2,3 Juta Anak Korban Kekerasan

Senin, 21 Desember 2009 | 03:26 WIB

Yogyakarta, Kompas - Sedikitnya 2,3 juta anak dan 2,27 juta perempuan di berbagai daerah pernah menjadi korban kekerasan. Pelaku kekerasan berlaku umum, tidak memiliki relevansi dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan.

”Pelaku kekerasan tidak ada kaitannya pula dengan status sosial, agama dan keyakinan, serta suku bangsa, etnis, atau ras,” kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari saat membuka sarasehan Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan dan Permasalahan Sosial di Yogyakarta, Sabtu (19/12).

Ia mengatakan, tingginya kerentanan perempuan dan anak terhadap kekerasan terlihat dari data survei kekerasan Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2006). Angka kekerasan terhadap perempuan secara nasional mencapai 3,07 persen. Ini berarti 2,27 juta perempuan pernah mengalami tindak kekerasan atau berarti dari setiap 10.000 perempuan Indonesia, sekitar 307 perempuan di antaranya pernah mengalami kekerasan.

Adapun kekerasan terhadap anak mencapai 3,02 persen yang berarti setiap 10.000 anak, 302 anak di antaranya pernah mengalami tindak kekerasan atau berarti 2,29 juta anak pernah menjadi korban kekerasan. ”Angka yang sangat besar. Namun, tingginya kasus kekerasan itu juga menjadi pertanda peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya, didengarnya, atau dilihatnya,” ujar Linda.

Budaya patriarki

Ia mengatakan, meski sudah ada berbagai aturan perundang- undangan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di rumah tangga dan di ranah publik masih terjadi. ”Penyebabnya di antaranya adalah faktor budaya patriarki yang memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Ini masalah klasik,” katanya.

Di samping itu, persepsi keliru tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak dianggap sebagai hak dari pelaku. ”Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dan terus terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial,” kata Linda.

Terkait perlindungan anak yang memiliki masalah dengan hukum, Linda mengatakan, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, 22 Desember, akan ditandatangani surat keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung, Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, serta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang anak bermasalah dengan hukum. Ini untuk memberikan pemenuhan hak anak agar tetap dapat mendapatkan hak-haknya meski sedang mengalami masalah hukum.

”Ini agar anak-anak mendapatkan keadilan restoratif. Kami akan mencoba melahirkan satu kesepakatan sehingga mulai penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga dalam penahanan dapat dilakukan dalam sistem yang sama,” katanya.

Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutan yang dibacakan Asisten Sekretaris Daerah DIY Tavip Agus Rayanto mengungkapkan, kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena gunung es karena masih banyak yang belum terungkap. (RWN)

http://cetak.kompas.com/read/xml/ 2009/12/21/ 03260135/ 23.juta.anak. korban.kekerasan .

FAIZ AKBAR MANIK

Si Kancil dan Aris


Si Kancil dan Aris

Oleh: Rizki Fadli Manik
Kelas VI SDN 064979 Tanjung Rejo Medan-SUMUT


Kancil namanya. Sudah berkali-kali ayahnya menasehatinya untuk tidak mencuri milik orang lain. Tetapi tetap saja si Kancil tak berubah. Sewaktu dinasehati Kancil berjanji. Namun tetap diulanginya. Begitu terus.

Satu hari, dengan berat hati ayahnya mengusir si Kancil. Hari itu, Kancil kembali mencuri jagung milik Pak Amin, padahal baru tadi pagi Kancil berjanji bahwa ia akan berubah. Ia tak akan mencuri lagi.

”Sudah, Cil. Ayah gak tahan lagi liat kamu. Saat ini juga kamu harus pergi dari sini. Ayah gak mau lagi dengar janji kamu. Sudah berkali-kali kamu berjanji, tapi selalu kamu ingkari. Pokoknya kamu harus pergi!!!, hardik ayahnya.
”Yah, tolonglah, saya janji gak akan mencuri lagi, benar, Yah. Saya janji” pinta Kancil sambil berlutut di hadapan ayahnya.

”Akhhhh......pusing aku liat kamu, janji terus, tapi gak ada yang ditepati. Janji itu bukan untuk diucapkan aja, Cil. Janji itu untuk ditepati dan dilaksanakan. Lha...kamu inikan sudah berapa kali janji, tapi apa? Kamu tetap mencuri. Tadi pagi jangung Pak Amin kamu embat habis...” ayahnya tak bergeming dengan permohonan Kancil.
Dengan muka sedih dan kebingungan, Kancil pergi. Berjalan tanpa arah dan tujuan. Hari sudah menjelang sore. Kancil semakin bingung hendak kemana. Namun ia terus berjalan dan berjalan. Lelah berjalan tanpa arah, Kancil akhirnya tertidur di bawah satu pohon asam yang lebat di pinggiran kota.

Betapa terkejutnya Kancil ketika dengan samar dia melihat di sekelilingnya banyak orang berkumpul. Ada membawa parang, kayu, besi dan tali. ”Ayoo tangkap dia, tangkap. Kita potong saja. Ayooo kepuuung!!, teriak orang-orang itu.

Kancil sangat ketakutan. Tak ada jalan keluar. Ia telah dikelilingi penduduk di desa itu. Ia semakin takut karena tadi dia mendengar akan disembelih, padahal Kancil masih ingin hidup. Sepanjang jalan tadi ia telah banyak berfikir tentang perilakunya selama ini, yang selalu mengkhianati janjinya kepada ayahnya.

”Tolooooong aku tak mau dipotong. Aku mau hidup. Aku mau memperbaiki kesalahan yang sudah banyak kulakukan selama ini. Aku sudah diusir ayahku. Aku tak punya keluarga lagi. Tolooong, aku mau hidup. Aku mau menebus kesalahanku selama ini,’ Kacil memohon kepada orang-orang yang mengelilinginya. di bakar. Jadi mereka tak punya makanan lagi. Tak punya tempat lagi. Makanya mereka ke kampung.

Diantara teriakan orang-orang yang ingin memotong Kancil tersebut, seorang anak tiba-tiba berteriak: ”bapak-bapak tolong dengarkan saya. Kancil ini tak boleh dipotong. Kita harus melindunginya. Mungkin saja ia ada di sini karena di hutan tempatnya tak ada lagi. Mereka sudah tak punya tempat untuk cari makan, makanya dia kesasar sampai ke sini. Kita tau kan, hutan di desa kita ini sudah ditebangi semua. Sudah datang ke perkampungan”, ujar Aris sambil mendekati Kancil yang masih ketakutan.

”Bapak-bapak!, siapa yang salah. Kancil ini tak akan datang ke kampung kalau dia masih punya tempat tinggal di hutan. Dia tidak salah”, Aris melanjutkan.

”Halaaah tau apa kamu anak kecil. Anak kecil kok banyak cakap. Sudah ! sana kau. Disunat aja kamu belum udah berlagak menasehati orang tua”, hardik Pak Irham, dan penduduk lainpun mengejek Aris. ”ya ya betul itu...dasar sok tau kau Aris!” ujar pemuda di desa itu.

Pak Amin, si pemilik kebun jagung tiba-tiba maju. ”Haahhh, aku kenal Kancil ini. Ini yang merusak tanaman jagung saya kemaren. Ayo kita sembelih aja.” pak Amin dengan nada geram dan kesal menarik kuping si Kancil.

Aris tak patah semangat dengan omongan orang-orang itu. ”Tidaaakk, bapak-bapak tahu tidak kalau kita ini harus bersahabat dengan lingkungan kita, termasuk dengan binatang. Kita ini harus saling menjaga. Kemaren itu kan gajah-gajah juga sudah merusak ladang kita. Kenapa mereka sampai datang ke ladang kita? karena hutan tempat mereka hidup sudah kita rusak, apakah nanti bapak-bapak semua juga akan membunuh gajah-gajah, monyet dan burung-burang yang ada di hutan?. Bapak-bapak, apakah kita tidak mau sadar kalau ini semua akibat ulah kita yang menebangi pohon dan membakar hutan” Aris terus berusaha menyelamatkan hidup si Kancil.

Pak Kepala Desa yang baru tiba dan mendengarkan ucapaan Aris tadi lalu maju ke depan. ”Bapak-bapak semua yang saya hormati. Saya setuju dengan ucapan Aris tadi. Aris ini benar. Kita harus ikut bertanggungjawab atas kerusakan hutan kita sehingga binatang-binatang di hutan masuk kampung atau merusak ladang kita. Ini salah kita yang rakus. Karena itu saya mohon agar Kancil ini kita selamatkan. Kita kembalikan saja dia ke hutan”, pak Kades panjang lebar menjelaskan dan akhirnya penduduk kampung setuju.

Kancilpun diantarkan penduduk desa ke pinggir hutan. Aris yang melepaskannya. Kancil berlari masuk hutan dan bertemu ayahnya.

”Lho, Cil? Kenapa kamu ada di sini. Kan sudah Ayah usir karena kamu suka mencuri” tanya ayahnya begitu melihat Kancil.

”Yah, kali ini saya tak berjanji lagi, tapi saya akan membuktikan kalu saya bukan pencuri lagi”.

”Baiklah kalau begitu”, jawab ayahnya singkat. Merekapun pergi mencari rumput diantara pepohonan kering di hutan itu.

”Tapi, Yah, kalau tidak mencuri di ladang penduduk, apa rumput di hutan ini cukup untuk kita makan?” tanya Kancil kepada ayahnya.

”Husss, kamu ini, Cil. Walaupun kita lapar dan makanan kita serba kekurangan tapi kita tak harus mencuri. Itu tidak baik” nasehat ayahnya.

Anak-anak Korban Gempa Padang Tidak Terdata PKPA Ingatkan Pemerintah akan Bahaya ESKA


Memasuki hari keempat pasca gempa 7,6 pada Skala Richter yang mengguncang Sumatera Barat, berdasarkan pemantauan tim kemanusiaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dari sejumlah Posko Tanggap Darurat baik pemerintah maupun non pemerintah, anak-anak yang menjadi korban gempa di Padang belum terdata secara khusus, sehingga sangat potensial menjadi korban Ekspoitasi Seksual Komersial Anak (ESKA).

Hal itu disampaikan Kordinator ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian, SH, MA kepada wartawan di Medan, Minggu (4/10).

“Pada situasi bencana anak-anak sangat rentan terhadap penyalahgunaan, perlakukan salah, terutama rawan dieksploitasi secara seksual,” kata Sofian.

Padahal, lanjutnya, baik instrument kemanusiaan, standar minimal penanggulangan bencana mampun Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana telah menegaskan, anak-anak termasuk kelompok rentan yang harus mendapat perlindungan khusus dalam situasi darurat.

Data yang dihimpun oleh Posko PKPA dari Satkorlak di Kota Padang hingga Sabtu siang (12.00 WIB) menyebutkan, dari 535 korban meninggal dunia, dengan daerah sebaran Kota Padang (230), kota Pariaman (49), Bukit Tinggi (7), Solok (4), Padang Pariaman (211), Kabupaten Agam (24), Pasaman Barat (3) dan Pesisir Selatan (7).

Sementara untuk korban luka berat 323 orang dan luka ringan 2570 yang berasal sejumlah daerah.

Menurut Sofian, anak-anak yang orang tua meninggal akan kehilangan keluarga utama atau keluarga pengganti yang akan melindungi mereka. Kondisi ini perlu diwaspadai, karena sangat potensial dimanfaatkan oleh orang lain mencari keuntungan.

”Berbagai temuan PKPA selama penanggulangan tanggap bencana baik di Aceh dan Nias, maupun di Yogya-Jateng, keputusasaan warga korban bencana karena kesulitan hidup atau kehilangan harta benda juga sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang menyaru sebagai relawan untuk melakukan kejahatan trafficking dengan iming-iming pekerjaan dan sebagainya,” jelas Direktur PKPA itu.

Sofian menerangkan, data yang dihimpun oleh Kordinator Emergency Aid PKPA yang saat sedang melakukan assessment di sejumlah titik di Sumatera Barat menyebutkan, saat ini ribuan relawan telah masuk ke Sumatera Barat, baik dari dalam maupun luar negeri.

Dari luar negeri disebutkan antara lain, Singapura, Australia, Amerika Serikat, Jepang, Perancis dan Jerman. Untuk relawan lokal, berasal sejumlah daerah di Indonesia yang berasal Sumatera, Jawa, Bali dan Makassar.

”Kami tidak ada maksud mempolitisir atau mendramatisir situasi, namun, bila sistem kordinasi, distribusi dan reaksi terhadap anak-anak longgar seperti lemahnya pendataan, itu berarti pemerintah tidak bisa belajar dari pengalaman yang sudah-sudah,” tukasnya.

Perkuat NGO Lokal
Situasi anak-anak yang menjadi korban gempa Sumatera Barat sangat memprihatinkan, terutama anak-anak yang mengalami trauma pasca gempa.

Berdasarkan pantauan tim relawan PKPA ke sejumlah kelompok keluarga yang mengungsi ke rumah sanak saudaranya, terdapat beberapa anak yang sering mengalami ketakutan.

”Memang di sini, kami belum ada menemukan posko pengungsian di tenda-tenda darurat, melainkan beberapa keluarga berkumpul di satu kediaman, mungkin ini sudah menjadi tradisi masyarakat,” kata Misran Lubis, Kordinator Emergensy Aid PKPA di Padang, Sabtu (3/10).

Menurut Misran, penanganan masalah trauma anak dan psikososial pasca gempa tampaknya akan mengalami banyak hambatan karena di Sumatera Barat belum ada lembaga non pemerintah (NGO) atau LSM yang konsern pada masalah anak, apalagi yang berpengalaman dalam penanganan anak dalam situasi emergency.

”Pemerintah harusnya cepat tanggap dan memperkuat LSM lokal di Sumatera Barat, agar bisa mencegah dan meminimalisir terjadinya tindakan eksploitasi atau terganggunya tumbuh kembang anak karena trauma,” cetus Misran. (Sumber: Jufri Bulian Ababil, Media Officer PKPA, 081375724945)

Rencana Pengaturan Standar ILO tentang Pekerja Rumah Tangga dan Pemahaman Konvensi PBB tentang Buruh Migran

Sumber: buruh-migran@yahoogroups.com

I. Rencana Pengaturan Standar ILO tentang Pekerja Rumah tangga Sampai saat ini belum ada konvensi ILO mengenai pekerja rumah tangga (PRT).

ILO baru sampai pada tahap menyampaikan kuesioner terkait dengan rencana pengaturan pekerja rumah tangga kepada negara anggotanya yang isinya meminta kepada negara anggota untuk memberikan tanggapan dan opsi apakah pengaturan tersebut dalam bentuk konvensi, rekomendasi, atau konvensi dilengkapi dengan rekomendasi.

Untuk memenuhi permintaan ILO tersebut, Depnakertrans telah melakukan pembahasan dengan Depkes, BAPPENAS, Menko Kesra, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dan hasilnya sepakat untuk mengusulkan dukungan terhadap standar internasional di bidang Pekerja Rumah Tangga dalam bentuk Rekomendasi.

Hal ini menunjukkan kepada dunia internasional mengenai adanya political will Pemerintah Indonesia dalam hal pengaturan dan perlindungan Pekerja Rumah Tangga secara internasional. Adapun pertimbangan standar internasional mengenai Pekerja Rumah Tangga dalam bentuk Rekomendasi , adalah bahwa Rekomendasi ILO merupakan pedoman bagi negara anggota untuk menyusun suatu kebijakan nasionalnya.

Sehingga apabila nanti disepakati suatu pengaturan nasional bagi perlindungan pekerja rumah tangga kita dapat menjadikan Rekomendasi ILO itu sebagai acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional, dengan demikian standar dalam bentuk Rekomendasi ini tidak mengikat. Apabila standar tersebut dalam bentuk Konvensi, walaupun tidak ada kewajiban untuk meratifikasinya namun tujuan Konvensi itu diaqdopsi dengan harapan agar negara anggota dapat meratifikasinya, dan apabila kita meratifikasi maka Konvensi tersebut menjadi hukum positif di Indonesia.

Rencana pengaturan Standar Interansional tentang Pekerja Rumah Tangga prosesnya masih panjang. Masukan negara anggota secara tripartit yang akan disampaikan dalam waktu dekat ini, baru akan dirumuskan oleh ILO dan menjadi bahan sidang ILC pada bulan Juni 2010. Hasil pembahasan pada sidang ILC 2010 tersebut akan kembali disampaikan kepada negara anggota untuk dimintakan tanggapan. Tanggapan negara anggota tersebut menjadi bahan Sidang ILC tahun 2011 dan kemudian diadopsi suatu standar internasional yang harus disepakati oleh semua negara anggota dengan kemungkinan, apakah nantinya disepakati dalam bentuk konvensi, rekomendasi, atau konvensi dilengkapi dengan rekomendasi , dan / atau bahkan tidak terjadi kesepakatan untuk mengadopsi suatu standat internasional.

Sebagai klarifikasi bahwa rencana dibuatnya Standar Internasional PRT bukan semata merupakan domain Depnakertrans, tetapi Lintas-Departemen antara lain : Departemen Hukum dan HAM, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Meneg Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial. Sebagai tindak lanjut, Depnakertrans akan mengadakan lagi rapat koordinasi dengan mengundang Departemen-departem en terkait untuk membahas permasalahan ini.

Untuk semua PERJANJIAN INTERNASIONAL dikoordinir oleh Departemen Luar Negeri.

II. Pemahaman mengenai konvensi PBB tentang Buruh Migran

1. Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dideklarasikan di New York pada tanggal 18 Desember 1990 dan diberlakukan sebagai hukum pada tanggal 1 Juli 2003. Sebagai bagian dari anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 2004, namun penandatanganan bukan berarti meratifikasi.

2. Sampai saat ini, negara yang meratifikasi konvensi Buruh Migran baru sekitar 35 (tiga puluh lima) negara.

3. Ketentuan yang diatur di dalam Konvensi Buruh Migran antara lain perlindungan hak berserikat bagi pekerja migrant, tidak boleh mem-PHK pekerja migrant, akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, dan akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migrant. Dengan demikian substansi Konvensi Buruh Migran tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4. Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi ini dengan pertimbangan bahwa apabila konvensi ini diratifikasi maka hanya akan melindungi pekerja migrant dan anggota keluarganya di Indonesia, dan pengesahan ini tidak bisa menjangkau perlindungan bagi TKI di negara tujuan penempatan. Konvensi ini akan mempunyai makna apabila negara tujuan penempatan juga meratifikasi konvensi inisehingga berlaku asas resiprokal.

5. Selain itu Konvensi Buruh Migran juga memiliki kelemahan yaitu tidak mengatur perlindungan kepada tenaga kerja perempuan, sedangkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagian besar adalah tenaga kerja perempuan. Sehingga dalam melakukan pemahaman terhadap ketentuan Konvensi Buruh Migran harus lebih hati-hati.

6. Depnakertrans telah melakukan pertemuan antar departemen membahas Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dengan mengundang Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Kabinet dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Rekomendasi yang disampaikan bahwa Konvensi Buruh Migran masih memerlukan kajian lebih mendalam dengan tetap mempertimbangkan prinsip Kehati-hatian sebelum dilakukan pengesahan.

7. Hasil Rakor pelaksanaan RAN-HAM di Cisarua tanggal 3 s.d 4 April 2008 yang diprakarsai oleh Ditjen HAM, menyatakan ratifikasi terhadap Konvensi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya belum mendesak,karena itu perlu pengkajian yang lebih mendalam, prinsip kehati-hatian, dan benar-benar memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia. Dalam draft RAN-HAM yang ke-3 (ketiga) Tahun 2010 s.d 2014, konvensi buruh migran kembali dicantumkan untuk diratifikasi, namun dalam urutan terakhir tidak prioritas untuk diratifikasi.

Pusat Humas Depnakertrans

Pengantar Pendidikan Inklusif

I. Dasar hukum
Hak untuk memperoleh pendidikan bagi setiap warga negara dinyatakan pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1; UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5 dan 6; UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 1. UU tentang Penyandang Cacat lebih tegas menyatakan bahwa hak memperoleh pendidikan bagi penyandang cacat dapat dilakukan di semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan meskipun tidak menyebutkan pendidikan inklusi.

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (pasal 5 dan 6).

Dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 48 dinyatakan pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal sembilan tahun untuk setiap anak. Pada pasal 49 dinyatakan, negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Pada UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, terminologi pendidikan inklusif disebutkan hanya pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Pasal 5 ayat 2 UU ini menyatakan ”Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental interlektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.

Ketentuan hak pendidikan khusus bagi ABK merupakan jaminan diakomodasinya kebutuhan khusus mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut dapat saja ditafsirkan bahwa hak memperoleh pendidikan (seperti disebut pasal 5 ayat 1) bagi ABK hanyalah pada pendidikan khusus yang segregatif. Satu-satunya Peraturan Pemerintah (PP) yang menyebutkan terminologi Pendidikan Inklusif hanyalah PP No 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan, pada pasal 41 ayat 1 berbunyi, “Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus”. Pada PP ini belum disebutkan tanggung jawab pemerintah pusat maupun daerah untuk mengatur dan memfasilitasi pengadaan guru khusus, sarana dan prasarana yang diperlukan pada sekolah penyelenggara pendidikian inklusif.

II. Pengertian Pendidikan Inklusif
Di Indonesia, terdapat beberapa istilah untuk menyebut anak-anak yang memiliki perbedaan. Departemen Pendidikan Nasional menyebutnya sebagai anak luar biasa, anak penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus. Inklusif diartikan: ”mengikutsertakan anak berkelainan di kelas reguler bersama-sama dengan anak-anak lainnya”.
Di Kamboja Departemen Pendidikan, Pemuda dan Olahraga menyebut kelompok anak tersebut sebagai “anak-anak yang lemah” dan “anak-anak berkebutuhan khusus”. Departemen Sosial, Veteran dan Rehabilitasi Pemuda yang khusus menangani orang-orang cacat menggunakan istilah yang lazim digunakan para penyumbang, seperti “anak-anak berisiko” dan ”anak-anak dalam kondisi sulit”. Di Kyrgyzstan, Kementerian Pendidikan menyebut “anak dengan gangguan fisik dan intelektual”. Departemen Tenaga Kerja dan Perlindungan Sosial menggunakan istilah “anak-anak penyandang cacat” dan baru-baru ini mulai digunakan istilah “anak yang berisiko” terkait dengan anak-anak yang mengalami masalah sosial yang beragam.

Pada tahun 1994, dalam konferensi dunia di Salamanca, Spanyol, United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengakui pendidikan inklusif. Tujuannya, agar setiap negara meningkatkan komitmen dan usahanya dalam meningkatkan akses dan kualitas pendidikan anak-anak dan orang dewasa dalam pendidikan sistem reguler.

Pada konferensi ini, juga disetujui rencana aksi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Di Indonesia tahun 2003, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Menengah Departemen Pendidikan Nasional, melalui Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 380/C.C6/MN/2003 telah mendorong Dinas Pendidikan di beberapa daerah menetapkan sekolah penyelenggara rintisan pendidikan inklusi di masing-masing Kabupatern/Kota.

Menurut Bambang Basuki, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra, gagasan pendidikan inklusif membuka pintu dan mengakomodasi kebutuhan khusus anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler lokal merupakan jawaban yang tepat bagi perluasan kesempatan dan peningkatan kualitas pendidikan mereka. Mereka tidak perlu lagi meninggalkan keluarga ke SLB yang jauh. Mereka juga dapat belajar berinteraksi dengan teman lainnya, saling memahami dan menghormati perbedaan masing-masing sejak dini. Dengan demikian generasi yang lebih demokratis yang merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasiaonal akan lebih mudah diwujudkan.

”Di beberapa negara pendidikan inklusif dianggap sebagai pendekatan untuk mengakomodasi anak-anak penyandang cacat di dalam suasana pendidikan umum. Pendidikan inklusif tidak lagi hanya dikembangkan terhadap anak-anak yang secara signifikan mengalami kelainan pisik, mental-intelektual, sosial, emosional dalam proses pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, “akan tetapi, telah dipandang secara lebih luas sebagai suatu perubahan yang merespon keberagaman di antara semua murid.”

Menurut J. David Smith (1998), banyak anak yang secara kasat mata seperti tidak mempunyai hambatan/cacat, namun kenyataannya anak tersebut tidak dapat sebaik atau secepat yang diharapkan sekolah dan masyarakat. Smith berpendapat, ada tiga persoalan mendasar yang harus dievaluasi dalam melihat permasalahan ini.
1. anggapan tentang keterbelakangan mental ringan. Guru sekolah konvensional biasanya menilai anak yang lambat berpikir mengalami hambatan mental. Skor IQ rendah sering dijadikan satu-satunya ukuran penilaian seorang anak.
2. anak yang kurang berkembang di sekolah bukan hanya karena menyandang cacat tertentu, akan tetapi akibat ketidakstabilan emosi (emotional disturbance). Anak-anak seperti ini oleh guru sering dikategorikan sebagai anak yang mengalami hambatan emosional dalam belajar (emotional block to learning).
3. faktor keluarga dan lingkungan seringkali dikaitkan dengan prestasi belajar anak di sekolah.

Menurut Normal Kunc (1980), pendidikan inklusif merupakan bagian dari nilai-nilai kehidupan. Prinsip dasar inklusif adalah menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat. Pendidikan inklusif akan mengakomodir perbedaan dan kemampuan setiap anak. Pendidikan inklusif tidak hanya membicarakan anak-anak berkelainan, akan tetapi membicarakan semua kebutuhan anak, dimana mereka mempunyai kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Setiap anak diberikan kesempatan untuk mengoptimalkan potensinya dan memenuhi kebutuhan belajarnya.

Martin Omagor-Loican (dalam Simposium Internasional - 09/2005), inklusif adalah penyesuaian dan pengubahan praktis di rumah-rumah, sekolah-sekolah dan masyarakat luas; membuat perubahan-perubahan yang diperlukan; memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua anak; tanpa memandang perbedaan mereka dan memastikan mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara penuh serta setara pada apa yang terjadi dalam komunitas mereka”

Dalam perkembangannya pendidikan inklusif diartikan secara lebih luas yaitu: pendidikan yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai kebutuhan individu siswa tanpa membeda-bedakan anak yang berasal dari latar belakang etnik/suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama/kepercayaan, dan perbedaan kondisi fisik atau mental. Sehingga sekolah harus merupakan miniatur masyarakat (mini society) .

Dalam buku Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Pendidikan Inklusif, disebutkan bermacam jenis anak dengan kebutuhan khusus, namun khusus untuk pendidikan inklusif, anak dengan kebutuhan khusus dikelompokkan menjadi sembilan jenis. Berdasarkan berbagai studi, kesembilan jenis ini paling sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Jika di luar sembilan jenis tersebut masih dijumpai di sekolah, maka guru dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk menanganinya, seperti anak-anak autis, anak korban narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain. Secara singkat jenis kelainan tersebut adalah:
1. Tunanetra: anak yang mengalami gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Tunarungu: anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengaran sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
3. Tunadaksa: anak yang mengalami kelainan atau cacat menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa.
4. Berbakat: anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata.
5. Tunagrahita (retardasi mental): anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial.
6. Lamban belajar (slow learner): anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan normal, mereka butuh waktu lebih lama dan berulang untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik atau non akademik
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik. Anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan faktor disfungsi neugologis, bukan faktor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada di atas normal), hingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik seperti kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan signifikan.
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi. Anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi tidak selalu disebabkan karena ketunarunguan.
9. Tunalaras: anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.

III. Menyelenggarakan Pembelajaran yang Inklusif

Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Dengan demikian Pendidikan inklusi akan menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan

Untuk mencapai proses pembelajaran yang inklusif, pendidik dan tenaga kependidikan harus mengetahui kebutuhan peserta didik dalam proses pembelajaran, terutama sekolah yang peserta didiknya sangat heterogen. Pemahaman kebutuhan anak terhadap pembelajaran akan membantu dalam mendesain materi pembelajaran dan pelaksananannya di kelas maupun luar kelas, sehingga peserta didik dapat mengikuti pembelajaran secara partisiatif, aktif, kretaif dan menyenangkan.

Banyak kasus, akibat anak kurang menyenangani guru, mata pelajaran tertentu atau sekolah secara umum menyebabkan minat dan motivasinya dalam mengikuti proses pembelajaran berkurang, dan diantara peserta didik tersebut ada yang kemudian terpaksa memilih drop out.
Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan kelas inklusif dan menyenangkan adalah identifikasi permasalahan dan kebutuhan pembelajaran peserta didik.

Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain wawancara, observasi, investigasi dan penelitian, sehingga dapat diketahui permasalahan dan kebutuhan peserta didik untuk dapat terus bersekolah.

Dalam satu dokumen dinyatakan bahwa setidaknya ada tiga ciri sekolah yang menyenangkan yaitu: pertama, sekolah mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan anak dalam pembelajaran yang menyenangkan. Guru diharapkan menghindari rutinitas mengejar ketercapaian waktu pembelajaran, karena yang semestinya dijadikan indikator adalah peserta didik memahami materi yang dijarkan, melalui metode yang beragam sesuai keberagaman kebutuhan anak dalam kelas. Kedua, bagaimana bentuk keterlibatan orang tua mengawasi sekolah dilihat dari aspek keberadaan sekolah, harapan dan cita-cita anak serta kualitas pendidikan yang diperoleh anak. Tolak ukur suatu keberhasilan tidak saja dilihat dari aspek pencapaian nilai dan kelulusan anak, tapi menyangkut attitude anak seperti moral dan sikap. Ketiga, adanya kesadaran masyarakat sekitar terhadap fungsi dan peran sekolah dalam mendidik dan membina anak, yang diwujudkan melalui peran serta dalam mendukung program sekolah.

Pada Training of Trainer (TOT) bagi Guru-Guru SD-SMP Satu Atap se Propinsi NAD, 14-18 Agustus 2007, diidentifikasi beberapa permasalahan peserta didik yaitu:
1. Kemampuan berbahasa Indonesia yang kurang, yang berpengaruh terhadap kemampuan anak memahami pelajaran atau penjelasan guru
2. Beberapa anak masih belum dapat membaca dengan lancar, bahkan ditemukan ada yang belum dapat membedakan antara angka dengan huruf
3. Lambat menerima pelajaran, guru menyatakan sudah berulang kali menjelaskan dan membantu dengan menyebutkan contoh, namun anak masih sulit memahami
4. Belum lancar berhitung, beberapa kasus guru menggunakan alat bantu atau contoh, namun anak masih sulit berhitung. Selain itu anak juga sulit membedakan fungsi perkalian, pengurangan, penambahan atau pembagian
5. Ada anak belum dapat menulis secara benar huruf atau angka, seperti kekurangan huruf pada kalimat, kesalahan huruf atau kerapian tulisan
6. Ada anak cukup pintar namun sering membuat keributan di kelas atau mengganggu teman-temannya
7. Ada anak yang seharusnya tidak naik kelas, namun orang tua meminta atau memaksa guru agar si anak naik kelas, dengan pertimbangan jika anak tidak dinaikkan ia akan berhenti sekolah.
8. Anak-anak masih trauma akibat konflik yang pernah terjadi di Aceh
9. Mengalami cacat fisik
10. Tempat tinggal anak jauh dari sekolah, anak-anak berjalan kaki ke sekolah diantaranya ada sampai 6 km. Beberapa anak juga tidak sarapan, atau di sekolah sudah lelah
11. Beberapa anak sering mencari perhatian, dengan cara menanggu teman, membuat keributan atau bersikap agresif
12. Kurang semangat belajar, hal ini karena banyak anak tidak mengetahui apa tujuannya bersekolah, termasuk rendahnya dukungan orang tua. Beberapa orang tua tidak mempermasalahkan jika anaknya tidak sekolah atau tidak belajar di rumah.
13. Ada anak mengalami keterbelakangan mental
14. Ada anak kurang pendengaran
15. Ada anak-anak disuruh orang tua bekerja pada jam sekolah. Ada kasus anak berhenti sekolah dan bekerja di sektor bangunan, sektor perikanan dan pertanian
16. Ada anak bisu
17. Ada anak yang usianya seharusnya kelas 2 SMU tapi sekarang masih di kelas I SMP
18. Ada anak-anak kurang mau bergaul dengan teman-temannya

Berbagai permasalahan-permasalahan di atas menunjukkan kebutuhan metode dan materi pembelajaran yang beragam, sehingga berbagai karakteristik yang ada dapat diakomodir.



Banda Aceh, 15 Juni 2009

Catatan kaki:
Tulisan Bambang Basuki, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2004, Buku 1: Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran, Jakarta, hal. 2
Dalam EENET Asia Newsletter, edisi 2 April 2006
Mel Ainscow, dalam http://www.eenet.org.uk/reg_networking/asia_newsletter_issue2%20Bahasa.pdf

Akibat dari Pernikahan Dini

Oleh: Murniati, Forum Anak Aceh Besar
Pelajar SMA I Kota Jantho, Aceh Besar

Sebuah pasangan akan tetap hidup sejahtera dalam rumah tangga,apabila disertai dengan cinta, kasih sayang, dan kesetetiaan satu sama lain. Akan tetapi, jaman sekarang jarang kita dapatkan pasangan yang harmonis,saling menyanyangi,saling mencintai,bahkan saling menerima susah ataupun senang bersama-sama. Hal ini kita lihat dari segi pasangan yang seharusnya masih duduk di bangku pendidikan, tapi kenyataannya sudah mangarungi bahtera pernikahan. Pernikahan yang sangat rentan terjadinya perceraian adalah pasangan yang diusia dini sudah menikah.

Ironisnya, pernikahan ini terjadi akibat hamil di luar nikah. Contoh, seperti peristiwa yang dialami oleh sebut saja Bunga (nama samaran), berusia 13 tahun, tinggal di Aceh Timur, pernikahannya terjadi beberapa minggu sebelum mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Akhirnya bunga tidak tamat sekolah, sungguh malang nasibnya. Peristiwa ini terjadi pada beberap tahun yang lalu.

Bunga adalah satu-satunya anak yang menjadi harapan orang tuanya. Orang tuanya memberi kebebasan padanya, Tapi sayang, ia salah mengartikan kebebasan yang diberikan orang tuanya itu. Kini apa yang bisa diperbuat semua sudah terlambat. Ia sudah mengadung selama 4 bulan dengan sangat terpaksa orangtuanya menikahkan dia dengan orang yang menghamilinya. Ternyata umur rumah tangganya yang dirasakan harmonis hanya satu tahun, setelah itu suaminya yang masih belia manjalin kasih lagi dengan seorang gadis yang masih seusia dengan istrinya. Sang suami sudah tidak pernah bertanggung jawab lagi terhadap anak dan istrinya, ia sering pulang larut malam,dan juga sudah tidak pernah bekerja mencari nafkah lagi unutk keluarganya.

Apabila Bunga mengingatkan suaminya, salalu saja terjadi pertengkaran. Bunga tak sanggup lagi menahan beban rumah tanggnya yang bagitu menyakitkan, semua janji manis terkubur dalam-dalam, malahan kini berubah menjadi benci. Bahkan, tak jarang terjadi kekerasan terhadapnya, ia sering di maki-maki dan juga disuruh pulang oleh suami ke rumah orang tunya. Jika sudah begini apa yang bisa diperbuatnya, ia hanya bisa menangis dan menyesali perbuatannya.

Akhirnya mereka berpisah,, dan kini ia hanya duduk melihat kawan yang seperjuangannya dulu pulang sekolah dengan mamakai seragam sekolah SMA. Sekarang janda beranak satu ini sangat terpukul dengan perkawinannya dengan orang yang dicintainya, ia sungguh trauma dengan peristiwa yang dialaminya ini.
Di Aceh masih banyak orang tidak mengerti apa arti kekerasan. Beragam kekerasan bisa terjadi, misalnya pencabulan, sodomi, ada juga kekerasan fisik seperti pemukulan, penamparan, dan sebagainya. begitu kejamnya laki-laki terhadap perempuan. Hal yang demikian menjadi tanda tanya besar bagi kita semua.

Barang kali bukan hanya kekerasan yang ada di daerah kita terjadi, mungkin banyak di daerah lain yang tidak kita lihat dan ketehui. Contoh lain kekerasan terhadap perempuan sebagai isteri atau dapat kita sebut peristiwa KDRT (diatur oleh UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT) adalah seorang Model cantik Manohara yang kita lihat lewat televisi dan kita baca lewat Koran dan Majalah. Betapa kejamnya perlakuan sang suami terhadap istrinya itu. Bukan hanya badannya yang tersakiti, akan tetapi hati dan jiwanya bagaikan tertimpa beban yang begitu berat. Mungkin saja itu adalah cobaan dari Yang Maha Kuasa, tapi, haruskah cobaan yang berupa itu di terimanya. Manohara cerita lain dari efek pernikahan dini.
Peristiwa yang terjadi pada Model cantik Manohara dapat manjadi pelajaran besar kepada ibu-ibu yang lainnya. Bahwa seorang anak itu tidak ada jaminan kebahagiaan walaupun ia dinikahkan dengan keluarga kerajaan manapun atau konglomerat manapun. Apalagi bagi mereka yang belum tahu apa arti sesungguhnya pernikahan itu. Kita semua harus berhati-hati dalam menjalani hidup ini,supaya kita tidak di paksakan oleh keadaan.

Akhirnya, kepada para orang tua mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak/ pernikahan dini, sebab kewajiban ini merupakan kewajiban yang diamanahkan oleh UU Perlindungan Anak pada Pasal 26 ayat (1) huruf c. Semoga peristiwa-peristiwa yang penulis sebut diatas adalah peristiwa terakhir dari perkawinan pada usia anak atau lebih dikenal dengan istilah pernikahan dini.

Pengalaman Anak Perempuan Mengkampanyekan Anti Kekerasan terhadap Anak Perempuan di Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh


Pengalaman Anak Perempuan
Mengkampanyekan Anti Kekerasan terhadap Anak Perempuan di Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh

Forum Anak Aceh Besar (FAAB) atas dukungan OXFAM GB, tahun 2008 melaksanakan kegiatan dengan judul program: Peningkatan Peran Anak dalam Mengkampanyekan Anti Kekerasan terhadap Anak Perempuan di Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam

Kegiatan ini bertujuan (a) meningkatkan peran anak-anak khususnya anak perempuan dalam mengkampanyekan kesetaraan, non diskriminasi dan perlindungan perempuan dari berbagai bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual atau kekerasan ekonomi dan kekerasan yang berasal dari budaya atau tradisi masyarakat, (b) meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anak tentang keseteraan dan prinsip non diskriminasi sehingga anak-anak perempuan khususnya tidak merasa rendah diri dan selalu termotivasi untuk maju mencapai cita-citanya agar antara laki-laki dan perempuan tidak terjadi kesenjangan di dalam keluarga maupun masyarakat seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan peranan dan fungsi-fungsi dalam pekerjaan atau dalam kehidupan masyarakat, dan (c) meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anak tentang hak-haknya sebagai anak dan hak-hak sebagai perempuan agar mereka dapat melindungi dirinya dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual atau kekerasan ekonomi dan kekerasan yang berasal dari budaya atau tradisi masyarakat

Peranan Perempuan
Anak-anak perempuan sebagai pihak paling menentukan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta penyusunan pelaporan kegiatan ini, karena proyek ini memang dirancang oleh dan untuk anak perempuan. Namun dalam pelaksanaannya, peran laki-laki sangat penting dalam mencegah dan menghapuskan kekerasan terhadap anak perempuan. Apalagi pada masa remaja, laki-laki menjadi pihak yang paling sering melakukan kekerasan misalnya dalam pacaran, dalam pergaulan sehari-hari maupun di masyarakat umum.

Impak bagi anak perempuan selain bagi anak-anak forum sebagai pelaksana, bagi penerima manfaat kegiatan ini memberikan dampak positif dimana mereka memperoleh informasi mengenai perlindungan anak perempuan dari kekerasan. Sesuatu yang selama ini jarang diperoleh. Kemudian meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap perlindungan anak perempuan dari kekerasan melalui berbagai kampanye dan outbond yang dilakukan.

Pengalaman sebagai anak perempuan
Ada banyak pengalaman kami peroleh selama melaksanakan kegiatan ini. Pengalaman paling berkesan dan paling banyak dirasakan teman-teman adalah ketika kami yang masih anak-anak diremehkan oleh kepala desa atau masyarakat. Inilah memang banyak terjadi, anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa. Anak-anak dianggap hanya patuh kepada orang dewasa. Sehingga ketika anak-anak berbuat, diremehkan. Pengalaman pahit ini kenyataannya tidak membuat semangat kami berkurang karena kami tahu dalam hak-hak anak harus ada partisipasi dan melaksanakan partisipasi anak itu menjadi sesuatu yang sangat sulit dalam keluarga apalagi dalam pemerintahan. Untuk itu pulalah kami berjuang.

Pengalaman kedua pada diri kami sendiri. Pada awal terlibat dalam kegiatan, kami menjadi sadar bahwa kami sendiri ternyata telah sering mengalami kekerasan di rumah, di sekolah maupun di masyarakat. Kejadian paling sering adalah di sekolah yang dilakukan guru. Akan tetapi ketika kemudian guru-guru tahu kegiatan yang kami lakukan guru dengan sendirinya mulai berkurang kekejamannya di sekolah karena kami mengatakan (waktu ditanya guru) apa-apa saja bentuk kekerasan dan bagaimana kalau ada yang melakukan kekerasan. Misalnya kami katakan, kalau ada anak mengalami kekerasan di sekolah ataupun di rumah dapat dilaporkan ke Polisi dan itu perbuatan melanggar hukum, misalnya melanggaran undang-undang perlindungan anak atau melanggara undang-undang KDRT kalau kejadiannya di rumah

Ini pengalaman paling menarik, ketika kami sadar bahwa kami mengalami kekerasan kemudian kami menjadi orang yang mengkampanyekan penghapusan kekerasan kepada teman-teman maupun kepada masyarakat. Bagi kami sendiri, orang tua juga menjadi lebih melindungi di rumah, guru lebih baik di sekolah dan masyarakatpun tahu kalau sekarang ini anak-anak sudah tahu hak-haknya.

Pengalaman ketiga. Dialami beberapa teman pada awal-awal kegiatan. Beberapa orang tua mengatakan sejak aktif di kegiatan ini jam belajar berkurang. Beberapa teman juga diingatkan guru untuk mengutamakan belajar di sekolah. Lalu kami diskusi sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa kegiatan seperti ini justru sangat bermanfaat untuk melatih diri tentang berorganisasi, melatih dan membiasakan seseorang mengemukakan pendapat, melatih berfikir kritis terhadap lingkungan sekitar, membuat kita lebih peduli kepada sesama, belajar tentang kepemimpinan, tentang hak-hak anak, hak perempuan, diskriminasi berbasis gender dan berbagai pelajaran yang tidak kami peroleh di sekolah.

Ketika film yang kami produksi di putar di sekolah atau di rumah dan ditonton oleh guru atau keluarga mereka menjadi kagum dan percaya terhadap kemampuan kami. Orang tua yang tadinya agak melarang menjadi bersemangat. Bahkan ada orang tua menanyakan, agar anaknya ikut anggota Forum Anak. Katanya dari pada keluyuran ke sana kemari. Intinya kami katakan, belajar di sekolah itu sangat penting tapi belajar di luar sekolah dengan kegiatan seperti ini juga sangat penting.

Pengalaman yang menarik dan sekaligus lucu ketika kami dikatakan sebagai intelijen oleh beberapa orang masyarakat ketika turun ke desa atau ngobrol dengan teman-teman. Kata mereka kalau ada kasus kekerasan terhadap anak perempuan nanti ada yang melaporkan, karena sekarang ini sudah banyak anak-anak perempuan intelijen yang selalu mencatat dan menanyakan kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Padahal kami sedang melakukan perlindungan terhadap anak-anak perempuan

Pelajaran penting
Peran anak-anak perempuan masih sangat kurang dalam mengkampanyekan perlindungan anak perempuan dari kekerasan. Ketika kami diremehkan, adalah bukti bahwa suara anak-anak masih belum di dengarkan. Partisipasi anak-anak harus lebih ditingkatkan lagi sehingga anak-anak itu sendiri sadar akan perlindungan dirinya. Anak-anak tahu apa saja bentuk kekerasan, bagaimana sikap dan tindakan yang dilakukan ketika ada ancaman kekerasan atau ketika mengalami kekerasan serta apa yang harus dilakukan sebagai anggota masyarakat jika melihat atau mendengar ada kasus kekerasan, misalnya melapor ke polisi, menyimpan alat bukti, mencari saksi-saksi atau kita sendiri yang menjadi saksi korban.

Pelajaran penting lain, anak-anak pada dasarnya mampu walaupun harus tetap ada pendamping. Anak-anak juga memiliki kelebihan ketika target penerima manfaatnya adalah anak-anak atau remaja, karena komunikasi anak-anak berbeda dengan orang dewasa sehingga pesan yang ingin disampaikan lebih mengena jika disampaikan oleh orang yang sebanya atau yang sudah dikenal. Oleh sebab itu kami menyampaikan pesan bahwa “jangan pernah meremehkan anak”, orang dewasa itu sendiri yang tidak percaya kepada anak-anak.

Ketiga, kesadaran dan perlindungan dari kekerasan harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu untuk kemudian kepada keluarga dan masyarakat. Jadi, kalau kita menginginkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, maka kita dapat memulai dari anak-anak. Jika semua anak-anak sudah sadar hak-haknya dan tahu melindungi dirinya maka kekerasan itu lama-kelamaan akan berkurang

Menggalang dana dan dukungan untuk kepentingan terbaik bagi anak

OLEH : IRFAN SIDDIQ
Ketua Forum Anak Aceh Besar (FAAB), Nanggroe Aceh Darussalam

Pengantar
Saya, Irfan Siddiq, anak yang lahir di satu desa di Kabupaten Aceh Besar. Konflik bersenjata di Aceh yang berakhir dengan MoU antara RI-GAM tahun 2005 lalu merupakan akhir dari penderitaan kami. Suasana Aceh dengan konflik bersenjata justru pada masa saya tumbuh dan berkembang. Harus diakui dampak konflik bersenjata saat itu, sangat mempengaruhi tumbuh-kembang saya. Anak-anak tidak bebas bermain. Keluar rumah terutama malam hari dilarang atau takut. Siang hari, aktifitaspun sering dibatasi. Kadang sekolah harus libur karena ada kontak senjata atau guru tidak datang, atau ada hal-hal lain yang tidak kami mengerti, hingga hari itu saya dan teman-teman tidak sekolah.

Sekarang Aceh sudah aman. Anak-anak walaupun dimasa kecilnya mengalami situasi yang menakutkan kini sudah bebas melakukan berbagai kegiatan. Salah satunya berorganisasi. Forum Anak Aceh Besar, merupakan salah satu organisasi anak yang aktif dan banyak melakukan kegiatan untuk membela kepentingan terbaik bagi anak.

Terpilih sebagai Ketua Forum Anak Aceh Besar
Didikan keluarga, lingkungan desa dengan berbagai tradisi dan adat-istiadatnya merupakan nilai-nilai yang menjadi bekal dalam menjalani pertumbuhan dan perkembangan saya sebagai seorang anak. Situasi anak-anak pasca konflik dan tsunami dengan berbagai ketertinggalannya menumbuhkan minat saya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat khususnya bagi anak-anak. Bagi kawan-kawan yang putus sekolah, mereka yang bekerja untuk membantu orang tua atau bekerja di tempat terburuk, anak-anak yang kekurangan gizi akibat kemiskinan orang tua, anak-anak korban konflik bersenjata, anak cacat dan berbagai penderitaan anak-anak di Aceh.

Terpilih menjadi Ketua Forum Anak Aceh Besar melalui workshop melibatkan perwakilan dari 23 kecamatan di Aceh Besar tahun 2007, menjadi kesempatan bagi saya untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi anak-anak, agar hak-hak anak sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi Hak Anak maupun Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan terakhir Undang-Undang No. 11 tahun 2005 tentang Pemerintahan Aceh dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak.

Permasalahan anak
Sebagai Ketua Forum Anak Aceh Besar, saya tidak hanya berdiam diri, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Sementara anak-anak di sekitar tidak dapat menunggu. Anak-anak adalah hari ini. Kehidupan terus berjalan. Permasalahan mereka bila tidak segera ditanggulangi akan menyebabkan anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang dengan masalah yang dapat menyebabkan mereka kehilangan hak-haknya dan kehilangan masa depannya.

Di Aceh Besar kami identifikasi dalam workshop Forum Anak, terdapat berbagai permasalahan anak seperti pekerja anak, anak-anak yang bekerja di tempat terburuk seperti bekerja di kapal-kapal pukat, terlibat illegal loging, terlibat dalam penanaman dan perdagangan ganja, bekerja di pabrik batu-bata, bekerja di bangunan dan lain-lain. Ada juga permasalahan anak-anak putus sekolah. Anak-anak perempuan yang sudah kawin pada usia yang masih anak-anak. Kekerasan terhadap anak, yang terjadi pada keluarga (dalam rumah tangga), di sekolah maupun di luar rumah merupakan permasalahan lain yang paling banyak muncul. Mendidik anak di rumah maupun di sekolah, sering dilakukan secara kekerasan. Anak-anak terpaksa menuruti keinginan orang tua karena takut atau agar jangan disebut sebagai anak durhaka.

Permasalahan seperti disebutkan di atas tidak selalu ditanggapi pemerintah dengan baik. Mungkin karena yang menyebabkan anak-anak putus sekolah akibat kelalain pemerintah memenuhi hak-hak anak, menyebabkan aparat pemerintah sering menutup mata. Atas sikap tutup mata dan kurang perduli tersebut, peran anak-anak harus ditingkatkan untuk membela kepentingan terbaiknya. Partisipasi anak harus ditingkatkan agar suara anak diketahui dan didengarkan.

Terpilih sebagai Ketua Forum Anak dengan segudang permasalahan anak yang telah kami identifikasi pada mulanya membuat saya bingung. Apakah forum anak ini nantinya seperti organisasi lain yang hanya melakukan kegiatan pada hari besar keagamaan atau nasional.

Kebingungan dan ketidak-tahuan kami akhirnya mulai berkurang ketika PKPA yang mendampingi kami menggugah kami untuk melakukan sesuatu yaitu penggalangan dana. Kamipun mulai mencari ide, menuliskannya, mervisinya atas masukan pendamping, mengajukannya dan terkadang sebelum proposal yang kami ajukan disetujui banyak pertanyaan yang harus kami jawab. Pertanyaan yang paling menyedihkan yang sering diajukan adalah: apakah kalian sudah berpengalaman melakukan kegiatan ini? Kalian kan masih anak-anak apa bisa melakukan ini?

Walaupun sedih menerima pertanyaan seperti itu tapi saya dan kawan-kawan tetap semangat. Dukungan semangat dan motivasi pendamping menyebabkan kami selalu optimis. Apalagi Bapak Bupati Aceh Besar sangat perhatian kepada kami.

Menggalang dana untuk membela kepentingan terbaik anak
Itulah kata-kata yang menjadi motivasi bagi kami dari pendamping. Menunggu, uang tidak akan datang. Artinya semua rencana hanya angan-angan. Fungsi sebagai pengurus forum anak tidaklah berarti apa-apa. Sementara untuk mengatasi berbagai permasalahan anak tidak cukup hanya dengan angan-angan dan mimpi-mimpi. Justru angan-angan anak-anak itulah yang harus diwujudkan. Cita-cita mulia anak-anak itu harus diwujudkan.

Anak-anak harus proaktif mencari sumber-sumber sehingga apa yang direncanakan dapat terlaksana. Hal ini yang masih banyak dialami oleh organisasi anak-anak di Indonesia yang hanya menunggu dan menunggu atau menerima apa adanya. Jika tidak ada dana maka mereka tidak melakukan apa-apa. Kepengurusan organisasi anak hanya formalitas belaka. Dibentuk namun tidak ditingkatkan kualitasnya sehingga banyak organisasi yang hanya ada nama tapi tidak ada kegiatan.

Tidak mudah memang melakukan penggalangan dana, apalagi dengan keterbatasan pengetahun anak dalam merumuskan masalah, merumuskan tujuan dan lain-lain yang diperlukan dalam penyusunan suatu program perlindungan anak. Anak-anak juga sangat terbatas kemampuannya dalam menulis. Syukurnya, kami di Forum anak telah diberikan pelatihan menulis kreatif. Hal ini juga saya kira sangat perlu diberikan kepada anak-anak yang lain terutama anak-anak yang tergabung dalam forum anak sehingga ide-ide kreatif mereka dapat dirumuskan dan dikembangkan menjadi suatu program untuk menanggulangi berbagai permasalahan penegakan hak-hak anak di Indonesia.

Dengan kondisi pemerintahan kita yang masih kurang perduli terhadap penegakan hak-hak anak, maka peran aktif dari anak-anak itu sendiri seharusnya harus lebih ditingkatkan lagi. Partisipasi anak tidak akan maksimal kalau anak-anak itu sendiri tidak ditingkatkan kualitasnya.

Memetik Hasil
Berbagai upaya yang kami lakukan dalam menggalang dana untuk meningkatkan pelaksanaan perlindungan anak membuahkan hasil. Diantaranya dari OXFAM GB untuk kegiatan Kampanye Penghapusan Segala Bentuk Kekekeran Terhadap Anak Perempuan. Kegiatannya antara lain berbentuk kampanye, pembuatan film, dialog, pendataan kasus kekerasan terhadap anak dan peningkatan kualitas anggota forum anak. Kami juga memperoleh dukungan dana dari Yayasan ASHOKA Indonesia untuk kegiatan kampanye perlindungan anak. Saat ini berbagai program yang ajukanpun dalam tahap pembahasan oleh berbagai lembaga dana seperti NOVIB dan Yayasan TIFA.

Sukses yang kami peroleh inipun memperoleh penghargaan dari berbagai pihak. Salah satunya Forum Anak Aceh Besar tahun 2008 dipilih sebagai Forum Anak terbaik di Provinsi Aceh. Penghargaan yang akan memacu langkah dan kebersamaan kami untuk semakin meningkatkan penegakan hak-hak anak khususnya di Aceh.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi anak-anak yang lain di Indonesia untuk meningkatkan partisipasinya dalam penegakan hak-hak anak.


Kota Jantho, 05 Mei 2009



IRFAN SIDDIQ

KENAPA ANAK LEBIH MUDAH BELAJAR ?

diambil dari: DikBud@yahoogroups.com

Pernah melihat bayi yang baru lahir ? Apa kata-kata yang sudah diucapkannya ? Hanya “mmwhhh...mmwwhh”...atau cuma “daaa....daaa.....daaa”...

Sekarang lihat...anak berumur 2 hingga 3 tahun. Berapa banyak kata-kata yang sudah diucapkannya ? Kita sampai-sampai pusing tujuh keliling kalau mendengar ia bertanya ,”Ma, itu apa ? Kenapa kucing itu bulunya belang-belang ? Kenapa Kucing kita warnanya beda ? Pa, itu apa ? Kok langit warnanya biru ? Kenapa daun nggak biru warnanya ? Kenapa mata ikan selalu terbuka, memangnya dia nggak kelilipan ? Yang bundar ini untuk apa ? Kenapa harus bundar ?”

Sepanjang hari...sepanjang matanya terbuka, seorang anak berusia 2 – 3 tahun akan menghamburkan ratusan...bahkan mungkin ribuan kata-kata setiap hari. Semua meluncur begitu cepat. Semua menghambur seperti pancaran mata air yang jernih...

Setiap hari...setiap saat seorang anak akan belajar kata-kata baru...Begitu cepat. Begitu menakjubkan.

Mereka akan mudah meniru kata-kata. Mereka akan mudah meniru ekspresi orang-orang di sekitarnya. Dan mempraktekkannya...persis seperti pelaku utamanya...

Itulah keajaibannya. Seorang anak bisa belajar begitu cepat. Dengan kecepatan yang sangat luar biasa.

*
Yang menjadi tanya tanya : Kenapa seorang anak lebih mudah belajar ? Artinya belajar sendiri, meniru sendiri, mencoba sendiri, dan mempraktekkannya sendiri ?

Tidak lain tidak bukan, karena seorang anak selalu menempatkan dirinya dalam posisi ‘titik nol’. Atau dalam sebuah istilah yang kini populer ,”Knowing Nothing State”. State, atau kondisi dimana seseorang merasa ‘kosong’, tidak tahu apa-apa...sehingga akan mudah menerima atau menyerap apa saja. Anak ibarat spons...yang menyerap segala macam...nyaris tanpa seleksi dan filter.

Proses belajar anak secara alamiah, dengan rangsangan atau tanpa rangsangan dari luar, terjadi begitu saja. Rasa ingin tahu yang tidak berbatas, membuat seorang anak bisa berpikir ‘out of the box’. Kreativitas seorang anak adalah kreativitas alamiah, yang selalu sesuai dengan lingkungannya.

Seharusnya...semua anak adalah ‘cerdas’, sesuai dengan muatan yang dimilikinya.

Namun, kita...orang dewasa merubah struktrur kecerdasan anak, dan membuatnya menjadi duplikasi dari orang dewasa.. Dan sejak itulah...kemampuan belajar seorang anak menjadi terhambat. Begitu banyak rambu yang dibuat oleh orang dewasa, yang memiliki sistem dan kepentingan yang berbeda. Sehingga membuat anak kehilangan ‘jati diri’nya.

*
Ketika kita sudah beranjak besar dan dewasa....kita merasa kemampuan belajar kita menjadi ‘berkurang’. Kenapa ?

Tidak lain karena kita membuat barikade di sekeliling kita.. Kita membuat ‘rambu-rambu’ waspada dan curiga di sekitar kita. Kita menyerap nilai yang salah, dan membuat diri kita selalu dalam kondisi ‘siaga satu’ dan siap bertarung setiap saat.

Padahal...kalau kita mau belajar lebih cepat dan alamiah, kembalilah ke ‘dunia anak’. Kembalilah ke dunia ‘Knowing Nothing State’. Jangan ingin bertarung. Dengarkan saja, lihat saja, raba saja, rasa saja...dan resapi...Semua akan dengan mudah masuk ke dalam diri kita.

Mau mencoba ? Kembalilah ke dunia belajar yang sebenarnya...

Jakarta, 17 Mei 2009

Salam sayang,

Ietje S. Guntur
-Belajar sepanjang jalan....


RAHMADSYAH, C.MNLP
Motivator & Trauma Therapist I 081511448147 I YM;rahmad_aceh
www.rahmadsyah.co.cc

Pameran Foto Karya Anak di Sun Plaza: Wujud Kepedulian Sektor Swasta Sumut terhadap Promosi Hak Anak

Medan, - Terselenggaranya pameran foto karya 25 fotografer cilik yang berasal dari Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Riau dan Yogyakarta di lantai 4 Sun Plaza selama 3 hari (Jumat-Minggu, 1-3 Mei 2009) merupakan salah satu bentuk indikator terwujudnya kepedulian sektor swasta dalam rangka mempromosikan hak-hak anak yang selama ini sangat dibutuhkan untuk dikembangkan hingga menyentuh ke berbagai lapisan masyarakat.

“Kerjasama ini bagi kami bukan sekedar kerjasama event, namun, lebih jauh dari itu, ini merupakan sebuah kerja, bukti dan bentuk nyata apa yang selama ini kita dengung-dengungkan, agar melibatkan sektor swasta, bahkan sektor bisnis dalam rangka membantu mempromosikan hak-hak anak di Indonesia, khususnya di Sumatera Indonesia,” kata Direktur Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Ahmad Sofian, SH, MA kepada wartawan dalam jumpa pers yang diselenggarakan oleh PKPA bekerjasama dengan Konsulat Jenderal Amerika Serikat (AS) di Medan, pada hari II Pameran Foto Karya Fotografer Cilik – Lomba Fotografi Anak 2009, di Sun Plaza, Sabtu (2/5).

Dituturkan, Sun Plaza, sebagai pusat perbelanjaan modern yang cukup dikenal masyarakat Sumatera Utara dari berbagai lapisan merupakan lokasi yang sangat strategis dalam rangka mempromosikan hak-hak anak dan perlindungan anak.
“Melalui event ini kami ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat Sumatera Utara, bahwa menyalurkan minat dan bakat anak, memberikan ruang untuk anak berpartisipasi dan berekspresi, salah satunya melalui fotografi adalah penting, mengingat hal itu merupakan bagian dari hak tumbuhkembang mereka,” tuturnya.
Oleh karenanya, ia mengharapkan kerjasama seperti dapat lebih ditingkatkan di masa-masa mendatang dan lebih bersifat jangka panjang. Apalagi, tantangan dalam menegakkan hak-hak anak dan melindungi anak-anak dari berbagai tindak kekerasan dan eksploitasi semakin besar dan berat.
Kreasi Anak-anak

Dalam kesempatan yang sama Casual Leasing Departement Sun Plaza, Umar Azmi terkait kerjasama event Pameran Foto Karya Fotografer Cilik – Lomba Forografi Anak 2009 ini mengatakan, dukungan terhadap kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian pihak Sun Plaza terhadap kegiatan-kegiatan sosial, termasuk yang berhubungan dengan kreasi anak-anak.

“Pameran foto anak-anak ini bagi kami adalah salah satu bentuk kepedulian, agar ide anak-anak untuk berkreasi,” kata Umar.
Menurut Umar, kerjasama dalam kegiatan pameran foto bukan merupakan yang pertama kali digelar di Sun Plaza. Namun, ia, foto karya fotografer cilik, memang baru kali ini diadakan.

“Cukup menarik, karena fotografernya anak-anak, dan tentu akan dapat mengundang para orang tua dan anak-anak lainnya untuk berkunjung ke Sun Plaza,” tukasnya.
Pihaknya mengharapkan, agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, mendapat perhatian dari kalangan dewasa dan umum, khususnya para orang tua.
“Kalau ide dan kreasinya dapat tersalurkan, mudah-mudahan akan lebih cerdas dan terampil,” tukas Umar.

Event pameran pameran Foto karya Anak ini merupakan salah satu rangkaian Lomba Fotografi Anak yang diselenggarakan PKPA bekerjasama dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fotografi Universitas Sumatera Utara (USU), didukung oleh Harian KOMPAS, TCSS, Sayum Sabah - Yayasan BITRA Indonesia, Wisata Karya Mandiri (WMK), Kiss FM, Indevor, IMMC, Open Design House (ODH), Indevor dan IMMC; setelah sebelumnya digelar Lomba Fotografi Anak (Februari 2009) Tour Fotografer Cilik dan Hunting Foto di Training Center Sayum Sabah BITRA Indonesia, Sabtu (28/3), kemudian dilanjutkan Seminar Fotografi Anak, Minggu (29/3) di Gedung Lembaga Kesenian (LK) USU. (Jufri Bulian Ababil)

Sudahkah Memeluk Anak Anda Hari ini?
















sumber: http://kosmo.vivanews.com/news/read/36683-sudahkah_memeluk_anak_anda_hari_ini_

Kamis, 5 Maret 2009, 18:25 WIB
Petti Lubis, Nicolaus Tomy Kurniawan

Sudahkah Memeluk Anak Anda Hari ini?
Kebiasaan ini mempengaruhi perkembangan mental, sehingga dapat membuat emosi anak stabil.

VIVAnews - Apakah Anda tak sempat memeluk si kecil tadi pagi sebelum berangkat kerja? Jika iya, jangan tunda peluk buah hati Anda sesampainya di rumah. Pasalnya, cinta dan kasih sayang menjadi hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pelukan adalah satu bentuk nyata kasih sayang itu.

“Peluklah anak Anda setiap ada kesempatan,” kata psikolog, Aisya Torido di sela-sela acara “Meet & Greet with Superdad” di FX Mall, Jakarta.

Menurut Aisya, seorang anak mempunyai perasaan yang sensitif. Ia akan merasa sedih apabila kurang mendapat sentuhan dan perhatian dari orang tuanya. Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan mental. Pelukan adalah suatu bentuk atau cara menjaga komunikasi dan interaksi yang sehat dan positif dengan anak dan keluarga.

“Perhatian dan kasih sayang adalah hak anak, maka jangan tunda memeluknya,” kata Aisya menambahkan.

Sebaliknya jangan menolak atau mengacuhkan permintaan anak untuk dipeluk, disapa, atau ajakan bermain lainnya. Karena dengan penolakan itu, kata Aisya, secara tidak langsung dapat mengecewakan anak.

Aisya mencontohkan segera peluk anak Anda sepulang kerja atau dari luar rumah. Tapi, sebaiknya cuci tangan dan muka Anda sebelumnya. Selain itu, peluklah beberapa saat anak Anda sebelum Anda keluar rumah. Dengan begitu, ia akan tetap merasa aman meski sang ibu atau ayah tidak berada di rumah bersamanya.

Hal sedana juga disampaikan salah seorang peserta Superdad, Tetra Agung Rianto warga Bogor. Ayah tiga anak ini mengaku meluangkan waktu 5-8 jam sehari untuk memeluk anaknya,”Anak-anak saya selalu minta dipeluk hingga tertidur. Kebiasaan ini terbukti dapat menimbulkan kedekatan emosional dengan anak-anaknya

Hak Anak untuk Bermain


Setiap anak berhak untuk bermain
Namun
Tidak setiap anak memiliki waktu dan tempat untuk bermain

Hak Anak untuk Bermain

Setiap anak berhak untuk bermain
Namun
Tidak setiap anak memiliki waktu dan tempat untuk bermain

Pengalaman Anak Perempuan Mengkampanyekan Anti Kekerasan terhadap Anak Perempuan di Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussa


Ditulis oleh:
Team Kreatif Forum Anak Aceh Besar

Forum Anak Aceh Besar (FAAB) atas dukungan OXFAM GB, tahun 2008 melaksanakan kegiatan dengan judul program: Peningkatan Peran Anak dalam Mengkampanyekan Anti Kekerasan terhadap Anak Perempuan di Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam

Kegiatan ini bertujuan (a) meningkatkan peran anak-anak khususnya anak perempuan dalam mengkampanyekan kesetaraan, non diskriminasi dan perlindungan perempuan dari berbagai bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual atau kekerasan ekonomi dan kekerasan yang berasal dari budaya atau tradisi masyarakat, (b) meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anak tentang keseteraan dan prinsip non diskriminasi sehingga anak-anak perempuan khususnya tidak merasa rendah diri dan selalu termotivasi untuk maju mencapai cita-citanya agar antara laki-laki dan perempuan tidak terjadi kesenjangan di dalam keluarga maupun masyarakat seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan peranan dan fungsi-fungsi dalam pekerjaan atau dalam kehidupan masyarakat, dan (c) meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anak tentang hak-haknya sebagai anak dan hak-hak sebagai perempuan agar mereka dapat melindungi dirinya dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual atau kekerasan ekonomi dan kekerasan yang berasal dari budaya atau tradisi masyarakat

Peranan Perempuan
Anak-anak perempuan sebagai pihak paling menentukan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta penyusunan pelaporan kegiatan ini, karena proyek ini memang dirancang oleh dan untuk anak perempuan. Namun dalam pelaksanaannya, peran laki-laki sangat penting dalam mencegah dan menghapuskan kekerasan terhadap anak perempuan. Apalagi pada masa remaja, laki-laki menjadi pihak yang paling sering melakukan kekerasan misalnya dalam pacaran, dalam pergaulan sehari-hari maupun di masyarakat umum.

Impak bagi anak perempuan selain bagi anak-anak forum sebagai pelaksana, bagi penerima manfaat kegiatan ini memberikan dampak positif dimana mereka memperoleh informasi mengenai perlindungan anak perempuan dari kekerasan. Sesuatu yang selama ini jarang diperoleh. Kemudian meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap perlindungan anak perempuan dari kekerasan melalui berbagai kampanye dan outbond yang dilakukan.

Pengalaman sebagai anak perempuan
Ada banyak pengalaman kami peroleh selama melaksanakan kegiatan ini. Pengalaman paling berkesan dan paling banyak dirasakan teman-teman adalah ketika kami yang masih anak-anak diremehkan oleh kepala desa atau masyarakat. Inilah memang banyak terjadi, anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa. Anak-anak dianggap hanya patuh kepada orang dewasa. Sehingga ketika anak-anak berbuat, diremehkan. Pengalaman pahit ini kenyataannya tidak membuat semangat kami berkurang karena kami tahu dalam hak-hak anak harus ada partisipasi dan melaksanakan partisipasi anak itu menjadi sesuatu yang sangat sulit dalam keluarga apalagi dalam pemerintahan. Untuk itu pulalah kami berjuang.

Pengalaman kedua pada diri kami sendiri. Pada awal terlibat dalam kegiatan, kami menjadi sadar bahwa kami sendiri ternyata telah sering mengalami kekerasan di rumah, di sekolah maupun di masyarakat. Kejadian paling sering adalah di sekolah yang dilakukan guru. Akan tetapi ketika kemudian guru-guru tahu kegiatan yang kami lakukan guru dengan sendirinya mulai berkurang kekejamannya di sekolah karena kami mengatakan (waktu ditanya guru) apa-apa saja bentuk kekerasan dan bagaimana kalau ada yang melakukan kekerasan. Misalnya kami katakan, kalau ada anak mengalami kekerasan di sekolah ataupun di rumah dapat dilaporkan ke Polisi dan itu perbuatan melanggar hukum, misalnya melanggaran undang-undang perlindungan anak atau melanggara undang-undang KDRT kalau kejadiannya di rumah

Ini pengalaman paling menarik, ketika kami sadar bahwa kami mengalami kekerasan kemudian kami menjadi orang yang mengkampanyekan penghapusan kekerasan kepada teman-teman maupun kepada masyarakat. Bagi kami sendiri, orang tua juga menjadi lebih melindungi di rumah, guru lebih baik di sekolah dan masyarakatpun tahu kalau sekarang ini anak-anak sudah tahu hak-haknya.

Pengalaman ketiga. Dialami beberapa teman pada awal-awal kegiatan. Beberapa orang tua mengatakan sejak aktif di kegiatan ini jam belajar berkurang. Beberapa teman juga diingatkan guru untuk mengutamakan belajar di sekolah. Lalu kami diskusi sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa kegiatan seperti ini justru sangat bermanfaat untuk melatih diri tentang berorganisasi, melatih dan membiasakan seseorang mengemukakan pendapat, melatih berfikir kritis terhadap lingkungan sekitar, membuat kita lebih peduli kepada sesama, belajar tentang kepemimpinan, tentang hak-hak anak, hak perempuan, diskriminasi berbasis gender dan berbagai pelajaran yang tidak kami peroleh di sekolah.

Ketika film yang kami produksi di putar di sekolah atau di rumah dan ditonton oleh guru atau keluarga mereka menjadi kagum dan percaya terhadap kemampuan kami. Orang tua yang tadinya agak melarang menjadi bersemangat. Bahkan ada orang tua menanyakan, agar anaknya ikut anggota Forum Anak. Katanya dari pada keluyuran ke sana kemari. Intinya kami katakan, belajar di sekolah itu sangat penting tapi belajar di luar sekolah dengan kegiatan seperti ini juga sangat penting.
Pengalaman yang menarik dan sekaligus lucu ketika kami dikatakan sebagai intelijen oleh beberapa orang masyarakat ketika turun ke desa atau ngobrol dengan teman-teman. Kata mereka kalau ada kasus kekerasan terhadap anak perempuan nanti ada yang melaporkan, karena sekarang ini sudah banyak anak-anak perempuan intelijen yang selalu mencatat dan menanyakan kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Padahal kami sedang melakukan perlindungan terhadap anak-anak perempuan

Pelajaran penting
Peran anak-anak perempuan masih sangat kurang dalam mengkampanyekan perlindungan anak perempuan dari kekerasan. Ketika kami diremehkan, adalah bukti bahwa suara anak-anak masih belum di dengarkan. Partisipasi anak-anak harus lebih ditingkatkan lagi sehingga anak-anak itu sendiri sadar akan perlindungan dirinya. Anak-anak tahu apa saja bentuk kekerasan, bagaimana sikap dan tindakan yang dilakukan ketika ada ancaman kekerasan atau ketika mengalami kekerasan serta apa yang harus dilakukan sebagai anggota masyarakat jika melihat atau mendengar ada kasus kekerasan, misalnya melapor ke polisi, menyimpan alat bukti, mencari saksi-saksi atau kita sendiri yang menjadi saksi korban.

Pelajaran penting lain, anak-anak pada dasarnya mampu walaupun harus tetap ada pendamping. Anak-anak juga memiliki kelebihan ketika target penerima manfaatnya adalah anak-anak atau remaja, karena komunikasi anak-anak berbeda dengan orang dewasa sehingga pesan yang ingin disampaikan lebih mengena jika disampaikan oleh orang yang sebanya atau yang sudah dikenal. Oleh sebab itu kami menyampaikan pesan bahwa “jangan pernah meremehkan anak”, orang dewasa itu sendiri yang tidak percaya kepada anak-anak.

Ketiga, kesadaran dan perlindungan dari kekerasan harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu untuk kemudian kepada keluarga dan masyarakat. Jadi, kalau kita menginginkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, maka kita dapat memulai dari anak-anak. Jika semua anak-anak sudah sadar hak-haknya dan tahu melindungi dirinya maka kekerasan itu lama-kelamaan akan berkurang

Child Sex Tourism Cenference, Bali, March 18-20, 2009


Child sex tourism is the commercial sexual exploitation of children by people who travel from one location to another and there engage in sexual acts with minors. Child sex tourists may be foreigners or may be locals who are traveling within their own country. Tourism is not the cause of child sexual exploitation but the child sex exploiters make use of the facilities offered by tour companies.

Data from World Tourism Organization (WTO) shows that there are more than one million children who are sexually abused in prostitution through tourism industries all over the globe. The data also suggests that the issue of child sex tourism is serious and the number of children who are involved in child prostitution through tourism industries keeps increasing every year. Unfortunately, this issue has not received special attention yet from tourism industries, government, law enforcers and private sectors as special attention on this issue may result in the decreasing number of tourists.

ECPAT International states that more than any other region, Asia, particularly Southeast Asia and certain countries in South Asia, has long been the target of child sex tourists. Thailand and the Philippines, partly due to their existing “sex industries”, have been frequently associated with child sex tourism. However, other countries have emerged as prime child sex tourist destinations: Cambodia and Vietnam are said to have suffered an influx of child sex tourists as a result of increased efforts to combat the issue in Thailand. Similarly, Indonesia cannot prevent the emergence of the issue of child sex tourism in the country. This can be seen from the emerged CSEC cases involving tourists in some areas in Indonesia, especially in Bali, Lombok and Batam Islands.

Generally, children who are involved in child sex tourism come from poor families. Since their families cannot afford to meet the family needs, this leads them into prostitution. A case study carried out in Vietnam revealed that children who were involved in sex tourism industries came from poor families and were victims of mistreatments and suppression. Even, some of them had been sexually and physically abused before finally being sent to tourism industries. Other study carried out in Indonesia revealed that in addition to the above-mentioned factors, the involvement of children in sex industries was also caused by the negative impacts of television programs on young people. As already known, television always exposed children to consumerism values and city lifestyle. Consequently, poor children from outskirts and rural areas tried to follow what they watched on television. In addition, children living in tourist destinations are particularly vulnerable to sexual abuse by sex offenders. These sex offenders can be divided into three groups, namely: situational sex offender, preferential sex offenders and pedophile.

When children are involved in sex industries, it may endanger their future. In addition, these children are particularly at risk of being sexually abused by the perpetrators and being infected with HIV/AIDS or other sexually transmitted diseases. A report by a Cambodian NGO showed that 70% of children rescued from red light districts were infected with HIV/AIDS and therefore the majority of the rescued victims could not be reintegrated into their family and community. Additionally, many of the victims usually suffered from long-term trauma.

Since child sex tourism is complex and involves tourism industries from different countries which most of them are private and business sectors, a regional and an international cooperation is needed to effectively combat the issue all over the world, especially in Southeast Asia region. This cooperation not only involves governmental organizations but also involves private sectors as well as non governmental and international organizations.


OBJECTIVES
Following are the objectives of this conference:
1. To discuss the situations of child sex tourism in Southeast Asia region by involving relevant parties
2. To share models and experiences in combating child sex tourism in Southeast Asia region
3. To develop cooperation mechanisms in combating child sex tourism in Southeast Asia region

OUTPUTS
Below are the expected outputs of this conference:

1. The mapping of the problems and situations of child sex tourism in Southeast Asia region
2. The identification of models and best practices in combating child sex tourism to be used as a model in other regions
3. The establishment of coordination and cooperation among relevant parties in Southeast Asia Region in combating child sex tourism
4. The availability of a joint commitment among the participants to combat child sex tourism in Southeast Asia region

CONFERENCE MECHANISM
Methodology
This conference will use two methods, namely: presentation by speakers and open discussion to draft a declaration/commitment and recommendations in combating child sex tourism in Southeast Asia region.

The presentation will be divided into two different sessions, namely: plenary and parallel sessions.

To identify potential speakers, the committee will widely announce this event through website, email and poster and invite interested speakers to send their abstracts. Then, the steering committee will review the abstracts and select the best ones to be presented at the conference.

Exhibition, poster and video presentations
In addition to paper presentations, the committee also will organize a campaign material exhibition as well as video and poster presentations. Therefore, the committee will give a chance and encourage the participants to participate in this.


TARGET PARTICIPANT
An estimation of 350 participants from different countries within and outside Southeast Asia region will attend this conference. The participants come from various sectors like governmental and non governmental organizations, private sectors, international organizations, mass media, parliament members, police, universities and potential individuals.

CONFERENCE VENUE
SANUR PARADISE PLAZA HOTEL & SUITES
Jalan Hang Tuah 46, Sanur 80228 Bali ,, INDONESIA
Tel. 62-361-281781
Fax. 62.361-289166
E-mai:jojo@sanur.pphotels.com
Website: www.sanurparadise.com


Conference Structure
Steering Committee:
1. Ahmad Sofian: Executive Secretary of PKPA/Center for Study and Child Protection
2. Dr.Surjadi Soeparman,MPH,Deputy of Protection,Ministtry Women Empowermwnt of Republic Indonesia
3. Dr.s.Bakri: Departmen of Culture and Tourism of the Republic of Indonesia
4. Apong Herlina: Legal Practitioner
5. Anne Marie Watie: Gadjah Mada University,Yogyakarta
6. Prof. Irwanto,Phd: Atmajaya University,President of National Coalition against CSEC (ECPAT affliliate group in Indonesia)


INFORMATION & CORESPONDENCE
Questions about the conference should be addressed to:
The secretariat
Southeast Asia Conference on Child Sex Tourism
PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
(CENTER FOR STUDY AND CHILD PROTECTION)
- Jalan Abdul Hakim No 5 A Pasar 1 Setia Budi Medan,Indonesia
Phone: 62.61. 8200170,8211117 Facs. 62.61.8213009
- Jalan Abdul Muis No 7 Jakarta Pusat Phone 021- 3863630, Fax 021-3863631

E-mail:
cstconference@gmail.com,
pkpamdn@indosat.net.id

More information can be found on:
http://cstconference.blogspot.com

Larangan Mempekerjakan Anak


Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun


Siapakah pekerja anak?
Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang bekerja baik dengan memperoleh uang/imbalan lain atau tidak memperoleh upah sama sekali, dilakukan secara sendiri atau ikut orang tua atau orang lain, waktu kerjanya lebih tiga jam sehari dan pekerjaan tersebut dapat mengganggu pendidikannya serta berdampak negatif terhadap perkembangan fisik, psikis dan moral si anak

Anak-anak Dilarang Bekerja Karena:
1. Tidak ada waktu atau terlalu lelah untuk belajar dan bersekolah
2. Hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah
3. Keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan secara dini cenderung rawan disalahgunakan
4. Berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak
5. Dapat merusak pertumbuhan fisik dan mental karena lelah, memikul beban yang berat, berada di lingkungan kerja yang tidak mendukung perkembangan fisik, psikis dan moralnya
6. Kehadiran pekerja anak dapat mengakibatkan kemiskinan, tenaga kerja tidak terampil dan berpendidikan rendah
7. Anak mungkin akan mengalami siksaan, dikucilkan atau diperlakukan buruk di tempat kerja
8. Anak-anak akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang kurang sehat, kurang dapat bersosialisasi dan secara emosional terganggu
9. Meningkatnya jumlah pekerja anak akan memicu hambatan dinamika proses pembangunan SDM di masa depan.
10. Pertambahan jumlah pekerja anak akan mengurangi kesempatan kerja orang dewasa


Pekerjaan Terburuk untuk Anak

Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, mengklasifikasikan jenis-jenis pekerjaan terburuk untuk anak yaitu:
a. Anak yang dilacurkan
b. Anak yang bekerja di pertambangan
c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara
d. Anak yang bekerja di sektor konstruksi
e. Anak yang bekerja di jermal
f. Anak yang bekerja sebagai pemulung sampah
g. Anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan menggunakan bahan peledak
h. Anak yang bekerja di jalanan
i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga
k. Anak yang bekerja di perkebunan
l. Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu
m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 tahun 2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak mengklasifikasikan pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu kepada anak yaitu:
a. Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan
b. Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat
c. Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan
d. Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci
e. Pekerjaan penangkapan ikan di lepas pantai atau di perairan laut dalam
f. Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil
g. Pekerjaan di kapal
h. Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas
i. Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00-06.00


Pekerjaan yang Diperbolehkan Dilakukan Anak:
a. Pekerjaan Ringan dengan syarat: ada ijin tertulis dari orang tua/wali, ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua, waktu kerja maksimal 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak menggangu sekolah, ada perlindungan K3, ada hubungan kerja yang jelas serta menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku
b. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan dengan syarat: usia paling sedikitnya 14 tahun, diberikan petunjuk yang jelas dan perlindungan K3
c. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat yaitu pekerjaan bisa dikerjakan anak sejak usia dini, pekerjaan tersebut diminati anak, pekerjaan berdasarkan kemampuan anak serta pekerjaan untuk menambah kreatifitas dan sesuai dunia anak

Untuk Faiz


Nanda
Papa sangat rindu malam ini
Kuingin tidur memelukmu
Jelang tidur itu, kita akan bercerita
Sembari tangan papa memijat bagian tubuhmu yang masih lemah
Agar otot-ototmu semakin kuat
Agar peredaran darahmu semakin lancer
Hingga kau tidur lelap

Paginya kita bangun
Kita akan jalan pagi itu untuk menghirup udara segar
Juga untuk menguatkan ototmu

Itu diantara yang harus aku lakukan
Hingga harimu berjalan dengan usiamu

Nanda
Maafkan papamu
Hanya doa dan rindu yang saat ini dapat kulakukan
Karena hingga kini kita belum dapat bersama
Setiap hari, setiap waktu

Anggrek






Benar, negeri kita kaya dengan keindahan. Salah satunya anggrek. Di rumahku, beberapa jenis tanaman ini kami rawat dengan baik. Anakku; Reza dan Fadli, paling rajin memelihara dan merawatnya.

Silih berganti koleksi kami berbunga. Indah. Tak pernah jemu memandangnya.