2,3 Juta Anak Korban Kekerasan

Senin, 21 Desember 2009 | 03:26 WIB

Yogyakarta, Kompas - Sedikitnya 2,3 juta anak dan 2,27 juta perempuan di berbagai daerah pernah menjadi korban kekerasan. Pelaku kekerasan berlaku umum, tidak memiliki relevansi dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan.

”Pelaku kekerasan tidak ada kaitannya pula dengan status sosial, agama dan keyakinan, serta suku bangsa, etnis, atau ras,” kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari saat membuka sarasehan Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan dan Permasalahan Sosial di Yogyakarta, Sabtu (19/12).

Ia mengatakan, tingginya kerentanan perempuan dan anak terhadap kekerasan terlihat dari data survei kekerasan Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2006). Angka kekerasan terhadap perempuan secara nasional mencapai 3,07 persen. Ini berarti 2,27 juta perempuan pernah mengalami tindak kekerasan atau berarti dari setiap 10.000 perempuan Indonesia, sekitar 307 perempuan di antaranya pernah mengalami kekerasan.

Adapun kekerasan terhadap anak mencapai 3,02 persen yang berarti setiap 10.000 anak, 302 anak di antaranya pernah mengalami tindak kekerasan atau berarti 2,29 juta anak pernah menjadi korban kekerasan. ”Angka yang sangat besar. Namun, tingginya kasus kekerasan itu juga menjadi pertanda peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya, didengarnya, atau dilihatnya,” ujar Linda.

Budaya patriarki

Ia mengatakan, meski sudah ada berbagai aturan perundang- undangan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di rumah tangga dan di ranah publik masih terjadi. ”Penyebabnya di antaranya adalah faktor budaya patriarki yang memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Ini masalah klasik,” katanya.

Di samping itu, persepsi keliru tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak dianggap sebagai hak dari pelaku. ”Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dan terus terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial,” kata Linda.

Terkait perlindungan anak yang memiliki masalah dengan hukum, Linda mengatakan, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, 22 Desember, akan ditandatangani surat keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung, Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, serta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang anak bermasalah dengan hukum. Ini untuk memberikan pemenuhan hak anak agar tetap dapat mendapatkan hak-haknya meski sedang mengalami masalah hukum.

”Ini agar anak-anak mendapatkan keadilan restoratif. Kami akan mencoba melahirkan satu kesepakatan sehingga mulai penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga dalam penahanan dapat dilakukan dalam sistem yang sama,” katanya.

Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutan yang dibacakan Asisten Sekretaris Daerah DIY Tavip Agus Rayanto mengungkapkan, kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena gunung es karena masih banyak yang belum terungkap. (RWN)

http://cetak.kompas.com/read/xml/ 2009/12/21/ 03260135/ 23.juta.anak. korban.kekerasan .

FAIZ AKBAR MANIK

Si Kancil dan Aris


Si Kancil dan Aris

Oleh: Rizki Fadli Manik
Kelas VI SDN 064979 Tanjung Rejo Medan-SUMUT


Kancil namanya. Sudah berkali-kali ayahnya menasehatinya untuk tidak mencuri milik orang lain. Tetapi tetap saja si Kancil tak berubah. Sewaktu dinasehati Kancil berjanji. Namun tetap diulanginya. Begitu terus.

Satu hari, dengan berat hati ayahnya mengusir si Kancil. Hari itu, Kancil kembali mencuri jagung milik Pak Amin, padahal baru tadi pagi Kancil berjanji bahwa ia akan berubah. Ia tak akan mencuri lagi.

”Sudah, Cil. Ayah gak tahan lagi liat kamu. Saat ini juga kamu harus pergi dari sini. Ayah gak mau lagi dengar janji kamu. Sudah berkali-kali kamu berjanji, tapi selalu kamu ingkari. Pokoknya kamu harus pergi!!!, hardik ayahnya.
”Yah, tolonglah, saya janji gak akan mencuri lagi, benar, Yah. Saya janji” pinta Kancil sambil berlutut di hadapan ayahnya.

”Akhhhh......pusing aku liat kamu, janji terus, tapi gak ada yang ditepati. Janji itu bukan untuk diucapkan aja, Cil. Janji itu untuk ditepati dan dilaksanakan. Lha...kamu inikan sudah berapa kali janji, tapi apa? Kamu tetap mencuri. Tadi pagi jangung Pak Amin kamu embat habis...” ayahnya tak bergeming dengan permohonan Kancil.
Dengan muka sedih dan kebingungan, Kancil pergi. Berjalan tanpa arah dan tujuan. Hari sudah menjelang sore. Kancil semakin bingung hendak kemana. Namun ia terus berjalan dan berjalan. Lelah berjalan tanpa arah, Kancil akhirnya tertidur di bawah satu pohon asam yang lebat di pinggiran kota.

Betapa terkejutnya Kancil ketika dengan samar dia melihat di sekelilingnya banyak orang berkumpul. Ada membawa parang, kayu, besi dan tali. ”Ayoo tangkap dia, tangkap. Kita potong saja. Ayooo kepuuung!!, teriak orang-orang itu.

Kancil sangat ketakutan. Tak ada jalan keluar. Ia telah dikelilingi penduduk di desa itu. Ia semakin takut karena tadi dia mendengar akan disembelih, padahal Kancil masih ingin hidup. Sepanjang jalan tadi ia telah banyak berfikir tentang perilakunya selama ini, yang selalu mengkhianati janjinya kepada ayahnya.

”Tolooooong aku tak mau dipotong. Aku mau hidup. Aku mau memperbaiki kesalahan yang sudah banyak kulakukan selama ini. Aku sudah diusir ayahku. Aku tak punya keluarga lagi. Tolooong, aku mau hidup. Aku mau menebus kesalahanku selama ini,’ Kacil memohon kepada orang-orang yang mengelilinginya. di bakar. Jadi mereka tak punya makanan lagi. Tak punya tempat lagi. Makanya mereka ke kampung.

Diantara teriakan orang-orang yang ingin memotong Kancil tersebut, seorang anak tiba-tiba berteriak: ”bapak-bapak tolong dengarkan saya. Kancil ini tak boleh dipotong. Kita harus melindunginya. Mungkin saja ia ada di sini karena di hutan tempatnya tak ada lagi. Mereka sudah tak punya tempat untuk cari makan, makanya dia kesasar sampai ke sini. Kita tau kan, hutan di desa kita ini sudah ditebangi semua. Sudah datang ke perkampungan”, ujar Aris sambil mendekati Kancil yang masih ketakutan.

”Bapak-bapak!, siapa yang salah. Kancil ini tak akan datang ke kampung kalau dia masih punya tempat tinggal di hutan. Dia tidak salah”, Aris melanjutkan.

”Halaaah tau apa kamu anak kecil. Anak kecil kok banyak cakap. Sudah ! sana kau. Disunat aja kamu belum udah berlagak menasehati orang tua”, hardik Pak Irham, dan penduduk lainpun mengejek Aris. ”ya ya betul itu...dasar sok tau kau Aris!” ujar pemuda di desa itu.

Pak Amin, si pemilik kebun jagung tiba-tiba maju. ”Haahhh, aku kenal Kancil ini. Ini yang merusak tanaman jagung saya kemaren. Ayo kita sembelih aja.” pak Amin dengan nada geram dan kesal menarik kuping si Kancil.

Aris tak patah semangat dengan omongan orang-orang itu. ”Tidaaakk, bapak-bapak tahu tidak kalau kita ini harus bersahabat dengan lingkungan kita, termasuk dengan binatang. Kita ini harus saling menjaga. Kemaren itu kan gajah-gajah juga sudah merusak ladang kita. Kenapa mereka sampai datang ke ladang kita? karena hutan tempat mereka hidup sudah kita rusak, apakah nanti bapak-bapak semua juga akan membunuh gajah-gajah, monyet dan burung-burang yang ada di hutan?. Bapak-bapak, apakah kita tidak mau sadar kalau ini semua akibat ulah kita yang menebangi pohon dan membakar hutan” Aris terus berusaha menyelamatkan hidup si Kancil.

Pak Kepala Desa yang baru tiba dan mendengarkan ucapaan Aris tadi lalu maju ke depan. ”Bapak-bapak semua yang saya hormati. Saya setuju dengan ucapan Aris tadi. Aris ini benar. Kita harus ikut bertanggungjawab atas kerusakan hutan kita sehingga binatang-binatang di hutan masuk kampung atau merusak ladang kita. Ini salah kita yang rakus. Karena itu saya mohon agar Kancil ini kita selamatkan. Kita kembalikan saja dia ke hutan”, pak Kades panjang lebar menjelaskan dan akhirnya penduduk kampung setuju.

Kancilpun diantarkan penduduk desa ke pinggir hutan. Aris yang melepaskannya. Kancil berlari masuk hutan dan bertemu ayahnya.

”Lho, Cil? Kenapa kamu ada di sini. Kan sudah Ayah usir karena kamu suka mencuri” tanya ayahnya begitu melihat Kancil.

”Yah, kali ini saya tak berjanji lagi, tapi saya akan membuktikan kalu saya bukan pencuri lagi”.

”Baiklah kalau begitu”, jawab ayahnya singkat. Merekapun pergi mencari rumput diantara pepohonan kering di hutan itu.

”Tapi, Yah, kalau tidak mencuri di ladang penduduk, apa rumput di hutan ini cukup untuk kita makan?” tanya Kancil kepada ayahnya.

”Husss, kamu ini, Cil. Walaupun kita lapar dan makanan kita serba kekurangan tapi kita tak harus mencuri. Itu tidak baik” nasehat ayahnya.