Eksekutif Summary Penelitian tentang Prilaku Seksual Remaja Berpacaran di SLTP dan SLTA di 2 Kecamatan di Kabupaten Simeulue

Penelitian ini dilakukan oleh PKPA-Simeulue sebagai bagian dari program yang didukung oleh Cordaid dengan judul “ Partisipasi anak dalam pendidikan kesehatan dan kebersihan diri dan lingkungan bagi siswa-siswi SMP dan SMA di Simuelue”. Penelitian ini dilakukan oleh staf proyek PKPA, Siti Aisyah Mardiana, Spsi. bersama seorang guru (kepala Sekolah) Mts Swasta Teupah Barat, Bapak Rasman, S.Ag. dibantu oleh seorang siswa SMA Negeri Teupah Barat, Zulianto.

Penelitian ini dilaksanakan pada Mei dan Juni 2008. dengan melibatkan 100 orang siswa SMP dan SMA di kecamatan Teupah Barat dan Simeulue Timur dengan rentang usia 14-20 tahun. Adapun karakterisik responden yang diteliti adalah Laki-laki ( 47 orang) dan Perempuan (53 orang) yang berasal dari kelurga dengan latar belakang suku yang berbeda. Kesemua responden pernah atau sedang menjalin kedekatan emosional dengan lawan jenis.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa Remaja Simeulue pada umumnya mengetahui istilah-istilah terkait dengan seksualitas namun tidak memahami makna sebenarnya dari istilah tersebut. Tak jarang istilah-istilah tersebut dijadikan bahan lelucon di kalangan remaja itu sendiri Ketidakpahaman ini bisa jadi dikarenakan keterbatasan media yang “tepat” bagi remaja tentang isu kesehatan reproduksi. Alasan lain adalah saat yang dirasakan “tepat” oleh remaja untuk memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 responden, 24% mengetahuinya istilah yang berkaitan dengan kespro pada usia 18 tahun. Beberapa istilah yang diketahui antara lain adalah;
1. 71% Remaja Simeulue pernah mendengar atau mengetahui istilah kesehatan reproduksi.
2. 90% remaja mengatakan pernah mendengar istilah seks remaja.
3. 83% remaja mengatakan pernah mendengar istilah pubertas
4. 87% remaja mengatakan pernah mendengar istilah menstruasi
5. 85% remaja mengatakan pernah mendengar istilah mimpi basah.
6. 22% remaja mengatakan pernah mendengar istilah onani/masturbasi. Berbeda dengan kemampuan pemahaman tentang istilah onani/masturbasi yang hanya 22%, ternyata 52% responden menjawab bahwa onani dapat memberikan dampak negatif. Pernyataan ini tidak dilanjutkan dengan jenis dan bentuk dampak negatif yang timbul bagi seseorang yang melakukan onani.

Pemahaman remaja atas istilah-istilah dalam seksualitas berpengaruh pada resiko yang akan diterimanya saat membina hubungan emosional (pacaran) yang tak jarang membutuhkan pembuktian fisik. Jika sebagian masyarakat menyatakan bahwa lokasi seseorang berada, desa atau kota dapat mempengaruhi perilakunya dalam pergaulan. Maka pernyataan bahwa remaja kota lebih permissive dari remaja desa akan terbantahkan oleh hasil penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian PKPA-Simeulue diketahui bahwa Remaja Simeulue pertama kali berpacaran pada usia yang beragam yaitu usia 16-18 tahun (28%), 14-16 tahun (60%) dan 10-12 tahun (8%). Satu hal yang menarik bahwa dari penelitian ini diketahui bahwa 4% responden pertama sekali pacaran pada usia <10 tahun.

Dalam berpacaran, sebanyak 55% responden menyatakan bahwa mereka akan memiliki pacara dari yang sebaya atau hampir sama dengan jenjang usia mereka. Hal ini kembali dipertegas dengan pernyataan sebanyak 48% responden yang menyebutkan bahwa usia pasangannya bertaut 1-3 tahun. Ketika ditanyakan alasan mengapa memilih pasangan yang sebaya, responden memberikan alasan terkait dengan adanya pandangan dari teman-teman sebaya yang menganggap pacaran dengan orang yang lebih tua terkesan tidak baik dan tidak sesuai dengan yang dibolehkan lingkungan sekitar.
Pemilihan pasangan yang dilakukan oleh remaja Simeulue berdasarkan satu atau beberapa alasan yaitu; Wajah (44%), Faktor Ekonomi (20 %), Penampilan (40%), kepatuhan menjalankan norma-norma Agama (72 %), dan Asal orang tua setuju (38%)

Bila melihat faktor-faktor yang mempengaruhi seorang remaja menentukan pasangannya maka terlihat bahwa faktor kepatuhan menjalankan norma-norma agama berada pada point teratas sebanyak 72%. Keharusan untuk memiliki kemampuan menjalankan norma norma agama ini tidak hanya diakui oleh masyarakat melainkan juga dilaksanakan secara formal. KUA (kantor Urusan Agama) yang memegang kewenangan untuk menikah dan kawinkan pasangan beragam islam memberikan sebuah syarat bagi pasangan pasangan akan menikah. Calon mempelai diharuskan menjawab pertanyaan petugas KUA khususnya kepada pihak mempelai pria tentang hukum-hukum dan rukun-rukun dari ajaran agama Islam, agama mayoritas di pulau Simeulue.

Dalam berpacaran remaja Simeulue melakukan aktivitas-aktivitas pacaran seperti Duduk-duduk berdua (69 %), Jalan-jalan ke pantai/tempat rekreasi (43%), Pegangan tangan (36%), Cium Kening (27%), Cium Pipi (20%), Bercumbu (12%), Rangkulan (10%), Berpelukan (9%), Cium Bibir (6%), Lainnya (4%).

Melihat persentase ini terlihat bahwa duduk berdua menjadi pilihan utama karena “lebih aman” dibandingkan aktifitas lainnya misalnya jalan-jalan dipantai. “Aman” dimaksud disini terkait dengan adanya larangan yang tidak membenarkan pasangan berduaan di manapun menjadi alasan utama remaja memilih bentuk aktifitas. Lebih jauh responden menyebutkan bahwa, apabila pasangan diketahui berduaan maka akan ditangkap kemudian dinikahkan. Hal ini sangat menakutkan para remaja di Simeulue karena selain dinikahkan, pihak keluarga akan merasa malu akibat perbuatan sang anak sehingga perilaku ini sangat dihindari.

Kekhawatiran remaja akan pemberlakukan sanksi dari Qanun yang berlaku di wilayah NAD sebagai sanksi pacaran semakin bertambah. Penambahan ini didasarkan pada temuan penelitian yang menyebukan bahwa responden mempercayai bahwa pacaran memiliki dampak yang negatif. Beberapa dampak negatif yang diyakini oleh responden adalah; mengganggu pelajaran (66%), selalu memikirkan pacar (47%), merasa bersalah (38%), boros (28%), hamil (23%), menikah di usia muda (22%), bolos (18%), dan lainnya 10%. Temuan lain dari PKPA akan tetapi pacaran masih dianggap sebagai suatu kebutuhan remaja yang sedang berkembang. Ada bebrapa alasan mengapa dikatakan kebutuhan salah satu diantaranya adalah perkembangan zaman, malu pada teman-teman lain ketika tidak punya pacar dikatakan tidak laku dan sebagainya.

Layaknya sebuah hasil penelitian dan kenyataan, maka pembaca akan menemukan adanya perbedaan antara persepsi dan kenyataan. Penelitian PKPA-Simuelue memperlihatkan bahwa responden menyetujui bahwa Usia di atas 23 tahun adalah usia yang menjadi pilihan utama bagi remaja Simeulue untuk menikah. Adapun alasan memilih usia 23 tahun adalah;
1. Merasa cukup dewasa untuk menjalin hubungan dengan seseorang dalam satu ikatan pernikahan yang diakui oleh agama dan negara
2. Merasa cukup membahagiakan diri sendiri dan membanggakan keluarga karena sudah bekerja atau sudah menyelesaikan pendidikan.

Pada kenyataannya, penelitian ini juga menemukan bahwa responden setuju kalau salah satu resiko pacaran adalah menikah di usia muda (22%). Lebih jauh penelitian ini memperlihatkan bahwa 74% responden mengatakan bahwa mereka memiliki sahabat/teman yang menikah di usia muda (di bawah 18 tahun). Hal ini memperkuat hasil Sensus Survei ekonomi Nasional 2006, yang menyatakan bahwa ada 12,55% perempuan menikah pada usia dibawah 17 tahun. Pada tahun sebelumnya, persentase pernikahan perempuan dibawah usia 17 tahun hanya sebesar 7,69%. Situasi ini tidak hanya membutuhkan penjelasan yang lebih rinci melainkan juga aktivitas segera dari masyarakat.
Apalagi jika Keinginan v.s Norma, didalam masyarakat khususnya remaja. Disatu sisi remaja merasakan adanya keinginan untuk mengetahui bahkan melakukan aktifitas seksual. Disisi lain remaja mengharuskan adanya “keperwanan dan keperjakaan” hingga menikah seperti yang terangkum dalam hasil penelitian yang menyebutkan bahwa keperawanan/keperjakaan harus dijaga keutuhannya hingga tiba saatnya nanti diberikan kepada pasangan ketika menikah 90% (41% laki-laki dan 49% perempuan).

Harapan responden terlihat ironis dibandingkan dengan ditemukannya angka 34% pernikahan di usia muda dilakukan oleh teman-teman responden dengan alasan telah hamil sebelum menikah. Apalagi jika benar bahwa 57% responden mengatakan remaja perempuan dapat hamil meskipun hanya melakukan hubungan seks sekali saja. Bahkan, sebanyak 16% dari teman responden yang hamil diluar nikah selanjutnya menggugurkan kandungan tersebut. Meski tidak ada data lebih lanjut tentang aborsi ini, sudah sepatutnya situasi ini menjadi perhatian utama. Hal ini tidak terlepas dikarenakan resiko kesehatan yang harus ditanggung oleh perempuan yang melakukan aborsi. Untuk itu perlu diketahui lokasi melakukan pengguguran, proses pengguguran apakah dilakukan dengan aman atau tidak dan informasi lain yang terkait.

Menikah di usia muda diakui memiliki banyak dampak negatif baik secara fisik maupun psikologis. Dampak negatif secara fisik diketahui bahwa orang yang menikah di usia muda dan hamil alat reproduksi tidak benar-benar siap untuk hamil sehingga akan mempengaruhi tingkat kesehatan mereka yang menikah di usia muda. Dampak psikologi juga dirasakan seperti perasaan menyesal karena menikah duluan sementara teman-teman yang lain masih asyik melakukan aktivitas kegiatan lain baik di sekolah maupun lingkungan lain. Disisi lain menikah diusia muda juga dianggap sebagai “kebutuhan” terutama ketika telah terjadi hubungan seksual diluar nikah atau bahkan hamil sebelum menikah.

Informasi kesehatan reproduksi/seks remaja Simeulue diketahui paling banyak bersumber dari televisi dan media lainnya. Informasi ini dirasakan tidak cukup memenuhi kebutuhan akan informasi tersebut dan informasi ini juga tidak mampu memuaskan keingintahuan mereka berkaitan dengan masalah seks/kespro sehingga diharapkan ada sumber lain yang mampu memberikan informasi yang jauh lebih baik dan benar serta mampu memusakan keingintahuan remaja Simeulue akan informasi tersebut.
Masalah seks/kespro juga dirasakan jauh lebih nyaman untuk dibicarakan dengan teman sebaya (peer group). Hal ini padahal sangat tidak disarankan karena informasi dan pengalaman mereka juga tidak jauh berbeda kecuali sudah ada pembekalan atau penguatan informasi yang berkaitan dengan kespro pada beberapa orang sebelumnya ini akan mampu membantu teman-teman yang lain dalam memuaskan rasa keingintahuan tersebut.

Rasa ingin tahu tentang seks dirasakan responden pada usia 14-16 tahun. Untuk itu mereka memperolehnya melalui berbagai media informasi, individu atau lembaga. Ditemukan 46% remaja pernah menonton film/video porno, Sebanyak 29% responden mengatakan bahwa mereka menonton video/film porno pada usia 14-17 tahun. Diketahui juga bahwa hampir 50% teman sekolah mereka juga pernah yang pernah menonton film/video porno. Angka ini cukup mengkhawatirkan mengingat letak kabupaten Simeulue yang berada dikepulauan dan “terasa” sulit mengakses media hiburan seperti video, sebagai informasi, di kabupaten Simeulue tidak ada theater atau bioskop apalagi Cinema 21.

Setelah para responden selesai menonton video porno, maka timbul beberapa reaksi antara lain; merasa bersalah tanpa alasan yang jelas (61%), merasa bersalah karena telah melanggar norma agama (60%), berpikiran untuk melakukan atau membayangkan aktifitas Hubungan seksual (41%), selalu terbayang-bayang sebesar 40% dan ingin melakukan (29%).

Berdasarkan kondisi ini, sebanyak 78% responden merasakan adanya kebutuhan atas informasi kesehatan reproduksi. Informasi kesehatan reproduksi yang diberikan tidak hanya sekedar informasi seperti yang mereka peroleh selama ini. Informasi yang diharapkan adalah informasi yang baik, benar dan dapat dipercaya. Namun diharapkan informasi tersebut bukanlah dari orang tua mereka. Responden mengalami perasaan ini tidak hanya kepada orang tua laki-laki laki-laki (39%) melainkan juga kepada orang tua perempuan (39%).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar