Konsep Pekerja Anak

Sebagai satu konsep pekerja anak (anak sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2003 ialah seseorang yang belum berusia dibawah 18 tahun termasuk anak yang masih berada dalam kandungan) dapat difahami berbeda baik pada batasan usia maupun pekerjaan yang boleh dan tidak dilakukan anak-anak. Perbedaan lingkungan sosial atau budaya dan kebudayaan suatu daerah atau komunitas diantara faktor menyebabkan perbedaan tersebut (PKPA: 2003)

Di Indonesia, kehadiran pekerja anak terlihat menonjol menjelang abad 20, ketika sektor perkebunan dan industri gula modern mulai dikembangkan oleh kolonialisme Belanda. Namun demikian, sesungguhnya sebelum itupun di berbagai daerah pekerja anak sudah sejak lama ada. Bahkan berdasarkan studi Koentjraningrat (1969) di wilayah pedesaan, anak berumur 8 tahun ikut membantu orang tua mencari nafkah dan dianggap sebagai hal biasa, keadaan ini terus berkembang sampai sekarang. Tahun 1990-an jumlah pekerja anak disinyalir makin bertambah sebagai salah satu akibat industrialisasi yang menyebabkan terjadinya proses pemiskinan di sebagian besar masyarakat pedesaan (Bagong Suyanto: 1999)

Periode awal pembicaraan tentang kebijakan pekerja anak sering diasumsikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak dianggap membahayakan. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 1990-an mulai muncul pemahaman pekerjaan tertentu yang dilakukan anak dapat memberikan manfaat bagi mereka karena pekerjaan tersebut dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan anak untuk survive ketika mereka dewasa. Oleh sebab itu, pekerjaan ringan yang dapat dikerjakan anak setelah pulang sekolah, magang, pekerjaan yang dilakukan anak di lahan milik orang tuanya atau pekerjaan lain yang tidak dengan tegas dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan finansial tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja anak. Istilah pekerja anak merujuk kepada pekerjaan yang dapat menghalangi anak bersekolah dan pekerjaan yang harus dilakukan anak dalam kondisi yang membahyakan kesehatan, fisik dan mentalnya (Rogers & Swinnerton dalam www.georgetwon.edu/faculty/rogersc/Papers/exploit/pdf)

Mediha Murshed (www.jia.sipa.columbia.edu/media/pdf/children_issu_cordies_essy.pdf) mengkategorikan pekerja anak yaitu:
a. Apprenticeship (magang). Banyak anak melakukan magang sebagai salah satu cara atau syarat memasuki pasar kerja dan orang tua cenderung menganggap kegiatan ini bermanfaat karena memberikan keahlian yang dibutuhkan anak untuk memperoleh kesempatan kerja sekaligus mendapat uang saku. Akan tetapi seorang anak yang melakukan magang cenderung mengalami eksploitasi karena ia tidak memiliki daya tawar dan dibayar sangat rendah
b. Waged labor. Ini bisa ditemukan dalam sektor industri dan sektor informal dan biasanya lebih eksploitatif dari magang. Meski dalam konteks ini anak mendapat bayaran lebih banyak dibanding ketika ia magang, namun jenis ini juga potensial menyebabkan anak mengalami berbagai kekerasan, karena sistem kerja yang berlaku bisanya tidak memberikan perhatian khusus bagi anak dan tidak memperdulikan aspek perlindungan anak
c. Bonded labor (kerja ijon). Ini dianggap sebagai pekerjaan yang paling eksploitatif bagi anak dan biasanya terdapat pada sektor informal dan pedesaan. Dalam konteks ini anak dipaksa bekerja sebagai cara untuk membayar hutang keluarganya kepada majikan. Anak benar-benar berada dalam posisi yang serba sulit dan tidak memiliki daya tawar sama sekali.

Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segara Penghapusan Bentuk bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak mengkategorikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak:
a. Segala bentuk perbudakan atau praktek jenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan penghambat (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata
b. Pamanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno
c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan
d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat dimana pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Adapun bentuk-bentuk pekerjaan yang membahayakan bagi anak seperti:
a. Anak yang dilacurkan
b. Anak yang bekerja di pertambangan
c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara
d. Anak yang bekerja di sektor konstruksi
e. Anak yang bekerja di jermal
f. Anak yang bekerja sebagai pemulung sampah
g. Anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak
h. Anak yang bekerja di jalanan
i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga
k. Anak yang bekerja di perkebunan
l. Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu
m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya (ILO-IPEC, 1999)

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 tahun 2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak, pekerja anak di lepas pantai atau laut dalam, di kapal serta mengangkut beban di atas 12 kg bagi anak laki-laki dianggap sebagai pekerjaan yang terburuk bagi anak
Konvensi ILO No. 138 (Disahkan Pemerintah Indonesia melalui UU No. 1 tahun 2000) mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dinyatakan bahwa usia minimum bagi anak untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun jika pekerjaan itu tidak menganggu kesehatan, keselamatan, pendidikan dan pertumbuhannya. Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau melakukan pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun.

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68). Ketentuan pasal 68 tersebut dikecualikan bagi anak berusia 13-15 untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosialnya. Khusus bagi anak perempuan yang berusia di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan antara jam 23.00-07.00 pagi. UU ini juga menegaskan pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan yaitu: izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas serta anak menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku

Banyak faktor menyebabkan anak-anak terpaksa harus bekerja, baik untuk membantu nafkah keluarga atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kemiskinan, sering dijadikan faktor penyebab. Menteri Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Norwegia, Hilde Frafjord Johnson, dalam Konferensi Internasional mengenai Pekerja Anak di Oslo, Norwegia, Oktober 1997 mengatakan: pekerja anak tak hanya merupakan konsekuensi dari kemiskinan, tapi juga biaya dari kemiskinan itu, hingga anak tidak bisa sekolah. Tekanan terbesar menyebabkan anak bekerja di sektor membahayakan adalah kemiskinan. Menurut pakar ekonomi, dengan mengirimkan anak memasuki pasar kerja, keluarga miskin itu tampak tidak mengikuti tingkah laku ekonomi rasional, tapi hanya memiliki sedikit alternatif. Pilihan mereka antara mempertahankan hidup jangka pendek dan perkembangan anak jangka panjang sangat terbatas. Kemiskinan lalu melahirkan buruh anak dan lalu mengabadikan kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Data ILO menunjukkan, secara rata-rata, anak-anak yang bekerja menyumbangkan sekitar 20-25 persen kepada pendapatan keluarga. Dalam ekonomi dunia yang nilainya mencapai 28 trilyun dollar AS setahun, lebih semilyar manusia masih hidup dengan penghasilan kurang dari satu dollar sehari. Statistik Bank dunia memperlihatkan, lebih dari 1,3 milyar manusia harus hidup dengan penghasilan kurang dari satu dollar sehari dan dua milyar lainnya secara marginal berada pada kondisi sedikit lebih baik. UNICEF memperkirakan, 50 persen anak di dunia berasal dari keluarga miskin. (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/27/0042.html).

Anak-anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Konstalansi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah dan pekerjaan yang berbahaya (Muhammad Jhoni, 1997). Keadaan pekerja anak ini dilematis, disatu sisi anak-anak bekerja untuk memberikan konstribusi pendapatan keluarga namun mereka rentan dengan eksploitasi dan perlakuan salah. Pada kenyataannya sulit untuk memisahkan antara partisipasi anak dengan eksploitasi anak (Irwanto, 1995).

Pekerja anak, dengan demikian, walaupun masih teramat sulit untuk dihapuskan di Indonesia tapi bukan berarti kita bersikap membiarkan atau malah turut memberikan konstribusi secara langsung tidak langsung bagi bertambahnya jumlah anak-anak yang bekerja terutama di sektor-sektor yang terburuk bagi anak. Pekerja anak adalah masalah besar yang ada di sekitar kita sehingga partisipasi semua pihak sangat dituntut untuk terlibat dalam upaya-upaya yang mungkin dilakukannya untuk mencegah dan menanggulanginya. Bersama kita bisa dan bersama kita untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari pekerjaan yang membahayakan fisik, mental, kesehatan serta masa depannya, karena masa depan yang kita berikan kepada anak haruslah masa depan yang cerah (Sumber: Jermal Kaji Ulang: PKPA: 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar