PKPA Latih Keterampilan Remaja Sesuai Kebutuhan Pasar | The Globe Journal

PKPA Latih Keterampilan Remaja Sesuai Kebutuhan Pasar | The Globe Journal

Program ILO-EAST dan PKPA: LATIH DAN PEKERJAKAN REMAJA PUTUS SEKOLAH DI ACEH


Dalam rangka mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh ILO-EAST bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) latih remaja putus sekolah dengan berbagai keterampilan.

Sulaiman Zuhdi, Manager Program PKPA Aceh mengatakan, program pelatihan ini berbeda dengan pelatihan yang umum dilakukan selama ini. “Program ini didasarkan kepada analisa kebutuhan pasar kerja yang ada sehingga remaja putus sekolah yang mengikuti pelatihan akan ditempatkan pada usaha-usaha yang sebelumnya telah didata, jadi program ini bukan sekedar pelatihan, tapi benar-benar mengupayakan agar mereka dapat memasuki kebutuhan pasar kerja yang tersedia”, kata Sulaiman.

Lebih lanjut Sulaiman mengatakan, selama tahun 2010 program ini akan melatih 600 remaja putus sekolah di berbagai kabupaten/kota di Aceh. Dari jumlah tersebut minimal 40 persen peserta adalah perempuan. “Program ini respek kepada peningkatan akses ekonomi kaum perempuan sehingga diupayakan dalam setiap pelatihan mengikutsertakan perempuan dengan menyesuaikan kepada adat dan syariat Islam yang berlaku di Aceh, ujarnya.

Selain memasuki pasar kerja yang tersedia, program ILO-EAST dan PKPA ini juga melatih keterampilan remaja putus skeolah di Aceh untuk dapat mengembangkan bisnis sesuai dengan kebutuhan pasar yang tersedia. “Mereka yang akan mengembangkan usaha sendiri selain diberikan pelatihan vocational juga mengikuti pelatihan pengembangan bisnis melalui paket pelatihan Start and Improve Your Business (SIYB) yang terdiri dari bagaimana menemukan ide bisnis, bagaimana memulai bisnis dan bagaimana mengembangkan bisnis pada iklim yang kompetitif ini, ujar Sulaiman.

Saat ini kata Sulaiman, telah dilatih sebanyak 78 orang remaja putus sekolah seperti pelatihan pengasuh bayi, tekhnisi telepon genggam, las, dempul dan cat mobil, teknisi computer dan mekanik sepeda motor. Merekpun telah ditempatkan untuk bekerja sesuai jenis pelatihan yang diikutinya. Sedangkan jumlah remaja putus sekolah yang sedang dilatih sebanyak 120 orang dengan berbagai jenis pelatihan seperti tata rias dan kecantikan, pembuatan roti dan kue, mekanik sepeda motor dan teknisi telepon genggam.

“Mereka dilatih oleh lembaga-lembaga pelatihan dan usaha yang ada di Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Kota Langsa. Intinya hingga Januri 2011 ILO dan PKPA akan melatih dan menempatkan sebanyak 600 orang remaja putus sekolah untuk bekerja atau membuka usaha”, tambahnya.

Dinas Sosial Aceh Latih 30 Trainer Manajemen Penanganan Kasus Anak

Pewarta-Indonesia, Dinas Sosial Aceh bekerjasama dengan UNICEF melatih 30 orang terdiri dari unsur pemerintah, aktivis LSM dan pekerja sosial dari berbagai kabupaten/kota di Aceh mengenai manajemen penanganan kasus anak.

Zubedy Koteng, perwakilan UNICEF Aceh mengatakan, pelatihan ini merupakan rangkaian kegiatan pusat pelayanan kesejahteraan sosial (Puspelkesos) yang diselama ini didukung UNICEF. Pupelkesos, kata Zubedy, merupakan hal baru di Indonesia dan di Aceh hal tersebut sudah lama dilakukan kajiannya. Beberapa bahan penting untuk pelatihan dan penanganan kasus telah disusun oleh Dinas Sosial Aceh bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat dan diharapkan hasil ini akan menjadi rujukan pada tingkat nasional nanti, katanya.

Menurut Zubedy, setelah pelatihan ini, para trainer akan melakukan training kepada tenaga sosial kerja kecamatan (TKSK) dan beberapa lembaga perlindungan anak lokal di beberapa kabupaten di Aceh seperti Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Timur.

Pelatihan yang dilaksanakan selama enam hari tersebut dibuka Kepala Dinas Sosial Aceh, drh. Muhammad Nasir Mahmud di Banda Aceh, Senin 4/10/2010. Dalam sambutannya, disampaikan berbagai permasalahan sosial anak yang masih terjadi di Aceh seperti ekploitasi anak-anak untuk meminta sedekah atau sumbangan. Mereka memanfaatkan kekurangan yang ada padanya untuk mencari keuntungan, dan ini menjadi tantangan bagi kita, katanya.

Lebih lanjut dikatakan, pasca gempa dan tsunami permasalahan kesejahteraan sosial terus meningkat. Berdasarkan data di data base Dinas Sosial Aceh, terdapat 3.139 anak mengalami tindak kekerasan, dan pada tahun 2009, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Korban Kekerasan, melakukan penanganan untuk 59 anak korban kekerasan seksual. Angka ini, kata Nasir Guru Mud (panggilannya), akan menjadi lebih besar mengingat sampai September 2010 PPT sudah menangani 50 orang anak korban kekerasan seksual dari berbagai kabupaten/kota di Aceh.

Data lain, kata Nasir Guru Mud, sebanyak 13.018 anak mengalami penelantaran baik karena faktor-faktor ekonomi maupun karena rendahnya kemampuan keluarga dalam melakukan pengasuhan bagi anak. Sementara anak yang berada dalam lembaga-lembaga pengasuhan alternatif di Aceh saat ini mencapai lebih dari 12.000 orang.

Kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa masih ada 1.133 anak-anak yang hidup dan bekerja di jalanan karena berbagai faktor, oleh sebab itu, pelatihan manajemen kasus yang dilaksanakan ini sangat penting, sebagai salah satu upaya berbagai pihak, dalam mewujudkan pelayanan dan perlindungan bagi anak yang menyandang masalah kesejahteraan sosial.

Panitia pelaksana, Farida Zuraini mengatakan, pelatihan ini bertujuan untuk menciptakan, mendukung dan melaksanakan pelayanan secara efektif dengan menyediakan sistem sumber dan pelayanan bagi anak dan penyandang masalah kesejahteraan sosial. Selanjutnya, menghubungkan anak dan keluarga dengan sistem sumber pelayanan, menciptakan peluang (opportunity) kepada anak dan keluarga untuk mengakses sistem sumber pelayanan dan terakhir, meningkatkan cakupan dan kapasitas penyedia layanan dalam memberikan pelayanan serta memberikan kontribusi dalam pengembangan dan penyusunan kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial yang memihak kepada anak.

Sumber: http://www.pewarta-indonesia.com/Warta-Berita/Pendidikan/dinas-sosial-aceh-latih-30-trainer-manajemen-penanganan-kasus-anak.html

Aneuk Itek Juarai Festival Film Anak Aceh 2010


Film Aneuk Itek yang diproduksi Forum Anak Aceh Timur dan film Masihkah Ada Harapan yang diproduksi siswa MAN 2 Banda Aceh juarai Fastival Film Anak Aceh 2010 untuk kategori film dokumenter dan kategori film fiksi yang diumumnya di Banda Aceh, 03 Oktober 2010.

Kepala Dinas Sosial, drh. Muhammad Nasir Mahmud dalam laporannya mengatakan, Festival Film Anak Aceh 2010 yang berlangsung sejak Juli 2010 yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Aceh, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), IPSPI dan CC Muhammadiyah dan didukung oleh UNICEF ini diikuti sebanyak 28 film terdiri dari 11 film dokumenter dan 17 film fiksi mengikuti

Pemenang berikutnya yang dibacakan team juri, terdiri dari: Ir. Rahmad Sanjaya, MSc, Fauzan Santa, Zulfikar, Faturahman dan Nadia H adalah Juara II dan III kategori dokumenter adalah Anak Jalanan produksi Forum Anak Banda Aceh dan juara III film berjudul Sahabat Kami Hasrati produksi Forum Anak Aceh Besar. Sedangkan Juara II kategori film fiksi adalah film Mimpi Sari, produksi Forum Anak Banda Aceh dan juara III film Pengorbanan produksi SNCC Children Center Cote Neuhen, Aceh Besar. Festival ini juga memilih beberapa kategori pemenang seperti kameramen, editor, sutradara, piñata artistik, reporter, narator, pemeran pria dan perempuan terbaik.

Ketua Team Penggerak PKK Aceh, Darwati A. Gani dalam sambutannya memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan festival ini dan diharapkan film-film dari festival ini dapat dijadikan media publikasi dan advokasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di Aceh. Lebih lanjut Darwati mengharapkan agar kedepan festival ini dapat dilanjutkan dan ditingkatkan kualitasnya sehingga kreatifitas anak-anak dalam film dapat terus dikembangkan, karena film merupakan salah satu media untuk menyampaikan pesan yang sangat efektif, khususnya dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak di Aceh.

Teungku Helmi, yang terpilih sebagai sutradara terbaik dalam film fiksi berjudul Mimpi Sari mengatakan bahwa festival ini sangat baik dalam memacu kreatifitas anak-anak karena anak-anak Aceh sebenarnya memiliki bakat-bakat dalam produksi film dokumenter maupun fiksi. Dari film-film yang mengikuti festival ini, terlihat bahwa anak-anak mampu mengangkat berbagai realitas sosial khususnya kehidupan anak-anak yang kurang beruntung dan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, kata Helmi.

Sulaiman Zuhdi Manik, menyatakan setelah festival ini film-film pemenang akan diputar di melalui acara road show di empat kabupatan/kota yaitu Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Utara dan Aceh Timur. Road show ini bertujuan sebagai media sosialisasi hak-hak anak.

Meningkatkan Kampanye Hak-hak Anak, Aceh Gelar Festival Film Anak 2010


Dalam rangka meningkatkan kreatifitas anak-anak dalam mengungkapkan pendapatnya tentang upaya pemenuhan hak-hak anak yang lebih baik serta meningkatkan kesadaran publik tentang upaya bersama untuk memaksimalkan pemenuhan hak-hak anak pada masa depan khusunya di Aceh, empat lembaga berkolaborasi melaksanakan Festival Film Anak Aceh 2010.

Oir Khairani, salah seorang panitia, di Banda Aceh (17/7) mengatakan, latar belakang pelaksanaan festival film anak ini untuk mendukung pelaksanaan Pasal 12 - 17 Konvensi Hak Anak (KHA) dan Pasal 52 Qanun Aceh No. 11 tahun 2008 tentang Perlindungan Anak dimana anak semaksimal mungkin harus diberikan ruang untuk mengungkapkan pandangan mereka sendiri; tentang dirinya, keluarganya, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Anak juga berhak untuk didengar aspirasinya dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan atau perencanaan terkait dengan kepentingan anak.

Menurut Oir, pembuatan film salah satu media bagi anak untuk menyampaikan pendapatnya. Pada level co-learning, aktifitas ini memberikan ruang kepada anak untuk secara bersama-sama memusatkan perhatiannya dalam melihat, mencari dan menggali fakta-fakta kesejahteraan dan perlindungan anak di sekitar mereka, yang diproduksi dalam film dokumenter atau fiksi. “Aktifitas ini juga akan meningkatkan kreatifitas anak mengekpresikan ide-ide maupun pendapatnya, membangun rasa percaya diri, memberikan kesempatan belajar dengan orang dewasa dan bersama anak lain, membangun rasa tanggung jawab bersama serta rasa kepemilikan pada diri anak itu sendiri”, katanya

Oir mengatakan, Festival Film Anak Aceh ini yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Aceh, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh, IPSI dan CC Muhammdiyah Aceh serta didukung oleh UNICEF ini akan memperlihatkan, memperdengarkan dan mempertontonkan warna-warni suara anak dimana semua pihak harus mengambil makna hakiki dari suara anak tersebut dan kita harus mendengarkan dan mempertimbangkan sesuai tingkat usia dan kematangan anak-anak tersebut.

Adapun kriteria peserta pada pesetival ini adalah, anak (berusia di bawah 18 tahun), peserta adalah tim minimal terdiri dari 3 orang anak dan orang dewasa berperan sebagai pendamping. “Festival ini terbuka untuk anak-anak di Aceh dan luar Aceh” katanya.

“Dua jenis film diperlombakan dalam festival ini yaitu film fiksi dan dokumenter dengan ketentuan setiap peserta wajib mengisi formulir pendaftaran yang dibuka mulai 19 Juli 2010 dan batas akhir pendaftaran dan penyerahan film pada 04 September 2010. Sedangkan pengumuman pemenang diadakan pada 24 September 2010”, lanjutnya.

Menurut Oir Khairani, ketentuan lain festival yang menyediakan hadiah total Rp. 34 juta ini adalah film fiksi dan dokumenter berkaitan dengan hak-hak dan perlindungan anak dengan durasi maksimal 15 menit, film merupakan hasil karya orisinil peserta, diproduksi pada tahun 2010, dan belum pernah diikutsertakan dalam perlombaan apapun dan film yang diserahkan kepada panitia dalam bentuk CD, DVD, MPEG, dan AVI.

Informasi dan keterangan lebih lanjut mengenai festival ini dapat penghubungi panitia pada: Sekretariat Pelayanan Kessos Anak dan Keluarga, Dinas Sosial Aceh, jalan Sultan Iskandar Muda No. 49 Banda Aceh, ACEH atau melalui email: festivalfilmanakaceh2010@yahoo.co.id atau handpone: 081360061844

Tak Bisa Membaca Dalam Hati Pertanda Disleksia

Sumber:http://health.detik.com/read/2010/04/05/075349/1331736/763/tak-bisa-membaca-dalam-hati-pertanda-disleksia

London, Pada kondisi tertentu seseorang bisa membaca dengan suara keras atau hanya membaca di dalam hatinya saja. Tapi jika tidak bisa membaca dalam hati atau harus dilafalkan, maka bisa jadi orang tersebut terkena disleksia.

Disleksia adalah penurunan kemampuan otak untuk menerjemahkan gambar tertulis yang diterima dari mata ke dalam bahasa yang bermakna.

Orang yang mengalami disleksia akan terasa aneh melihat seseorang membaca tanpa menggerakkan bibirnya atau membaca dalam hati. Hal inilah yang dialami oleh penderita disleksia Gary Chevin saat melihat istrinya Carol membaca. Dia bingung melihat istrinya membaca dengan diam.

"Dia bilang dia sedang membaca di kepalanya. Aku bertanya apa yang terdengar dan dia bilang seperti suara. Tapi aku tidak pernah mendengar suara itu di kepala saya," ujar Gary yang menderita disleksia sejak anak-anak seperti dikutip dari Dailymail, Senin (5/4/2010).

Gary didiagnosa menderita disleksia yang parah saat berusia 7 tahun, dengan kondisi seperti itu ia harus selalu berjuang untuk membaca. Kebanyakan orang dapat menggunakan suara hatinya untuk membaca secara sadar, tapi tidak bagi orang yang mengalami gangguan disleksia.

"Seorang anak biasanya akan mulai belajar membaca sesuatu dengan suara yang keras. Tapi pada tahap tertentu di saat kemampuan membacanya sudah baik, maka ia akan mampu untuk berbicara dalam hatinya yang biasanya terjadi saat usia 7 atau 8 tahun," ujar Professor Rod Nicolson, kepala psikologi di University of Sheffield.

Prof Nicolson menuturkan semua orang beranggapaan bahwa dirinya sama dengan yang lain, padahal tidak semua orang memiliki suara batin (inner voice). Tapi peneliti menemukan orang yang mengalami disleksia bisa melakukan pidato dengan baik, meskipun terdapat perbedaan dalam hal kelancaran berbicara.

"Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang menyebabkan disleksia, tapi tanda-tanda risiko disleksia dapat terdeteksi sejak anak berusia 3 tahun. Dari penelitian ditemukan bukti pada orang yang disleksia, saat sedang membaca sisi kiri dari otaknya yang berperan penting dalam hal pengolahan bahasa tidak bekerja aktif seperti yang seharusnya," ujar Dr Kate Saunders, dari British Dyslexia Association.

Akibat dari kondisi ini, orang yang mengalami disleksia harus berjuang saat sedang membaca, mengeja dan menulis serta mengalami kesulitan membuat hubungan antara kata-kata atau huruf yang tertulis. Diagnosis dini dan program pengajaran yang terstruktur akan sangat membantu.

Gangguan kondisi disleksia ini dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:

1. Trauma disleksia.
Kondisi ini biasanya terjadi setelah adanya trauma otak atau cedera di daerah otak yang mengontrol bagian membaca dan menulis. Gangguan ini jarang terjadi pada usia sekolah.

2. Primer disleksia.
Kondisi ini diakibatkan adanya disfungsi dari sisi kiri otak (cerebral cortex) dan bukan disebabkan oleh adanya kerusakan. Gangguan ini biasanya diturunkan melalui gen atau keturunan, dan lebih sering dijumpai pada laki-laki.

3. Sekunder disleksia.
Kondisi ini disebabkan oleh hormon selama tahap awal proses perkembangan janin.

Pariwisata Aceh; dilema harga dan layanan

Menarik membaca berita berjudul Penjual Makanan dan Jasa Angkutan Mark-up Harga, di Harian Serambi Indonesia, 27 Februari 2010. Disebutkan, seorang pejabat Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, telah empat kali tertipu dengan harga, saat makan di rumah makan, restoran maupun café di Banda Aceh. Asisten II Bidang Keistimewaan Pembangunan dan Ekonomi Setda Aceh, juga mengaku sering menerima kekecewaan pelayanan yang diterima wisatawan yang berkunjung ke Aceh.

Ada juga pengalaman teman saat negosiasi rumah sewa di Banda Aceh untuk pembukaan kantor cabang tempatnya bekerja, awal Februari lalu. Hasil nego, disepakati sewa Rp. 30 juta setahun. Diapun mengajukan permohonan dana kepada kantor pusatnya. Ajaib, saat akan membayar, harga naik menjadi Rp. 60 juta/tahun. Bukankah telah disepakati 30 juta? Si pemilik rumah berdalih: saya salah, harganya memang segitu. Masalah bagi teman tersebut, tidak serta merta dia dapat membatalkan akibat perubahan harga tersebut. Si pemilik rumah memaksanya harus menyewa. Katanya, beberapa hari lalu dia menolak pihak lain yang juga ingin menyewa rumah tersebut dengan harga Rp. 80 juta/tahun, jadi dia sudah rugi kalau tak jadi. Masalah lain, teman tersebut tidak mungkin meminta tambahan dana ke kantor pusatnya. Bahkan dia kena damprat atasannya: anda ini main-main atau apa?

Pengalaman tahun 2009 lalu di Iboih, Sabang, ketika membeli ikan kepada nelayan di sana. Pagi hari, delapan ekor ikan disepakati Rp. 150 ribu dan akan diantar ke Pulau Rubiah, tempat kami memanggang ikan tersebut. Semua berjalan lancar, sampai sore hari, saat akan membayar biaya transport antar jemput Iboih-Pulau Rubiah plus ikan tersebut. Harga naik menjadi Rp. 250 ribu. Mengapa naik? Alasannya; salah hitung. Paling ironis tatkala kami memanggil beberapa orang yang menyaksikan negosiasi tadi pagi, si penjual berkata kepada orang tersebut (bahasa lokal); biarkan saja, mereka bukan orang sini, mereka orang NGO. Mendengar itu, dengan bahasa lokal saya menjawab: jadi itu alasannya, kalau sama orang NGO harganya mahal? Kendati terkejut dengan jawaban saya dengan bahasa lokal, si penjual tetap bertahan, katanya setelah ditimbang ikan tersebut melebihi harga semula. Padahal tadi pagi ikan tersebut tidak dibeli kiloan, tapi sesuai jumlah yang dipilih dan ikan tersebut telah dimasukkan dalam kantong plastik. Kejadian itu membuat teman yang berasal dari luar negeri marah dan mengatakan: saya tak akan pernah ke sini lagi, saya juga tak akan rekomendir teman saya ke sini. Ini penipuan!

Contoh lain, berkaitan dengan harga mahal, di salah satu warung di pinggir pantai Pulau Rubiah, Desember 2009, sepiring mie instant pakai telur dengan hanya direbus seharga Rp. 10 ribu. Demikian juga harga sewa boat dan peralatan; tidak terstandar, harga berubah-ubah, tergantung bahasa apa yang digunakan.

Sementara perlakuan diskriminatif; karena bukan orang lokal, karena orang NGO atau orang bule, misalnya di salah satu lokasi wisata di Sabang, ada dikutip biaya parkir kenderaan dan yang meminta anak kecil, katanya disuruh orang tuanya. Namun ada juga kenderaan tidak dikenakan biaya parkir, karena mereka orang lokal. Kasus perlakuan diskriminatif mengarah penipuan dan pemalakan ini sudah terjadi sejak kedatangan di objek wisata seperti harga sewa mobil yang berbeda antara orang lokal dengan pengunjung dari luar.

Ada banyak lagi pengalaman orang-orang dari luar Aceh tentang harga yang berubah dan tidak rasionil. Modusnya beragam, salah hitung, salah sebut, karena yang menyebut harga sebelumnya bukan pengambil keputusan, hingga alasan; di sini harganya memang begitu.

Tsunami, dengan banyaknya orang luar yang datang serta uang beredar, diduga awal mula berbagai praktik tidak fair tersebut. Walaupun kemudian dugaan tersebut menjadi diragukan jika berkaca pada pengalaman di daerah bencana lain seperti gempa di Bantul, Yogyakarta maupun gempa di Sumatera Barat 2009 lalu. Naiknya harga-harga jasa atau barang hanya sementara.

Ungkapan filosof, Rockefeller, mungkin relevan; jika anda tidak puas dengan jumlah kecil, anda takkan pernah puas dengan jumlah besar dan jika anda tidak bermurah hati ketika memiliki sedikit, anda takkan berubah tiba-tiba ketika anda menjadi kaya.


Pariwisata sebagai industri jasa
Pemerintah Aceh dengan visi; terwujudnya pembangunan dan pengembangan potensi budaya dan pariwisata sebagai andalan pertumbuhan ekonomi daerah dengan membuka lapangan kerja dan usaha baru bagi masyarakat. Poin keenam misi, sebagai penjabaran visi tersebut adalah meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan yang mampu membuka peluang lapangan kerja dan usaha baru disektor pariwisata dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah.

Dalam kaitan meningkatkan kunjungan wisatawan, berkaitan dengan pariwisata sebagai industri jasa. Menurut Kotler (2000) terdapat lima bagian penting dalam industri jasa yaitu; reliability yaitu konsistensi dan kesesuaian pelayanan, responsiveness mencakup kemampuan merespon secara cepat keluhan pelanggan, assurance yaitu kemampuan meyakinkan pelanggan serta memenuhi janji kepada pelangan, emphaty yaitu kepedulian kepada pelanggan, dan tangible, terkait dengan penampilan fisik, peralatan dan media komunikasi yang tersedia.

Oka A.Yoeti (1996) mengatakan, wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan untuk sementara waktu ke daerah atau tempat lain. Karena jauh dari tempat tinggalnya, maka ia memerlukan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, semenjak dia berangkat sampai ke tempat tujuan, selama di tempat tujuan hingga ia pulang ke tempat tinggalnya.

Merujuk pendapat Kotler dan Oka di atas, berbagai modus penipuan maupun harga-harga mahal yang tidak sesuai kualitas pelayanan jelas memperburuk market share pariwisata Aceh. Mereka yang sudah berpengalaman pahit tentu tidak akan merekomendir tempat wisata yang pelayanannya buruk. Orang menyesal, merasa tertipu, kecewa, memutuskan pulang lebih awal dan berjanji tidak datang lagi. Pelaku pariwisata, sadar atau tidak telah membakar jembatannya sendiri (burn his own bridge). Secara ekonomis hal ini berdampak langsung terhadap masyarakat pelaku pariwisata, termasuk kepada pemerintah setempat. Teori modernis menyebutnya sebagai kesalahan orang itu sendiri. Betatapun memikatnya objek wisata yang tersedia, tapi jika pelayanannya tidak reliability maka orang akan mengabaikan.

Meningkatkan SDM pariwisata Aceh
Industri pariwisata dunia telah mengalami globalisasi melalui liberalisasi dan aliansi perdagangan jasa yang tertuang dalam Persetujuan Umum Tarif Jasa (GATS), pada tingkat regional melalui pemberlakuan AFTA dan AFAS. Dunia menjadi tanpa batas, transaksi perdagangan barang dan jasa, sumber daya modal maupun mobilitas manusia menjadi mudah. Selain itu kemajuan tekhnologi, sarana transportasi dan perilaku banyak wisatawan yang memiliki lebih dari satu tujuan wisata menuntut komplementaritas, pengayaan alternatif wisata, peningkatan fasilitas dan kesiapan sumber daya manusia pariwisata di suatu lokasi.

Sementara itu, otonomi daerah menyebabkan terjadinya persaingan antar kabupaten/kota/ provinsi dari aspek acquisition, satisfaction dan retention. Persaingan ini berdampak terhadap upaya setiap daerah meningkatkan daya tarik dan keunggulan daya saing (competitive advantage). Dalam konteks lebih luas, juga terjadi persaingan antar negara memperebutkan kue pariwisata yang besar tersebut. Aceh sendiri, selama ini masih dominan kebagian kue wisatawan backpacker (penyandang ransel).

Menjadikan Aceh sebagai salah satu destinasi wisata andalan nasional yang berbasis pada Agama Islam dan pelestarian nilai-nilai budaya, selain aspek sarana dan prasarana mutlak diperlukan pembangunan kualitas sumber daya manusia pariwisata Aceh merujuk pengertian Sosiologi; cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan masyarakat merupakan tenaga pembangunan dan dampak pembangunan. Sosiologi pembangunan menekankan hubungan interaksi masyarakat untuk terbangunnya kohesi sosial; memberikan spirit dan value untuk saling berbagi dan menjaga kelangsungan hidup setiap warga dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan ciri budaya dan kebudayaan masyarakat Aceh yang toleran, bersahabat dan bergotong-royong.

Flippo (1996) menyatakan, pengembangan sumber daya manusia menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian atas pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia, agar tercapai sasaran individu, organisasi dan masyarakat. Merujuk Andrew E. Sikula (1981), pemerintah Aceh harus memiliki perencanaan yang benar dalam menentukan kebutuhan SDM agar pelaksanaannya berinteraksi dengan rencana pemerintah pada sektor pariwisata, sehingga berbagai upaya promosi yang dilakukan dalam menarik wisatawan tidak antiklimaks di lapangan, akibat kurang siapnya masyarakat sebagai pelaku dan penerima manfaat dari pembangunan pariwisata tersebut. Sikap tidak profesional oknum-oknum dalam memberikan pelayanan jangan sampai merusak citra pariwisara Aceh secara umum.

Peningkatan kualitas SDM penting dilakukan mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan setidaknya pada lima aspek bagian jasa seseperti dikemukakan Kotler yaitu reliability, responsiveness, assurance, emphaty dan tangible. Menggunakan media-media yang ada seperti Meunasah, Mesjid hingga diskusi warung kopi akan mengurangi formalitas, simbolika maupun dana yang diperlukan. Instansi pariwisata dan stakeholder lain juga sangat penting melaksanakan Training of Trainers berbasis masyarakat sehingga keterbatasan tenaga yang dimiliki pemerintah dapat diatasi.

Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional tersebut bukan hanya kepada awak-awak pariwisata secara langsung, akan tetapi termasuk kepada petani, nelayan, pedagang, sektor transportasi dan masyarakat secara umum, karena keseluruhannya berintegrasi secara langsung dengan usaha pariwisata (tourism business integration) dimana hubungan yang saling mendukung akan menguntungkan pihak-pihak tersebut.

Tahap berikutnya peningkatan kualitas SDM masyarakat berkaitan dengan pengetahuan, sikap profesional dan keterampilan dalam pengemasan daya tarik wisata, diversifikasi produk serta pengembangan kehidupan masyarakat pariwisata (living culture) yang khas dengan memperhatikan arah perubahan hubungan antara para pelaku kepariwisataan sebagaimana disebutkan World Travel and Tourism Council (WTTC) tahun 2003, yaitu kemitraan yang koheren antara para pelaku kepariwisataan, usaha swasta dan pemerintah, penyampaian produk wisata yang secara komersial menguntungkan namun tetap memberikan jaminan manfaat bagi setiap pihak yang terlibat dan berfokus pada manfaat bukan saja bagi wisatawan yang datang namun juga bagi masyarakat yang dikunjungi serta bagi lingkungan alam, sosial dan budaya setempat.

Tes Baru Deteksi Gen Autis

Selasa, 16 Maret 2010 | 11:19 WIB

Sumber:http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/16/11190591/Tes.Baru.Deteksi.Gen.Autis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tipe terbaru tes genetik untuk mendeteksi abnormalitas gen pada anak yang mengarah pada autisme dinilai lebih akurat dibandingkan standar tes yang selama ini ada. Demikian kesimpulan studi terkini.

Dalam penelitian tersebut, para ahli memberikan tiga pilihan jenis tes pada 933 orang berusia 13-22 tahun yang pernah didiagnosis autis. Tiga jenis tes itu, yakni G-banded karyotype tes, chromosomal microarray analysis (CMA), dan fragile X testing. Ketiga tes tersebut merupakan jenis tes yang sudah banyak dipakai.

Karyotype test mengenali lanturan (aberasi) kromosom yang terkait dengan autis sebanyak 2 persen, sementara fragile X mutasi genetik ditemukan pada 0,5 persen pasien. Sedangkan CMA berhasil mendeteksi kelainan kromosom lebih dari 7 persen pada pasien. Perbedaan hasil yang signifikan ini dinilai memiliki tingkat keakuratan yang lebih besar. Oleh sebab itu, para ahli menyarankan agar CMA menjadi tes pertama untuk mengetahui sindrom autisme pada anak.

Tujuan dari dilakukannya tes genetik pada anak yang autis adalah membantu orangtua menentukan apakah jika nanti hamil lagi mereka akan memiliki anak yang juga autis atau tidak.

Apabila hasil tes menemukan kromosom yang tidak normal pada anak, orangtua juga perlu melakukan tes. Jika ditemukan gen yang abnormal, bisa disimpulkan orangtua tersebut berisiko tinggi memiliki anak autis lagi. Namun, jika ternyata gennya normal, ada kemungkinan terjadi duplikasi sehingga risiko memiliki anak autis lebih rendah.

"Pada sebagian besar kasus, kami meyakini paling tidak ada kecenderungan genetik pada terjadinya autis, tetapi kemampuan tes yang ada untuk mengidentifikasi gen yang spesifik itu sulit karena teknologinya belum ada. Selain itu, secara umum para ahli memang belum bisa menentukan secara pasti mekanisme genetik yang memicu autis," kata Dr Robert Marion, ahli genetik anak dari Montefiore Medical Center, New York, Amerika Serikat.

Saat ini standar praktis untuk menguji apakah seorang anak menderita autis adalah dua jenis tes genetik, yakni karyotype dan fragile X testing, yang sudah dikenal sejak 1960-an.

Seperti halnya karyotyping, CMA juga melihat kromosom yang tidak normal, tetapi 100 kali lebih akurat. CMA bisa mengenali submikroskopik duplikasi DNA yang disebut varian ulang nomor yang dikaitkan dengan autisme.

Kromosom bisa diibaratkan sebuah perpustakaan dan tiap buku adalah gennya. "Apa yang kita cari adalah buku yang sampulnya sudah hilang yang menggambarkan hilangnya fragmen kromosom atau ekstra fragmen kromoson yang mengandung gen autis," kata Dr David Miller, ahli genetik.

Meski begitu, masih banyak hal yang belum bisa diungkap oleh para pakar genetik. Sebanyak 10-15 persen kasus autisme tidak berasal dari kelainan genetik. Semuanya masih misterius.

Tes Baru Deteksi Gen Autis

Selasa, 16 Maret 2010 | 11:19 WIB

Sumber:http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/16/11190591/Tes.Baru.Deteksi.Gen.Autis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tipe terbaru tes genetik untuk mendeteksi abnormalitas gen pada anak yang mengarah pada autisme dinilai lebih akurat dibandingkan standar tes yang selama ini ada. Demikian kesimpulan studi terkini.

Dalam penelitian tersebut, para ahli memberikan tiga pilihan jenis tes pada 933 orang berusia 13-22 tahun yang pernah didiagnosis autis. Tiga jenis tes itu, yakni G-banded karyotype tes, chromosomal microarray analysis (CMA), dan fragile X testing. Ketiga tes tersebut merupakan jenis tes yang sudah banyak dipakai.

Karyotype test mengenali lanturan (aberasi) kromosom yang terkait dengan autis sebanyak 2 persen, sementara fragile X mutasi genetik ditemukan pada 0,5 persen pasien. Sedangkan CMA berhasil mendeteksi kelainan kromosom lebih dari 7 persen pada pasien. Perbedaan hasil yang signifikan ini dinilai memiliki tingkat keakuratan yang lebih besar. Oleh sebab itu, para ahli menyarankan agar CMA menjadi tes pertama untuk mengetahui sindrom autisme pada anak.

Tujuan dari dilakukannya tes genetik pada anak yang autis adalah membantu orangtua menentukan apakah jika nanti hamil lagi mereka akan memiliki anak yang juga autis atau tidak.

Apabila hasil tes menemukan kromosom yang tidak normal pada anak, orangtua juga perlu melakukan tes. Jika ditemukan gen yang abnormal, bisa disimpulkan orangtua tersebut berisiko tinggi memiliki anak autis lagi. Namun, jika ternyata gennya normal, ada kemungkinan terjadi duplikasi sehingga risiko memiliki anak autis lebih rendah.

"Pada sebagian besar kasus, kami meyakini paling tidak ada kecenderungan genetik pada terjadinya autis, tetapi kemampuan tes yang ada untuk mengidentifikasi gen yang spesifik itu sulit karena teknologinya belum ada. Selain itu, secara umum para ahli memang belum bisa menentukan secara pasti mekanisme genetik yang memicu autis," kata Dr Robert Marion, ahli genetik anak dari Montefiore Medical Center, New York, Amerika Serikat.

Saat ini standar praktis untuk menguji apakah seorang anak menderita autis adalah dua jenis tes genetik, yakni karyotype dan fragile X testing, yang sudah dikenal sejak 1960-an.

Seperti halnya karyotyping, CMA juga melihat kromosom yang tidak normal, tetapi 100 kali lebih akurat. CMA bisa mengenali submikroskopik duplikasi DNA yang disebut varian ulang nomor yang dikaitkan dengan autisme.

Kromosom bisa diibaratkan sebuah perpustakaan dan tiap buku adalah gennya. "Apa yang kita cari adalah buku yang sampulnya sudah hilang yang menggambarkan hilangnya fragmen kromosom atau ekstra fragmen kromoson yang mengandung gen autis," kata Dr David Miller, ahli genetik.

Meski begitu, masih banyak hal yang belum bisa diungkap oleh para pakar genetik. Sebanyak 10-15 persen kasus autisme tidak berasal dari kelainan genetik. Semuanya masih misterius.

Kasus Kekerasan Terhadap Anak yang Diabaikan



Berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang terungkap akhir-akhir ini mengingatkan pada berbagai bantahan atau sanggahan, tatkala mensosialisasikan perlindungan anak kepada berbagai stakeholder. Dikatakan, kasus-kasus kekerasan maupun pelanggaran hak-hak anak yang merujuk kepada berbagai ketentuan perlindungan anak tersebut sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Aceh. Pendapat lain, kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan, hal tersebut sebagai konsekuensi perbuatan anak itu sendiri.

Pandangan terakhir itu pula yang mungkin mendasari sehingga pada Harian Serambi Indonesia beberapa minggu lalu muncul iklan permintaan maaf beberapa orang siswa kepada guru dan sekolahnya. Akibat anak menyatakan pendapatnya di Facebook tentang gurunya, mereka harus memilih untuk membuat pengakuan bersalah secara terbuka.

Berbagai bantahan, sanggahan bahkan kecurigaan terhadap upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap anak, pada satu sisi dapat dipahami sebagai manifestasi dari berbagai latar belakang budaya dan kebudayaan masyarakat kita, dimana masing-masing memiliki kadar subyektif-objektif terhadap kekerasan, terutama jika kekerasan tersebut terjadi dalam ranah domestik seperti di rumah tangga termasuk di lembaga pendidikan.

Berbagai penelitian menemukan kekerasan terhadap anak terjadi pada berbagai kebudayaan dengan cara dan bentuknya. Konon kekerasan adalah bagian penting kehidupan manusia. Sejak manusia bermula tatkala Kain membunuh adiknya, Habil. Thomas Hobbes (1588-1679) menyebut manusia sebagai mahluk yang dipenuhi dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri dan membenci sehingga menjadi jahat, kasar, buas dan pendek pikir. Jean Jaques Rousseau (1712-1778) menyatakan manusia pada dasarnya adalah ciptaan yang polos, mencintai diri secara spontan serta tidak egois. Rantai peradabanlah yang telah membentuk manusia menjadi binatang seperti sekarang.

Pada beberapa kebudayaan, masih menyamakan antara disiplin dan kekerasan. Belum terbedakan antara sanksi dan hukuman fisik-psikis. Masih tidak jelas perbedaan antara mengajar dan menghajar. Disebutkan untuk mengajar anak, namun dilakukan dengan cara menghajar, ada sampai berdarah-darah. Dikatakan agar anak disiplin, namun dilakukan penuh kebencian, dendam dan kekerasan. Demikian seterusnya kekerasan bereproduksi sehingga telah mensub-kultur. Ironisnya yang menjadi kambing hitam selalu saja anak-anak. Anak dapat menjadi korban kekerasan dari akibat perbuatan yang tidak dilakukannya. Perselisihan antara orang tua, korban pelampiasan seringkali anak-anak. Guru yang monoton mengajar di kelas yang menyebabkan murid tidak respek, lagi-lagi anak murid yang jadi sasaran kemarahan. Murid terlambat hadir di kelas dikenakan sanksi. Jika guru yang terlambat justru si guru tersebut yang marah mendapati keadaan murid-murid di kelasnya.

Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak sebagai hal wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orang tua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orang tua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum (http://duniapsikologi.dagdigdug.com).

Kasus-kasus Tidak Terduga
Menggunakan argument pihak-pihak yang menyatakan kasus-kasus kekerasan yang dicontohkan tidak mungkin terjadi di Aceh, beberapa bulan belakangan media massa memberitakan berbagai kasus kekerasan yang menodai sistem budaya dan kebudayaan kita. Mulai dari video adegan mesum oknum WH di Kabupaten Simeulue dengan sesorang yang mengenakan seragam sekolah, kasus incest (hubungan sedarah) dengan pelaku ayah tiri di Kabupaten Bener Meriah maupun perkosaan oleh oknum WH di Kota Langsa.

Contoh lain, beberapa tahun belakangan seperti kasus sodomi dan pemukulan terhadap anak di Mushalla Nelayan TPI Lampulo, Banda Aceh (Serambi Indonesia, 7 Desember 2007), oknum Polisi yang memukul dan menjemur 23 siswa di Muara Batu Aceh Utara (Serambi Indonesia 26 Februari 2008), abang menghamili adik ipar berusia 4 tahun di AcehTimur (Serambi Indonesia 29 April 2008), perkosaan bergiliran terhadap seorang perempuan di Bener Meriah (Serambi Indonesia, 28 April 2008). Bayi hubungan gelap dengan abang ipar yang dibunuh dengan cara dijepit bantal (Serambi Indonesia 27 April 2008).

Banyak lagi kasus-kasus terungkap seperti pelecehan seksual yang dilakukan oknum di institusi pendidikan, berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak-anak itu sendiri, kasus penculikan anak hingga perampokan terhadap anak.

Penyebutan contoh-contoh kasus di atas bukan bermaksud mendramatisir, namun sebagai gambaran masalah, betapa kasus kekerasan terhadap anak telah terjadi dalam berbagai bentuk, modus dan pelakunya adalah orang-orang dekat dengan anak, bahkan oleh penegak hukum. Kasus-kasus tersebutpun dikategorikan sebagai tidak terduga karena pelaku merupakan orang atau pihak yang sejatinya pelindung dan pengayom. Mereka adalah orang yang seharusnya paling terdepan memberikan perlindungan terhadap anak merujuk kepada tugas, fungsi, kewajiban dan tanggungjawab yang diamanahkan kepadanya.

Berikutnya, contoh-contoh kasus disebutkan menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada daerah-daerah pedesaan, dalam hubungan terjadinya kekerasan akibat faktor ekonomi maupun masyarakat yang belum melek hukum. Jika dilihat dari bentuk kasusnya, kasus yang terjadi di pedesaan bukan lagi kekerasan yang “lazim” seperti pemukulan ataupun memarahi anak. Di pedesaan, telah terjadi incest, sodomi, perkosaan hingga hamil di luar nikah. Sementara di pinggiran hingga pusat kota, dimana kehidupan ekonomi serta akses terhadap informasi lebih baik, kasus kekerasan justru lebih bervariatif dan memprihatinkan.

Dari study kasus dan pengalaman pendampingan yang dilakukan, kekerasan terhadap anak di pedesaan maupun perkotaan telah terjadi sejak lama, hanya saja selama ini kita cenderung menutupi demi menjaga nama baik keluarga hingga nama baik kampung. Pada pihak lain, ternyata kita tidak selalu dapat mengklaim bahwa sistem sosial, pemerintahan gampong maupun kebudayaan yang ada mampu menjaring segala bentuk kekerasan yang dialami anak. Buktinya, ada kasus-kasus incest yang telah berlangsung lama. Ada banyak kasus kekerasan berulang-ulang terjadi pada anak dan itu diketahui masyarakat sekitar.

Hal penting harus diingat, kasus kekerasan pada ranah domestik maupun faktor masih kentalnya subjektifitas melihat suatu kasus, menyebabkan jumlah kasus dilaporkan atau yang terungkap bukanlah jumlah sebenarnya. Terdapat lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan terutama kasus KDRT dengan berbagai pertimbangan yang umumnya mengacu kepada ketidak-berdayaan korban/keluarga karena pelaku memiliki kekuatan lebih yang dianggap dapat mengancam pelaku pada berbagai dimensi, seperti karena pelaku kepala keluarga, dan lain sebagainya.

Masalah penting
Berdasarkan kualitas dan kuantitas kasus terungkap maupun yang tidak dilaporkan kekerasan terhadap anak di Aceh merupakan masalah substansional, terutama jika dikaitkan dengan adanya Qanun No. 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan berbagai ketentuan lain mengenai perlindungan anak. Pencegahan dan penanggulangan kasus kekerasan terhadap anak seharusnya tidak diposisikan lagi sebagai the left-over, yang baru dipikirkan setelah yang lain-lain beres.

Pertama yang harus dituntaskan adalah mekanisme pendataan kasus. Hingga kini di Aceh tidak ada data kekerasan terhadap anak yang akurat dan menyeluruh yang dimiliki pemerintah. Data-data yang ada umumnya data lembaga non pemerintah, atau data per lokasi maupun data kasus yang dilaporkan kepada kepolisian atau terungkap melalui pemberitaan media massa. Telah terdapat beberapa instrument pendataan yang dipersiapkan pihak lain namun sistem tersebut kurang aplikatif dan terkoordinir. Efek domino tidak akuratnya data ini berimbas terhadap perencanaan dan penganggaran program perlindungan anak di Aceh, belum berbanding lurus dengan upaya mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap anak.

Kedua, Qanun No. 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak yang sejatinya menjadi rujukan arah pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak di Aceh belum tersosialisasi secara maksimal. Indikatornya adalah Qanun tersebut belum dijadikan dasar dalam perencanaan dan penganggaran program perlindungan anak secara maksimal. Sebagaimana Konvensi Hak Anak, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Qanun No. 11 Tahun 2008 belum tersosialisasi secara sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan khususnya kepada para pejabat pembuat keputusan, perencanaan dan anggaran, aparat penegak dan pihak terkait lain menyebabkan program perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan baru dipikirkan setelah yang lain-lain beres.

Akibat kedua hal tersebut, ketika terdapat kasus anak korban kekerasan seringkali kita mengalami kegamangan menanganinya, bahkan pemerintah seolah lepas tangan dengan merujuk penanganan kasus tersebut kepada lembaga swadaya masyarakat yang saat ini kondisinyapun banyak hidup segan mati tak mau. Kita belum memiliki drop in center atau penampungan sementara, sehingga seringkali penanganan permasalahan anak korban kekerasan menimbulkan masalah baru. Sistem koordinasi dan kerjasama realitanya tidak jarang menjadi beku manakala pihak-pihak saling menyatakan keterbatasannya. Inisiatif pribadilah pada akhirnya acapkali memecah kebekuan tersebut. Demikian juga dalam penanganan kasus maupun pasca penanganan kasus, belum terjamin implementasi sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan dalam program pemerintah.

Bahkan, Pemerintah Aceh belum memiliki program komprehensif untuk mencegah, menangani dan merehabilitasi kekerasan terhadap anak dengan pelaku orang tua atau keluarga, sehingga pemerintah dapat diangap membirakan anak-anak berada dalam lingkungan kekerasan (di rumah, di sekolah maupun di masyarakat). Hal-hal seperti ini tentu saja bertentangan dengan maksud dan tujuan Qanun No. 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.

Berikutnya, dalam konteks Aceh dengan Syariat Islam, mutlak diperlukan reinterpretasi tentang dalil-dalil agama yang selama ini mungkin disalahkonsepsikan dan dijadikan justifikasi kewenangan dan kepemilikan orang tua atas anak-anaknya, yang melemahkan posisi dan daya tawar anak dalam keluarga, bahkan menjadi dasar orang tua melakukan kekerasan terhadap anak. Melibatkan tokoh agama, tokoh adat dan pihak-pihak terkait lain untuk mensinergiskan ajaran agama Islam dengan instrumen internasional, nasional dan qanun perlindungan anak berkaitan dengan isu hak anak hendaknya dilakukan sehingga program penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak dapat dilakukan secara sinergis.

Hal ini penting mengingat dalam masyarakat masih banyak paradigma perlindungan anak yang menganggap mereka dapat memperlakukan anak-anaknya sesuka hatinya, dan bahwa orang lain sering mengambil jarak walaupun diketahui atau dilihat telah terjadi kekerasan terhadap anak dalam suatu keluarga. Dalam hal ini, tentu tidak tepat mempersalahkan masyarakat, pemerintahlah seharusnya berkewajiban membangun keluarga-keluarga sehingga mereka dapat melaksanakan tugas dan fungsinya memberikan perlindungan yang maksimal kepada setiap anak, dan agar kasus kekerasan anak tidak dianggap sebagai hal yang harus dilakukan dalam rangka mengasuh, mendidik dan membina anak. Dan agar masyarakat tidak bersikap munafik dengan menutup-nutupi kasus yang ada demi menjaga simbol-simbol budaya dan kebudayaannya.

Tentu tidak cukup hanya dengan sosialisasi peraturan yang ada, apalagi sosialisasi tersebut hanya dilakukan melalui seminar-seminar di hotel-hotel. Diperlukan program berkelanjutan yang partisipatif misalnya program keluarga ramah anak yang sesuai dengan budaya dan kebudayaan masyarakat setempat. Program ini tentu tidak berdiri sendiri, diperlukan sinergi antara instansi/badan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga tingkat desa, termasuk dengan lembaga non pemerintah.


Banda Aceh, 26 Fabruari 2010

Anak Hiperaktif Berpotensi Kreatif, Masak Sih?

Jumat, 5 Februari 2010 | 18:23 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Perilaku hiperaktif atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) sering dikaitkan dengan kenakalan. Namun, di balik penyakit tersebut ternyata ada potensi kreatif yang luar biasa. Beberapa tokoh ternama di dunia yang sejak kecilnya punya penyakit itu terbukti menjadi orang sukses saat dewasa.
Penyakit ADHD sering dihubungkan dengan sifat nakal, tidak mau diam, tidak bisa fokus, dan lain-lainnya. Menurut para pakar, satu dari 11 anak-anak berisiko menderita ADHD.

Namun, Prof Michael Fitzgerald dari Trinity College, Dublin, percaya bahwa seorang anak yang memiliki penyakit ADHD suatu hari bisa menjadi orang sukses jika diarahkan dengan baik. Seperti dikutip dari Telegraph, beberapa tokoh besar dunia yang sewaktu kecilnya memiliki penyakit ADHD, seperti Lord Byron, Sir Walter Raleigh, dan Kurt Cobain, terbukti menjadi orang yang kreatif.

Lord Byron adalah seorang penyair Inggris yang berperan dalam kemerdekaan Yunani. Pada 1823, Byron mengumpulkan tentara untuk membantu bangsa Yunani merebut kemerdekaan dari Turki Utsmani. Ketika kembali pada 1892, ia menerbitkan syair Childe Harold yang melukiskan tentang petualangan-petualangannya.

Sementara itu, Sir Walter Raleigh merupakan seorang penulis masyhur, penyair, dan juga penjelajah berkebangsaan Inggris. Raleigh berperan merintis jalan bagi kolonisasi Britania Raya di Amerika Utara pada akhir abad ke-16.

Sementara Kurt Donald Cobain, siapa yang tak kenal dia di jagat musik dunia era 90-an? Cobain adalah penyanyi sekaligus penulis lagu dan gitaris band grunge asal Seattle, Nirvana.

Ternyata, penyakit ADHD yang mereka derita sejak kecil inilah yang dianggap menyumbangkan kreativitas yang besar saat mereka dewasa. Kreativitas itu terutama dalam meningkatkan kemampuan otak kanannya.

Prof Fitzgerald rencananya akan membahas hubungan antara ADHD dan kreativitas dalam Royal College of Psychiatrists’ Faculty of Academic Psychiatry at Keele University. ADHD adalah penyakit kelainan otak, di mana otak tidak dapat memproduksi bahan kimia tertentu yang berfungsi mengorganisasikan pikiran-pikirannya. Tanpa adanya bahan kimia tersebut maka proses pengorganisasian di otak tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Gejala ADHD pada anak-anak
Anak-anak yang memiliki gejala ADHD umumnya sulit menerima sebuah perintah. Mereka juga sulit memusatkan perhatiannya terhadap suatu bentuk pekerjaan di rumah atau di sekolah. Selain itu, anak-anak ini mudah kehilangan barang yang dimilikinya.
Kerap, mereka juga terlihat suka mengucilkan diri dan seakan sulit untuk bersosialisasi, pelupa, sering resah atau gelisah, dan suka berlarian atau memanjat secara tidak terduga. Untuk menjawab pertanyaan pun kadang anak-anak ini tanpa dipikir terlebih dahulu atau ceplas-ceplos. Mereka tidak dapat duduk dengan diam, dan tampak terlalu banyak cakap.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/05/18231867/Anak.Hiperaktif.Berpotensi.Kreatif..Masak.Sih

Anak Hiperaktif Berpotensi Kreatif, Masak Sih?

Jumat, 5 Februari 2010 | 18:23 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Perilaku hiperaktif atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) sering dikaitkan dengan kenakalan. Namun, di balik penyakit tersebut ternyata ada potensi kreatif yang luar biasa. Beberapa tokoh ternama di dunia yang sejak kecilnya punya penyakit itu terbukti menjadi orang sukses saat dewasa.
Penyakit ADHD sering dihubungkan dengan sifat nakal, tidak mau diam, tidak bisa fokus, dan lain-lainnya. Menurut para pakar, satu dari 11 anak-anak berisiko menderita ADHD.

Namun, Prof Michael Fitzgerald dari Trinity College, Dublin, percaya bahwa seorang anak yang memiliki penyakit ADHD suatu hari bisa menjadi orang sukses jika diarahkan dengan baik. Seperti dikutip dari Telegraph, beberapa tokoh besar dunia yang sewaktu kecilnya memiliki penyakit ADHD, seperti Lord Byron, Sir Walter Raleigh, dan Kurt Cobain, terbukti menjadi orang yang kreatif.

Lord Byron adalah seorang penyair Inggris yang berperan dalam kemerdekaan Yunani. Pada 1823, Byron mengumpulkan tentara untuk membantu bangsa Yunani merebut kemerdekaan dari Turki Utsmani. Ketika kembali pada 1892, ia menerbitkan syair Childe Harold yang melukiskan tentang petualangan-petualangannya.

Sementara itu, Sir Walter Raleigh merupakan seorang penulis masyhur, penyair, dan juga penjelajah berkebangsaan Inggris. Raleigh berperan merintis jalan bagi kolonisasi Britania Raya di Amerika Utara pada akhir abad ke-16.

Sementara Kurt Donald Cobain, siapa yang tak kenal dia di jagat musik dunia era 90-an? Cobain adalah penyanyi sekaligus penulis lagu dan gitaris band grunge asal Seattle, Nirvana.

Ternyata, penyakit ADHD yang mereka derita sejak kecil inilah yang dianggap menyumbangkan kreativitas yang besar saat mereka dewasa. Kreativitas itu terutama dalam meningkatkan kemampuan otak kanannya.

Prof Fitzgerald rencananya akan membahas hubungan antara ADHD dan kreativitas dalam Royal College of Psychiatrists’ Faculty of Academic Psychiatry at Keele University. ADHD adalah penyakit kelainan otak, di mana otak tidak dapat memproduksi bahan kimia tertentu yang berfungsi mengorganisasikan pikiran-pikirannya. Tanpa adanya bahan kimia tersebut maka proses pengorganisasian di otak tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Gejala ADHD pada anak-anak
Anak-anak yang memiliki gejala ADHD umumnya sulit menerima sebuah perintah. Mereka juga sulit memusatkan perhatiannya terhadap suatu bentuk pekerjaan di rumah atau di sekolah. Selain itu, anak-anak ini mudah kehilangan barang yang dimilikinya.
Kerap, mereka juga terlihat suka mengucilkan diri dan seakan sulit untuk bersosialisasi, pelupa, sering resah atau gelisah, dan suka berlarian atau memanjat secara tidak terduga. Untuk menjawab pertanyaan pun kadang anak-anak ini tanpa dipikir terlebih dahulu atau ceplas-ceplos. Mereka tidak dapat duduk dengan diam, dan tampak terlalu banyak cakap.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/05/18231867/Anak.Hiperaktif.Berpotensi.Kreatif..Masak.Sih


Tangan Kanan dan Kiri Tak Ada yang Dominan, Anak Berisiko ADHD

London, Tangan manusia hanya satu yang bisa bekerja dominan yakni kanan saja atau kiri saja. Tapi ada beberapa orang yang bisa menggunakan kedua tangannya dengan baik dalam arti tidak ada yang dominan (ambidextrous).

Nah, jika kedua tangan tidak ada yang dominan sejak dari anak-anak maka itu perlu diwaspadai. Anak-anak yang bisa menggunakan kedua tangannya dengan baik diduga memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan kesehatan mental, bahasa atau masalah akademik.

Penelitian tersebut dilakukan Alina Rodriguez dari Imperial College London dan telah dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics. Anak-anak ambidextrous berisiko terkena ADHD (attention deficit hyperactivity disorder) atau perilaku hiperaktif.

Peneliti mengungkapkan hasil temuan ini dapat membantu guru atau orangtua dalam mengidentifikasi siapa saja yang berisiko terhadap masalah-masalah tersebut.

Meskipun peneliti belum yakin apa penyebabnya, tapi diduga perbedaan-perbedaan yang terjadi di otak anak ambidextrous dan anak yang memiliki tangan dominan turut memainkan peran dalam hal ini.

Fenomena anak yang dapat menggunakan kedua tangannya dengan baik sangat jarang ditemui, diperkirakan hanya ada 1 kasus dari setiap 100 anak. Sehingga subyek yang dilibatkan dalam penelitian ini juga tidak terlalu banyak.

"Hasil ini tidak mengartikan bahwa semua anak yang ambidextrous akan mengalami masalah-masalah tersebut, tapi memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki fungsi dominan," ujar Alina Rodriguez seperti dikutip dari LiveScience, Selasa (2/2/2010).

Para ilmuwan mengetahui bahwa masalah kidal berhubungan dengan belahan otak yang terkait. Bagi anak yang menggunakan tangan kanan, maka belahan otak yang paling dominan adalah bagian kiri. Karena itu diperkirakan pada anak yang ambidextrous juga diperkirakan berhubungan dengan bagian otak.

"Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan fMRI (magnetic resonance imaging) sehingga lebih akurat dalam melihat bagian mana yang dominan. Kemungkinan ada perbedaan dalam fungsi dan jalur otak dibandingkan dengan anak yang normal," ujar Rodriguez.

Pada individu yang ambidextrous, bagian otak kanannya mungkin tidak memiliki fungsi yang sama baiknya sehingga berhubungan dengan ADHD. Salah satu bukti menunjukkan orang yang ADHD biasanya mengalami kesulitan memproses informasi di belahan otak kanan.

Namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan risiko gangguan kesehatan mental, bahasa atau akademik pada anak-anak yang ambidextrous dibandingkan dengan anak yang normal.

Sumber:http://health.detik.com/read/2010/02/02/083259/1290766/764/tangan-kanan-dan-kiri-tak-ada-yang-dominan-anak-berisiko-adhd

Mendeteksi Anak Autis lewat Foto Aura

Sumber: http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/28/1006320/Mendeteksi.Anak.Autis.lewat.Foto.Aura
Kamis, 28 Januari 2010 | 10:06 WIB


KOMPAS.com - Foto aura, seperti yang kita tahu, adalah cara untuk mengetahui kondisi kesehatan dan kepribadian kita melalui tampilan aura dan cakra. Salah satu penyakit yang dapat dideteksi melalui teknik ini adalah penyakit yang psikomatis (yang tidak terdeteksi oleh alat medis biasa, RED), yakni mendeteksi anak indigo dan autis.

Anak dengan kebutuhan dan personality yang khusus ini memiliki tampilan aura yang berbeda. Anak autis biasanya memiliki kekurangan untuk berinteraksi dengan lingkungan, dan umumnya tidak bisa berkomunikasi dengan orang di sekelilingnya. Sedangkan anak indigo mempunyai pembawaaan yang lebih dewasa daripada anak seusianya, dan memiliki intuisi yang tajam. Anak indigo bisa memprediksi masa depan, atau memiliki kemampuan psikik (cenayang) yang bisa melihat sesuatu yang tidak kasat mata.

Untuk anak autis, foto aura yang ditampilkan pada bagian kepala terlihat seperti terpotong sesuatu. ''Seperti ada garis penghalang. Letaknya tidak pasti. Kadang di tengah kepala, ataupun agak ke atas. Namun yang pasti ada garis pemisah horizontal yang memblok (menghalangi),'' jelas pakar foto aura, Tom Suhalim, dari Auraprimatama.

Untuk anak Indigo, cakra pada bagian kepala (dahi) yang umumnya berwarna putih akan terlihat berpendar. ''Cakra terlihat bergerak atau aktif. Namun sebelum melakukan foto umumnya akan kami tanya terlebih dahulu, sebab tanda ini juga bisa terjadi pada orang yang sedang sakit kepala,'' papar Tom.

Untuk melakukan foto aura, Anda harus dalam kondisi berikut:
1. Perasaan sedang tenang, sebab akan mempengaruhi tingkat stresnya.
2. Harus sudah makan, agar tidak mengacaukan hasil prediksi energi.
3. Tidak menahan buang air kecil, sebab gambar aura akan berwarna merah keseluruhannya.
4. Tidak sedang mengalami radang berat, karena akan mempengaruhi tampilan dan warna cakra di bagian tenggorokan. Selain itu juga tidak bisa dinilai personality-nya.
5. Tidak menggunakan ciccin atau batu-batuan yang bisa mengganggu kerja mesin foto aura.

PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA SABANG DALAM BIDANG PARIWISATA DAN WIRAUSAHA KREATIF MENYONGSONG PELABUHAN BEBAS

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

I. Sabang dan Sejarah Pelabuhan Bebas
Dalam website Pemerintah Kota Sabang (www.sabangkota.go.id) disebutkan, Sabang dengan luas 39.375 Ha dari segi geografis Indonesia, merupakan wilayah administratif paling barat, dan berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Thailand dan India yang dikelilingi Selat Malaka di Utara, Samudera Hindia di Selatan dan Barat serta Selat Malaka di Timur.

Wilayah Kota Sabang terbagi menjadi dua buah kecamatan yaitu Sukakarya dan Sukajaya. Kecamatan Sukajaya terdiri dari 10 kelurahan, yaitu Kelurahan Paya, Keuneukai, Beurawang, Jaboi, Balohan, Cot Abeuk, Cot Ba'u, Anoi Itam, Ujong Kareung, dan Ie Meulee. Sedangkan di Kecamatan Sukakarya terdapat 8 kelurahan, yaitu Kelurahan Iboih, Batee Shok, Paya Seunara, Krueng Raya, Aneuk Laot, Kota Bawah Timur, Kota Bawah Barat, dan Kota Atas.

Kota Sabang sebelum Perang Dunia II merupakan kota pelabuhan terpenting dibandingkan Singapura. Sejak tahun 1881, masa pemerintahan kolonial Belanda, Sabang telah dikenal sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station. Pada 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai tahun 1895, dikenal dengan istilah vrij haven yang dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station, dikenal dengan nama Sabang Maatshaappij. Perang Dunia II ikut mempengaruhi kondisi Sabang dimana tahun 1942 Sabang diduduki pasukan Jepang, kemudian dibom pesawat sekutu dan mengalami kerusakan fisik hingga ditutup.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintis gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas. Gagasan tersebut diwujudkan dan diperkuat dengan terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 menetapkan Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dan atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Sabang terpaksa dimatikan berdasarkan UU No 10/1985. Pada tahun 1993 dibentuk Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat Sabang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan.

Tahun 1997 di Pantai Gapang, Sabang, berlangsung Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dengan fokus kajian mengembangkan kembali Sabang. Pada 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), diresmikan Presiden BJ Habibie dengan Keppes No. 17, 28 September 1998.
Tahun 2000 Sabang dicanangkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid dengan terbitnya Inpres No. 2 tahun 2000, 22 Januari 2000. Selanjutnya diterbitkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Aktifitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang tahun 2002 mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Namun tahun 2004 aktifitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer. (www.sabangkota.go.id)

Pada tahun 2006, Gubernur Aceh, menerbitkan Surat Kebuptusan yang membentuk Tim Advisori dan Tim Advokasi Percepatan Pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Keputusan ini sebagai follow-up Undang-undang No. 11 Tahun 2006 11 Juli 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang mengamanatkan kepada BPKS melalui Dewan Kawasan Sabang (DKS) untuk pengembangan Pelabuhan Internasional di Sabang (http://www.bpks.go.id)


II. Potensi Pariwisata Sabang
Dalam situs Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Sabang disebutkan sebagai kawasan yang unik dan khusus. Secara geografis Sabang berada pada persimpangan perdagangan dunia, karena berada pada jalur lalu lintas pelayaran (international shipping line). Posisinya begitu penting karena dapat menjadi pintu gerbang arus masuk investasi, barang dan jasa dari luar negeri, termasuk sebagai sentra pengembangan industri padat-teknologi dan tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke seluruh wilayah Indonesia serta negara-negara lain. Hal ini semakin didukung dengan adanya Terusan Kra (Canal Kra) di Thailand yang sedang dibangun, sehingga Sabang dapat menjadi Buffer Zone bagi kapal-kapal container atau kapal-kapal kargo lainnya yang melalui Selat Malaka dan Samudera Hindia (lihat juga dalam http://www.bpks.go.id)

Dari aspek pariwisata, dalam berbagai dokumen disebutkan, letak geografisnya menjadikan Sabang sebagai salah satu objek wisata dengan aneka keindahan alam terutama wisata bahari. Disebutkan, wisata bahari Sabang tidak kalah indah dengan Nusa Penida Bali, Bunaken, Pantai Senggigi di Lombok dan daerah tujuan wisata lain di Indonesia, bahkan di dunia seperti Long Island, Maldives. Misalnya Pulau Rubiah, memiliki kelebihan karena masih hidup banyak biota laut yang di negara-negara lain telah langka atau telah punah seperti ketam kelapa (bigus latro), kima raksasa (tridacna gigas), ikan bulu ayam (lion fish). Selain itu juga kaya dengan tumbuhan ganggang serta terumbu karang warna-warni (diolah dari berbagai sumber).

Master Plan Kawasan Sabang 2007 – 2021 telah menetapkan daerah wisata yang akan dijadikan prioritas dalam pengembangan Kawasan Pariwisata Sabang dalam jangka waktu 5 tahun mendatang yaitu daerah wisata bahari di Iboih dan Gapang. Selanjutnya dikembangkan Kawasan Internasional Resort di Gua Sarang Kampung Paya, Revitalisasi Kota Lama Sabang dan pembangunan wisata bahari di Pantai Nipah (Pulau Nasi). Eksplorasi keindahan alam bawah laut di Iboih dan Gapang akan dilanjutkan hingga ke Pulo Rubiah. Selain pemandangan alam bawah laut, potensi wisata yang dapat dikelola dari Iboih dan Gapang adalah wisata memancing (game fishing). Potensi pariwisata ini merupakan peluang untuk menarik kunjungan wisatawan dunia dengan semua fasilitas berskala internasional (http://www.bpks.go.id)

Adapun potensi obyek wisata alam (nature tourist attraction) di Kawasan Sabang yaitu Taman Laut Pulau Rubiah, Pantai Iboih, Pantai Gapang, Pantai Paradiso, Pantai Tapak Gajah, Pantai Nipah, Pulo Aceh, Atraksi Alam Lumba-lumba, Atraksi Alam Ikan Pari, Pantai Pasir Putih Lhung Angen, Danau Aneuk Laot, Air Terjun Pria Laot, Air Panas Gunung Merapi Jaboi, Air Panas Keuneukai,Tugu KM “0” (http://www.bpks.go.id), demikian juga bangunan-bangunan sisa peninggalan Jepang dan sisa Perang Dunia II maupun berbagai atraksi budaya lokal.


III. Permasalahan Sumber Daya Manusia Kepariwisataan Sabang
Pariwisata merupakan industri jasa. Menurut Kotler; 2000, terdapat lima bagian jasa yaitu; (1) reliability; konsistensi dan kesesuaian pelayanan, (2) responsiveness mencakup kemampuan merespon secara cepat keluhan pelanggan, (3) assurance, kemampuan meyakinkan pelanggan serta memenuhi janji kepada pelangan, (4) emphaty yaitu kepedulian kepada pelanggan, dan (5) tangible, terkait dengan penampilan fisik, peralatan dan media komunikasi yang tersedia.

Dari pengalaman penulis, pengalaman teman-teman serta sumber bacaan yang ada ditemukan beberapa permasalahan dalam industry kepariwisataan Sabang yaitu:

Pertama; otonomi daerah menyebabkan terjadinya persaingan antar kabupaten/kota/provinsi dari aspek acquisition, satisfaction dan retention. Pada satu sisi persaingan ini berdampak terhadap upaya Pemko Sabang meningkatkan daya saingnya, namun di pihak lain kurang diimbangi dengan mempertimbangkan, memperhatikan dan mengkoneksikan dengan pembangunan pariwisata di kabupaten/kota/provinsi atau negara lain. Kemajuan tekhnologi, sarana transportasi maupun perilaku banyak wisatawan yang memiliki lebih dari satu tujuan wisata menuntut komplementaritas dan pengkayaan alternatif wisata. Bahkan diantara lima kabupaten/kota yang menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) andalan di Aceh yaitu Banda Aceh, Sabang, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Singkil hal ini belum akseleratif. Kelima DTW masih nafsi-nafsi dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaannya. Demikian juga dengan kurangnya perluasan Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dalam sektor pariwisata, karena harus diakui market share pariwisata Malaysia dan Thailand lebih baik dibandingkan Indonesia, sementara secara geografis Sabang berdekatan dengan kedua negara tersebut, sehingga diharapkan Sabang menjadi tujuan kedua.

Kedua, masih terkait dengan otonomi daerah, keterbatasan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki terutama pada sektor pariwisata yaitu lemahnya pengetahuan dan keterampilan tentang kepariwisataan berujung pada lemahnya arah kebijakan pariwisata yang disusun serta terbatasnya anggaran Pemerintah Kota Sabang membangun industry pariwisata mengakibatkan pemeliharan sarana dan parasarana kurang mendukung dan kurangnya kegiatan-kegiatan kepariwisataan dalam rangka mendatangkan dan membuat wisatawan berlama-lama tinggal di Sabang.

Tugu Nol Kilometer misalnya, sebagai tempat bersejarah (ujung suatu negara, Indonesia) orang yang berkunjung ke sana akhirnya kecewa karena hanya menjumpai bangunan bisu yang jorok dan penuh coretan. Tak ada yang dapat dilakukan selain berfoto-foto. Bagi yang tidak membawa minuman, siap-siap segera pulang. Fasilitas jalan sebagai salah satu faktor pentingpun nyatanya hanya mulus pada awal pelaksanaan anggaran, rata-rata bertahan 3-4 bulan. Setelah itu jalanan tambal sulam, berlubang atau akhirnya membuat orang mengurungkan niatnya. Demikian juga kebersihan dan kerapian objek wisata. Kita dengan mudah menyaksikan lautan dan pantai-pantai yang indah dihiasi sampah botol bekas minuman, sampah plastik, sampah sisa makanan maupun tumbuhan-dedaunan kering yang tidak dibersihkan. Bahkan itu dilakukan orang-orang di sana. Kitapun semakin miris jika melihat objek wisata seperti benteng Jepang, nyaris tidak terurus atau bahkan beralih fungsi seperti terjadi di salah satu kawasan Sumur Tiga.

Hal-hal di atas mengindikasikan bahwa perencanaan, pengembangan, pengimplementasian dan pengontrolan yang menjamin terselenggaranya sektor pariwisata yang baik dan menarik di Sabang masih belum didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten

Ketiga, pelaku pariwisata Sabang hingga saat ini masih berpuas diri dengan keindahan alam yang ada. Keindahan alam nyatanya sedang mematikan kreatifitas pelaku usaha pariwisata sehingga dari waktu ke waktu objek-objek wisata Sabang tetap begitu-begitu saja. Pelaku pariwisata maupun Pemerintah Kota Sabang kurang menyadari betapa pentingnya diversifikasi produk-produk baru yang kompetitif sesuai selera pasar. Seorang wisatawan asal Filipina, Juli 2009, mengatakan kepada saya; sama sekali tidak ada yang berbeda dengan tiga tahun lalu. Dia juga mengatakan jika tipuan harga yang dilakukan pengelola di Pantai Iboih masih sama saja, dengan menaikkan harga yang tinggi karena dia bukan orang Indonesia. Kita juga belum menyaksikan adanya sinergi antara atraksi budaya-kebudayaan, upacara-upacara misalnya upacara adat laot, pertunjukan seni-budaya Aceh yang kaya dengan aktifitas wisata di Sabang. Padahal atraksi-atraksi semacam ini selain akan melestraikan budaya dan kebudayaan Aceh itu sendiri, juga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, hal ini akan semakin memperkaya pengalaman wisatawan yang menyebabkan mereka merasa senang dan betah tinggal di Sabang.

Dengan hanya menjual alam dan isinya secara apa adanya lamban laun menyebabkan wisatawan meninggalkan Sabang untuk beralih ke tempat atau negara lain yang menawarkan pengalaman lebih menyenangkan dan baru. Ingat, kenikmatan atau ketidak-nikmatan di suatu tempat seperti efek domino, seseorang akan menceritakannya kepada orang lain, secara langsung atau melalui tulisan di media massa

Keempat, terkait dengan point ketiga, sampai saat ini sektor pariwisata di Sabang masih belum didukung ketersediaan produk-produk berupa makanan-minuman atau souvenir yang mencirikan Sabang sebagai daerah wisata bahari, dan penduduknya dominan bermata pencaharian petani dan nelayan. Hanya dua item produk yang menjadi oleh-oleh Sabang yaitu Bakpia dan Kaos Oblong. Keduanyapun mudah didapat di Banda Aceh. Souvenir, anehnya justru ada berasal dari Yogyakarta, Padang, Sumatera Utara atau dari Bali. Di beberapa tempat memang tersedia souvenir berbahan baku binatang laut atau tempurung. Namun souvenir dengan modal dan corak tersebut juga ada di seluruh Indonesia, bahkan model, kerapian dan kualitasnya jauh lebih bagus dan harganya lebih murah.

Dikaitkan dengan pekerjaan utama penduduk Sabang sebagai petani dan nelayan, sektor pariwisata tampaknya belum terkoneksi sehingga produk hasil pertanian dan perikanan belum bersentuhan dengan aspek pariwisata, khususnya sebagai oleh-oleh. Jika di berbagai tempat wisata lain di Indonesia produk pertanian dan perikanan dijual di tempat-tempat wisata; mentah atau telah diolah, maka di Sabang hal ini belum dilakukan, hingga posisi Sabang sebagai salah satu DTW utama di Aceh belum berkontribusi dari aspek ekonomi kepada petani dan nelayan. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan sumber daya manusia penduduk itu sendiri dalam mengkreasi dan mengolah hasil pertanian dan perikanan untuk sektor pariwisata, menyangkut bagaimana seseorang mengolah dan mengemas suatu produk.

Kelima, berkaitan dengan pelayanan. Menurut Oka A.Yoeti (Pengantar Ilmu Pariwisata: 1996) wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan untuk sementara waktu ke daerah atau tempat lain. Karena jauh dari tempat tinggalnya, maka ia memerlukan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, semenjak dia berangkat sampai ke tempat tujuan, selama di tempat tujuan hingga ia pulang ke tempat tinggalnya.

Seperti umumnya tempat wisata di Indonesia, palayanan yang tersedia bagi wisatawan di Sabang boleh disebutkan sangat minimal namun dengan harga maksimal. Pelayanan dimaksud bukan hanya berkaitan dengan fasilitas akan tetapi menyangkut sikap dan perilaku orang-orang yang terkait secara langsung dan tidak langsung. Secara khusus, menyangkut sikap dan perilaku masyarakat pengelola wisata di Sabang banyak aspek negatif menyebabkan seseorang menjadi menyesal, merasa tertipu, kecewa, memutuskan pulang lebih awal dan berjanji tidak akan datang lagi. Sikap seperti ini muncul karena:
a. Harga-harga yang ditetapkan tidak rasional (misalnya di salah satu restorant di pinggir pantai Pulau Rubiah, sepiring mie instant pakai telur dengan masakan hanya direbus seharga Rp. 10.000,- Demikian juga harga sewa boat dan peralatan yang mahal untuk ukuran wisatawan lokal. Pada beberapa item, harga sewa dan jasa menggunakan standard mata uang asing
b. Harga berubah-ubah. Contoh kasus, seorang wisatawan lokal pada pagi hari telah sepakat dengan pemilik boat harga lima empat ekor ikan Rp. 150,000,- Pada sore hari ketika pembayaran, si pimilik memaksa pembeli membayar Rp. 250.000,- dengan alasan dan raut muka memaksa tadi pagi dia salah menyebutkan harga (kejadian di Iboih, Agustus 2009)
c. Perlakuan diskriminatif; karena bukan orang Aceh, orang NGO dan orang bule. Hal ini berkaitan dengan harga suatu barang, harga sewa, jasa maupun pungutan-pungutan yang diberlakukan. Contoh kasus, pada Agustus 2009 di Iboih, ada dikutip biaya parkir kenderaan dan yang meminta adalah anak kecil yang katanya disuruh orang tuanya, dan ada juga yang tidak dikenakan biaya parkir. Kasus perlakuan diskriminatif yang mengarah kepada penipuan dan pemalakan ini bukan hanya di objek wisata, tapi juga sejak kedatangan di Pelabuhan Balohan, dimana supir bus, calo dan pihak-pihak yang memanfaatkan keadatangan wisatawan lokal dan mancanegara untuk kepentingan pribadi seperti harga sewa mobil yang berbeda antara orang lokal dan pengunjung dan praktek-praktek menjengkelkan lainnya.
d. Pelayanan minimal. Hampir di semua tempat wisata di Sabang pelayanan dalam arti sikap dan perilaku yang kurang menghargai dan menyenangkan, terkadang hal ini membuat wisatawan seperti pengemis atau terdakwa

Berbagai sikap dan perilaku disebutkan di atas pada dasarnya ibarat membakar jembatannya sendiri (burn his own bridge), hal tersebut akan menyebabkan wisatawan cepat pulang atau tidak datang lagi. Secara ekonomis hal ini berdampak langsung terhadap masyarakat pelaku pariwisata tersebut, termasuk kepada Pemko Sabang. Dalam teori modernis menyebutnya akibat kesalahan orang itu sendiri dan menurut istilah Maclleland mereka kurang Need for Achivement.

IV. Meningkatkan Kompetensi SDM Dalam Pariwisata dan Wirausaha Kreatif Menyongsong Pelabuhan Sabang
Industri pariwisata dunia telah mengalami globalisasi melalui liberalisasi dan aliansi perdagangan jasa yang tertuang dalam Persetujuan Umum Tarif Jasa (GATS) dimana pada tingkat regional dilaksanakan dengan pemberlakuan AFTA dan AFAS. Hal ini menyebabkan dunia tanpa batas yang bertujuan untuk mempermudah transaksi perdagangan barang dan jasa, sumber daya modal maupun mobilitas manusia. Selain itu, WTO memperkirakan pada abad 21 sektor pariwisata menjadi industri potensial. Diperkirakan ada 1,6 milliar wisatawan tahun 2020, dengan potensi pembelanjaan meningkat lima kali lipat dari tahun 2005, mencapai US$ 2 triliun.

Persaingan antar negara maupun daerah menjadi keharusan jika suatu DTW tidak ingin kehilangan kue pariwisata tersebut. Sabang sendiri, sebagaimana dikatakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sabang, Drs Helmi Ali (Harian Serambi Indonesia, 2/8/2009), saat ini pangsa pasar wisatanya masih didominasi turis backpacker (penyandang ransel). Untuk itu dalam rangka meningkatkan arus kunjungan, lama tinggal serta menarik pangsa pasar turis kelas atas, selain aspek sarana dan prasarana mutlak diperlukan pembangunan kualitas SDM stakeholders pariwisata di Sabang.

Pembangunan kualitas SDM yang dimaksud merujuk pengertian Sosiologi; cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan masyarakat merupakan tenaga pembangunan dan dampak pembangunan. Sosiologi pembangunan menekankan kepada hubungan interaksi masyarakat, diantaranya diwujudkan dengan gotong royong. Aktivitas ini sangat poisitf dalam membangun kohesi sosial; memberikan spirit dan value untuk saling berbagi dan menjaga kelangsungan hidup setiap warga dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan ciri budaya dan kebudayaan asli masyarakat Aceh itu sendiri yang toleran, bersahabat dan bergotong-royong. Dalam konteks terbatasnya anggaran Pemerintah Kota Sabang dalam membangun sektor pariwisata, meningkatnya kualitas dan kuantitas gotong-royong masyarakat akan sangat membantu.

Sebagaimana dinyatakan Flippo (1996:1) penatalaksanaan sumber daya manusia menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian atas pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia, agar tercapai sasaran individu, organisasi dan masyarakat. Untuk itu, merujuk Andrew E. Sikula (1981;145), Pemko Sabang sebagai regulator mutlak memiliki perencanaan yang baik dan dan benar dalam menentukan kebutuhan SDM dengan mempertemukan kebutuhan tersebut agar pelaksanaannya berinteraksi dengan rencana Pemko Sabang dalam pembangunan sektor pariwisata, sehingga berbagai upaya promosi pariwisata yang dilakukan Pemko Sabang dalam menarik kunjungan wisatawan tidak paradox di lapangan, akibat kurang siap dan mendukungnya masyarakat sebagai pelaku dan penerima manfaat dari pembangunan pariwisata tersebut.

Pertama, Pemko Sabang sesuai dengan arah kebijakannya untuk mengembangkan sektor pariwisata bahari, alam maupun budaya hendaknya menentukan kompetensi SDM yang ada pada dinas kepariwisataan. Sebagaimana sektor kesehatan dengan dokter-nya, sektor pendidikan dengan guru-nya, maka sektor pariwisata hendaklah diposisikan secara profesional. Persaingan yang ketat antar negara maupun DTW di dalam negeri menuntut profesionalitas setiap staff pengelola pariwisata. Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang telah ditandatangani negara anggota ASEAN misalnya, menuntut upaya sertifikasi standar pelayanan yang dapat diterima (accepteble) bagi sesama anggota ASEAN.

Sebagai efek pemberlakuan UU No. 29/1999 tentang Otonomi Daerah, instansi kepariwisataan turut berpengaruh dengan adanya perpindahan pegawai dari satu dinas/badan yang tidak relevan, menyebabkan kualitas SDM yang dimiliki (pengetahuan, sikap dan keterampilan) banyak yang lemah tentang kepariwisataan, baik pada aspek perencanaan, penyusunan arah kebijakan, pelaksanaan maupun pengawasan dan evaluasinya. Hal ini diperburuk dengan kurangnya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas SDM dalam instansi kepariwisataan tersebut, baik akibat faktor dana maupun kelemahan mengakses peluang-peluang yang ada. Bahkan, tidak jarang pula mereka yang telah dilatih dan telah mampu beradaptasi dengan tugas dan tanggungjawabnya kemudian dimutasikan lagi ke instansi lain.

Otonomi juga menyebabkan hubungan antara pemerintah pusat dengan provinsi/kabupaten/kota menjadi renggang, padahal tenaga-tenaga ahli kepariwisataan banyak terdapat di instansi di atasnya. Atas nama otonomi pula seringkali tenaga-tenaga ahli tersebut tidak dimanfaatkan dalam meningkatkan kualitas staff di Kota Sabang, misalnya dalam Training of Trainers Pariwisata untuk selanjutnya melatih staff lain, termasuk masyarakat secara terus-menerus.

Kedua, terkait dengan aspek pertama di atas, pengembangan pendidikan kejuruan kepariwisataan (SMK) di Sabang sangat diperlukan, sehingga SDM lokal memiliki kompetensi dalam mengelola dan mengembangkan potensi wisata di daerahnya. Diperlukan adanya model kompetensi manusia pariwisata yang sesuai dengan karakteristik objek wisata dan arah kebijakan pembangunan pariwisata Sabang dengan tetap mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).

Ketiga, meningkatkan kualitas SDM masyarakat. Sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan daerah pariwisata dan wisatawan peningkatan kualitas SDM masyarakat sedemikian penting terus dilakukan mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan setidaknya pada lima aspek bagian jasa sebagaimana dikemukakan Kotler yaitu reliability, responsiveness, assurance, emphaty dan tangible. Menggunakan media-media yang ada seperti Meunasah, Mesjid hingga diskusi warung kopi akan mengurangi formalitas, simbolika maupun dana yang diperlukan. Instansi pariwisata dan stakeholder lain juga sangat penting melaksanakan Training of Trainers berbasis masyarakat sehingga keterbatasan tenaga yang dimiliki pemerintah dapat diatasi.

Tahap berikutnya peningkatan kualitas SDM masyarakat berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam pengemasan daya tarik wisata, diversifikasi produk serta pengembangan kehidupan masyarakat pariwisata (living culture) yang khas dengan memperhatikan arah perubahan hubungan antara para pelaku kepariwisataan sebagaimana disebutkan World Travel and Tourism Council (WTTC) tahun 2003, yaitu (1) kemitraan yang koheren antara para pelaku kepariwisataan, usaha swasta dan pemerintah, (2) penyampaian produk wisata yang secara komersial menguntungkan, namun tetap memberikan jaminan manfaat bagi setiap pihak yang terlibat dan (3) berfokus pada manfaat bukan saja bagi wisatawan yang datang namun juga bagi masyarakat yang dikunjungi serta bagi lingkungan alam, sosial dan budaya setempat.

Keempat, pada level pengembangan produk-produk pariwisata, pemerintah melalui program-program pelatihan keterampilan, pra dan vocational training, entrepreneurship serta bantuan modal usaha hendaklah menekankan kepada apa yang dibutuhkan dalam pengembagan sektor kepariwisataan di Sabang, bukan kepada apa yang dipikirkan oleh pembuat program maupun masyarakat penerima program. Melalaui survey model community employment assessment (CEA) akan diketahui pelatihan sektor apa saja yang relevan dilaksanakan untuk menghasilkan produk souvenir pariwisata yang dibutuhkan konsumen. Pola pelatihan keterampilan dengan mendasarkan kepada jenis kelamin; perempuan menjahit, bordir, membuat kue dan salon, laki-laki pertukangan, perbengkelan, las dan sebagainya, sudah saatnya ditinggalkan. Demikian juga dari aspek penyelenggaraan yang sering manipulative dengan pengurangan jumlah jam maupun kualitas pelatihan. Berbagai pelatihan yang dilaksanakan haruslah mengacu kepada competency based training (CBT) sehingga produk pelatihan tersebut dapat meningkatkan keunggulan daya saing (competitive advantage) sektor pariwisata Sabang

Pada sektor pertanian dan perikanan sebagai mata pencaharian banyak penduduk, juga perlu dilakukan pelatihan-pelatihan bagi petani dan nelayan sehingga antara kedua sektor tersebut dapat dilakukan integrasi dengan usaha pariwisata (tourism business integration) yang akan menguntungkan kedua pihak. Produk ikan asin misalnya, dengan mengemas secara hygienis maka ikan asin Khas Sabang, dapat menjadi oleh-oleh lain, demikian juga produk pertanian seperti ubi-ubian, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Kelima, setelah keempat aspek tersebut terjamin, pada tahap berikutnya adalah peningkatan kualitas SDM dalam aspek promosi, komunikasi dan pemasaran pariwisata. Selama ini ada kecenderungan promosi lebih digalakkan dan dikedepankan akibatnya terjadi perbedaan antara apa yang dipromosikan dan kenyataan di lapangan. Aspek promosi, komunikasi dan pemasaran berkaitan dengan penguasaan tehnologi informasi dan komunikasi yang berkembang, sehingga produk-produk pariwisata yang dipublikasikan tersebut dapat ter-update secara luas hingga ke mancanegara maupun dalam rangka koneksi dengan DTW lain di dalam dan luar negeri.

Agar Anak Autis Mau Diajak Berbicara

Sumber: http://female.kompas.com/read/xml/2010/01/14/16164323/agar.anak.autis.mau.diajak.berbicara

KOMPAS.com - Sindrom antisosial, yang menghinggapi anak-anak mulai usia 2 tahun ini, terlihat dari keengganan pengidapnya untuk berkomunikasi atau berbicara dengan orang lain. Hal ini menyebabkan anak autis terkadang tidak menyatu dengan lingkungan. Akibatnya, orangtua jadi sulit untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan si anak.

Agar Anda dapat mengajak anak autis berkomunikasi lebih baik, ikuti tips dari sekolah autis D'Knot berikut:

1. Jadilah teladan. Biasakan untuk fokus mendengarkan anak ketika ia sedang berbicara, maka mereka juga akan mencontoh.

2. Saat berbicara, pastikan Anda mendapatkan perhatian penuh dari si anak. Bila ia sedang sibuk, tunggulah hingga ia siap mendengarkan Anda. Misalnya dengan mematikan TV atau radio yang bisa membuatnya berkonsentrasi pada Anda.

3. Bicaralah sebagai sahabat, bukan orangtuanya. Anak autis akan lebih menaruh perhatian pada orangtua yang menempatkan mereka sebagai sahabat. Coba saja perhatikan, mereka akan lebih menaruh perhatian saat berbicara dengan sahabatnya.

4. Sampaikan pesan dengan suara jelas, berintonasi, dan singkat! Contohnya, "Ayo makan malam sekarang, yuk!". Hindari kata, "Wah, sudah jam berapa ini? Sudah lapar belum? Kita makan yuk, nanti kemalaman lho. Kalau kemalaman, besok bangunnya kesiangan."

5. Sesuaikan pemilihan kata-kata sesuai dengan usianya.

6. Beri contoh, misalnya untuk makanan. Jika Anda menyuruhnya untuk makan sayur, maka Anda yang harus lebih dulu memberikan contoh. Selain itu, lakukan dengan konsisten.

7. Biasakan berbicara hanya sekali saja, dan tidak mengulang. Namun buat ia mendengarkan dengan seksama. Jika ia menunda, maka berikan hukuman (non fisik).

8. Asah agar keterampilannya untuk mendengarkan menjadi lebih baik. Seperti yang kita tahu, anak autis tidak suka berbicara, namun senang membaca dan mendengarkan musik. Anda bisa memperdengarkan musik atau membacakan buku cerita padanya.

9. Berkomunikasilah setiap hari. Ajak ia untuk lebih sering mengikuti setiap kegiatan yang ia gemari.

Metode Pembelajaran dalam Sekolah Autis

Metode Pembelajaran dalam Sekolah Autis

KOMPAS.COM/Golda Naya
PEC untuk mengkomunikasikan maksud dan keinginan anak autis.
Kamis, 14/1/2010 | 16:54 WIB

Sumber:http://female.kompas.com/read/xml/2010/01/14/1654450/metode.pembelajaran.dalam.sekolah.autis


KOMPAS.com - Anak-anak autis memang tidak mungkin bersekolah di sekolah umum. Mereka butuh sekolah yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan mereka yang berbeda.

Seperti yang kita tahu, anak autis memiliki kekurangan dalam hal berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Seperti apa tandanya? Tidak mau melihat ketika dipanggil, tidak merespons ketika diajak bicara, lebih suka sendiri, tidak suka berada di tempat yang ramai, tidak fokus pada suatu kegiatan, melakukan kegiatan tanpa suatu tujuan tertentu (misalnya, hanya berlari-larian tanpa henti di satu ruangan), dan memiliki IQ yang tinggi.

"Kalau menemukan anak-anak dengan kondisi itu, maka segera datangi psikolog atau sekolah autis. Kalau tidak, akan makin terlambat dan kemungkinan besar akan terjadi penurunan nilai-nilai akademiknya,'' tutur K. Vijaya, social worker volunteer dari Singapura yang mengajar di D'Knot.

Salah satu sekolah autis yang ada di Indonesia adalah D'Knot. Sekolah yang dipimpin oleh Andi Ridha ini menerapkan suatu metode pembelajaran khusus untuk anak autis. ''Kami menerapkan Individual Education Plan (IEP), atau sering disebut one on one learning (satu guru dan satu murid). Kami juga menempatkan orangtua sebagai partner dalam mengajar,'' papar Andi. Dengan demikian orangtua bisa berkomunikasi dan memantau perkembangan belajar dan terapi si kecil setiap hari.

Di sekolah ini juga terdapat sesi konseling, terapi dan evualuasi periodik (rapor dan laporan terapi) yang melibatkan kerjasama antara orangtua, guru, psikolog, terapis, dan tim ahli.

Agar guru dapat lebih fokus dalam membimbing anak didiknya, jumlah murid dibatasi. Dalam satu kelas maksimum hanya ada 8 murid, dengan 3 orang guru dan seorang asisten. ''Ada parents support group atau pertemuan guru dan orangtua anak autis setiap bulannya untuk bertukar pengalaman,'' tutur Andi.

Terapi standar yang diberikan antara lain evaluasi psikologis, finger print test, terapi wicara, Auditory Verbal Theraphy (AVT), terapi okupasi, speech teraphy, dan bimbingan belajar. Metode lain yang diberikan oleh sekolah yang berlokasi di Tomang, Jakarta Barat ini, adalah Picture Exchange Communication (PEC), yang merupakan metode bagi anak autis yang umumnya sulit berkomunikasi atau enggan berbicara.

''Lewat kartu yang menuliskan kebutuhan dan keinginan mereka, kita akan tahu maksud-maksud mereka. Jadi mereka tidak hanya menarik-narik baju kita jika ingin meminta kita melakukan sesuatu,'' papar Andi.

Selain itu, D'Knot juga menyediakan Nanny Academy yang dapat diikuti pengasuh atau baby sitter si anak. Peran mereka juga sangat dibutuhkan, karena umumnya usai berlibur panjang tanpa mengikuti terapi, anak autis akan mengalami penurunan kemampuan.

Bunga Kamboja, Penyegar bagi Penyandang Autis

Sumber:http://kesehatan.kompas.com/read/2009/11/04/11123425/Bunga.Kamboja..Penyegar.bagi.Penyandang.Autis/all

Rabu, 4 November 2009 | 11:12 WIB

KOMPAS.com — Bunga kamboja banyak dijumpai di areal pemakaman. Di Bali, bunga ini banyak dipakai sebagai pelengkap untuk acara keagamaan. Dipadu dengan bunga lotus, bunga kamboja memiliki efek positif bagi anak-anak autis.

Bunga kamboja (Plumeria acuminata ait) bisa ditemui dalam beberapa warna. Selain putih, ada pula kamboja warna merah atau kuning. Bunga ini berasal dari jenis pohon bercabang banyak. Dengan tinggi yang beragam, mulai tiga sampai tujuh meter, pohon kamboja terkenal banyak getahnya.

Uniknya, selain batang pokoknya besar, terkadang pohon ini tumbuh membengkok dengan kayu keras, dan cabang-cabang gemuk berdaging. Pada cabang yang masih muda dan lunak sering ditemui tangkai daun yang terlepas. Daunnya pun tumbuh tunggal, memiliki tangkai panjang, dan bergerombol di ujung dahannya. Bentuk daun rata-rata runcing dan kaku. Panjangnya antara 20-40 cm, lebar 6-12,5 cm.

Bunga kamboja yang juga disebut bunga sam oja (Sunda), cempaka kubur (Sumatera), atau bunga jabun (Bali) ini dikembangbiakkan dengan stek batang atau biji. Tumbuhan ini berasal dari Amerika tropis, biasa ditanam sebagai tanaman hias di pekarangan, taman-taman, kuburan, atau tumbuh liar. Pohon kamboja bisa ditemukan pada dataran berketinggian 1-700 meter di atas permukaan laut.

Untuk gangguan psikis
Untuk pengobatan alternatif, mulai dari daun hingga bagian lainnya (cabang, ranting, dan pohon), dipercayai bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Keharuman bunga kamboja sendiri diyakini sanggup memberikan kesejukan bagi pemilik atau yang sekadar memetiknya. Karena itu, menurut Tom Suhalim, seorang pakar energi bunga dan ahli penyembuhan melalui aura manusia, bunga kamboja dinilai menyimpan efek aromaterapi yang bermanfaat bagi anak penyandang autis.

"Dipadu dengan bunga lotus, bunga kamboja bisa menjadi aromatherapy untuk anak-anak autis. Bisa ditaruh ruangan belajar atau kelas khusus untuk anak-anak autis yang sedang belajar," jelas Tom Suhalim.

Pendapat itu dibenarkan oleh Dr Amarullah H Siregar, DIHom, DNMed, MSc, PhD, ahli naturopati di Jakarta. Bunga kamboja, katanya, lebih dikenal sebagai eternal parfum sehingga bunganya sering diindikasikan sesuai untuk menangani kasus-kasus yang mengarah pada gangguan psikis, seperti kelelahan mental, relaksasi pada lelah fisik, agresivitas berlebihan, dan juga sebagai obat penenang. Namun diingatkan, efek yang diperoleh sangat bersifat individual dan tergantung status medis orang per orang.

"Secara ilmiah, kegunaan bunga kamboja secara langsung belum ada penelitian. Tetapi sebagai preparat medis, yang sering digunakan adalah getahnya. Yaitu untuk bisul, pembengkakan pada kaki, sakit gigi, edema, gangguan buang air kecil, pencahar, diare, dan batu," jelas Dr Siregar.

Dr Siregar juga menambahkan, karena sifatnya sangat terapeutik, maka dosis penggunaan sangat individual. Tergantung kasus penyakit yang mendasari. Bahkan, menurutnya, pada dosis yang tidak sesuai atau berlebih bisa bersifat toksik atau racun.

Radang dan kapalan
Menurut berbagai literatur, efek lain yang bisa didapatkan bila kita mengolah bunga kamboja untuk obat ialah sebagai penurun panas (antipiretik), peluruh kencing (diuretik), menghentikan batuk (antitusif), dan menghilangkan hawa panas. Sedangkan kulit kayu pohon kamboja dipercaya bisa melancarkan buang air besar bagi mereka yang sembelit. Caranya adalah dengan mengeringkan atau menjemur bunga, getah, daun, kulit batang atau akarnya.

Profesor Hembing Wijayakusuma sendiri dalam bukunya Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia, seluruh bagian pohon kamboja memang bermanfaat untuk pengobatan, antara lain, bisa untuk mencegah pingsan, radang usus; disentri basiler; gangguan pencernaan; gangguan penyerapan makanan pada anak; radang hati; radang saluran napas, jantung berdebar, TBC, cacingan, sembelit, kencing nanah, beri-beri, kapalan, kaki pecah-pecah, sakit gigi, tertusuk duri atau beling, bisul, dan patekan. @ Suharso Rahman

Diet Khusus Belum Terbukti Efektif untuk Anak Autis

Sumber: http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/05/11234156/Diet.Khusus.Belum.Terbukti.Efektif.untuk.Anak.Autis/all

Selasa, 5 Januari 2010 | 11:23 WIB

KOMPAS.com - Para pakar autisme menyatakan, hingga saat ini belum ada bukti ilmiah yang menguatkan teori yang menyebutkan bahwa diet khusus mampu mengurangi gangguan perilaku anak-anak autisme.

"Sampai saat ini belum ada rekomendasi bukti ilmiah," tulis para pakar yang tergabung dalam konsorsium pemerhati autis, seperti The Autism Society of America dan The Autism Research Institute dalam jurnal Pediatrics.

"Meski begitu dokter dan orangtua anak autis harus menyadari bahwa masalah perilaku yang dialami anak-anak autis mungkin dipicu oleh kondisi medis lain yang tersembunyi, misalnya masalah pencernaan," tambahnya.

Pernyataan yang dikeluarkan para pakar itu menuai kontroversi karena sebelumnya berbagai laporan media dan buku menyebutkan bahwa diet khusus mampu mengurangi gangguan perilaku, seperti sikap hiperaktif yang kerap dialami anak autis. Anak-anak autis kerap kali mengalami berbagai masalah terkai
...masalah perilaku yang dialami anak-anak autis mungkin dipicu oleh kondisi medis lain yang tersembunyi, misalnya masalah pencernaan
t dengan pencernaannya, seperti sembelit, diare, atau perut kembung.

"Masalahnya anak-anak autis tidak bisa menjelaskan rasa sakit yang dialaminya karena mereka tak bisa berkomunikasi verbal. Akibatnya mereka menjadi agresif atau tantrum, bahkan melukai diri sendiri saat sakit. Sehingga orang lebih memfokuskan pada gangguan perilaku ini tanpa menyadari rasa sakit yang dialami anak," kata Geraldine Dawson, kepala riset Autism Speak, salah satu organisasi orangtua anak autisme, menanggapi pernyataan para pakar.

Para pakar autism mengatakan, diet khusus yang mungkin berhasil pada beberapa anak bukan berarti bisa diterapkan untuk seluruh anak autis. Hal ini karena belum ada bukti ilmiah bahwa metode diet tertentu efektif untuk kelompok anak autis.

Bila orangtua ingin mencoba metode diet tertentu untuk anaknya, para ahli menyarankan agar berkonsultasi pada profesional agar tidak terjadi kekurangan gizi.

Dawson mengatakan setuju dengan para pakar. "Selama ini orangtua selalu mencari jawaban yang sederhana, apakah metodi ini berhasil atau tidak. Padahal, faktanya dalam autisme tidak pernah ada yang sederhana," katanya.

Saat ini beberapa studi dan penelitian sedang dilakukan dan direncanakan selesai dalam tahun depan mengenai metode diet yang efektif untuk anak-anak autis. Sambil menunggu rekomendasi tersebut, para orangtua diingatkan bahwa keberhasilan seseorang dalam penanganan autis dikaitkan dengan pola makan, sifatnya individual.

MY FAMILY 3 Januari 2010