banyak berpendapat: bagi anak yang telah akil baligh kalau bekerja dan memperoleh uang maka uang tersebut boleh digunakan membiayai ekonomi keluarga. Akan tetapi jika anak belum disunat, anak tidak perlu bekerja karena uang yang dia peroleh haram dimakan orang tuanya.

Dalam pandangan lain, mempekerjakan anak dinilai berfungsi ganda; selain mempersiapkan anak menghadapi kehidupan sesungguhnya, orang tua juga menerima manfaat secara finansial dari anaknya yang bekerja. Apalagi bagi banyak keluarga miskin, jumlah orang yang bekerja belum menjamin kebutuhan pokok keluarga dapat dipenuhi dari penghasilan seluruh orang yang bekerja.

Menyuruh atau mengajak anak bekerja sering dipandang sebagai bagian dari proses pendidikan atau pembentukan jiwa dan kepribadian anak, namun dalam praktiknya, sulit membedakan antara bekerja dalam rangka mendidik anak dan bekerja dimana anak dituntut untuk memberikan sumbangan ekonomi kepada keluarga. Antara pembinaan dan pembentukan jiwa dengan eksploitasi anak secara ekonomi sulit dibedakan. Oscar Lewis mengatakan tingkah laku dan kebudayaan kaum miskin berpengaruh terhadap kemiskinan mereka. Sekali kemiskinan menimpanya maka norma, tingkah laku dan kebudayan kemiskinan yang berkembang dalam kehidupannya akan mengekalkan kemiskinannya. Berbagai sifat dan perilaku dari subkultur kemiskinan seperti malas, apatis, kurang kreatif, kurang mandiri dan lain-lain menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Mereka kurang memiliki kemampuan dan kesempatan meningkatkan taraf kehidupannya.

Pesimis terhadap pendidikan juga ditemukan sebagai penyebab orang tua tidak menyekolahkan anaknya, selanjutnya menyuruh bekerja. Di beberapa desa ditemukan, pendidikan tidak memiliki daya tarik baik bagi anak maupun bagi orang tua, yang dilihat dari proses pendidikan (tidak menyenangkan bagi anak) serta outputnya, yaitu tidak ada perbedaan pekerjaan antara anak yang tidak tamat SD dengan anak tamatan SMA.

Dampak bekerja pada anak
Gootear dan Kanbur (1994) menyatakan secara empirik banyak bukti menunjukkan keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi, di sektor formal maupun informal terlalu dini cenderung rawan eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak.

Sarjono Herry Warsono mengatakan, bekerja di usia dini dapat merusak pertumbuhan fisik dan mental karena mengalami siksaan, dikucilkan atau diperlakukan buruk serta tidak ada waktu atau terlalu lelah untuk belajar dan sekolah. Sementara bagi perekonomian negara, kehadiran pekerja anak dapat mengakibatkan kemiskinan, tenaga kerja tidak trampil dan berpendidikan rendah. Anak-anak akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang kurang sehat, kurang dapat bersosialisasi dan secara emosional terganggu.
Meningkatnya jumlah pekerja anak akan memicu hambatan dinamika proses pembangunan SDM di masa depan. Dampaknya sangat besar, utamanya social cost yang diderita pekerja anak dan hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah. Pertambahan jumlah pekerja anak berpengaruh terhadap pasar tenaga kerja, yaitu akan mengurangi kesempatan kerja orang dewasa karena produktifitas pekerja anak ternyata tidak jauh berbeda dengan pekerja dewasa.

Ketentuan mengenai pekerja anak
Konvensi Hak-hak Anak pasal 32 menyatakan: negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi terhadap eksploitasi ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan atau merugikan kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak.
Konvensi ILO No. 138 menyatakan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja untuk setiap jenis pekerjaan atau kerja, yang karena sifatnya atau keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun.
Sementara Konvensi ILO No. 182 mengkategorikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yaitu: (a) segala bentuk perbudakan atau praktek jenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan penghambat (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata, (b) pamanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno, (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan dan (d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat dimana pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Dalam Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (pasal 68-69) dinyatakan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Ketentuan ini dikecualikan bagi anak berumur antara 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial serta memenuhi persyaratan yaitu izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas dan anak menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku

Meningkatkan akses pendidikan bagi anak
Dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 217 dinyatakan: “penduduk Aceh yang berusia 07-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, menyediakan pendidikan layanan khusus bagi penduduk yang berada di daerah terpencil atau terbelakang, memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial, serta yang memiliki potensi keceradasan dan bakat istimewa.

Kemiskinan seringkali menempatkan pandangan orang tua pada bagaimana anak mampu berkontribusi bagi keluarga, dengan cara menyumbangkan tenaga atau hasil pekerjaannya kepada keluarga maupun ketika si anak tidak meminta uang kepada orang tua. Dengan pola pikir dan cara pandang seperti ini, proses penyadaran akan hak-hak anak terutama hak anak atas pendidikan, bahaya mempekerjakan anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan usia minimal anak diperbolehkan bekerja dengan mengaitkan kepada lingkaran kemiskinan dinilai penting untuk dilakukan, agar orang tua dan anak-anak itu sendiri memahami putus sekolah dan mempekerjakan anak di usia dini sebagai pilihan tidak bijak, karena akan melanggengkan lingkar kemiskinan suatu keluarga.

Pada masyarakat dimana pendidikan tidak memiliki daya tarik bagi anak maupun orang tua, yang dilihat dari proses pendidikan (tidak menyenangkan bagi anak) serta outputnya, yaitu tidak ada perbedaan pekerjaan antara anak yang tidak tamat SD dengan anak tamatan SMA, maka upaya mencegah anak agar tidak putus sekolah atau mengembalikan anak yang telah putus sekolah untuk kembali bersekolah, harus disertai usaha untuk menempatkan lembaga pendidikan dari sekedar sebagai penyelenggara belajar bersifat rutin menjadi lembaga pembelajaran yang menyenangkan bagi anak dan sebagai milik masyarakat.

Sebagai lembaga pembelajaran, sekolah semestinya mengakomodir berbagai kebutuhan pembelajaran anak. Kemiskinan, keterisoliran, adanya anak-anak yang telah putus sekolah dan bekerja, rendahnya dukungan dan partisipasi orang tua, diantara beberapa permasalahan aktual yang seharusnya ditempatkan sebagai keberagaman kebutuhan anak terhadap materi dan metode pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah formal dan non formal. Keberagaman ini diyakini tidak akan terakomodir dalam kelas dan guru reguler, sehingga upaya-upaya meningkatkan kualitas dan keterampilan guru terhadap proses pembelajaran inklusif yang menyenangkan dan berdasarkan kebutuhan anak sangat diperlukan.

Pada tataran lain, ditemukan ada pemisahan peran orang tua dan sekolah dalam pendidikan anak. Orang tua beranggapan, kepergian anak dari rumah dengan pakaian seragam dan uang jajan maka tugasnya menyekolahkan anak telah selesai. Pada pihak lain, sekolah menganggap tugas mereka dimulai ketika si anak menginjakkan kaki di lingkungan sekolah. Anak yang berangkat dari rumah namun tidak sampai ke sekolah tidak jelas siapa yang bertanggungjawab. Lalu jika output pembelajaran tidak tercapai, orang tua menyalahkan guru; tidak becus mengajar, sementara guru menyalahkan orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anak. Jurang pemisah antara masyarakat dengan lembaga pendidikan seperti ini jelas merugikan anak. Maksimalisasi peran komite sekolah dan rasa kepemilikian masyarakat terhadap sekolah harus ditingkatkan.

Harus diciptakan lingkungan desa dan lingkungan sekolah yang mendukung proses pembelajaran anak.
Bagi anak yang tidak mau mengikuti pendidikan formal atau tidak tersedia pendidikan formal di desa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah (paket A, B dan C) didukung kegiatan pravocational training sesuai potensi desa perlu dipertimbangkan untuk dilakukan Pendidikan hendaknya diorientasikan kepada kecakapan hidup yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan kepada pencapaian gelar akademis.


Penulis Manager Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh


Banda Aceh, 20 Juli 2007



Sulaiman Zuhdi Manik
Jl. Bhakti No. 44 Neusu Aceh, Banda Aceh
Tel/Fax. 0651. 28195
e-mail: spkpa@yahoo.com