Petani Garam Korban Gempa: mereka belum bangkit sendiri

7 Desember 2016, gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, menyebabkan korban jiwa, kerusakan rumah, jalan raya dan fasilitas umum. Seseran gempa juga berdampak langsung terhadap petani garam di Gampong (desa) Lancang Paru, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Bentuk kerusakan seperti runtuhnya Jambo (rumah produksi) dan Jantan (alat penyaring air dan pasir laut) serta keretakan tanah di area Jambo maupun aliran air menyebabkan air laut bebas masuk ke lahan.

Pasca 7 Desember 2016, selama lebih satu bulan lebih mereka yang bertani garam, bersama penduduk lainnya juga harus hidup di tenda di Dusun Lapangan. Sampai minggu ketiga Februari 2017, dari 402 kepala keluarga di Gampong Lancang Paru, masih banyak tidur di tenda yang didirikan di depan rumah dengan alasan untuk keamanan dari gempa susulan atau bagian-bagian rumah yang retak atau rubuh.  

Turun-temurun


Petani garam di Gampong Lancang Paru, sudah ada lebih 100 tahun lalu. Saat ini terdapat 94 unit rumah produksi (Jambo) dan sedikitnya 200 orang penduduk gampong menjadi petani garam yang didominasi perempuan, dengan lahan dan tampat produksi tidak jauh dari rumah. Mereka ada petani yang memiliki Jambo dan lahan sendiri serta ada menyewa atau menjadi pekerja di lahan orang lain dengan sistem bagi hasil; dua bagian untuk pemilik lahan dan Jambo serta satu bagian untuk pekerja.

Garam yang diproduksi adalah garam kasar untuk konsumsi rumah tangga dengan pasar utama di Kabupaten Pidie Jaya. Garam dari Lancang Paru memiliki keistimewaan karena diolah alamiah dan sangat baik digunakan untuk mengolah asam sunti. Jika menggunakan garam produksi pabrik, asam sunti yang diolah cepat busuk dan rasanya kurang enak. Garam tersebut juga digunakan untuk penyedap rasa masakan.

Rutinitas kerja sejak zaman nenek-moyang tersebut dianggap menjadi tradisi kerja dan identitas mereka. Identitas yang tidak hanya memberikan makna terhadap kehidupan dan pola relasi di lingkungan kerja tapi sekaligus menjadi ciri yang melatarbelakangi usaha pertanian garam tetap mereka lakukan sampai sekarang. Identitas sebagai petani garam dari nenek moyang tersebut telah merupakan totalitas dan menunjukkan ciri-ciri, keadaan khusus atau jati diri dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari pekerjaan dan kehidupan mereka sehari-hari. Alasan ini pula menyebabkan model produksi baru yang pernah disediakan satu lembaga internasional pasca gempa dan tsunami Aceh tahun 2010 lalu mereka tinggalkan, karena dianggap menjauhkan dari tradisi yang mendarah-daging.

Rutinitas kerja
Pagi hari,  jam 07.00, mereka mulai bekerja, mengangkat pasir laut ke Jantan dan menyiram pasir dalam Jantan dengan air laut. Hasil saringan air yang ditampung dalam jerigen kemudian dibawa dalam tong bekas cat atau jeregen dengan cara menjunjung ke Jambo, kemudian dimasukkan ke kuali untuk dimasak selama 10-12 jam.

Bekerja lebih 12 jam sehari dengan memasak 200 liter air asin dalam dua tungku, petani garam akan menghasilkan 20-25 kilogram garam. Dengan harga jual Rp. 3.000/kg maka penghasilan diperoleh Rp. 60-75 ribu/hari. Jumlah harian garam yang diproduksi tidak pasti. Menurut petani, jumlah dan kualitas garam tergantung musim hujan atau kemarau. Musim hujan, kandungan garam berkurang, jika dimasak 100 liter biasanya menghasilkan 15-16 kilogram garam. Pada musim kemarau, dengan jumlah air yang sama akan menghasilkan 20-25 kilo garam. Musim kemarau kandungan garam dalam pasir dan air lebih tinggi.

Harga jual garam petani kepada muge (pengumpul) yang datang menggunakan sepeda motor, tidak pasti, setiap hari. Muge yang menentukan harga. Jika produksi petani banyak, musim kemarau, harga beli Muge biasanya rendah; pada kisaran Rp. 1.800-2.000/kilo. Jika produksi berkurang (musim hujan) harga garam akan naik, dengan harga tertinggi Rp. 4.000/kilogram. Dengan demikian range harga jual garam petani kepada Muge adalah Rp. 1.800-4.000/kilo. 

Jika musim kemarau, sambil memasak air garam, petani biasanya mengangkat pasir laut untuk disimpan di Jambo (rumah produksi). Pada musim hujan, pasir simpanan tersebut yang dipergunakan. Mereka mengangkat kembali pasir dari Jambo ke tempat penyaringan (Jantan) yang letaknya 15-30 meter dari Jambo dengan menjunjung dalam karung plastik dengan berat 20-35 kilogram. Pernah dipergunakan alat atau kereta dorong, namun daya tahan alat dorong tersebut tidak lama, akibat pengaruh air asin, daya tahannya maksimal enam bulan. Membeli kembali alat dorong baru, secara ekonomi dikatakan tidak mungkin. Alat pengangkat pasir dan air yang lain belum ada ditemukan petani.    

Petani garam mengatakan, mereka hanya kuat mengangkat pasir 30-40 kali sehari. Selain karena berat beban pasir dan air yang diangkat, pekerjaan tersebut setiap hari dilakukan, sehingga lelah kemaren belum hilang, hari ini sudah melakukan pekerjaan yang sama. Apalagi, selain menjadi petani garam, pada saat bersamaan pekerjaan domestik dikerjakan. Rutinitas perempuan di pedesaan tetap dilakukan. Bagi perempuan orang tua tunggal, sambil bekerja di ladang garam, mereka menjaga anak, memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lain. Jika proses memasak air sudah dilakukan di Jambo, mereka berjalan kaki pulang ke rumah untuk mencuci atau memasak dan kemudian kembali lagi ke Jambo untuk mengecek proses pemasakan air menjadi garam.

Hasil garam untuk keluarga
Hasil jual garam berkontribusi langsung terhadap nafkah harian keluarga dan membiayai keperluan anak sehari-hari seperti uang transport ke sekolah, uang jajan dan keperluan harian lain. Suami yang berkerja sebagai buruh kapal penangkap ikan, penghasilannya tidak pasti. Mereka umumnya keluarga miskin dengan penghasilan pas-pasan. Anak-anak mereka ada putus sekolah terutama setelah tamat sekolah menengah pertama.

Biaya harian anak ke sekolah seperti transport, uang jajan dan keperluan sekolah lain dirasakan membebani, apalagi jumlah anak mereka antara 4-5 orang. Pemerintah memang menggratiskan uang sekolah, namun transport dan jajan harian serta pungutan lain dianggap memberatkan. Terutama akibat kenaikan harga-harga kebutuhan sekarang, total pendapatan keluarga dianggap tidak mencukupi. Putus sekolah dan kemudian bekerja membantu orang tua menjadi pilihan anak laki-laki dan perempuan.

Bagi perempuan yang memiliki suami, jika penghasilan suami dari melaut tidak mencukupi, uang dari hasil bertani garamlah menjadi tumpuan, termasuk jika suami tidak bekerja karena ada acara sosial di kampung atau faktor cuaca menyebabkan nelayan tidak melaut.

Belum bangkit sendiri
Besarnya biaya pembangunan Jambo dan Jantan bagi banyak perempuan, terutama orang tua tunggal, yang mencapai 5-7 juta disebutkan sebagai faktor utama mengapa dua bulan lebih pasca gempa belum bertani garam lagi. Jambo-jambo dan Jantan yang rubuh akibat gempa sampai sekarang masih ada dibiarkan begitu saja, beberapa sudah dirubuhkan dan Jambo yang masih dianggap kuat, petani sudah memulai aktivitasnya seminggu pasca gempa.

Selalu menanti bantuan kemanusiaan, dianggap bukan pilihan terbaik untuk kelanjutan hidup keluarganya. Tidak semua keperluan hidup terpenuhi dari bantuan kemanusiaan berbagai pihak. Tidak semua bantuan yang datang dapat merespon secara spesifik keperluan korban gempa, terutama untuk perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas. Bantuan berbagai pihak dominan berupa makanan, mie instan, minyak goreng atau keperluan anak sekolah. Sensifitas kemanusiaan kita masih dominan pada aspek tersebut.


Mereka, petani garam di Gampong Lancang Paru, merupakan korban gempa bumi. Usaha mereka terdampak langsung dan gempa tersebut menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan mereka. Masyarakat korban gempa Pidie Jaya, khususnya petani garam, bukan saja berhak atas bantuan kemanusiaan pada masa tanggap darurat, dalam konteks hak asasi manusia, kita berkewajiban untuk secara bersama-sama membangun kembali bagian mata pencaharian mereka yang rusak akibat gempa, sebagaimana dimandatkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Bukan “belas kasihan” atau turut serta pada masa tanggap darurat, tetapi akan sangat penting untuk menghidupkan kembali sektor ekonomi dan mata pencaharian petani garam korban gempa oleh pemerintah maupun masyarakat dengan membangun kembali Jambo, Jantan dan menyediakan peralatan kerja sehingga korban bangkit bersama membangun kehidupannya, dengan tetap memperhatikan dan mengakui identitas diri petani garam untuk meningkatkan produksi, meringankan beban kerja, mempersingkat waktu dan alur kerja, meningkatkan harga jual dan menyediakan ruang kerja yang sehat untuk perempuan