Menggunakan Sepeda Motor ke Sekolah

http://harian.analisadaily.com/opini/news/menggunakan-sepeda-motor-ke-sekolah/357036/2017/06/06

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik. 

Secara nasional, Korlantas Polri menyebutkan, tahun 2016 terjadi 105.374 kasus kecelakaan lalu lintas de­ngan korban meninggal 25.859 orang, luka berat 22.939 orang dan luka ringan 120.913 orang. Kasus tersebut me­ningkat dari tahun sebelumnya yaitu 98.970 kasus tahun 2015 dan 95.906 kasus tahun 2014 (kompas.com). Tahun 2016, dari 4.427 jumlah kecelakaan sepeda motor yaitu 527 orang meninggal, 579 luka berat dan 3.321 luka ringan (news.viva.co.id).
Di Jakarta, tahun 2016, 1.253 orang pelajar jadi korban kecelakaan lalu lintas di jalan raya dan 1.156 orang tahun 2015 (http://www.otomania.com). Sementara di Sumatera tahun 2015 terjadi 21.390 pelanggaran lalu lintas dan 20.165 kali tahun 2016. Operasi Zebra tahun 2015 menindak langsung (tilang) 27.525 set, teguran 3.865 kali dan 17.066 set tilang serta teguran 3.099 kali tahun 2016 (daerah.sindonews.com).
Keselamatan Anak
Kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas melibatkan pelajar atau anak (seseorang berusia di bawah 18 tahun) di berbagai provinsi di Indonesia, termasuk Sumatera Utara telah menjadi keprihatinan. Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia kehila­ngan hingga 400 ribu nyawa di bawah usia 25 tahun setiap tahun karena kece­lakaan lalu lintas atau setara seribu kema­tian remaja setiap harinya (http://otomotif.liput­an6.com).
Rendahnya kesadaran mematuhi peraturan berlalu lintas dan memiliki surat izin mengemudi (SIM) serta lemahnya penerapan hukum untuk menjadikan keselamatan anak sebagai pertimbangan utama menye­babkan anak-anak kita masih bebas memakai sepeda motor dalam berbagai akifitas. Orang tua, penegak hukum dan pendidik mengalami paradox-ambigu; mengakui kebe­naran tapi manipulatif bersikap. Kemauan taat regulasi, tapi unsur kebebasan dalam diri berakibat regulasi yang diketahui diabaikan akibat penga­ruh materi, keadaan milleu (lingkungan) atau kata hati (consciensi). Proses ber­fikir otak bagian neo cortex sering ne­gatif menghadapi apakah anak dibiarkan menggunakan kenderaan atau tidak.
Kita, orang tua, membiarkan atau me­mfasilitasi anak menggunakan kende­raan bermotor. Orang tua narsistik; bang­ga jika anaknya sudah mahir mengen­derai sepeda motor. Narsistik intensi agresivitas, kecenderungan berperilaku yang berlawanan dengan aturan umum atau norma sosial secara sengaja yang dapat mengakibatkan kerugian dan keru­sakan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Kita tahu mereka belum me­miliki SIM tapi membiarkan atau me­nyuruh anak memakai kenderaan dan terkadang disertai pesan agar melalui jalan kecil atau gang untuk menghindari polisi. Pesan langsung kepada anak ba­gai­mana cara melanggar hukum. Pelang­garan itu dimulai dari pesan orang tua dan keluarga.
Konvensi Hak Anak menyatakan, anak belum matang secara fisik dan men­tal sehingga penting untuk selalu diberikan perlindungan untuk menjamin anak memperoleh perlin­dungan dan hak-haknya agar mereka dapat hidup, tum­buh, berkembang dan berpartisipasi se­ca­ra optimal sesuai harkat dan martabat kema­nu­siaan, serta mendapat perlindu­ngan dari segala hal yang membaha­yakan keselamatan fisik dan psikisnya.
Perkembangan usia anak relevan dengan perilaku berlalu lintas. Keinginan memperoleh kepantasan dan kemata­ngan seringkali menjerumuskan mereka berperilaku mengarah kenakalan. Ling­kungan dan teman sangat mempe­nga­ruhi, apalagi keluarga ikut mendukung atau kurang membimbing. Mereka sedang mencari indentitas dan pola hidup dan hal itu sering tidak sesuai norma hukum dan sosial. Penelitian Caspi dan Moffit (Davies, Hollin dan Bull, 2004) perilaku kriminalitas anak (kriminalitas kecil hingga kriminal berat) telah muncul dari masa kanak-kanak namun akan meningkat pada usia masa remaja dan mencapai puncaknya di usia remaja akhir (16-18 tahun). Mereka bangga melang­gar hukum. Mereka bangga jika mele­wati polisi tapi tidak diberhentikan. Lagi-lagi orang tua bangga jika selama berken­dara, anak belum pernah diber­hen­tikan polisi atau tilang.
Umumnya pengelola sekolah telah melarang siswa memakai kenderaan ke sekolah, namun larangan tersebut terbatas karena anak memarkirkan kenderaan di luar lingkungan sekolah. Pendidik sebenarnya tahu pola ngibul siswa tersebut, apalagi ada pihak me­manfaatkan situasi dengan menye­diakan lahan parkir di luar sekolah. Tapi benar, ada juga sekolah dimana siswanya benar-benar tidak ada menaiki kenderaan sendiri ke sekolah.
Norma hukum
UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan aturan pelak­sanaannya secara otomatis melarang siswa (belum berusia 17 tahun) menaiki kenderaan sendiri karena belum memi­liki SIM sesuai jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan (pasal 77 ayat 1) dengan sanksi pidana kurungan paling lama empat bulan atau denda paling banyak satu juta rupiah (pasal 281).
Aturan tersebut merupakan ancaman pidana bersifat alter­natif; pidana kuru­ngan atau denda. Hakim akan me­nentukan hukuman paling tepat kepada pelanggar. Polisi biasanya menilang dan meminta orang tua anak mengambil ken­deraan di kantor polisi setelah mengurus surat tilang. UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur pidana penjara kumulatif dengan pidana denda. Ketika anak sebagai pelaku, pidana denda tidak termasuk dalam pida­na pokok atau tambahan. Pidana pokok untuk anak adalah peringatan, pidana dengan syarat pembinaan di luar lem­baga, pelayanan masyara­kat atau pe­ngawasan. Kemudian pidana pelati­han kerja, pembinaan dalam lembaga dan pili­han terakhir adalah penjara. Se­men­tara pidana tambahan yai­tu ­pe­rampasan keuntungan yang dipe­roleh dari tindak pidana atau  pemenuhan kewajiban adat.
Tanggung jawab suatu tindak pidana dalam asas hukum pidana kita mengatur bahwa tidak dapat dialihkan kepada orang lain, termasuk orang tua atau keluarga anak. Orang tua hanya dapat diminta pertanggungjawaban perdata sesuai pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana orang tua dan wali bertanggung jawab tentang keru­gian yang disebab­kan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.
Penegakan hukum yang adil
Orang tua menjadi kunci utama dan pihak paling bertanggungjawab. Peneli­tian kriminalitas remaja di Inggris (Snyder: 2006) dan Sickmund (2006) di Amerika Serikat menemukan pelaku kejahatan kekerasan anak banyak berasal dari rumah tidak harmonis, latar belakang sosial-ekonomi rendah, akses ke senjata tanpa pengawasan yang cukup, pernah mengalami kekerasan dan pengabaian serta anak yang meng­gunakan atau menyalahgunakan zat adiksi terlarang (Brown, 2010).
Kesadaran bahwa hal tersebut mem­bahayakan keselamatan anak, hendak­nya menjadi dasar pertimbangan orang tua, terutama jika mendasarkan perilaku berlalu lintas kita masih buruk. Kepenti­ngan terbaik anak adalah pertimbangan dan tujuan utama kepu­tusan orang tua.
Tujuan adanya hukum untuk mem­peroleh kedamaian, keserasian dan ketertiban. Kita semestinya mematuhi aturan hukum agar hidup berkeadilan dan berkebaikan. Masyarakat berperan menentukan penegakan hukum dan dalam hukum yang tegak dan adil itulah level kebudayaan kita. Jika tetap membiarkan pelanggaran, maka disitu­lah berarti kebudayaan kita berada. Jangan salahkan jika ada menilai kita sebagai masyarakat kacau, karena perilaku kita kacau di jalan raya.
Distribusi hak dan kewajiban kita tidak seimbang. Hukum yang berlaku tidak lagi menjadi dasar berperilaku. Pemakluman terhadap anak berkendara tanpa SIM hanya akan memperlemah hukum dan peran penegaknya. Kesemra­wutan dan perilaku kacau masyarakat di jalan raya dipicu ketidakadilan hukum. Seorang saja yang patuh tidak cukup di jalan raya. Ego setiap manusia akan muncul di jalan raya dan itu hanya akan membuat kesemerawutan bertambah. Mengikuti orang yang melawan arus menjadi biasa. Kehadiran fisik polisi di jalan menjadi acuan kepatuhan. Tentu tidak setiap saat polisi berdiri di setiap jengkal jalan raya.
Penegakan hukum yang tegas terha­dap anak tidak sekedar menilang dan meminta orang tua menebus tilang serta meng­ambil kenderaan di kantor polisi. Perlu dibuat perjanjian tertulis melibat­kan orang tua dengan sanksi jika melakukan pelanggaran lagi orang tua membayar denda maksimal atas pelang­ga­ran anaknya, atau bisa jadi SIM orang tuanya dicabut. Hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia dan oleh karena itu hukum harus selalu dite­gakkan dengan memper­hati­kan kepas­tian, kemanfaatan dan keadilan. ***
Penulis bekerja di Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)