Kasus Kekerasan Terhadap Anak yang Diabaikan



Berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang terungkap akhir-akhir ini mengingatkan pada berbagai bantahan atau sanggahan, tatkala mensosialisasikan perlindungan anak kepada berbagai stakeholder. Dikatakan, kasus-kasus kekerasan maupun pelanggaran hak-hak anak yang merujuk kepada berbagai ketentuan perlindungan anak tersebut sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Aceh. Pendapat lain, kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan, hal tersebut sebagai konsekuensi perbuatan anak itu sendiri.

Pandangan terakhir itu pula yang mungkin mendasari sehingga pada Harian Serambi Indonesia beberapa minggu lalu muncul iklan permintaan maaf beberapa orang siswa kepada guru dan sekolahnya. Akibat anak menyatakan pendapatnya di Facebook tentang gurunya, mereka harus memilih untuk membuat pengakuan bersalah secara terbuka.

Berbagai bantahan, sanggahan bahkan kecurigaan terhadap upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap anak, pada satu sisi dapat dipahami sebagai manifestasi dari berbagai latar belakang budaya dan kebudayaan masyarakat kita, dimana masing-masing memiliki kadar subyektif-objektif terhadap kekerasan, terutama jika kekerasan tersebut terjadi dalam ranah domestik seperti di rumah tangga termasuk di lembaga pendidikan.

Berbagai penelitian menemukan kekerasan terhadap anak terjadi pada berbagai kebudayaan dengan cara dan bentuknya. Konon kekerasan adalah bagian penting kehidupan manusia. Sejak manusia bermula tatkala Kain membunuh adiknya, Habil. Thomas Hobbes (1588-1679) menyebut manusia sebagai mahluk yang dipenuhi dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri dan membenci sehingga menjadi jahat, kasar, buas dan pendek pikir. Jean Jaques Rousseau (1712-1778) menyatakan manusia pada dasarnya adalah ciptaan yang polos, mencintai diri secara spontan serta tidak egois. Rantai peradabanlah yang telah membentuk manusia menjadi binatang seperti sekarang.

Pada beberapa kebudayaan, masih menyamakan antara disiplin dan kekerasan. Belum terbedakan antara sanksi dan hukuman fisik-psikis. Masih tidak jelas perbedaan antara mengajar dan menghajar. Disebutkan untuk mengajar anak, namun dilakukan dengan cara menghajar, ada sampai berdarah-darah. Dikatakan agar anak disiplin, namun dilakukan penuh kebencian, dendam dan kekerasan. Demikian seterusnya kekerasan bereproduksi sehingga telah mensub-kultur. Ironisnya yang menjadi kambing hitam selalu saja anak-anak. Anak dapat menjadi korban kekerasan dari akibat perbuatan yang tidak dilakukannya. Perselisihan antara orang tua, korban pelampiasan seringkali anak-anak. Guru yang monoton mengajar di kelas yang menyebabkan murid tidak respek, lagi-lagi anak murid yang jadi sasaran kemarahan. Murid terlambat hadir di kelas dikenakan sanksi. Jika guru yang terlambat justru si guru tersebut yang marah mendapati keadaan murid-murid di kelasnya.

Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak sebagai hal wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orang tua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orang tua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum (http://duniapsikologi.dagdigdug.com).

Kasus-kasus Tidak Terduga
Menggunakan argument pihak-pihak yang menyatakan kasus-kasus kekerasan yang dicontohkan tidak mungkin terjadi di Aceh, beberapa bulan belakangan media massa memberitakan berbagai kasus kekerasan yang menodai sistem budaya dan kebudayaan kita. Mulai dari video adegan mesum oknum WH di Kabupaten Simeulue dengan sesorang yang mengenakan seragam sekolah, kasus incest (hubungan sedarah) dengan pelaku ayah tiri di Kabupaten Bener Meriah maupun perkosaan oleh oknum WH di Kota Langsa.

Contoh lain, beberapa tahun belakangan seperti kasus sodomi dan pemukulan terhadap anak di Mushalla Nelayan TPI Lampulo, Banda Aceh (Serambi Indonesia, 7 Desember 2007), oknum Polisi yang memukul dan menjemur 23 siswa di Muara Batu Aceh Utara (Serambi Indonesia 26 Februari 2008), abang menghamili adik ipar berusia 4 tahun di AcehTimur (Serambi Indonesia 29 April 2008), perkosaan bergiliran terhadap seorang perempuan di Bener Meriah (Serambi Indonesia, 28 April 2008). Bayi hubungan gelap dengan abang ipar yang dibunuh dengan cara dijepit bantal (Serambi Indonesia 27 April 2008).

Banyak lagi kasus-kasus terungkap seperti pelecehan seksual yang dilakukan oknum di institusi pendidikan, berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak-anak itu sendiri, kasus penculikan anak hingga perampokan terhadap anak.

Penyebutan contoh-contoh kasus di atas bukan bermaksud mendramatisir, namun sebagai gambaran masalah, betapa kasus kekerasan terhadap anak telah terjadi dalam berbagai bentuk, modus dan pelakunya adalah orang-orang dekat dengan anak, bahkan oleh penegak hukum. Kasus-kasus tersebutpun dikategorikan sebagai tidak terduga karena pelaku merupakan orang atau pihak yang sejatinya pelindung dan pengayom. Mereka adalah orang yang seharusnya paling terdepan memberikan perlindungan terhadap anak merujuk kepada tugas, fungsi, kewajiban dan tanggungjawab yang diamanahkan kepadanya.

Berikutnya, contoh-contoh kasus disebutkan menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada daerah-daerah pedesaan, dalam hubungan terjadinya kekerasan akibat faktor ekonomi maupun masyarakat yang belum melek hukum. Jika dilihat dari bentuk kasusnya, kasus yang terjadi di pedesaan bukan lagi kekerasan yang “lazim” seperti pemukulan ataupun memarahi anak. Di pedesaan, telah terjadi incest, sodomi, perkosaan hingga hamil di luar nikah. Sementara di pinggiran hingga pusat kota, dimana kehidupan ekonomi serta akses terhadap informasi lebih baik, kasus kekerasan justru lebih bervariatif dan memprihatinkan.

Dari study kasus dan pengalaman pendampingan yang dilakukan, kekerasan terhadap anak di pedesaan maupun perkotaan telah terjadi sejak lama, hanya saja selama ini kita cenderung menutupi demi menjaga nama baik keluarga hingga nama baik kampung. Pada pihak lain, ternyata kita tidak selalu dapat mengklaim bahwa sistem sosial, pemerintahan gampong maupun kebudayaan yang ada mampu menjaring segala bentuk kekerasan yang dialami anak. Buktinya, ada kasus-kasus incest yang telah berlangsung lama. Ada banyak kasus kekerasan berulang-ulang terjadi pada anak dan itu diketahui masyarakat sekitar.

Hal penting harus diingat, kasus kekerasan pada ranah domestik maupun faktor masih kentalnya subjektifitas melihat suatu kasus, menyebabkan jumlah kasus dilaporkan atau yang terungkap bukanlah jumlah sebenarnya. Terdapat lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan terutama kasus KDRT dengan berbagai pertimbangan yang umumnya mengacu kepada ketidak-berdayaan korban/keluarga karena pelaku memiliki kekuatan lebih yang dianggap dapat mengancam pelaku pada berbagai dimensi, seperti karena pelaku kepala keluarga, dan lain sebagainya.

Masalah penting
Berdasarkan kualitas dan kuantitas kasus terungkap maupun yang tidak dilaporkan kekerasan terhadap anak di Aceh merupakan masalah substansional, terutama jika dikaitkan dengan adanya Qanun No. 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan berbagai ketentuan lain mengenai perlindungan anak. Pencegahan dan penanggulangan kasus kekerasan terhadap anak seharusnya tidak diposisikan lagi sebagai the left-over, yang baru dipikirkan setelah yang lain-lain beres.

Pertama yang harus dituntaskan adalah mekanisme pendataan kasus. Hingga kini di Aceh tidak ada data kekerasan terhadap anak yang akurat dan menyeluruh yang dimiliki pemerintah. Data-data yang ada umumnya data lembaga non pemerintah, atau data per lokasi maupun data kasus yang dilaporkan kepada kepolisian atau terungkap melalui pemberitaan media massa. Telah terdapat beberapa instrument pendataan yang dipersiapkan pihak lain namun sistem tersebut kurang aplikatif dan terkoordinir. Efek domino tidak akuratnya data ini berimbas terhadap perencanaan dan penganggaran program perlindungan anak di Aceh, belum berbanding lurus dengan upaya mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap anak.

Kedua, Qanun No. 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak yang sejatinya menjadi rujukan arah pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak di Aceh belum tersosialisasi secara maksimal. Indikatornya adalah Qanun tersebut belum dijadikan dasar dalam perencanaan dan penganggaran program perlindungan anak secara maksimal. Sebagaimana Konvensi Hak Anak, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Qanun No. 11 Tahun 2008 belum tersosialisasi secara sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan khususnya kepada para pejabat pembuat keputusan, perencanaan dan anggaran, aparat penegak dan pihak terkait lain menyebabkan program perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan baru dipikirkan setelah yang lain-lain beres.

Akibat kedua hal tersebut, ketika terdapat kasus anak korban kekerasan seringkali kita mengalami kegamangan menanganinya, bahkan pemerintah seolah lepas tangan dengan merujuk penanganan kasus tersebut kepada lembaga swadaya masyarakat yang saat ini kondisinyapun banyak hidup segan mati tak mau. Kita belum memiliki drop in center atau penampungan sementara, sehingga seringkali penanganan permasalahan anak korban kekerasan menimbulkan masalah baru. Sistem koordinasi dan kerjasama realitanya tidak jarang menjadi beku manakala pihak-pihak saling menyatakan keterbatasannya. Inisiatif pribadilah pada akhirnya acapkali memecah kebekuan tersebut. Demikian juga dalam penanganan kasus maupun pasca penanganan kasus, belum terjamin implementasi sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan dalam program pemerintah.

Bahkan, Pemerintah Aceh belum memiliki program komprehensif untuk mencegah, menangani dan merehabilitasi kekerasan terhadap anak dengan pelaku orang tua atau keluarga, sehingga pemerintah dapat diangap membirakan anak-anak berada dalam lingkungan kekerasan (di rumah, di sekolah maupun di masyarakat). Hal-hal seperti ini tentu saja bertentangan dengan maksud dan tujuan Qanun No. 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.

Berikutnya, dalam konteks Aceh dengan Syariat Islam, mutlak diperlukan reinterpretasi tentang dalil-dalil agama yang selama ini mungkin disalahkonsepsikan dan dijadikan justifikasi kewenangan dan kepemilikan orang tua atas anak-anaknya, yang melemahkan posisi dan daya tawar anak dalam keluarga, bahkan menjadi dasar orang tua melakukan kekerasan terhadap anak. Melibatkan tokoh agama, tokoh adat dan pihak-pihak terkait lain untuk mensinergiskan ajaran agama Islam dengan instrumen internasional, nasional dan qanun perlindungan anak berkaitan dengan isu hak anak hendaknya dilakukan sehingga program penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak dapat dilakukan secara sinergis.

Hal ini penting mengingat dalam masyarakat masih banyak paradigma perlindungan anak yang menganggap mereka dapat memperlakukan anak-anaknya sesuka hatinya, dan bahwa orang lain sering mengambil jarak walaupun diketahui atau dilihat telah terjadi kekerasan terhadap anak dalam suatu keluarga. Dalam hal ini, tentu tidak tepat mempersalahkan masyarakat, pemerintahlah seharusnya berkewajiban membangun keluarga-keluarga sehingga mereka dapat melaksanakan tugas dan fungsinya memberikan perlindungan yang maksimal kepada setiap anak, dan agar kasus kekerasan anak tidak dianggap sebagai hal yang harus dilakukan dalam rangka mengasuh, mendidik dan membina anak. Dan agar masyarakat tidak bersikap munafik dengan menutup-nutupi kasus yang ada demi menjaga simbol-simbol budaya dan kebudayaannya.

Tentu tidak cukup hanya dengan sosialisasi peraturan yang ada, apalagi sosialisasi tersebut hanya dilakukan melalui seminar-seminar di hotel-hotel. Diperlukan program berkelanjutan yang partisipatif misalnya program keluarga ramah anak yang sesuai dengan budaya dan kebudayaan masyarakat setempat. Program ini tentu tidak berdiri sendiri, diperlukan sinergi antara instansi/badan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga tingkat desa, termasuk dengan lembaga non pemerintah.


Banda Aceh, 26 Fabruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar