Untuk Ananda Faiz Akbar Manik

Nak
biarlah papa dan mama yang menangis
Simpanlah air matamu
Esokmu masih panjang

Nak
Papa dan mama tak sekejapun alpa
Darah, air mata, keringat
dan apapun
Akan kami lakukan untukmu
Untuk kepentingan terbaikmu

Hidup memang begitu
Ada putih, kuning, merah, hijau
Atau apapun

Bagi kami
Kau adalah yang terbaik
Tembok tebal yang mengurungmu akan kami runtuhkan
Tak ada kata lelah untukmu, nak
Selalu akan kami retas hingga kau menikmati hidup paling baik
Agar masa depanmu yang terindah
Agar kita bersama menikmati hidup ini

Nak
Jangan pernah menangis
Nikmati harimu
Karena kau adalah hari ini

Neusu Aceh, 27 Mei 2008

Kitalah Dokter Anak Kita

Faiz Akbar Manik (3 tahun) setelah selesai ikut terapi fisik dan menjelang masuk Applied Behavioral Analysis (ABA) klinik tempatnya terapi menganjurkan untuk tes Bera, tes darah dan berbagai macam tes lain. Berkonsultasi dengan spesial THT dan tes Bera disalah satu klinik. Kemudia konsul lagi ke spesial anak dan spesialis pencernaan, lalu ke laboratorium.

Kami membawa ke beberapa dokter spesilis untuk melakukan semua tes yang diminta. Terakhir ke dokter spesialis anak yang merekomendasikan tes tersebut untuk mengetahui hasil tes. Semua normal dan ada perkembangan positif dibandingkan setahun lalu. Motorik cukup signifikan, walaupun untuk perkembangan motorik halus masih harus terapi Okupasi lagi, kata kakak asuhnya di klinik sekitar 3-6 enam bulan lagi. Gerakan tangan terutama, masih seperti kasar dan kaku.

Membawa hasil dari laboratorium kami kembali ke spesialis anak dan………sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan, ketika sang dokter dengan santai mengatakan: “anak seperti ini biasanya otaknya di bawah normal”. Mendengar itu, istri saya seketika dwon. Mukanya pucat, tangannya dingin. Pandangannya nanar.

“Dengan darah, keringat dan air mata, sejak dinyatakan menyandang autis pada usia 09 bulan kami merawat dan melakukan segala upaya untuk menyembuhkannya. Segenap cinta, segenap kasih sayang, perhatian, ketulusan, keikhlasan, optimis dan harapan kami berikan. Pada usia 1-2 tahun seringkali kami harus tidur sampai pagi menungguinya yang tidak tidur. Tak juga kami dan kedua abangnya pernah melupakan proses terapi di rumah walau sekejap. Kami ingin agar anak kami tumbuh dan berkembang secara layak dan normal.

Ditengah suasana beku saya bertanya “Ini kesimpulan tentang anak saya atau pengalaman menanganani anak autis, dok?

“Ini pengalaman, saya sudah bertahun-tahun menangani anak autis”, jawabnya enteng.

“Tapi pengalaman kebanyakan tidak harus selalu menjadi kesimpulan. Setiap anak punya perbedaan. Setiap anak punya keunikan. Dari mana dokter berkesimpulan seperti itu, bukankah hasil tes di laboratorium membuktikan normal, atau di lab ada kesalahan diagnosis, atau……apa..?”.

“Ya, itu yang saya amati dari anak-anak yang saya tangani”

“Berarti bukan kesimpulan tentang anak saya, kan? Bukan dari hasil tes”.

Tanpa mendengar jawabannya saya seketika mengajak istri untuk beranjak. Saya berfikir hal ini jika diperpanjang akan membuat istri saya semakin dwon, lagi pula si dokter tersebut selalu mengatakan pengalamannya, bukan berdasarkan data-fakta personal anak saya. Akan sulit berdiskusi dengan pola pikir seperti itu. Akan menjadi neraka bagi istri saya di tempat tersebut, ketika seorang dokter tidak memperhatikan aspek psikologis seseorang.

Di klinik tempat anak saya terapi, hasil asessment dan berbagai tes menunjukkan normal. Dokter spesialis jiwa anak (hasil tes usia 2 tahun) juga mengatakan normal. Ini untuk kesekian kali saya dan istri kecewa berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.

“Tidak. Anak kita tidak seperti itu. Faiz adalah seseorang yang pintar, bahkan kita telah sepakat untuk membantu, membimbing dan membawanya ke masa depan yang cerah. Kita akan hantarkan anak-anak kita kepada masa depan yang cerah. Jangan putus asa, jangan pernah merasa percuma atas apa yang telah kita lakukan. Semua yang telah kita lakukan pasti ada hasilnya. Jangan pernah berhenti melakukan apa yang sudah kita rencanakan untuk membantunya. Sedetikpun jangan lewatkan.

“Kita, dulu, mengibaratkan dia berada di suatu ruangnya. Kita telah berkomitmen untuk menembus tembok ruangnya itu dan membawanya ke dalam kehidupan sebagaimana anak-anak normal. Jangan pernah berhenti, the child's name is today. [Banyak hal kebutuhan kita dapat ditunda, tapi tidak untuk anak-anak. Untuk mereka kita tidak boleh menunda "besok", Nama mereka adalah "HARI INI", itukan kata Gabriel Mistral]. Kitalah selalu menjadi dokternya”. Mari.

Medan, tengah Mei 2008


PAPA FAIZ AKBAR MANIK

JANGAN BENCI AKU, MAMA...

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.

Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnyadengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkanbegitu saja.

Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yangingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak.

Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya.Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!" Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?" "Nama saya Elic, Tante." "Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya.

Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yangakan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu, Eric...Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping."Mary, apa yang sebenarnya terjadi?". "Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yangtelah saya lakukan dulu." Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak. ..

Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric..Eric...Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.

Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. ..Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras.

Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali.Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau."Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!" Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal denganseorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya.

Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini utukmu... "Saya pun membaca tulisan di kertas itu... "Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi.....? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..." Saya menjerit histeris membaca surat itu.

"Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!" Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras."Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah.

Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana . Nyonya,dosa anda tidak terampuni!"Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata dari Irlandia Utara) Copyright © 2004 SUARA MERDEKA

Diambil dari milis peduli-autis@puterakembara.org

Remaja di Kecamatan Kota Jantho, Aceh Besar

Koperasi Permata Abadi, mungkin hanya sedikit yang mengetahui. Maklum, koperasi ini dikelola di suatu desa nun jauh dari pusat kota. Persisnya berada di desa Jantho Makmur, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam dari Kota Banda Aceh dengan kenderaan mobil ke lokasi ini. Usianyapun baru 1,5 tahun.

Semangat, kerja keras, kerjasama dan siap bersaing dengan usaha yang sebelumnya telah ada menjadi kata kunci yang senantiasa dipegang teguh para remaja-remaja yang umumnya telah putus sekolah ini. Ya, mereka memang remaja dan anak-anak putus sekolah korban tsunami baik yang mengungsi ke Kota Jantho akibat tsunami tahun 2004 maupun penduduk Kota Jantho.

Melalui program peningkatan life skills yang dikelola Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) mereka diberikan pelatihan selama setahun. Setelah itu, mereka difasilitasi membentuk koperasi. Di koperasi inilah mereka mengembangkan usahanya. Saat ini Koperasi Permata Abadi mengelola empat unit usaha yaitu Permata Abadi Jahit dan Bordir, Permata Abadi Sablon, Permata Abadi Meubel dan Permata Abadi Entertaiment.

Permata Abadi Jahit dan Bordir mengelola usaha jahit dan bordir. Selain pakain, gordyn , sprei dan tas mereka juga memproduksi aneka jenis souvenir seperti kep rambut, gantungan kunci, papan nama, bingkai foto, tempat handphone, sarung bantal, bordir logo dan nama serta berbagai produk lain untuk remaja, anak-anak maupun orang dewasa.

Sedangkan Permata Abadi sablon mengelola usaha sablon dan cetak. Adapun Permata Abadi Meubel mengelola usaha meubel dan furniture sseperti pembuatan lemari, meja, kursi, rak TV, pintu dan jendela dan berbagai produk sesuai pesanan pelanggan. Terakhir, Permata Abadi Entertainment bergerak pada penyediaan jasa hiburan. Sebanyak 11 group band terdiri dari anak dan remaja siap menghibur berbagai acara seperti ulang tahun, pesta dan group band ini juga rutin manggung di Taman Sari Kota Jantho, fasilitas bermain publik yang dibangun Pemerintah Aceh Besar.

Armanusa, Koordinator Permata Abadi Jahit dan Bordir mengatakan, berbagai pesanan dalam partai besar dan kecil telah mereka selesaikan. Dalam waktu dekat, kata Arma, mereka juga akan meluncurkan produk baru yaitu batik khas Aceh. Berbekal pengalaman belajar selama dua minggu di Yogyakarta, mereka yakin batik khas Aceh yang akan mereka produksi nantinya diterima pasar. “Selama ini di pasar yang banyak batik khas Jawa, kami ingin meluncurkan produk batik dengan nuansa berbeda. PKPA dan GVC telah memfasilitasi anggota koperasi untuk belajar pembuatan batik di Yogyakarta, jadi kita sudah siap”, katanya.

Semangat, ketekunan, kerja keras dan kebersamaan seperti telah disebutkan merupakan prinsip yang senantiasa mereka jalankan. “Perjalanan koperasi ini tidaklah mudah, ada banyak tantangan, bahkan ada juga orang-orang yang tidak suka kita maju. Ada kalanya kita sepi orderan, kadang juga kita harus begadang untuk mengejar tenggat waktu yang diberikan pemesan. Intinya kita tetap semangat” kata Yanti, salah seorang anggota.

Sementara Panda, pelajar kelas II salah satu SMA di Kota Jantho yang menjadi Koordinator Permata Abadi Entertainment mengatakan, masih ada juga masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap kemampuan mereka. “karena kita masih muda-muda mereka menganggap kita tidak bisa maupun main-main atau dalam bahasa Aceh cilet-cilet, tapi karena kita telah sering manggung di ruang terbuka, akhirnya mereka mulai mengerti”, ujarnya.