Psikososial Anak Korban Gempa di Kabupaten Pidie Jaya

Gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya, 7 Desember 2016, membawa tekanan tersendiri kepada anak-anak secara psikis dan pisik. Team Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Emergency Aid (PKPA) melakukan identifikasi dampak gempa dari aspek psikososial kepada anak-anak.

Gempa pagi, saat sedang tidur menyebabkan mereka terkejut dan di rumah, perabotan atau peralatan ada yang jatuh, pecah dan runtuh. Mereka gugup, panik, lari ketakutan, apalagi sesaat setelah gempa aliran listrik padam menyebabkan suasana gelap dan hampir dari semua penjuru gampong orang-orang berteriak, berlarian dengan ketakutan, menangis histeris dan dari mesjid terdengar suara Azan.

Anak-anak ada yang tertimpa prabotan atau bagian rumah karena tidak dapat segera lari saat gempa terjadi atau beberapa anak mengatakan, gempa yang menghentak itu menyebabkan  mereka seketika panik sehingga tidak mengetahui apa yang harus dilakukan saat itu. Suasana gelap menyebabkan mereka hanya mengandalkan feeling untuk mencari jalan keluar dari kamar dan rumah. Seorang anak mengatakan, suasana pagi itu seperti akan kiamat.  

Pagi, ketika matahari terbit, mareka menyaksikan suasana gampong akibat seseran gempa; mesjid runtuh, rumah tersungkur dan peralatan di dalamnya berserakan, tanah dan jalanan retak. Penduduk berkumpul, menangisi suasana, beberapa orang masih menjerit dan menahan sakit akibat tertimpa perabotan atau bagian rumah. Kesedihan, kepanikan, tangisan dan peluk haru masih menyelimuti. Menjelang siang mereka semakin terlokalisir di penampungan, penduduk yang cidera memperoleh pertolongan medis. 

Ketakutan pulang ke rumah berlaku serta-merta. Anak-anak tetap dalam pengawasan orang tua. Kewaspadaan mengekangi apalagi gempa susulan terus terjadi. Ruang gerak anak semakin dibatasi, larangan bentakan dan hardikan mengakrabi anak yang ingin manyalurkan kelebihan tenaganya untuk melihat langsung suasana gampong. Orang tua khawatir, cemas dan ingin menjaga anak sehingga larangan atau memarahi diterapkan.

Setelah gempa dan hidup di penampungan atau tenda di depan rumah, wawancara dan observasi team PKPA Emergency Aid mencatat pengalaman anak-anak.

Dampak Emosi
Dampak secara emosi ketakutan terhadap terjadinya gempa susulan dan takut mendengar suara kuat. Perasaan takut yang bersifat khayalan diantaranya kecemasan terhadap terjadinya tsunami dan cepat merespon hal-hal tertentu, misalnya jika diminta menutup pintu anak segera melakukan atau ketakutan sembaru keluar rumah jika mendengar suara kuat seperti piring jatuh atau benda yang bergerak. Kecemasan berada dalam rumah dialami, terutama bagi anak yang bagian rumahnya ada retak atau rusak. Mandi, makan, ganti baju dan aktifitas dalam rumah lain dilakukan penuh waspada dan kecemasan, karena jika terjadi gempa mereka takut terkena reruntuhan rumah.

Dampak Pikiran
Dampak pada pikiran disebutkan, anak-anak sulit berkonsentrasi, karena sering memikirkan terjadinya gempa susulan atau memikirkan keluarga jika berada jauh dari keluarga. Khayalan dan halusinasi terhadap gempa yang berakibat tsunami disebutkan sering membayangi keseharian mereka, sering dikhayalkan akibat-akibat jika tsunami terjadi di gampongnya.
Mudah terkejut atau terusik merupakan dampak lain pada pikiran anak dan hal tersebut membuat pikirannya tidak tenang. Anak lain mengatakan dia sering merasa bingung karena kehidupan yang dijalani berubah dari biasanya. Dari hidup dalam rumah secara tenang. Rumahnya ada secara fisik tapi tidak dapat ditinggali seperti biasanya. Mandi harus cepat dan dengan waspada, timba saja jatuh telah membuat jantungnya berdebar kencang, bahkan ada sampai pucat ketakutan. Mimpi buruk pada malam hari ketika tidur di tenda disebutkan sering dialami. Beberapa anak mengatakan, mimpi itu mungkin terjadi karena sebelum tidur mereka sering mengingat peristiwa gempa yang lalu.

Dampak Perilaku
Dari aspek perilaku, anak-anak yang mengalami gempa di Pidie Jaya mengaku ruang gerak mereka selalu dibatasi orang tuanya. Mereka sering diingatkan untuk tidak pergi jauh atau tidak pergi sendiri dan menghindari berada di bawah gedung atau bangunan. Orang tua mengkhawatirkan terjadinya gempa susulan dan takut anaknya mengalami hal tak diinginkan. Anak dan orang tua mengatakan, sejak gempa, sensifitas anak terhadap nasehat orang tua semakin meningkat dan kewaspadaan anak semakin tinggi. Anak lain mangatakan sejak gempa dia menjadi phobi terhadap gelap, karena pada saat gempa terjadi suasana gelap.

Ketidak-bebasan juga dirasakan khususnya anak perempuan ketika berganti pakaian di tenda atau jika di dalam rumah dilakukan dengan hati-hati, antisipasi jika ada gempa.

Pada waktu tidur anak mengaku takut tidur sendiri, dia harus ditemani dan ada anak berusia di bawah lima tahun mengatakan kalau tidur harus dipeluk orang tua. Perubahan perilaku tidur anak disebutkan terjadi karena sekarang mereka tidak tidur di rumah atau kamar, tetapi di tenda luar rumah dan bersempitan. Jam tidur anak menjadi lebih cepat karena pada malam hari suasana gampong tidak seperti biasa, ramai dan kegiatan belajar sering tidak dilakukan karena aktifitas belajar-mengajar di sekolah berubah pasca gempa. Jadwal pulang sekolah menjadi lebih cepat dan konsentrasi belajar anak berkurang. Bagi anak yang bersekolah di tanda atau sekolah sementara, mengaku suasana belajar menjadi tidak enak, karena panas atau berdesakan. Apalagi selama belajar di sekolah anak mengaku waspada terhadap gempa.

Pada beberapa anak, latah secara refleks terjadi. Di satu sekolah misalnya, seorang guru mengatakan, anak-anak bahkan akan lari dari ruangan kelas jika mendengar angin saja, apalagi bila terjadi gempa, secara komunal anak akan segera berlari dari kelas.  

Dampak Fisik
Dampak secara fisik diantaranya mengalami luka akibat tertimpa reruntuhan atau perabotan rumah. Pada beberapa anak, suasana tenda yang sempit, panas dan banyak nyamuk menyebabkan mereka sulit tidur sehingga sering pusing, tidak enak badan dan  masuk angin.

Konsumsi makanan yang dominan mie instan pada minggu pertama di pengungsian menyebabkan anak mencret atau sulit buang air besar, termasuk sampai sekarang, mereka ada jarang makan sayur dan buah. Sementara penyakit kulit disebutkan terjadi karena pengaruh air untuk mandi yang tidak bersih atau berubah menjadi kuning dan bau akibat gempa. Air tersebut juga ada diminum setelah dimasak. Anak lain ada kehilangan selera makan akibat lauk tidak berubah.

Kerusakan rumah yang belum diperbaiki, ternyata menjadi perhatian sekaligus sumber masalah bagi anak. Ada mengatakan, melihat kerusakan rumah tersebut menyebabkan dia menjadi teringat kepada peristiwa gempa 7 Desember 2016, disamping perasaan takut atau lama berada di dalam rumah. Sedih dikatakan anak, jika melihat rumah yang rusak tersebut, dan ada sampai memikirkan apakah orang tuanya akan memiliki biaya untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

Hoax
Anak-anak mengatakan, mereka sering mendengar informasi tidak jelas bahwa akan terjadi gempa lebih besar yang berakibat tsunami.Apalagi sejak terjadinya gempa di Deli Serdang, Sumatera Utara dan Pulau Sabang, informasi gempa lebih besar yang akan terjadi di Aceh  sering beredar di masyarakat. Orang-orang dewasa membicarakan dan anak mendengar, selanjutnya secara berantai informasi hoax tersebut menjadi topik pembicaraan.

Di beberapa gampong, informasi berantai tentang adanya suara gentayangan pada malam hari menjadi sumber ketakutan anak-anak. Suara yang disebut “suara burung” tersebut terdengar seperti tangisan dan disebutkan suara itu sering terdengar pada malam hari. Apalagi anak-anak tidak ada yang mendengarkannya secara langsung, sehingga bagi mereka hal tersebut menjadi sesuatu yang sulit dipahami namun karena mereka anak-anak yang memiliki keterbatasan pengalaman hidup, keterampilan menyelesaikan masalah dan keterbatasan mengelola perasaaan, informasi-informasi hoax tersebut pada akhirnya menambah beban pikiran dan perasaan anak. Informasi hoax menjadi sumber keresahan, kebingungan dan perasaan tidak aman bagi anak-anak. Mereka mengalami tekanan tiada henti yang berdampak terhadap perubahan hidup, hubungan sosial, tingkah laku dan emosi anak.

Dukungan Psikososial
Fasilitasi dukungan psikososial bagi anak-anak korban gempa di Kabupaten Pidie Jaya penting dilakukan agar anak-anak bangkit kembali (resiliensi) dan membantu mereka untuk memiliki kemampuan mengatasi masalah yang sama di masa datang dengan pendekatan yang menekankan pemahaman adanya hubungan dinamis antara aspek psikologis dan sosial dengan fokus menguatkan faktor resiliensi dan relasi sosial anak dengan lingkungannya.

Permainan

Permainan merupakan bentuk aktivitas sosial dominan pada anak. Banyak waktu anak-anak dihabiskan untuk bermain sendiri atau bersama teman. Permainan adalah kegiatan  menyenangkan dan bagi anak-anak, proses melakukan sesuatu lebih menarik dari pada hasil yang akan didapatkannya (Schwartman, 1978)