Pengantar Pendidikan Inklusif

I. Dasar hukum
Hak untuk memperoleh pendidikan bagi setiap warga negara dinyatakan pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1; UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5 dan 6; UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 1. UU tentang Penyandang Cacat lebih tegas menyatakan bahwa hak memperoleh pendidikan bagi penyandang cacat dapat dilakukan di semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan meskipun tidak menyebutkan pendidikan inklusi.

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (pasal 5 dan 6).

Dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 48 dinyatakan pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal sembilan tahun untuk setiap anak. Pada pasal 49 dinyatakan, negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Pada UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, terminologi pendidikan inklusif disebutkan hanya pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Pasal 5 ayat 2 UU ini menyatakan ”Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental interlektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.

Ketentuan hak pendidikan khusus bagi ABK merupakan jaminan diakomodasinya kebutuhan khusus mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut dapat saja ditafsirkan bahwa hak memperoleh pendidikan (seperti disebut pasal 5 ayat 1) bagi ABK hanyalah pada pendidikan khusus yang segregatif. Satu-satunya Peraturan Pemerintah (PP) yang menyebutkan terminologi Pendidikan Inklusif hanyalah PP No 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan, pada pasal 41 ayat 1 berbunyi, “Setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus”. Pada PP ini belum disebutkan tanggung jawab pemerintah pusat maupun daerah untuk mengatur dan memfasilitasi pengadaan guru khusus, sarana dan prasarana yang diperlukan pada sekolah penyelenggara pendidikian inklusif.

II. Pengertian Pendidikan Inklusif
Di Indonesia, terdapat beberapa istilah untuk menyebut anak-anak yang memiliki perbedaan. Departemen Pendidikan Nasional menyebutnya sebagai anak luar biasa, anak penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus. Inklusif diartikan: ”mengikutsertakan anak berkelainan di kelas reguler bersama-sama dengan anak-anak lainnya”.
Di Kamboja Departemen Pendidikan, Pemuda dan Olahraga menyebut kelompok anak tersebut sebagai “anak-anak yang lemah” dan “anak-anak berkebutuhan khusus”. Departemen Sosial, Veteran dan Rehabilitasi Pemuda yang khusus menangani orang-orang cacat menggunakan istilah yang lazim digunakan para penyumbang, seperti “anak-anak berisiko” dan ”anak-anak dalam kondisi sulit”. Di Kyrgyzstan, Kementerian Pendidikan menyebut “anak dengan gangguan fisik dan intelektual”. Departemen Tenaga Kerja dan Perlindungan Sosial menggunakan istilah “anak-anak penyandang cacat” dan baru-baru ini mulai digunakan istilah “anak yang berisiko” terkait dengan anak-anak yang mengalami masalah sosial yang beragam.

Pada tahun 1994, dalam konferensi dunia di Salamanca, Spanyol, United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengakui pendidikan inklusif. Tujuannya, agar setiap negara meningkatkan komitmen dan usahanya dalam meningkatkan akses dan kualitas pendidikan anak-anak dan orang dewasa dalam pendidikan sistem reguler.

Pada konferensi ini, juga disetujui rencana aksi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Di Indonesia tahun 2003, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Menengah Departemen Pendidikan Nasional, melalui Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 380/C.C6/MN/2003 telah mendorong Dinas Pendidikan di beberapa daerah menetapkan sekolah penyelenggara rintisan pendidikan inklusi di masing-masing Kabupatern/Kota.

Menurut Bambang Basuki, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra, gagasan pendidikan inklusif membuka pintu dan mengakomodasi kebutuhan khusus anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler lokal merupakan jawaban yang tepat bagi perluasan kesempatan dan peningkatan kualitas pendidikan mereka. Mereka tidak perlu lagi meninggalkan keluarga ke SLB yang jauh. Mereka juga dapat belajar berinteraksi dengan teman lainnya, saling memahami dan menghormati perbedaan masing-masing sejak dini. Dengan demikian generasi yang lebih demokratis yang merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasiaonal akan lebih mudah diwujudkan.

”Di beberapa negara pendidikan inklusif dianggap sebagai pendekatan untuk mengakomodasi anak-anak penyandang cacat di dalam suasana pendidikan umum. Pendidikan inklusif tidak lagi hanya dikembangkan terhadap anak-anak yang secara signifikan mengalami kelainan pisik, mental-intelektual, sosial, emosional dalam proses pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, “akan tetapi, telah dipandang secara lebih luas sebagai suatu perubahan yang merespon keberagaman di antara semua murid.”

Menurut J. David Smith (1998), banyak anak yang secara kasat mata seperti tidak mempunyai hambatan/cacat, namun kenyataannya anak tersebut tidak dapat sebaik atau secepat yang diharapkan sekolah dan masyarakat. Smith berpendapat, ada tiga persoalan mendasar yang harus dievaluasi dalam melihat permasalahan ini.
1. anggapan tentang keterbelakangan mental ringan. Guru sekolah konvensional biasanya menilai anak yang lambat berpikir mengalami hambatan mental. Skor IQ rendah sering dijadikan satu-satunya ukuran penilaian seorang anak.
2. anak yang kurang berkembang di sekolah bukan hanya karena menyandang cacat tertentu, akan tetapi akibat ketidakstabilan emosi (emotional disturbance). Anak-anak seperti ini oleh guru sering dikategorikan sebagai anak yang mengalami hambatan emosional dalam belajar (emotional block to learning).
3. faktor keluarga dan lingkungan seringkali dikaitkan dengan prestasi belajar anak di sekolah.

Menurut Normal Kunc (1980), pendidikan inklusif merupakan bagian dari nilai-nilai kehidupan. Prinsip dasar inklusif adalah menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat. Pendidikan inklusif akan mengakomodir perbedaan dan kemampuan setiap anak. Pendidikan inklusif tidak hanya membicarakan anak-anak berkelainan, akan tetapi membicarakan semua kebutuhan anak, dimana mereka mempunyai kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Setiap anak diberikan kesempatan untuk mengoptimalkan potensinya dan memenuhi kebutuhan belajarnya.

Martin Omagor-Loican (dalam Simposium Internasional - 09/2005), inklusif adalah penyesuaian dan pengubahan praktis di rumah-rumah, sekolah-sekolah dan masyarakat luas; membuat perubahan-perubahan yang diperlukan; memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua anak; tanpa memandang perbedaan mereka dan memastikan mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara penuh serta setara pada apa yang terjadi dalam komunitas mereka”

Dalam perkembangannya pendidikan inklusif diartikan secara lebih luas yaitu: pendidikan yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai kebutuhan individu siswa tanpa membeda-bedakan anak yang berasal dari latar belakang etnik/suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama/kepercayaan, dan perbedaan kondisi fisik atau mental. Sehingga sekolah harus merupakan miniatur masyarakat (mini society) .

Dalam buku Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Pendidikan Inklusif, disebutkan bermacam jenis anak dengan kebutuhan khusus, namun khusus untuk pendidikan inklusif, anak dengan kebutuhan khusus dikelompokkan menjadi sembilan jenis. Berdasarkan berbagai studi, kesembilan jenis ini paling sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Jika di luar sembilan jenis tersebut masih dijumpai di sekolah, maka guru dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk menanganinya, seperti anak-anak autis, anak korban narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain. Secara singkat jenis kelainan tersebut adalah:
1. Tunanetra: anak yang mengalami gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Tunarungu: anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengaran sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
3. Tunadaksa: anak yang mengalami kelainan atau cacat menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa.
4. Berbakat: anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata.
5. Tunagrahita (retardasi mental): anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial.
6. Lamban belajar (slow learner): anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan normal, mereka butuh waktu lebih lama dan berulang untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik atau non akademik
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik. Anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan faktor disfungsi neugologis, bukan faktor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada di atas normal), hingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik seperti kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan signifikan.
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi. Anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi tidak selalu disebabkan karena ketunarunguan.
9. Tunalaras: anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.

III. Menyelenggarakan Pembelajaran yang Inklusif

Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Dengan demikian Pendidikan inklusi akan menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan

Untuk mencapai proses pembelajaran yang inklusif, pendidik dan tenaga kependidikan harus mengetahui kebutuhan peserta didik dalam proses pembelajaran, terutama sekolah yang peserta didiknya sangat heterogen. Pemahaman kebutuhan anak terhadap pembelajaran akan membantu dalam mendesain materi pembelajaran dan pelaksananannya di kelas maupun luar kelas, sehingga peserta didik dapat mengikuti pembelajaran secara partisiatif, aktif, kretaif dan menyenangkan.

Banyak kasus, akibat anak kurang menyenangani guru, mata pelajaran tertentu atau sekolah secara umum menyebabkan minat dan motivasinya dalam mengikuti proses pembelajaran berkurang, dan diantara peserta didik tersebut ada yang kemudian terpaksa memilih drop out.
Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan kelas inklusif dan menyenangkan adalah identifikasi permasalahan dan kebutuhan pembelajaran peserta didik.

Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain wawancara, observasi, investigasi dan penelitian, sehingga dapat diketahui permasalahan dan kebutuhan peserta didik untuk dapat terus bersekolah.

Dalam satu dokumen dinyatakan bahwa setidaknya ada tiga ciri sekolah yang menyenangkan yaitu: pertama, sekolah mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan anak dalam pembelajaran yang menyenangkan. Guru diharapkan menghindari rutinitas mengejar ketercapaian waktu pembelajaran, karena yang semestinya dijadikan indikator adalah peserta didik memahami materi yang dijarkan, melalui metode yang beragam sesuai keberagaman kebutuhan anak dalam kelas. Kedua, bagaimana bentuk keterlibatan orang tua mengawasi sekolah dilihat dari aspek keberadaan sekolah, harapan dan cita-cita anak serta kualitas pendidikan yang diperoleh anak. Tolak ukur suatu keberhasilan tidak saja dilihat dari aspek pencapaian nilai dan kelulusan anak, tapi menyangkut attitude anak seperti moral dan sikap. Ketiga, adanya kesadaran masyarakat sekitar terhadap fungsi dan peran sekolah dalam mendidik dan membina anak, yang diwujudkan melalui peran serta dalam mendukung program sekolah.

Pada Training of Trainer (TOT) bagi Guru-Guru SD-SMP Satu Atap se Propinsi NAD, 14-18 Agustus 2007, diidentifikasi beberapa permasalahan peserta didik yaitu:
1. Kemampuan berbahasa Indonesia yang kurang, yang berpengaruh terhadap kemampuan anak memahami pelajaran atau penjelasan guru
2. Beberapa anak masih belum dapat membaca dengan lancar, bahkan ditemukan ada yang belum dapat membedakan antara angka dengan huruf
3. Lambat menerima pelajaran, guru menyatakan sudah berulang kali menjelaskan dan membantu dengan menyebutkan contoh, namun anak masih sulit memahami
4. Belum lancar berhitung, beberapa kasus guru menggunakan alat bantu atau contoh, namun anak masih sulit berhitung. Selain itu anak juga sulit membedakan fungsi perkalian, pengurangan, penambahan atau pembagian
5. Ada anak belum dapat menulis secara benar huruf atau angka, seperti kekurangan huruf pada kalimat, kesalahan huruf atau kerapian tulisan
6. Ada anak cukup pintar namun sering membuat keributan di kelas atau mengganggu teman-temannya
7. Ada anak yang seharusnya tidak naik kelas, namun orang tua meminta atau memaksa guru agar si anak naik kelas, dengan pertimbangan jika anak tidak dinaikkan ia akan berhenti sekolah.
8. Anak-anak masih trauma akibat konflik yang pernah terjadi di Aceh
9. Mengalami cacat fisik
10. Tempat tinggal anak jauh dari sekolah, anak-anak berjalan kaki ke sekolah diantaranya ada sampai 6 km. Beberapa anak juga tidak sarapan, atau di sekolah sudah lelah
11. Beberapa anak sering mencari perhatian, dengan cara menanggu teman, membuat keributan atau bersikap agresif
12. Kurang semangat belajar, hal ini karena banyak anak tidak mengetahui apa tujuannya bersekolah, termasuk rendahnya dukungan orang tua. Beberapa orang tua tidak mempermasalahkan jika anaknya tidak sekolah atau tidak belajar di rumah.
13. Ada anak mengalami keterbelakangan mental
14. Ada anak kurang pendengaran
15. Ada anak-anak disuruh orang tua bekerja pada jam sekolah. Ada kasus anak berhenti sekolah dan bekerja di sektor bangunan, sektor perikanan dan pertanian
16. Ada anak bisu
17. Ada anak yang usianya seharusnya kelas 2 SMU tapi sekarang masih di kelas I SMP
18. Ada anak-anak kurang mau bergaul dengan teman-temannya

Berbagai permasalahan-permasalahan di atas menunjukkan kebutuhan metode dan materi pembelajaran yang beragam, sehingga berbagai karakteristik yang ada dapat diakomodir.



Banda Aceh, 15 Juni 2009

Catatan kaki:
Tulisan Bambang Basuki, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2004, Buku 1: Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran, Jakarta, hal. 2
Dalam EENET Asia Newsletter, edisi 2 April 2006
Mel Ainscow, dalam http://www.eenet.org.uk/reg_networking/asia_newsletter_issue2%20Bahasa.pdf