Pembantu Rumah Tangga Anak di Kota Banda Aceh

Dengan jumlah penduduk 170.542 jiwa, yang berada pada sembilan kecamatan, Kota Banda Aceh, secara umum memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik dibandingkan kabupaten/ kota yang lain di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keberadaannya sebagai ibu kota provinsi juga menyebabkan banyak penduduk dari kabupaten/kota lain datang untuk mencoba mengadu nasib, diantaranya ada terpaksa bekerja sebagai PRTA.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan instrumen pengumpulan data; wawancara, observasi dan fokus grup diskusi (FGD) melibatkan 64 orang pekerja rumah tangga anak (PRTA) perempuan dan 38 orang dewasa, serta 10 orang dewasa mengikuti FGD. hasilnya diperoleh berbagai data dan informasi mengenai PRTA di Kota Banda Aceh.

Selama 26 hari penelitian lapangan, diwawancarai pekerja rumah tangga anak (PRTA) perempuan sebanyak 64 orang, sesuai kreteria yang ditetapkan, dengan variasi umur 11-17 tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 11 orang (17 persen) masih sekolah dan 43 orang (83 persen) tidak bersekolah, diantaranya enam ornag tidak menamatkan sekolah dasar

Kemiskinan dan putus sekolah ditemukan sebagai faktor utama menyebabkan mereka terpaksa bekerja sebagai PRTA. Dari kedua faktor tersebut muncul faktor lain seperti tidak betah di kampung, ingin mencari uang untuk diri sendiri, membantu keluarga serta untuk melanjutkan sekolah. Hanya sembilan orang dalam penelitian yang ditemukan berasal dari Kota Banda Aceh. Selebihnya berasal dari desa-desa di 13 kabupaten/kota di Provinsi NAD (53 orang), serta 11 orang berasal dari luar Aceh yaitu Provinsi Sumatera Utara (tujuh orang), Lampung (dua orang), DKI Jakarta (satu orang) dan Jawa Barat (satu orang).

Mereka melakukan pekerjaan kerumah-tanggan seperti menjaga anak, kebersihan rumah, menyuci, menyetrika, memasak dan pekerjaan lain. Mereka umumya mulai bekerja dari jam lima pagi dan ada berakhir jam 12 malam. Waktu kerja mereka dominan di atas tiga jam sehari, beberapa orang bekerja lebih delapan jam sehari. Pekerjannya membutuhkan kehati-hatian, keterampilan dan kesigapan. Kesalahan, kekeliruan atau keterlambatan menyelesaikan pekerjaan dapat berakibat terjadinya kekerasan fisik dan psikis seperti ditampar, dipukul, dilempar, ditendang, dicubit, dimarahi, dimaki, dihina atau dicontohkan dengan binatang. Sementara kekerasan seksual yang terindetifikasi dalam bentuk pelecehan seksual ringan.

Tiga aspek direkomendasikan untuk mencegah dan menanggulangi masalah ini. Pertama, akses dan kualitas pendidikan terutama pendidikan dasar di pedesaan di Aceh, tetap harus menjadi prioritas utama Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dengan berbagai kebijakan operasional dan anggaran realistis untuk menjamin semua anak-anak di Aceh memperoleh haknya atas pendidikan.

Kedua, pencegahan dan perlindungan PRTA berkaitan dengan kebijakan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di Aceh keberadaan PRTA seharusnya diakui dan diposisikan sebagai salah satu permasalahan anak perempuan. Komite Aksi Provinsi dan Komite Aksi Kabupaten Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (PBTA) seharusnya dibentuk dan dimaksimalkan peran dan fungsinya agar keterbatasan SKPA sesuai tupoksinya dapat dijembatani, sehingga permasalahan PRTA di Banda Aceh khususnya dan di Aceh umumnya dapat ditanggulangi

Ketiga, berbagai bentuk kekerasan fisik, psikis dan yang dialami PRTA seharusnya ditempatkan pada posisi pemerintah bertanggungjawab, keluarga berkewajiban, masyarakat berperan serta dan anak-anak berpartisipasi. Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh hendaknya memiliki mekanisme dan program yang jelas untuk dapat melindungi, memonitor, merehabilitasi dan memberikan pendampingan kasus-kasus kekerasan terhadap PRTA. Sektor ini harus dimasukkan sebagai salah satu area kerja khususnya Dinas Sosial/BPMKS dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada tingkat provinsi dan Kota Banda Aceh

Eksekutif Summary Penelitian tentang Prilaku Seksual Remaja Berpacaran di SLTP dan SLTA di 2 Kecamatan di Kabupaten Simeulue

Penelitian ini dilakukan oleh PKPA-Simeulue sebagai bagian dari program yang didukung oleh Cordaid dengan judul “ Partisipasi anak dalam pendidikan kesehatan dan kebersihan diri dan lingkungan bagi siswa-siswi SMP dan SMA di Simuelue”. Penelitian ini dilakukan oleh staf proyek PKPA, Siti Aisyah Mardiana, Spsi. bersama seorang guru (kepala Sekolah) Mts Swasta Teupah Barat, Bapak Rasman, S.Ag. dibantu oleh seorang siswa SMA Negeri Teupah Barat, Zulianto.

Penelitian ini dilaksanakan pada Mei dan Juni 2008. dengan melibatkan 100 orang siswa SMP dan SMA di kecamatan Teupah Barat dan Simeulue Timur dengan rentang usia 14-20 tahun. Adapun karakterisik responden yang diteliti adalah Laki-laki ( 47 orang) dan Perempuan (53 orang) yang berasal dari kelurga dengan latar belakang suku yang berbeda. Kesemua responden pernah atau sedang menjalin kedekatan emosional dengan lawan jenis.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa Remaja Simeulue pada umumnya mengetahui istilah-istilah terkait dengan seksualitas namun tidak memahami makna sebenarnya dari istilah tersebut. Tak jarang istilah-istilah tersebut dijadikan bahan lelucon di kalangan remaja itu sendiri Ketidakpahaman ini bisa jadi dikarenakan keterbatasan media yang “tepat” bagi remaja tentang isu kesehatan reproduksi. Alasan lain adalah saat yang dirasakan “tepat” oleh remaja untuk memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 responden, 24% mengetahuinya istilah yang berkaitan dengan kespro pada usia 18 tahun. Beberapa istilah yang diketahui antara lain adalah;
1. 71% Remaja Simeulue pernah mendengar atau mengetahui istilah kesehatan reproduksi.
2. 90% remaja mengatakan pernah mendengar istilah seks remaja.
3. 83% remaja mengatakan pernah mendengar istilah pubertas
4. 87% remaja mengatakan pernah mendengar istilah menstruasi
5. 85% remaja mengatakan pernah mendengar istilah mimpi basah.
6. 22% remaja mengatakan pernah mendengar istilah onani/masturbasi. Berbeda dengan kemampuan pemahaman tentang istilah onani/masturbasi yang hanya 22%, ternyata 52% responden menjawab bahwa onani dapat memberikan dampak negatif. Pernyataan ini tidak dilanjutkan dengan jenis dan bentuk dampak negatif yang timbul bagi seseorang yang melakukan onani.

Pemahaman remaja atas istilah-istilah dalam seksualitas berpengaruh pada resiko yang akan diterimanya saat membina hubungan emosional (pacaran) yang tak jarang membutuhkan pembuktian fisik. Jika sebagian masyarakat menyatakan bahwa lokasi seseorang berada, desa atau kota dapat mempengaruhi perilakunya dalam pergaulan. Maka pernyataan bahwa remaja kota lebih permissive dari remaja desa akan terbantahkan oleh hasil penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian PKPA-Simeulue diketahui bahwa Remaja Simeulue pertama kali berpacaran pada usia yang beragam yaitu usia 16-18 tahun (28%), 14-16 tahun (60%) dan 10-12 tahun (8%). Satu hal yang menarik bahwa dari penelitian ini diketahui bahwa 4% responden pertama sekali pacaran pada usia <10 tahun.

Dalam berpacaran, sebanyak 55% responden menyatakan bahwa mereka akan memiliki pacara dari yang sebaya atau hampir sama dengan jenjang usia mereka. Hal ini kembali dipertegas dengan pernyataan sebanyak 48% responden yang menyebutkan bahwa usia pasangannya bertaut 1-3 tahun. Ketika ditanyakan alasan mengapa memilih pasangan yang sebaya, responden memberikan alasan terkait dengan adanya pandangan dari teman-teman sebaya yang menganggap pacaran dengan orang yang lebih tua terkesan tidak baik dan tidak sesuai dengan yang dibolehkan lingkungan sekitar.
Pemilihan pasangan yang dilakukan oleh remaja Simeulue berdasarkan satu atau beberapa alasan yaitu; Wajah (44%), Faktor Ekonomi (20 %), Penampilan (40%), kepatuhan menjalankan norma-norma Agama (72 %), dan Asal orang tua setuju (38%)

Bila melihat faktor-faktor yang mempengaruhi seorang remaja menentukan pasangannya maka terlihat bahwa faktor kepatuhan menjalankan norma-norma agama berada pada point teratas sebanyak 72%. Keharusan untuk memiliki kemampuan menjalankan norma norma agama ini tidak hanya diakui oleh masyarakat melainkan juga dilaksanakan secara formal. KUA (kantor Urusan Agama) yang memegang kewenangan untuk menikah dan kawinkan pasangan beragam islam memberikan sebuah syarat bagi pasangan pasangan akan menikah. Calon mempelai diharuskan menjawab pertanyaan petugas KUA khususnya kepada pihak mempelai pria tentang hukum-hukum dan rukun-rukun dari ajaran agama Islam, agama mayoritas di pulau Simeulue.

Dalam berpacaran remaja Simeulue melakukan aktivitas-aktivitas pacaran seperti Duduk-duduk berdua (69 %), Jalan-jalan ke pantai/tempat rekreasi (43%), Pegangan tangan (36%), Cium Kening (27%), Cium Pipi (20%), Bercumbu (12%), Rangkulan (10%), Berpelukan (9%), Cium Bibir (6%), Lainnya (4%).

Melihat persentase ini terlihat bahwa duduk berdua menjadi pilihan utama karena “lebih aman” dibandingkan aktifitas lainnya misalnya jalan-jalan dipantai. “Aman” dimaksud disini terkait dengan adanya larangan yang tidak membenarkan pasangan berduaan di manapun menjadi alasan utama remaja memilih bentuk aktifitas. Lebih jauh responden menyebutkan bahwa, apabila pasangan diketahui berduaan maka akan ditangkap kemudian dinikahkan. Hal ini sangat menakutkan para remaja di Simeulue karena selain dinikahkan, pihak keluarga akan merasa malu akibat perbuatan sang anak sehingga perilaku ini sangat dihindari.

Kekhawatiran remaja akan pemberlakukan sanksi dari Qanun yang berlaku di wilayah NAD sebagai sanksi pacaran semakin bertambah. Penambahan ini didasarkan pada temuan penelitian yang menyebukan bahwa responden mempercayai bahwa pacaran memiliki dampak yang negatif. Beberapa dampak negatif yang diyakini oleh responden adalah; mengganggu pelajaran (66%), selalu memikirkan pacar (47%), merasa bersalah (38%), boros (28%), hamil (23%), menikah di usia muda (22%), bolos (18%), dan lainnya 10%. Temuan lain dari PKPA akan tetapi pacaran masih dianggap sebagai suatu kebutuhan remaja yang sedang berkembang. Ada bebrapa alasan mengapa dikatakan kebutuhan salah satu diantaranya adalah perkembangan zaman, malu pada teman-teman lain ketika tidak punya pacar dikatakan tidak laku dan sebagainya.

Layaknya sebuah hasil penelitian dan kenyataan, maka pembaca akan menemukan adanya perbedaan antara persepsi dan kenyataan. Penelitian PKPA-Simuelue memperlihatkan bahwa responden menyetujui bahwa Usia di atas 23 tahun adalah usia yang menjadi pilihan utama bagi remaja Simeulue untuk menikah. Adapun alasan memilih usia 23 tahun adalah;
1. Merasa cukup dewasa untuk menjalin hubungan dengan seseorang dalam satu ikatan pernikahan yang diakui oleh agama dan negara
2. Merasa cukup membahagiakan diri sendiri dan membanggakan keluarga karena sudah bekerja atau sudah menyelesaikan pendidikan.

Pada kenyataannya, penelitian ini juga menemukan bahwa responden setuju kalau salah satu resiko pacaran adalah menikah di usia muda (22%). Lebih jauh penelitian ini memperlihatkan bahwa 74% responden mengatakan bahwa mereka memiliki sahabat/teman yang menikah di usia muda (di bawah 18 tahun). Hal ini memperkuat hasil Sensus Survei ekonomi Nasional 2006, yang menyatakan bahwa ada 12,55% perempuan menikah pada usia dibawah 17 tahun. Pada tahun sebelumnya, persentase pernikahan perempuan dibawah usia 17 tahun hanya sebesar 7,69%. Situasi ini tidak hanya membutuhkan penjelasan yang lebih rinci melainkan juga aktivitas segera dari masyarakat.
Apalagi jika Keinginan v.s Norma, didalam masyarakat khususnya remaja. Disatu sisi remaja merasakan adanya keinginan untuk mengetahui bahkan melakukan aktifitas seksual. Disisi lain remaja mengharuskan adanya “keperwanan dan keperjakaan” hingga menikah seperti yang terangkum dalam hasil penelitian yang menyebutkan bahwa keperawanan/keperjakaan harus dijaga keutuhannya hingga tiba saatnya nanti diberikan kepada pasangan ketika menikah 90% (41% laki-laki dan 49% perempuan).

Harapan responden terlihat ironis dibandingkan dengan ditemukannya angka 34% pernikahan di usia muda dilakukan oleh teman-teman responden dengan alasan telah hamil sebelum menikah. Apalagi jika benar bahwa 57% responden mengatakan remaja perempuan dapat hamil meskipun hanya melakukan hubungan seks sekali saja. Bahkan, sebanyak 16% dari teman responden yang hamil diluar nikah selanjutnya menggugurkan kandungan tersebut. Meski tidak ada data lebih lanjut tentang aborsi ini, sudah sepatutnya situasi ini menjadi perhatian utama. Hal ini tidak terlepas dikarenakan resiko kesehatan yang harus ditanggung oleh perempuan yang melakukan aborsi. Untuk itu perlu diketahui lokasi melakukan pengguguran, proses pengguguran apakah dilakukan dengan aman atau tidak dan informasi lain yang terkait.

Menikah di usia muda diakui memiliki banyak dampak negatif baik secara fisik maupun psikologis. Dampak negatif secara fisik diketahui bahwa orang yang menikah di usia muda dan hamil alat reproduksi tidak benar-benar siap untuk hamil sehingga akan mempengaruhi tingkat kesehatan mereka yang menikah di usia muda. Dampak psikologi juga dirasakan seperti perasaan menyesal karena menikah duluan sementara teman-teman yang lain masih asyik melakukan aktivitas kegiatan lain baik di sekolah maupun lingkungan lain. Disisi lain menikah diusia muda juga dianggap sebagai “kebutuhan” terutama ketika telah terjadi hubungan seksual diluar nikah atau bahkan hamil sebelum menikah.

Informasi kesehatan reproduksi/seks remaja Simeulue diketahui paling banyak bersumber dari televisi dan media lainnya. Informasi ini dirasakan tidak cukup memenuhi kebutuhan akan informasi tersebut dan informasi ini juga tidak mampu memuaskan keingintahuan mereka berkaitan dengan masalah seks/kespro sehingga diharapkan ada sumber lain yang mampu memberikan informasi yang jauh lebih baik dan benar serta mampu memusakan keingintahuan remaja Simeulue akan informasi tersebut.
Masalah seks/kespro juga dirasakan jauh lebih nyaman untuk dibicarakan dengan teman sebaya (peer group). Hal ini padahal sangat tidak disarankan karena informasi dan pengalaman mereka juga tidak jauh berbeda kecuali sudah ada pembekalan atau penguatan informasi yang berkaitan dengan kespro pada beberapa orang sebelumnya ini akan mampu membantu teman-teman yang lain dalam memuaskan rasa keingintahuan tersebut.

Rasa ingin tahu tentang seks dirasakan responden pada usia 14-16 tahun. Untuk itu mereka memperolehnya melalui berbagai media informasi, individu atau lembaga. Ditemukan 46% remaja pernah menonton film/video porno, Sebanyak 29% responden mengatakan bahwa mereka menonton video/film porno pada usia 14-17 tahun. Diketahui juga bahwa hampir 50% teman sekolah mereka juga pernah yang pernah menonton film/video porno. Angka ini cukup mengkhawatirkan mengingat letak kabupaten Simeulue yang berada dikepulauan dan “terasa” sulit mengakses media hiburan seperti video, sebagai informasi, di kabupaten Simeulue tidak ada theater atau bioskop apalagi Cinema 21.

Setelah para responden selesai menonton video porno, maka timbul beberapa reaksi antara lain; merasa bersalah tanpa alasan yang jelas (61%), merasa bersalah karena telah melanggar norma agama (60%), berpikiran untuk melakukan atau membayangkan aktifitas Hubungan seksual (41%), selalu terbayang-bayang sebesar 40% dan ingin melakukan (29%).

Berdasarkan kondisi ini, sebanyak 78% responden merasakan adanya kebutuhan atas informasi kesehatan reproduksi. Informasi kesehatan reproduksi yang diberikan tidak hanya sekedar informasi seperti yang mereka peroleh selama ini. Informasi yang diharapkan adalah informasi yang baik, benar dan dapat dipercaya. Namun diharapkan informasi tersebut bukanlah dari orang tua mereka. Responden mengalami perasaan ini tidak hanya kepada orang tua laki-laki laki-laki (39%) melainkan juga kepada orang tua perempuan (39%).

Konsep Pekerja Anak

Sebagai satu konsep pekerja anak (anak sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2003 ialah seseorang yang belum berusia dibawah 18 tahun termasuk anak yang masih berada dalam kandungan) dapat difahami berbeda baik pada batasan usia maupun pekerjaan yang boleh dan tidak dilakukan anak-anak. Perbedaan lingkungan sosial atau budaya dan kebudayaan suatu daerah atau komunitas diantara faktor menyebabkan perbedaan tersebut (PKPA: 2003)

Di Indonesia, kehadiran pekerja anak terlihat menonjol menjelang abad 20, ketika sektor perkebunan dan industri gula modern mulai dikembangkan oleh kolonialisme Belanda. Namun demikian, sesungguhnya sebelum itupun di berbagai daerah pekerja anak sudah sejak lama ada. Bahkan berdasarkan studi Koentjraningrat (1969) di wilayah pedesaan, anak berumur 8 tahun ikut membantu orang tua mencari nafkah dan dianggap sebagai hal biasa, keadaan ini terus berkembang sampai sekarang. Tahun 1990-an jumlah pekerja anak disinyalir makin bertambah sebagai salah satu akibat industrialisasi yang menyebabkan terjadinya proses pemiskinan di sebagian besar masyarakat pedesaan (Bagong Suyanto: 1999)

Periode awal pembicaraan tentang kebijakan pekerja anak sering diasumsikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan anak dianggap membahayakan. Akan tetapi sejak pertengahan tahun 1990-an mulai muncul pemahaman pekerjaan tertentu yang dilakukan anak dapat memberikan manfaat bagi mereka karena pekerjaan tersebut dapat memberikan pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan anak untuk survive ketika mereka dewasa. Oleh sebab itu, pekerjaan ringan yang dapat dikerjakan anak setelah pulang sekolah, magang, pekerjaan yang dilakukan anak di lahan milik orang tuanya atau pekerjaan lain yang tidak dengan tegas dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan finansial tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja anak. Istilah pekerja anak merujuk kepada pekerjaan yang dapat menghalangi anak bersekolah dan pekerjaan yang harus dilakukan anak dalam kondisi yang membahyakan kesehatan, fisik dan mentalnya (Rogers & Swinnerton dalam www.georgetwon.edu/faculty/rogersc/Papers/exploit/pdf)

Mediha Murshed (www.jia.sipa.columbia.edu/media/pdf/children_issu_cordies_essy.pdf) mengkategorikan pekerja anak yaitu:
a. Apprenticeship (magang). Banyak anak melakukan magang sebagai salah satu cara atau syarat memasuki pasar kerja dan orang tua cenderung menganggap kegiatan ini bermanfaat karena memberikan keahlian yang dibutuhkan anak untuk memperoleh kesempatan kerja sekaligus mendapat uang saku. Akan tetapi seorang anak yang melakukan magang cenderung mengalami eksploitasi karena ia tidak memiliki daya tawar dan dibayar sangat rendah
b. Waged labor. Ini bisa ditemukan dalam sektor industri dan sektor informal dan biasanya lebih eksploitatif dari magang. Meski dalam konteks ini anak mendapat bayaran lebih banyak dibanding ketika ia magang, namun jenis ini juga potensial menyebabkan anak mengalami berbagai kekerasan, karena sistem kerja yang berlaku bisanya tidak memberikan perhatian khusus bagi anak dan tidak memperdulikan aspek perlindungan anak
c. Bonded labor (kerja ijon). Ini dianggap sebagai pekerjaan yang paling eksploitatif bagi anak dan biasanya terdapat pada sektor informal dan pedesaan. Dalam konteks ini anak dipaksa bekerja sebagai cara untuk membayar hutang keluarganya kepada majikan. Anak benar-benar berada dalam posisi yang serba sulit dan tidak memiliki daya tawar sama sekali.

Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segara Penghapusan Bentuk bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak mengkategorikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak:
a. Segala bentuk perbudakan atau praktek jenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan penghambat (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata
b. Pamanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno
c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan
d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat dimana pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Adapun bentuk-bentuk pekerjaan yang membahayakan bagi anak seperti:
a. Anak yang dilacurkan
b. Anak yang bekerja di pertambangan
c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara
d. Anak yang bekerja di sektor konstruksi
e. Anak yang bekerja di jermal
f. Anak yang bekerja sebagai pemulung sampah
g. Anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak
h. Anak yang bekerja di jalanan
i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga
k. Anak yang bekerja di perkebunan
l. Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu
m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya (ILO-IPEC, 1999)

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 tahun 2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak, pekerja anak di lepas pantai atau laut dalam, di kapal serta mengangkut beban di atas 12 kg bagi anak laki-laki dianggap sebagai pekerjaan yang terburuk bagi anak
Konvensi ILO No. 138 (Disahkan Pemerintah Indonesia melalui UU No. 1 tahun 2000) mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dinyatakan bahwa usia minimum bagi anak untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun jika pekerjaan itu tidak menganggu kesehatan, keselamatan, pendidikan dan pertumbuhannya. Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau melakukan pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun.

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68). Ketentuan pasal 68 tersebut dikecualikan bagi anak berusia 13-15 untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosialnya. Khusus bagi anak perempuan yang berusia di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan antara jam 23.00-07.00 pagi. UU ini juga menegaskan pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan yaitu: izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas serta anak menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku

Banyak faktor menyebabkan anak-anak terpaksa harus bekerja, baik untuk membantu nafkah keluarga atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kemiskinan, sering dijadikan faktor penyebab. Menteri Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Norwegia, Hilde Frafjord Johnson, dalam Konferensi Internasional mengenai Pekerja Anak di Oslo, Norwegia, Oktober 1997 mengatakan: pekerja anak tak hanya merupakan konsekuensi dari kemiskinan, tapi juga biaya dari kemiskinan itu, hingga anak tidak bisa sekolah. Tekanan terbesar menyebabkan anak bekerja di sektor membahayakan adalah kemiskinan. Menurut pakar ekonomi, dengan mengirimkan anak memasuki pasar kerja, keluarga miskin itu tampak tidak mengikuti tingkah laku ekonomi rasional, tapi hanya memiliki sedikit alternatif. Pilihan mereka antara mempertahankan hidup jangka pendek dan perkembangan anak jangka panjang sangat terbatas. Kemiskinan lalu melahirkan buruh anak dan lalu mengabadikan kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Data ILO menunjukkan, secara rata-rata, anak-anak yang bekerja menyumbangkan sekitar 20-25 persen kepada pendapatan keluarga. Dalam ekonomi dunia yang nilainya mencapai 28 trilyun dollar AS setahun, lebih semilyar manusia masih hidup dengan penghasilan kurang dari satu dollar sehari. Statistik Bank dunia memperlihatkan, lebih dari 1,3 milyar manusia harus hidup dengan penghasilan kurang dari satu dollar sehari dan dua milyar lainnya secara marginal berada pada kondisi sedikit lebih baik. UNICEF memperkirakan, 50 persen anak di dunia berasal dari keluarga miskin. (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/27/0042.html).

Anak-anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Konstalansi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah dan pekerjaan yang berbahaya (Muhammad Jhoni, 1997). Keadaan pekerja anak ini dilematis, disatu sisi anak-anak bekerja untuk memberikan konstribusi pendapatan keluarga namun mereka rentan dengan eksploitasi dan perlakuan salah. Pada kenyataannya sulit untuk memisahkan antara partisipasi anak dengan eksploitasi anak (Irwanto, 1995).

Pekerja anak, dengan demikian, walaupun masih teramat sulit untuk dihapuskan di Indonesia tapi bukan berarti kita bersikap membiarkan atau malah turut memberikan konstribusi secara langsung tidak langsung bagi bertambahnya jumlah anak-anak yang bekerja terutama di sektor-sektor yang terburuk bagi anak. Pekerja anak adalah masalah besar yang ada di sekitar kita sehingga partisipasi semua pihak sangat dituntut untuk terlibat dalam upaya-upaya yang mungkin dilakukannya untuk mencegah dan menanggulanginya. Bersama kita bisa dan bersama kita untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari pekerjaan yang membahayakan fisik, mental, kesehatan serta masa depannya, karena masa depan yang kita berikan kepada anak haruslah masa depan yang cerah (Sumber: Jermal Kaji Ulang: PKPA: 2003)

Situasi Pekerja Anak di Sektor Perikanan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik dan Rustam, MA
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Banda Aceh


Penglibatan anak di sektor perikanan sudah menjadi tradisi di daerah pesisir Nanggroe Aceh Darussalam, dan bencana alam gempa bumi dan tsunami Desember 2004 cenderung memperparah tradisi tersebut. Menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini coba mengungkap bagaimana keterlibatan anak di sektor perikanan, dampak fisik, psikhis dan moral, serta menawarkan alternatif penanganan yang mungkin dilakukan. Tehnik pengumpulan data mencakup observasi, wawancara dan Focused Group Discussion (FGD). Total 635 anak dan 120 stakeholder diwawancarai, dan sesi FGD yang dilakukan melibatkan 315 peserta termasuk anak, orang tua dan stakeholder lainnya.
Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat anak-anak yang terlibat sebagai pekerja di sektor perikanan, sebagian dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan terburuk untuk anak: menyelam lobster, menyelam gurita, menembak ikan serta memburuh di kapal pukat. Kemiskinan menjadi faktor penyebab dominan keterpaksaan anak-anak bekerja, lalu putus sekolah, atau sebaliknya, putus sekolah lalu bekerja. Kemiskinan masyarakat Aceh disebabkan beragam faktor mulai dari konflik bersenjata yang terjadi puluhan tahun, gempa dan tsunami dan warisan turun temurun sehingga menjadi sebuah sub-kultur. Ini kemudian diperparah dengan adanya pihak yang membuat atau menginginkan nelayan tetap miskin.

Pendidikan merupakan instrumen penting untuk mengurangi kemiskinan sekaligus mencegah dan menanggulangi anak-anak bekerja di sektor berbahaya. Untuk itu peningkatan akses dan kualitas pendidikan bagi anak-anak di kawasan pesisir seharusnya dipergunakan sebagai salah satu strategi untuk memutuskan lingkaran setan dan subkultur kemiskinan di kalangan orang tua dan anak-anak yang terpaksa bekerja.

Kata kunci: pekerja anak, pekerjaan terburuk bagi anak, perikanan

1. Latar belakang
Sebelum tsunami 26 Desember 2004, perikanan menjadi salah satu pilar ekonomi di NAD, menghasilkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun (2004). Potensi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun dan budidaya 15.454 ton tahun 2003. Sektor perikanan menyediakan lebih 100 ribu lapangan kerja, 87 persen (87.783) di subsektor perikanan tangkap dan 14.461 perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan mata pencaharian utama dimana 60 persen nelayan kecil menggunakan perahu kecil. Dari 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit mampu melaut ke lepas pantai.1

Berdasarkan observasi tidak berstruktur Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Agustus 2006, di Desa Latak Ayah, Kecamatan Simeulue Tengah, Kabupaten Simeulue, ditemukan ada anak-anak bekerja sebagai penyelam lobster, menembak ikan atau anak yang dilibatkan orang tuanya ke laut. Di desa Padang Seurahet, Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat, ditemukan ada anak-anak bekerja sebagai aneuk itiek (anak itik), pemancing di laut dalam dan di kapal pukat. Di Kota Banda Aceh, seperti di Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, di Tibang dan Alue Naga, Kecamatan Syahkuala, dijumpai ada anak-anak bekerja di kapal pukat, nelayan jaring atau mencari ikan dan kepiting di sekitar pantai. Data Dinas Sosial Propinsi NAD menyebutkan terdapat sebanyak 19.299 orang anak usia 10-14 tahun sebagai pekerja anak.2
Undang-undang No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja menyatakan usia minimal untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja, karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun. Sementara dalam Undang-Undang No.1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak mengharuskan negara untuk segera melakukan pencegahan dan penanggulangan bagi anak yang bekerja di tempat-tempat terburuk. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak, kapal penangkap ikan dikategorikan sebagai salah satu tempat pekerjaan berbahaya bagi anak-anak, berusia di bawah 18 tahun. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak-anak yang bekerja/dieksploitasi secara ekonomi diklasifikasikan sebagai anak yang membutuhkan perlindungan khusus (pasal 59).
Berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah telah diberlakukan demikian juga program terkait seperti peningkatkan akses anak kepada pendidikan untuk mencegah anak putus sekolah, program peningkatan akses masyarakat kepada ekonomi produktif, termasuk nelayan. Namun berdasarkan data Dinas Sosial NAD tahun 2006 di atas mengenai adanya anak-anak yang bekerja serta temuan investigasi PKPA di Simeulue, Aceh Barat dan Banda Aceh tentang adanya anak-anak yang bekerja di sektor perikanan merupakan masalah baik dari konteks impelementasi hukum yang ada maupun dalam rangka implementasi hak-hak anak seperti diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Rumusan masalah
Rumusan masalah pokok yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu:
Bagaimana keterlibatan anak-anak sebagai pekerja di sektor perikanan di Propinsi NAD
Bagaimana dampak terhadap pendidikan, fisik dan psikis bagi anak-anak akibat bekerja di sektor perikanan di Propinsi NAD
Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi pekerja anak di sektor perikanan, baik progam langsung kepada anak-anak, kepada keluarga, masyarakat serta kepada pihak yang mempekerjakan anak.
3. Tujuan penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai pekerja anak di sektor perikanan di Propinsi NAD mencakup:
Karakteristik anak-anak yang bekerja
Jenis-jenis pekerjaan yang mereka lakukan
Faktor-faktor yang menyebabkan mereka bekerja
Upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan berdasarkan pendapat atau keinginan anak, keluarga dan stakeholder
4. Manfaat penelitian
Temuan-temuan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan pekerja anak di sektor perikanan di Propinsi NAD baik oleh pemerintah, LSM, individu dan pihak-pihak lain yang konsern terhadap perlindungan anak, baik dalam tahap perumusan kebijakan maupun program langsung kepada anak, orang tua dan pihak lain yang terkait dengan permasalahan perlindungan anak.
5. Metode Penelitian
Sesuai sifat permasalahannya, penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang dipergunakan adalah statistik deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran permasalahan pekerja anak di sektor perikanan di NAD secara umum. Penelitian ini menekankan pendekatan kualitatif dengan pendekatan interpretif terhadap fenomena yang diteliti, karena: pertama, penelitian ini bertujuan untuk memahami masalah yang menyebabkan adanya anak-anak yang bekerja di sektor perikanan, terurama anak-anak yang melakukan pekerjaan yang diklasifikasikan sebagai pekerjaan yang terburuk untuk anak. Kedua, adanya anak-anak yang bekerja di sektor perikanan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diyakini bersifat multidimensi dan merupakan akibat dari berbagai permasalahan baik dari dalam maupun luar diri si anak, sehingga kajian terhadap suatu fenomena harus dilakukan dengan menganalisis konteks yang mengitarinya dan ini hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini dilaksanakan dari 01 Oktober sampai 30 Desember 2006 dengan lokasi di Pantai Utara-Timur yaitu di Kabupaten/Kota: Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Di Pantai Barat-Selatan yaitu di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat dan Simuelue.
Penarikan sample dilakukan dengan dua tehnik yaitu puposive sampling dan snowball sampling dengan objek dan tujuan berbeda. Tehnik purposive sampling dipergunakan untuk menentukan sampel (subjek) berdasarkan karakteristik pekerja anak yang ditentukan oleh peneliti yaitu (a) anak (laki-laki dan perempuan) yang berusia di bawah 18 tahun, (b) pada saat penelitian dilakukan, subjek sedang bekerja di sektor perikanan, (c) subjek termasuk anak yang bekerja dengan memperoleh upah atau tidak (bekerja sendiri, bekerja kepada majikan atau dengan orang tua/keluarga) dan (d) anak yang memiliki karakteristik yang sama (jenis pekerjaan, jenis kelamin, daerah asal, lingkungan kerja) tidak akan dijadikan subjek penelitian (diwawancarai) karena penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menghitung total pekerja anak di sektor perikanan di Propinsi NAD, akan tetapi penelitian ini lebih dimaksudkan untuk menggali variasi data mengenai anak-anak yang terlibat sebagai pekerja di sektor perikanan.
Snowball sampling dilakukan untuk menentukan dua subjek yaitu: (1) informan yang mengetahui tentang perkembangan pekerja anak di sektor perikanan di NAD dari masa ke masa. (2) informan yang akan diwawancarai secara mendalam.
Subjek study ini adalah anak yang pada saat penelitian dilakukan sedang bekerja di sektor perikanan di lokasi penelitian. Sementara sumber data primer adalah subjek penelitian, serta sumber data sekunder mencakup para stakeholder yang terkait dengan pekerja anak di sektor perikanan di NAD seperti Dinas Perikanan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, panglima laot, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, pekerja dewasa dan keluarga pekerja anak.
Adapun instrument pengumpulan data yang dipergunakan yaitu:
Observasi: berdasarkan ketersediaan waktu yang dimiliki tim peneliti, luasnya wilayah yang diobservasi serta beragamnya jenis pekerjaan yang dilakukan anak di pantai atau di laut maka tehnik observasi yang dipergunakan adalah observasi menyeluruh3 yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran kondisi objektif yang ada di lokasi penelitian dan memahami konteks yang mengitari keterlibatan anak di sektor perikanan. Observasi mencakup pemukiman penduduk, fasilitas publik, kondisi alam dan aktifitas di bagan/pantai Untuk elemen yang dianggap sangat relevan dengan pertanyaan penelitian dilakukan observasi terfokus. Jumlah desa yang diobservasi di tujuh kabupaten sebanyak 176 desa.
Wawancara: Penelitian ini menggunakan indepth interview dengan tehnik semi-structured interviews agar peneliti dapat mengontrol informasi atau wawancara dengan informan dengan tetap berpeluang melakukan pertanyaan susulan serta pendalaman pernyataan informan. Pewawancara dibekali interview guide, berisi item-item pertanyaan yang kemudian dikembangkan berdasarkan respon subjek dan informan saat wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan yang telah diidentifikasi dan memahami pekerja anak di sektor perikanan serta upaya penanggulangannya, yaitu Dinas Perikanan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, tokoh masyarakat, guru, pekerja dewasa, toke atau pengusaha perikanan, orang tua dan anak-anak itu sendiri. Jumlah anak yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 635 orang anak. Sementara dari Dinas Perikanan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, tokoh masyarakat, guru, pekerja dewasa, toke atau pengusaha perikanan diwawancarai sebanyak 120 orang di keseluruhan lokasi penelitian
Fokus group diskusi (FGD): dilakukan terdiri dari FGD melibatkan pekerja anak untuk mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi serta bentuk program penanganan yang sesuai menurut mereka. FGD kedua melibatkan representatif stakeholder yaitu instansi pemerintah dan FGD ketiga bersama orang tua anak. FGD ini bertujuan untuk mendiskusikan program pencegahan dan penanggulangan pekerja anak di sektor perikanan serta program yang mungkin dilakukan di lokasi tersebut dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural anak, keluarga dan masyarakat serta kondisi terkait lainnya di waktu mendatang. Jumlah peserta FGD anak masing-masing 15 orang di setiap kabupaten. Dengan demikian total pekerja anak yang dilibatkan dalam FGD sebanyak 105 orang. Sementara peserta FGD orang tua anak 15 orang di setiap kabupaten (total 105 orang) dan peserta stakeholder (pemerintah, tokoh masyarakat, panglima laot, kepala sekolah/guru, toke dan pekerja dewasa) sebanyak 105 orang.
Diskusi ini didukung informasi yang diperoleh dari FGD dengan anak, data kuantitatif dan indepth interview serta referensi lain yang relevan. Ketiga FGD ini juga bertujuan untuk memperdalam masalah/informasi serta sebagai sesi untuk mengkonfirmasi atau mengkonfrontir data dan informasi yang telah diperoleh.
6. Tehnik Analisa Data
Sesuai sifat data yang diperoleh, analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif dianalisa dan disajikan dalam tabulasi frekuensi. Dalam proses ini digunakan Statistical Packages for Social Sciences (SPSS). Bagan, tabel dan diagram yang diperoleh melalui proses ini kemudian dimaknai dan dinarasikan. Data kualitatif yang bersumber dari observasi, wawancara dan FGD akan dianalisis secara kuantitatif menggunakan tahapan seperti disarankan Miles dan Huberman4 yaitu reduksi data, tampilan data dan penarikan kesimpulan. Transkrip wawancara dan FGD serta catatan-catatan lapangan direduksi, diberi kode dan dikategorikan sesuai jenis dan kebutuhan penulisan, data-data yang dianggap relevan akan ditampilkan secara deskriptif untuk proses interpretasi dan penarikan kesimpulan. Tehnik penjaminan keterpercayaan data dilakukan dengan kredibilitas dan transferabilitas..
7. Temuan penelitian
7. 1. Usia pekerja anak di sektor perikanan NAD
Berdasarkan observasi lapangan, wawancara dengan kepala desa, panglima laot, tokoh masyarakat dan jumlah rumah tangga perikanan dalam data statistik perikanan Propinsi NAD tahun 2005, jumlah anak-anak yang terlibat dalam berbagai aktifitas di sektor perikanan di tujuh kabupaten lokasi penelitian diperkirakan mencapai + 2.000-4.000 orang. Dari jumlah tersebut 1.000-1.500 orang dapat dikategorikan pekerja anak dimana sekitar 500-750 bekerja dalam kategori jenis pekerjaan terburuk untuk anak (the worst forms of child labor).
Anak-anak yang bekerja di sektor perikanan di NAD umumnya pada usia sekolah dimana pada level usia tersebut faktor endogen dan eksogen seperti dinyatakan Woodworth5 anak telah menggunakan, berpartisipasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan termasuk proses “pendewasaan” dini dari orang tua maupun orang di sekitar anak.
Pengaruh lingkungan maupun teman dapat berbentuk ajakan atau keinginan anak itu sendiri untuk menyesuaikan diri dengan temannya yang memiliki uang dari hasil bekerja, sehingga anak berdasarkan kemampuan berfikirnya melakukan aktifitas menghasilkan uang di pantai seperti menjadi anak itik (dengan pekerjaan seperti mencucui kapal, mengangkat es atau bekal di kapal) mencari ikan, mencari kepiting dan berbagai aktifitas perikanan lainnya. Sementara bagi anak berusia di atas 15 tahun, aktifitas di laut menjadi salah satu pilihan.
Ajakan orang tua atau teman menyebabkan anak terbiasa dengan aktifitas menghasilkan uang dan tidak sedikit anak lebih menikmati aktifitas tersebut. Orang tua dalam beberapa kasus, menyikapi keinginan anak berhenti sekolah dan bekerja secara kontra-produktif karena dinilai menguntungkan dari aspek unit cost keluarga. Menurut seorang nelayan di Kuala Idi, hal tersebut wajar karena dengan bekerja mereka mendapat uang sementara sekolah dianggap justru menghabiskan uang. 6 Dalam teori reinforcement, sesuatu yang menyenangkan akan selalu diulang, sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari. Sekolah ditinggalkan karena dianggap tidak menyenangkan (punishment), bekerja dianggap menyenangkan (reward) karena memperoleh uang dimana dengan uang tersebut anak dapat bersenang-senang.7
Faktor budaya masyarakat pedesaan seperti dikatakan seorang kepala desa di Aceh Barat, mempengaruhi pembentukan pendangan orang tua, masyarakat dan anak-anak. Mempekerjaan anak pada usia muda dianggap biasa, sehingga jumlah anak-anak yang bekerja pada usia muda sangat tinggi di desa-desa.8
Dibandingkan dengan kasus buruh anak jermal di Pantai Timur Sumatera Utara seperti penelitian Ahmad Sofian, dkk. (2003), terdapat perbedaan dimana antara permintaan dan ketersediaan sangat korelatif bahkan permintaan sangat tinggi menyebabkan sering terjadi proses rekrutmen black market. Pada kasus pekerja anak di sektor perikanan di Aceh, keterlibatan anak di bawah batas usia minimal yang diperbolehkan bekerja (Konvensi ILO No. 138) serta kategori the worst form of child labor (Konvensi ILO No. 182) diantaranya disebabkan:
Tersedianya tempat dan jenis pekerjaan yang dapat diakses anak, tanpa melalui proses administrasi atau perekrutan. Anak yang ingin bekerja cukup datang kepada pemilik kapal atau pawang agar diajak kelaut. Begitu juga dengan jenis pekerjaan seperti jengek, aneuk itik dan mencuci boat, anak-anak cukup meluangkan waktu dan belajar secara alami.
Anggapan masyarakat bahwa anak-anak yang bekerja sebagai hal biasa dan terkadang didukung oleh orang tua maupun orang-orang dewasa yang ada di sekitar anak bekerja.
Dilihat dari aspek jenis kelamin, jumlah anak laki-laki yang sangat dominan yaitu sebanyak 96 persen, dibandingkan dengan jumlah anak perempuan (empat persen), bukan faktor kebetulan. Seorang peserta FGD, warga Desa Seurapong, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar, mengatakan hal ini karena pekerjaan di laut memang identik dengan laki-laki.9
Berdasarkan lokasi, di tujuh kabupaten yang diteliti, tidak ditemukan perbedaan tingkat usia menyolok antara satu kabupaten dengan kabupaten lain. Perbedaan tingkat usia lebih signifikan dilihat dari jenis pekerjaan dilakukan, anak berusia di atas 15 tahun biasanya bekerja di laut seperti di boat penangkap ikan, menyelam, memancing, sedangkan anak usia 15 tahun ke bawah umumnya bekerja di sekitar pantai seperti menjadi aneuk itiek, aneuk mie (secara literal berarti anak kucing, istilah lokal yang digunakan untuk menyebut anak yang meminta atau kadang mencuri ikan dari kapal perahu yang baru pulang dari laut), mencari ikan dan kepiting, jengek dan lain-lain.
Keterlibatan anak bekerja di sektor perikanan pada usia muda dari pengamatan dan wawancara dengan anak, orang tua, tokoh masyarakat, guru sekolah dan panglima laot, dalam beberapa jenis pekerjaan terkait dengan adanya permintaan (demand) yang dianggap kurang layak dikerjakan orang dewasa. Mencuci boat salah satu contohnya. Akan tetapi keadaan ini lebih dominan diakibatkan banyaknya anak putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar, bahkan pada kelas III atau tidak melanjutkan ke SLTP setelah tamat sekolah dasar. Di Pulo Aceh, beberapa anak hanya pernah sekolah sampai kelas I dan II SD.
7.2. Pendidikan dan pekerja anak
Tabel 1: Tingkat pendidikan anak
Sekolah/tidak
LL
PR
Total
SD
187
11
198
SMP
79
3
81
SMA
68
2
71
Tidak sekolah
277
8
285
TOTAL
334
24
350Kecenderungan partisipasi pendidikan semakin berkurang pada jenjang lebih tinggi ditemukan cukup signifikan. Kekhawatiran bahwa anak yang saat ini di tingkat pendidikan dasar tidak akan melanjutkan ke tingkat lebih tinggi beralasan dikemukakan, terutama di Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Aceh Barat dan Aceh Besar (Pulo Aceh). Anak putus sekolah mulai kelas III sekolah dasar atau tidak melanjutkan ke SLTP setelah tamat SD mencapai 46 persen dari 285 anak yang tidak bersekolah. Sementara anak yang berhenti pada kelas I, II dan III SMP atau tidak melanjutkan ke jenjang SMTA mencapai 38 persen dan anak yang berhenti sekolah pada kelas I, II dan III SMTA sebanyak 16 persen.
Pilihan setelah putus sekolah adalah bekerja bersama orang tua, secara sendiri, bersama teman atau ikut orang lain, apalagi dalam pandangan penduduk desa, seperti dikatakan seorang Panglima Laot Lhok Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, “Jika tidak sekolah, anak ikut kerja bersama orang tua atau mencari kerja sendiri.”10
Tabel 2: Alasan tidak sekolah
No
Alasan tidak sekolah
LL
PR
Total
1
Malas Sekolah
114
4
118
2
Disuruh orang tua
12
0
12
3
Mengalami kekerasan di sekolah
1
0
1
4
Ingin membantu orang tua
60
1
61
5
Batat (nakal)
1
0
1
6
Guru jarang datang
2
0
2
7
Karena tidak lulus ujian
1
0
1
8
Karena tsunami
1
0
1
9
Terlibat kekerasan di sekolah
1
0
1
10
Mencari uang
1
0
1
11
Sekolah jauh sekali
1
0
1
12
Tidak ada biaya
76
5
81
13
Yatim piatu
4
0
4
Total
275
10
285Berdasarkan jawaban responden, alasan-alasan yang dikemukakan sebagai penyebab putus sekolah seperti dalam tabel 2 (dua):
Di Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar, alasan malas antara lain berkaitan dengan unsur pokok pendidikan, terutama guru. Seorang Sekretaris Desa mengatakan guru sering tidak mengajar karena mengutamakan pekerjaan sampingan seperti berdagang atau terlibat proyek di desanya, atau karena guru bertempat tinggal di Banda Aceh, dimana transportasi sering dijadikan alasan untuk tidak datang mengajar.
7.3. Akses ke sekolah
Berkaitan dengan akses ke sekolah, penelitian ini menemukan fakta lain sebagai faktor menyebabkan anak putus sekolah yaitu menyangkut biaya. Walaupun di Indonesia telah diberlakukan Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dimana dalam pasal 48 dinyatakan: “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal sembilan tahun untuk semua anak” kemudian dalam Undang Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan: “setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Hal ini juga dinyatakan dalam Undang Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 217: “Penduduk Aceh berusia 07-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, menyediakan pendidikan layanan khusus bagi penduduk yang berada di daerah terpencil atau terbelakang, memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial, serta yang memiliki potensi keceradasan dan bakat istimewa.
Dari 350 anak yang masih sekolah, sebanyak 51 anak terdiri dari tiga orang di SD, 19 SMP dan 29 orang peserta didik SMA menyatakan membayar uang sekolah. Bahkan 30 anak, meliputi dua orang anak SD, enam anak SMP dan 22 SMA membayar sendiri dari uang hasil bekerja di sektor perikanan serta 21 anak uang sekolahnya dibayar orang tua/keluarga. Anak yang tidak membayar uang sekolah karena gratis dari sekolah sebanyak 299 orang. Jumlah uang sekolah yang dibayar anak/orang tua, seorang anak membayar uang sekolah di bawah Rp. 5.000,- lalu lima orang anak membayar Rp. 5000-7.500,- dan 23 anak membayar antara Rp. 7.500-10.000 serta 22 anak membayar uang sekolah di atas Rp. 10.000,-
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai akibat pengurangan subsidi BBM tahun 2005, yang membebaskan peserta didik dari biaya pendaftaran, iuran bulanan sekolah, biaya ujian, bahan dan biaya praktek belum dinikmati seluruh responden yang masih sekolah. Demikian juga berbagai program peningkatan akses dan partisipasi anak ke sekolah dari pemerintah dan NGO pasca tsunami.
Adanya anak-anak yang membayar uang sekolah dan keperluan sekolah dari hasil bekerja perlu menjadi perhatian dalam program pendidikan dan perlindungan anak di NAD pasca tsunami. Jika dilihat dalam konteks lebih luas hal ini selain bermakna masih terdapat anak-anak yang belum memperoleh hak pendidikan dari negara, juga menjadi persoalan dalam mencapai sasaran Program Wajib Belajar Pendidikan dasar sembilan tahun yang antara lain diukur dengan tercapainya APK SMP/MTs sebesar 95 persen tahun 2008 dan mencapai sasaran Education for All (1990) serta Millenium Declaration and the Dakar Framework for Action (2000) yang menuntut komitmen seluruh negara agar mencapai target penyediaan pendidikan dasar wajib dan gratis kepada semua anak tahun 2015.11
7.4. Faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja
Tabel 3: Alasan bekerja
No
Alasan
LL
PR
Total
1
Kemiskinan keluarga
333
14
347
2
Ingin membantu orang tua
92
2
94
3
Ingin punya uang sendiri
142
4
146
4
Diajak teman
31
2
33
5
Tidak punya keluarga
10
2
12
6
Kurang perhatian keluarga
3
0
3
Total
611
24
635Seperti ditemukan dalam banyak penelitian di Indonesia12 termasuk penelitian ini, pendidikan, kemiskinan dan pekerja anak merupakan tiga unsur saling mempengaruhi dan sulit menentukan penyebab awalnya.
Hilde Frafjord Johnson (Menteri Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Norwegia), dalam Konferensi Internasional mengenai Pekerja Anak di Oslo, Norwegia (1997) menyatakan pekerja anak tidak hanya konsekuensi kemiskinan, tapi juga biaya dari kemiskinan itu sendiri sehingga anak tidak sekolah. Tekanan terbesar menyebabkan anak bekerja di sektor membahayakan adalah kemiskinan. Dengan mempekerjakan anak keluarga miskin tampak tidak mengikuti tingkah laku ekonomi rasional dan memiliki sedikit alternatif. Pilihan antara mempertahankan hidup jangka pendek dan perkembangan anak jangka panjang sangat terbatas. Kemiskinan melahirkan buruh anak dan lalu mengabadikan kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi.13
Menurut Akhmad Fauzi sebagian besar nelayan di Indonesia memang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari US$ 10 per kapita per bulan atau termasuk extreme poverty, jika dilihat dalam konteks Millenium Development Goal, karena lebih kecil dari US$ 1 per hari.14 Dalam penelitian ini, selain subkultur kemiskinan, ada faktor penyebab kemiskinan yang bersumber dari luar diri nelayan. Periode sebelum tahun 2005, kemiskinan terkait dengan konflik bersenjata serta gempa dan tsunami dimana banyak nelayan kehilangan pekerjaan. Berdasarkan data Dinas Sosial Propinsi NAD, tahun 2006 terdapat 1.898.072 keluarga fakir miskin di Propinsi NAD, atau secara nasional, urutan keempat sebagai propinsi termiskin.15
Akibat konflik bersenjata puluhan tahun di Aceh, masyarakat tidak dapat bekerja karena takut, boat banyak dibakar, harta benda hilang, termasuk kehilangan pencari nafkah utama keluarga. Lalu akibat tsunami (2004) perkiraan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005), 9.563 unit perahu hancur/tenggelam termasuk 3.969 perahu tanpa motor, 2.369 perahu bermotor dan 3.225 kapal motor besar (5-50 ton). 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan kerugian langsung akibat tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50 persen dari nilai total aset) dan total nilai kerugian tidak langsung mencapai Rp 3,8 milyar.”16
Menurut seorang Panglima Laot Lhok di Aceh Barat, akibat pendapatan rendah menyebabkan nelayan tidak sanggup membayar biaya pendidikan, lalu mengajak anak melaut atau membiarkan anaknya melaut agar dapat memenuhi kebutuhannya.”17
Kemiskinan, seperti dikatakan anak, ketika dikonfirmasi kepada orang tua dalam FGD di tujuh kabupaten antara lain diakibatkan:
Beroperasinya pukat harimau (di perairan Aceh Barat) walaupun telah ada Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 tentang larangan menggunakan pukat harimau. Akibatnya pendapatan nelayan sedikit dan orang tua tidak sanggup membiayai pendidikan anak. Meski kadang anak mau sekolah, tapi karena orang tua tidak mampu akhirnya anak putus sekolah.
Setelah tsunami banyak nelayan tidak memiliki boat. Kalaupun ada bantuan boat pemerintah atau NGO belum seluruh nelayan memperoleh, disamping adanya boat bantuan milik bersama (4 orang satu boat), boat rusak sebelum digunakan atau seperti diistilahkan nelayan: boat cari mati, menyebutkan boat bantuan pemerintah yang tidak dapat digunakan karena terbuat dari kayu kelapa atau boat selalu miring ketika dioperasikan akibat dikerjakan asal jadi.
Pola hidup nelayan cenderung boros, karena menganggap selama ikan di laut masih ada berarti uang akan tetap dapat dicari. Pendidikan orang tua kurang, sehingga kurang mengerti mengelola uang. Mereka lebih mementingkan membeli barang rumah tangga: kulkas, TV, CD, kredit sepeda motor dan lain sebagainya.
Berasal dari keluarga miskin, tidak punya modal membeli boat/alat tangkap, tetap sebagai buruh dan ini berlanjut kepada anaknya. Menurut peserta FGD di Aceh Besar, hal ini sebagai kemiskinan turunan nenek-moyang.
Penghasilan di laut tidak dapat diprediksi, tergantung kepada musim serta harga ikan, terutama bagi nelayan yang bekerja kepada toke, nelayan tidak memiliki posisi tawar menentukan harga ikan, tapi tergantung toke.18
Dengan demikian kemiskinan nelayan sesungguhnya merupakan persoalan yang sudah berlangsung lama di kalangan nelayan dan berdampak langsung terhadap anak, banyak anak-anak putus sekolah, akibat putus sekolah lalu bekerja dengan upah murah dan ketika mereka menikah, dengan pendapatan rendah dan berbagai tekanan internal dan eksternal menyebabkan nelayan sulit keluar dari lingkaran kemiskinan seperti dinyatakan Raymond Firth19 dan ini berpotensi melahirkan generasi seperti ketika dia anak-anak. Putus sekolah lalu bekerja.
Maclleland berpendapat bahwa seseorang menjadi miskin karena ia kurang giat bekerja atau kurang motivasi untuk bekerja keras atau menurut istilah Maclleland kurang Need for Achievement (sering disebut N'Ach). Schumpeter menemukan, majunya perekonomian suatu negara tergantung pada segelintir orang yang punya semangat kewirausahaan, semangat untuk mencoba dan menemukan hal-hal baru sekalipun risikonya sangat besar. Orang atau negara yang miskin disebabkan oleh kurangnya semangat kewirausahaan tersebut.20
Semangat mencoba dan menemukan hal-hal baru seperti dikatakan Maclleland dari wawancara dengan orang tua anak dan panglima laot serta observasi lapangan, pada kebanyakan nelayan di lokasi penelitian cenderung sulit dilakukan. Nelayan seperti dikatakan Sutawi dan David Hermawan21 sangat tergantung pada satu mata pencaharian, menangkap ikan, ketika pekerjaan tersebut tidak menghasilkan seperti akibat faktor cuaca, kerusakan boat/alat tangkap, biaya operasional tinggi (misalnya harga minyak) termasuk ketika pencari nafkah utama sakit atau tidak dapat bekerja, menyebabkan pemenuhan nafkah keluarga menjadi terganggu, untuk mengatasinya nelayan biasanya berhutang kepada toke atau orang kaya di kampung tersebut. Berhutang kepada toke, seperti temuan survey Sulaiman Zuhdi Manik dan Supriadi (2002) di Desa Perlis, Langkat, Sumatera Utara,22 identik dengan burn his own bridge (membakar jembatannya) karena pendapatan nelayan bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan, serta tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, sebagai juragan atau pandega.
Mengenai alasan bekerja untuk membantu orang tua, ketika digali dalam FGD, banyak anak-anak menyatakan, sebenarnya bukan atas kemauan mereka, akan tetapi atas ajakan atau perintah orang tua. Di Simeulue, seorang anak berusia 16 tahun mengaku tidak berani membantah orang tua, apalagi sia anak juga menyatakan kalau dia bekerja hasilnya untuk keluarga juga.23
Ketidakmampuan orang tua memberi uang jajan dan kebutuhan lain atau seperti dikatakan Adnan KJ, Sekretaris Desa Lhoh, Pulo Aceh, Aceh Besar, “Orang tua lebih mementingkan diri sendiri”24 kemudian memunculkan inisiatif anak untuk mencari uang, dalam hal ini anak menyatakan atas keinginan sendiri.
Seorang responden anak berusia 17 tahun, warga Dusun Tongkol Desa Ule Lee, Meuraxa, Banda Aceh menyatakan ia bekerja karena ingin memiliki uang sendiri, orang tua jarang memberikan uang. Dia telah memancing ikan sejak tujuh tahun lalu, dengan penghasilan rata-rata Rp. 100 ribu/hari, selain untuk keperluan sehari-hari ia juga memberikan uangnya kepada orang tua.
Dalam pandangan beberapa orang tua, melalui FGD, jika anak tidak sekolah inisiatif mencari uang dinilai positif karena jika anak tidak bekerja justru menimbulkan masalah di masyarakat sekitar atau di rumah. Seorang peserta FGD warga Desa Lafak Ayah, Simeulue mengatakan, “Bagi saya anak-anak putus sekolah kalau tidak mau bekerja saya anggap anak itu pemalas. Untuk apa lagi kalau tidak bekerja.”25
Jawaban di atas menjelaskan besarnya pengaruh orang terdekat di sekitar anak. Anak dikelompokkan sebagai orang lemah dan rawan. Sangat beresiko karena sifatnya tergantung orang dewasa karena tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral dan spiritualnya belum matang. Belum dapat berpikir seperti orang dewasa, belum dapat membuat keputusan (adjustment) mana yang baik dan kurang baik, hingga kendati dalam batas tertentu telah memiliki pendirian atau pilihan namun karena keadaan mental dan fisik belum matang perbuatan atau keputusannya dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan.26
Persoalan kemudian, menyuruh atau mengajak anak bekerja sering dipandang sebagai bagian dari proses pendidikan atau pembentukan jiwa dan kepribadian anak, namun dalam praktiknya, sulit membedakan antara bekerja dalam rangka mendidik anak dan bekerja dimana anak dituntut untuk memberikan sumbangan ekonomi kepada keluarga. Antara pembinaan dan pembentukan jiwa dengan eksploitasi anak secara ekonomi sulit dibedakan karena dalam banyak kasus yang dijumpai orang tua kurang mempertimbangkan dampak bekerja, baik dari aspek waktu bekerja ataupun lokasi kerja bagi anak.
Dominannya keluarga sebagai orang pertama yang membawa anak bekerja juga sebagai cermin pendidikan anak dalam keluarga, masyarakat dan di sekolah. Anak sebagai orang yang memiliki hak-hak inherent sering disalah-artikan pendidikannya sehingga cenderung menjadi orang patuh total dan orang tua kurang selektif saat kapan anak ditempatkan sebagai individu yang memiliki hak-hak dan sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Terjadi relasi dominatif antara orang tua dengan anak, salah satu pihak memperlihatkan kekuasaan kepada pihak lemah (anak).
Budaya paternalistik tersebut mengakibatkan anak berada pada posisi tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak tahu mau melakukan apa atau tidak memiliki pilihan. Dalam situasi seperti ini, penyalahgunaan anak menjadi sangat lazim. Pelibatan anak melakukan aktifitas ekonomi, menyuruh anak bekerja dan meminta uang hasil kerja anak sebagai salah satu peran penting orang tua dalam memiskinkan anak-anaknya di masa depan. Ini relevan dengan temuan Indrasari Tjandraningsih dan Benjamin White27, anak seringkali dipersepsikan sebagai asset secara ekonomi hingga dalam masyarakat tertentu menjadi aneh kalau ada anak-anak tidak bekerja atau tidak berkonstribusi secara ekonomi bagi keluarga.
Domestifikasi berlebihan demikian berarti orang tua membawa anak dalam subkultur kemiskinan. Dikaitkan dengan fungsi pendidikan keluarga dalam masyarakat Aceh, dinyatakan: mendidik anak adalah kewajiban orang tua, pengabaian kewajiban tersebut dianggap berdosa dan melanggar adat kebiasaan dengan sanksi dicemooh masyarakat. Orang tua wajib mendidik seperti memberi nasehat, imbalan dan panutan. Jika anak melakukan penyelewengan erat kaitannya dengan tingkah laku orang tua. Hubungan ini diungkapkan "pakiban U lageenyan minyeuk, pakiban Ku lageenyan aneuk" (bagaimana kelapa begitu minyak, bagaimana ayah begitu anak). Dalam ungkapan lain dikatakan: "meuri cak, meuri langei" (bungkahan tanah sesuai dengan alat bajak). Dalam masyarakat Aceh yang penting orang tua, bukan anaknya. Untuk mengenal seseorang selalu ditanyakan asal-usul keturunannya, jika dari orang baik-baik, si anak dianggap baik. Kalau anak menyeleweng, anak tersebut dikatakan bagai "aneuk hana diajalee Ku" (anak tidak diajarkan orang tuanya) atau "aneuk beujat" (anak tidak berpendidikan).28
Pekerjaan yang dilakukan
7.5.a Awal keterlibatan anak bekerja
Dalam Undang-undang No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 dinyatakan: usia minimum anak untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja yang karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak tidak boleh kurang dari 18 tahun. Dalam Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (pasal 68-69), usia minimal anak yang boleh bekerja antara 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan yaitu pekerjaan yang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial si anak.
Tabel 4: Usia pertama kali bekerja
No
Usia
LL
PR
Total
1
Di bawah 5 tahun
5
0
5
2
5 Tahun
2
0
2
3
6 Tahun
4
1
5
4
7 Tahun
26
3
29
5
8 Tahun
111
0
111
6
9 Tahun
86
0
86
7
10 Tahun
106
7
113
8
Di atas 10 tahun
220
10
230
9
Tidak ingat
51
3
54
Total
611
24
635Bila dikaitkan antara usia anak pada saat diwawancarai dengan usia anak pertama kali bekerja, terdapat 296 anak telah bekerja di sektor perikanan lebih dari satu tahun, dari jumlah tersebut 67 anak telah bekerja lebih lima tahun. Seorang anak berusia 17 tahun di Desa Lafakha, Simeulue, telah menyelam lobster sejak usia 12 tahun. Di desa Seurapong, Pulo Aceh, ditemukan anak sejak usia 14 tahun telah menyelam di kedalaman laut 10-15 meter. Demikian juga dua orang anak warga Barak Jeumpa Puteh, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, telah bekerja di laut sejak usia 14 tahun dan sekarang mereka bekerja sampai 15 hari di laut. “Kami sampai 15 hari di laut karena memakai rawai hiu.”29
Jenis pekerjaan pertama kali dilakukan anak seperti dalam tabel 8 (delapan), terlihat pada umumnya anak-anak bekerja di sekitar pesisir, saat pertama kali bekerja yaitu sebanyak 561 orang.
Tabel 5: Pekerjaan anak pertama kali
No
Pekerjaan pertama kali
LL
PR
Total
1
Jengek/aneuk mie
64
1
65
2
Aneuk itiek
71
0
71
3
Buruh di TPI
14
0
14
4
Melaut
40
0
40
5
Menarik pukat perahu
19
1
20
6
Mencari kerang/kepiting/ikan
317
18
335
7
Jaring
2
0
2
8
Jualan ikan
3
0
3
9
Memancing
6
0
6
10
Mencari tiram
50
3
53
11
Menarik bagan
8
0
8
12
Menyelam
17
1
18
Total
611
24
635Berdasarkan cara kerja, waktu dan lamanya bekerja serta tempat pekerjaan, di tujuh kabupaten lokasi penelitian terdapat anak-anak yang melakukan pekerjaan pertama kali pada kategori the worst form of child labor sesuai Konvensi ILO No. 182 atau Undang-undang No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, yaitu jenis pekerjaan yang dapat membahayakan secara fisik, psikis, kesehatan, pendidikan serta dapat menghalangi akses anak terhadap hak-haknya seperti diatur dalam undang-undang No. 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak yaitu pekerjaan melaut, menarik bagan, memancing di laut dalam, menyelam lobster dan gurita, menembak ikan serta nelayan jaring.
ML (14 tahun), warga Desa Labuan Jaya, Kecamatan Teupah Selatan, Simeulue, pertama kali bekerja sebagai penyelam lobster dan hingga saat ini pekerjaan tersebut tetap dilakukan. Is (17 tahun), warga Seurapong, Pulo Aceh, Aceh Besar, telah menyelam lobster sejak usia 15 tahun. Sementara Am (16 tahun) warga Desa Kuala Bubon, Samatiga, Aceh Barat, pertama kali bekerja di kapal penangkap ikan. Am mengatakan, “Kami pergi ke laut biasanya jam lima pagi di perairan Aceh Barat dan pulang jam empat sore.”30
Berdasarkan keterangan anak dalam FGD, ketika pertama kali bekerja mereka tidak mengetahui kalau pekerjaan tersebut berbahaya sesuai dengan tingkat usia mereka. Ketersediaan pekerjaan serta keinginan mempereloh penghasilan lebih banyak dijadikan pertimbangan utama. Demikian juga orang tua anak, dari 105 orang tua yang diwawancarai 76 persen menyatakan tidak mempersoalkan lokasi dan jenis pekerjaan anak, karena bagi beberapa orang tua pekerjaan tersebut sudah biasa dikerjakan anak-anak, terutama bagi anak berusia di atas 15 tahun dan mereka bekerja untuk membantu orang tua.
Di sini terlihat, faktor usia anak dalam beberapa kasus tidak dipertimbangkan untuk melihat suatu pekerjaan pantas atau tidak pantas dilakukan anak. Faktor anak yang tidak sekolah serta tuntutan untuk membantu keluarga secara ekonomi kelihatan lebih berperan menentukan jenis dan lokasi pekerjaan anak. Resiko cenderung diabaikan untuk memperoleh hasil yang diinginkan, apalagi anak-anak tersebut menghadapi persaingan dalam memperoleh suatu pekerjaan, akibat banyaknya anak-anak putus sekolah atau anak yang bekerja di suatu lokasi.
7.5.b Pekerjaan yang dilakukaan saat ini
Dikaitkan antara pekerjaan yang dilakukan anak pertama kali (tabel 8) dengan pekerjaan anak pada saat diwawancarai (tabel 9) terlihat adanya perpindahan jenis pekerjaan yang dilakukan anak.
Tabel 6: Pekerjaan anak saat diwawancara
No
Pekerjaan saat ini
LL
PR
Total
1
Jengek/Aneuk mie
15
0
15
2
Aneuk Itiek
84
1
85
3
Buruh di TPI
23
1
24
4
Melaut
102
0
102
5
Menarik pukat perahu
16
0
16
6
Menjaga kolam/tambak
8
0
8
7
Mencari kerang/ kepiting/ikan
273
15
288
8
Menarik bagan
5
0
5
9
Menyelam (lobster dan gurita)
30
0
30
10
Menjual ikan
5
0
5
11
Menjaring ikan
1
0
1
12
Mencari tiram
47
6
53
13
Memancing
3
0
3
Total
611
24
635Dalam FGD dengan anak di tujuh kabupaten, perpindahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Ini juga terkait dengan pertambahan usia anak, yang berarti bertambah pula kebutuhan si anak, seperti sudah merokok, membeli pakaian dan jajan sehari-hari.
Ms (16 tahun), warga Desa Gugob mengatakan, “Kalau mau meningkat penghasilan kita harus ke laut lebih dalam. Kalau di pantai ikan atau lobster tidak banyak, jadi harus ke tengah. Anak-anak kecil belum berani ke laut tengah, tapi kalau saya sudah berani. Kami kalau ke laut jarang sama orang dewasa.”31
Faktor lain yang diamati cukup signifikan terhadap perpindahan jenis pekerjaan yang dilakukan anak terkait dengan adanya image terhadap suatu pekerjaan yaitu pekerjaan anak kecil atau pekerjaan orang besar (kendatipun sebenarnya si anak belum dewasa). Namun ketika telah berusia di ata 15 tahun mereka telah menganggap dirinya besar, sehingga diapun mencari pekerjaan yang diidentikkan dengan pekerjaan orang dewasa.
Jengek atau aneuk mie dan mencari kerang/kepiting/ikan dua jenis pekerjaan yang sering diasumsikan sebagai pekerjaan anak kecil atau pekerjaan anak perempuan. Kedua jenis pekerjaan ini cukup banyak ditinggalkan anak-anak ketika usia mereka semakin bertambah, selanjutnya pindah seperti bekerja di kapal pukat, memancing atau menyelam lobster dan gurita.
MJ (17 tahun) warga desa Alue Naga, Banda Aceh, pertama kali bekerja mencari kerang dan kepiting, pada saat diwawancarai bekerja di boat penangkap ikan. Ms (17 tahun) warga Paya Lipah, Kecamatan Peurlak, Aceh Timur, mulanya bekerja mencari kerang, saat diwawancarai bekerja menarik pukat perahu. Lalu MD (14 tahun), warga Keude Pante Raja, Kota Sigli, Pidie, awalnya sebagai jengek dan sekarang ini bekerja di kapal pukat.
Alasan perpindahan lain yang dikatakan anak untuk mencari pengalaman baru. Anak merasa jenuh terhadap suatu pekerjaan sehingga mereka mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih menarik, terutama pertimbangan penghasilan. MD mengatakan: “bosan kerjanya itu-itu terus.”32
Dari 635 anak yang diwawancarai, hanya tiga orang yang pernah melakukan pekerjaan lain di luar sektor perikanan, yaitu sebagai penjaga atau pengangkat pasir laut, ketiganya berasal dari Aceh Barat. Pekerjaan tersebut saat ini kadang-kadang masih dilakukan sebagai pekerjaan sambilan, terutama saat musim barat, dimana nelayan jarang ke laut karena ombak dan angin sangat kencang.
Dilihat dari kabupaten/kota, hampir seluruh jenis pekerjaan yang dilakukan anak terdapat di tujuh kabupaten lokasi penelitian. Adapun jenis pekerjaan yang hanya terdapat di suatu desa atau kecamatan yaitu menyelam lobster, hanya terdapat di Desa Seurapong, Gugob, Paloh dan Lhoh, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar dan di hampir seluruh desa yang diteliti di Kabupaten Simeulue. Sementara menyelam gurita hanya dikerjakan anak-anak di Desa Seurapong, Gugob, Paloh dan Lhoh, Pulo Aceh. Menarik bagan (angkoy) hanya terdapat di Kabupaten Simeulue.
Informasi yang diperoleh dari peserta FGD stakeholder di Aceh Besar dan Simeulue, menyelam lobster (dan gurita di Aceh Besar) sudah berlangsung sangat lama (tidak seorangpun yang mengetahui persis sejak tahun berapa) dan sebenarnya sudah dilarang oleh pemerintah berdasarkan adanyakasus-kasus fatal yang dialami warga karena tanpa menggunakan peralatan standrad dan tanpa memperhitungkan kedalaman laut.
Berdasarkan Konvensi ILO No. 182, dari jenis-jenis pekerjaan seperti dalam tabel 9 (sembilan) terdapat beberapa jenis yang dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan yang terburuk yang dilakukan anak sebagaimana dalam tabel 10.
Tabel 7: Jenis pekerjaan terburuk yang dilakukan anak
No
Kabupaten/Kota
Jenis pekerjaan terburuk
Keterangan
01
Aceh Besar
Menyelam lobster
Pulo Beras, Pulo Aceh
Menyelam gurita
Pulo Beras, Pulo Aceh
Bekerja di kapal pukat
Di seluruh lokasi yang diobservasi
02
Banda Aceh
Bekerja di kapal pukat
Lampulo
Memancing ikan di laut dalam
Lampulo
03
Pidie
Bekerja di kapal pukat
Kecamatan Meuredu, Tringgadeng, Pante Raja dan Muara Tiga
04
Aceh Utara
Bekerja di kapal pukat
Desa Bangka Jaya, Kecamatan Krueng Geukueh
05
Aceh Barat
Bekerja di kapal pukat
Kecamatan Johan Pahlawan dan Samatiga
Memancing di laut dalam
Idem
06
Aceh Timur
Bekerja di kapal pukat
Di semua desa yang diobservasi
Memancing di laut dalam
Idem
07
Simeulue
Menyelam lobster
Idem
Menembak ikan
Idem
Menarik bagan (angkoy)
Di Kecamatan Simeulue Timur
Pengkategorian jenis-jenis pekerjaan tersebut sebagai bentuk terburuk pekerjaan untuk anak didasarkan pertimbangan seperti, tingkat resiko atau bahaya yang dapat ditimbulkan bagi anak secara fisik dan psikis serta pengaruhnya terhadap keberlanjutan pendidikan si anak.
7. 6 Jam kerja dan lokasi kerja
Tabel 8: Jam Mulai Bekerja
No
Jam mulai bekerja
LL
PR
Total
1
3.00 - 05.00
27
0
27
2
6.00 - 08.00
60
1
61
3
09.00 - 11.00
125
4
129
4
12.00 - 14.00
17
0
17
5
15.00 - 17.00
325
18
343
6
18.00 - 20.00
37
1
38
7
21.00 - 24.00
11
0
11
8
Tidak tentu
9
0
9
Total
611
24
635Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 tahun 2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak pekerjaan yang dilakukan anak antara jam 18.00-06.00 diklasifikasikan pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu kepada anak.
Dalam penelitian ini waktu anak mulai bekerja disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan, jenis alat tangkap, faktor musim serta si anak masih sekolah atau tidak. Bagi anak yang masih sekolah, biasanya bekerja setelah pulang sekolah, disamping ada telah bekerja sebelum berangkat ke sekolah yaitu anak-anak yang mencari kepiting di Aceh Timur.
Anak-anak yang tidak sekolah jam kerja biasanya dimulai jam tiga pagi yaitu anak-anak yang bekerja di boat penangkap ikan dan ada berangkat jam empat, lima atau jam tujuh pagi. Sedangkan anak-anak yang menyelam lobster dan gurita jam kerja biasanya dari jam 20.00 disamping ada pada pagi dan sore hari. Ef (17) warga Desa Seurapong, Pulo Aceh mengatakan, “Kalau menangkap losbter enaknya malam hari karena lobster keluar dari sarangnya. Kalau siang lobster di sarang jadi harus mengorek-ngorek lobangnya dulu.”33
Anak yang bekerja di tambak udang/ikan dan masih sekolah biasanya bekerja pada malam hari. Karimuddin Ali, Keuchik Desa Teupin Kuyuen, Kecamatan Seunedon, Aceh Utara mengatakan, “Karena di sini banyak tambak orang luar, kalau yang menjaga tambak banyak masih sekolah, malam menjaga tambak pagi sekolah.”34
Mengenai jumlah jam kerja ditentukan oleh jenis pekerjaan, alat tangkap, lokasi kerja serta anak masih sekolah atau tidak sekolah. Di kapal penangkap ikan di atas 10 GT (gross tonase) seperti di Aceh Timur yang umumnya ada di Kuala Idi dan Kuala Beugak, jam kerja anak tidak dibedakan dengan pekerja dewasa. Dengan jumlah waktu satu trip antara tiga sampai lima hari atau ada 10 hari di laut, anak-anak bekerja sesuai rutinitas kerja di kapal tersebut dimulai dari menurunkan pukat (jaring alat tangkap), menarik pukat, mengambil ikan dari pukat, menyortir ikan, merebus atau memasukkan ikan ke tong es, merebus/mengangkat ikan yang dijemur serta membersihkan kapal.
Tabel 9: Lama bekerja
No
Lama bekerja
LL
PR
Total
1
Kurang 3 jam
32
2
34
2
1 - 3 jam
195
14
209
3
3 - 6 jam
190
7
197
4
6 - 9 jam
86
1
87
5
Lebih 9 jam
108
0
108
Total
611
24
635Dengan rutinitas seperti ini jam kerja anak lebih sembilan jam sehari-semalam. Secara rinci jenis-jenis pekerjaan yang waktu kerjanya lebih sembilan jam yaitu: jengek/aneuk mie, membersihkan boat/ perahu, buruh di TPI, pekerja di kapal pukat, menjaga kolam/tambak, menyelam, menembak ikan, menjaring ikan dan memancing.
Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (pasal 68-69) menyatakan, untuk pekerjaan ringan bagi anak berusia 13-15 tahun waktu kerjanya tidak lebih tiga jam sehari, dilakukan siang hari dan tidak mengganggu pendidikan anak.
Sp (17 tahun) warga Barak Jeumpa Puteh Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat menceritakan proses kerjanya:
“Kami empat orang berangkat jam 21.00 dan sampai di tempat mencari hiu dua malam berikutnya kira-kira jam dua siang, di perjalanan saja dua malam. Sesampainya di tempat mencari ikan, kami membereskan alat tangkap dan memancing ikan tongkol untuk umpan pancing. Lalu kami melempar pancing, jam 16.00 dan selesai jam 20.00. Satu kali lempar sampai 500 kili (kili = benang pancing yang ujungnya ada pancing, satu kili satu mata pancing). Setelah itu istirahat. Jam lima pagi pancing ditarik, bila hiu yang didapat banyak harus dikemasi, pengemasan hasil dan alat tangkap baru selesai jam 12 siang. Jadi mulai tarik pancing sampai selesai dibutuhkan waktu dari jam lima pagi sampai jam 12 siang. Kami sampai satu minggu di laut, kadang 15 hari, tergantung hasil.”35
Dengan demikian selain dari aspek jam kerja panjang juga terdapat permasalahan lain menyangkut jumlah hari untuk menyelesaikan satu trip pekerjaan khususnya anak yang bekerja di kapal penangkap ikan dengan berbagai jenisnya serta pemancing di laut dalam.
Ketika ditanyakan berapa hari biasanya bekerja dalam seminggu rentang waktu tiga bulan terakhir maka, 193 anak (30 persen) menyatakan bekerja enam hari dalam seminggu, 186 orang (29 persen) sebanyak lima hari, 96 orang (15 persen) selama tiga hari, 51 orang (delapan persen) selama tujuh hari, 49 orang (delapan persen) empat hari, 41 orang (enam persen) selama dua hari dan 19 orang (tiga persen) selama satu hari dalam seminggu.
Mengenai lokasi kerja dan rute kapal disesuaikan dengan ukuran dan jenis kapal serta alat tangkap yang digunakan. Semakin besar gross tonase (GT) suatu kapal, semakin jauh jarak yang ditempuh. Demikian juga pemancing hiu atau ikan tuna, seperti dikatakan anak pemancing hiu di atas, untuk sampai ke lokasi pemancingan mereka memerlukan dua malam perjalanan.
Kapal penangkap ikan dengan 10 GT atau lebih, di Kuala Idi, Aceh Timur misalnya ada sampai ke perairan pantai timur Sumatera Utara, di perairan Langkat, Belawan maupun perairan Malaysia. Abdurahman Yusuf, Panglima Laot Kuala Beukah, Paya Lipah, Peurlak, Aceh Timur mengatakan:
“Dulu kita tidak perlu jauh-jauh melaut sekitar tiga mil karena ikannya banyak, tetapi ikan tidak banyak yang bisa dibawa pulang karena pakai perahu layar, kalau tidak ada angin pasang sauh, biar tidak terbawa arus. Kalau sekarang boat pakai mesin, walaupun mesin perontok, sekarang bisa berlayar dua-tiga hari dan kita dapat berlayar sampai jauh, karena sudah ada es jadi ikannya tidak busuk. Nelayan di Aceh Timur kalau kapal besar perginya jauh-jauh, ada baru pulang satu minggu atau 10 hari.”36
Di Aceh Barat, seperti dikatakan anak-anak dalam FGD, pemancing hiu atau anak-anak yang bekerja di kapal besar (di atas 10 GT) ada sampai ke perairan Nikobar India, perairan Thailand ataupun perairan Malaysia. Sementara di Aceh Besar, misalnya di Pulo Aceh, rute paling jauh sampai ke perairan Kabupaten Sabang, Aceh Jaya dan Aceh Barat, hal ini karena kapal mereka rata-rata di bawah 10 GT.
Neldi, SH, Panglima Laot Kecamatan Johan Pahlawan mengatakan:
“Nelayan di Aceh Barat ini paling batat di seluruh Aceh. Orang bilang nelayan paling berani itu dari Aceh Selatan. Itu tidak betul, kalaupun dia dari Aceh Selatan tapi belajarnya di Aceh Barat. Nelayan dari Aceh Barat ini paling berani, mereka sampai ke perairan Thailand atau ke perairan India. Itu sudah biasa di sini, hampir semua kapal besar rutenya jauh-jauh.”37
Faktor lain yang mempengaruhi rute atau lamanya satu trip kapal/boat bergantung pada hasil tangkapan diperoleh dan ini berkaitan dengan kuantitas yaitu banyaknya jumlah alat tangkap di satu lokasi dan jenis alat tangkap di suatu perairan.
7.7 Penghasilan dan penggunaan uang
Penghasilan yang diperoleh anak dari bekerja di sektor perikanan cukup bervariasi, disesuaikan dengan jenis pekerjaan. Anak-anak yang menyelam lobster serta pemancing hiu memiliki penghasilan lebih besar, karena harga kedua jenis ikan tersebut cukup mahal.
Di Kabupaten Simeulue, harga lobster dari nelayan kepada agen rata-rata Rp. 80-100 ribu/kg, sementara di Pulo Aceh, antara Rp. 65-75ribu/kg. Adapun harga gurita basah di Pulo Aceh Rp. 5.000-6.000/kg. Sedangkan harga ikan hiu ukuran sedang Rp. 2-3 juta (jika harga dua juta, rinciannya: 1,5 juta harga sirip dan Rp. 500 ribu harga daging).
Tabel 10: Penghasilan anak
No
Penghasilan per trip
LL
PR
Total
1
Kurang Rp 10.000
85
6
91
2
Rp 10.000-20.000
220
10
230
3
Rp 20.000-30.000
133
5
138
4
Rp 40.000-50.000
117
1
118
5
Rp 50.000/lebih
51
1
52
6
Tidak tahu
5
1
6
Total
611
24
635
Di Pulo Aceh (di Desa Seurapong), penghasilan bersih rata-rata penyelam loster Rp. 75-100 ribu. Penghasilan bersih tersebut setelah di potong biaya operasional selama melaut yaitu satu bagian untuk boat, biaya minyak, biaya makan, rokok dan peralatan seperti bius lobster, batrey senter dan lain-lain.
Ef (17 tahun), penyelam lobster di Desa Seurapong mengatakan: “Kalau rajin dan laut mendukung (musim timur dan tidak terang bulan) penghasilan menyelam lobster mencapai Rp. 300 ribu sehari. Tapi kadang kita nggak memaksakan diri, kalau kira-kira sudah dapat Rp. 100 ribu berhenti dan pulang. Besok kan bisa cari uang lagi.”38
Penghasilan demikian, selain menyebabkan anak selalu berkeinginan untuk bekerja pada sisi lain dipengaruhi keinginan orang tua agar anaknya tetap bekerja karena jika dilihat dari penggunaan uang hasil bekerja, 345 orang (54 persen) menyatakan seluruh uang tersebut untuk diri sendiri. 248 orang (39 persen) mengaku sebahagian penghasilannya diberikan kepada orang tua dan sisinya untuk diri sendiri. Adapun anak-anak yang mempunyai tabungan dari hasil bekerja hanya 28 orang (empat persen) serta terdapat 14 orang anak (dua persen) seluruh uang hasil kerjanya diserahkan kepada orang tua atau keluarga.
Bagi anak laki-laki yang tidak sekolah, uang yang mereka peroleh dipergunakan untuk membeli rokok, jajan serta membeli pakaian dan kebutuhan lain. Sementara anak perempuan selain membeli kebutuhan pribadi seperti kosmetik juga untuk jajan serta diberikan kepada adik. Anak-anak yang tidak bersekolah dan terutama anak yang bekerja atas keinginan sendiri, penggunaan uang hasil bekerja dominan untuk membeli rokok, makan siang dan jajan.
RP (16 tahun), pekerja kapal penangkap ikan, warga Kampung Baru Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur mengatakan: “Pekerjaan saya melaut dengan orang lebih dewasa. Saya menarik pukat. Penghasilan sekali pulang melaut selama tujuh hari biasanya Rp. 400 ribu, uang tersebut sebahagian diberikan kepada orang tua dan sebahagian untuk kebutuhan pribadi seperti jajan dan beli rokok sebungkus sehari.”39
7.8 Dampak bekerja pada anak
Tabel 11: Jenis kecelakaan secara fisik
No
Kecelakaan kerja
Usia 6-14 thn
Usia 15-<18 thn
Total
LK
PR
LK
PR
1
Kena mesin kapal
3
2
10
0
15
2
Kena jaring
6
0
31
0
37
3
Jatuh ke laut
13
0
17
0
30
4
Tertusuk duri ikan atau kerang/tiram
101
7
77
3
188
5
Dihempas ombak waktu menyelam
0
0
30
0
30
6
Pening (pengaruh bius lobster)
0
0
23
0
23
Total
123
9
188
3
323
Menurut Gootear dan Kanbur (1994) banyak bukti bahwa keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi di sektor formal dan informal yang terlalu dini cenderung rawan eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak.40
Dalam penelitian ini, kecelakaan kerja secara fisik yang dialami anak diantaranya disebabkan ketika bekerja anak tidak menggunakan alat pengaman seperti sarung tangan, pelampung dan lain sebagainya yang menurut anak-anak memang tidak tersedia di kapal tempat mereka bekerja.
Kecelakaan juga dipicu kelelahan karena idealnya anak hanya bekerja tidak lebih dari tiga jam sehari. Demikian juga akibat bekerja pada malam hari seperti di kapal pukat, memancing, menembak ikan, menyelam lobster dan menyelam gurita, selain akibat cuaca yang dingin juga dapat menyebabkan anak mengantuk, dimana akibat mengantuk, anakpun semakin rawan mengalami kecelakaan dan hal ini juga sering menyebabkan anak dimarahi mandor atau pawang kapal (kekerasan fisik).
Jenis pekerjaan yang memiliki resiko kecelakaan atau bahaya paling besar adalah menyelam lobster, pekerjaan yang hanya terdapat di Kabupaten Simeulue dan Pulo Beras, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Kecelakaan dapat terjadi karena selain tempat dan cara kerjanya, juga karena sewaktu bekerja mereka tidak menggunakan peralatan standard untuk menyelam di laut.
Dalam FGD dengan anak di Pulo Aceh, Aceh Besar, anak-anak mengidentifikasi beberapa bentuk kecelakaan atau bahaya yang mungkin terjadi akibat menyelam lobster seperti:
Dihempas ombak sewaktu di/masuk ke sarang lobster di dasar laut yang menyebabkan lubang atau sarang losbter tertutup pasir/karang, akibatnya si penyelam sulit untuk keluar
Terhirup bius yang disemprotkan kepada lobster menyebabkan pusing/mabuk
Lumpuh
Meninggal (kuping dan hidung mengeluarkan darah)
Kecelakaan atau bahaya tersebut juga diperburuk karena waktu menyelam pada malam hari, hanya menggunakan celana dalam dan tidak memakai baju, menyelam sampai di kedalaman 10 meter dan tanpa menggunakan oksigen serta bekerja (menyelam) lebih dari sembilan jam untuk satu trip.
Ne (17 tahun), warga desa Seurapong, Pulo Aceh mengatakan, “Kadang pas lagi sor (asyik) kita gak sadar kalau sudah terlalu dalam menyelam. Aku pernah nyelam sampai gak laut sudah gelap, waktu itu aku ngejar lobster besar.”41
Secara fisik, seperti dipublikasikan dalam http://www.scuba-doc.com/LTE.htm, “menyelam antara lain dapat menyebabkan pecahnya pembuluh arteri, kehilangan pendengaran, menurunnya kemampuan kerja syaraf karena kekurangan tekanan udara, disfungsi dan kerusakan lever, retina dan hati serta meningkatkan resiko kerusakan otak.”42
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan pekerja anak yang mengalami dampak fatal sebagaimana disebutkan dalam artikel di atas (http://www.scuba-doc.com/LTE.htm) akan tetapi seperti dialami Mz (35 tahun) warga Pulo Aceh, dampak tidak memenuhi prosedur keselamatan menyelam tersebut baru dirasakan pada periode jangka panjang. Mz, saat diwawancarai, kedua kakinya masih lumpuh walaupun telah berobat secara medis dan obat “kampung”. Menurut MZ, di desanya, bukan hanya dia yang mengalami kejadian tersebut. “Ada tiga orang seingat saya”. Di Desa Lhoh, seperti dikatakan Adnan KJ, Sekretaris Desa, setidaknya ada empat orang warga desa tersebut meninggal di laut ketika menyelam. “Ada juga yang lumpuh total dan sudah meninggal sewaktu tsunami lalu, karena ia tidak dapat lari.”43
Namun demikian, seperti dikatakan Ef (17 tahun), “Kalau di sini bang, ngomongnya harus kuat-kuat, kuping orang di sini pekak-pekak.”44 Sementara Js (16 tahun), warga Desa Lafakha, Simeulue, memperlihatkan kedua tangannya yang penuh bekas luka dan menimbulkan gatal-gatal akibat menangkap losbter. Dampak lain, seperti dialami seorang warga desa Gugob, Pulo Aceh, mata sebelah kirinya mulai rabun dan perih, terutama jika terkena sinar matahari, sehingga sehari-hari ia menggunakan kaca mata hitam.
Adanya uang dari hasil bekerja, longgarnya kontrol orang tua/keluarga, keinginan untuk menyesuaikan diri, meniru maupun bergaul serta akibat dari bekerja pada malam hari (dingin) maupun pengaruh pertambahan usia (secara psikologis) berkontribusi terhadap:
7.8.a Merokok
Sebanyak 254 orang (42 persen) dari 611 anak laki-laki menyatakan telah merokok. Dan tiga orang dari 26 anak perempuan juga menyatakan telah merokok. Frekuensi merokok mereka adalah 16 batang sehari dilakukan 20 anak laki-laki, 10-16 batang sehari sebanyak 49 anak, 03-10 batang sehari oleh 126 anak, serta 59 anak merokok tidak lebih dari tiga batang sehari (tiga anak perempuan).
Ketika diminta menjelaskan alasan dan tujuan merokok dalam FGD, 65 persen dari jumlah anak yang telah merokok menyatakan: “Karena di laut dingin, tidak sekolah lagi, sudah memiliki uang, diberikan teman dan teman-teman sudah merokok”. Seorang anak di Simeulue mengatakan: “Rokok dapat membuat pikiran tenang, apalagi kalau malam hari sewaktu melaut sangat enak merokok, kalau dihisap dalam-dalam badan menjadi hangat, karena di laut malam hari sangat dingin.”
Alasan lain yang dikemukakan anak seperti ikut-ikutan teman (23 persen) serta 11 persen menyatakan karena laki-laki memang harus merokok. TZ (17 tahun) warga Barak Jeumpa Puteh, Johan Pahlawan, Aceh Barat yang sudah merokok sejak usia 10 tahun berpendapat bahwa merokok identik dengan laki-laki. “Kalau laki-laki harus merokok agar kelihatan jantan, kalau gak merokok dia bencong.”45
Rokok dan bekerja, dalam beberapa kasus ditemukan mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Karena telah merokok anak terpaksa bekerja, karena orang tua tidak akan memberikan uang atau rokok kepada anak, apalagi anak yang masih berusia 17 tahun ke bawah. Pada kasus lain, karena telah bekerja dan mempunyai uang anak dapat membeli rokok sendiri dan pada anak-anak yang tidak sekolah, mereka mengatakan orang tua tidak melarang jika mereka merokok. Walaupun ketika pernyataan anak tersebut dikonfirmasi kepada orang tua beberapa orang tua tidak sependapat, dalam arti melarang anak merokok karena si anak masih kecil (dari fisik dan usia). Merokok juga berkaitan dengan kedewasaan dan upaya untuk mengekpresikan kebebasan dan perkembangan fisik dan psikologis.
7.8.b Menggunakan ganja dan obat terlarang
Sebanyak 38 anak mengaku sudah menghiap ganja dengan frekuensi sembilan anak sebanyak 03-10 kali dalam seminggu, 29 anak kurang dari tiga kali seminggu. Ganja tersebut tujuh orang membeli sendiri, 24 anak membeli bersama temannya, tujuh anak memperoleh dari teman.
21 orang anak telah menggunakan ganja sejak berusia 14-16 tahun, 10 anak ketika berusia 10-13, sebanyak lima orang ketika berusia di bawah 10 tahun dan dua orang ketika berusia 17 tahun. Selain itu ada anak yang menggunakan obat terlarang jenis lain sebanyak dua orang sejak dari usia 14-16 tahun yang diperoleh dari teman dan digunakan bersama-sama di lingkungan kerja.
Ganja atau cimeng menurut anak-anak yang menghisapnya, pada saat tertentu mereka butuhkan seperti ketika melaut atau setelah pulang bekerja, saat badan sedang lelah. Seorang anak di Desa Seurapong, Pulo Aceh mengatakan anak-anak muda dan orang tua di desa tersebut banyak menghisap ganja. “Di sini sudah biasa, badan jadi enak dan pikiran tenang jika menghisap ganja”.46
7.8.c Minuman beralkohol
Terdapat 24 anak, seluruhnya laki-laki, mengaku telah mengkonsumsi minuman beralkohol, 63 persen diantaranya adalah anak-anak di Aceh Timur. Beberapa anak menggunakan alhokol yang dibeli dari apotik lalu dicampur dengan minuman penambah energi (serbuk). Selain untuk menghilangkan rasa lelah seusai bekerja, empat orang anak menyatakan mengkonsumsi sewaktu bekerja pada malam hari di laut untuk menghilangkan rasa dingin.
Variasi usia anak mulai menggunakan alkohol, 10-12 tahun dua anak, 12-14 tahun tiga orang, 14-16 tahun 19 anak. Alkohol diperoleh dengan membeli sendiri enam anak, membeli bersama teman 12 anak dan enam orang diberikan teman.
7.8.d Kegiatan seksual
Dari tiga jenis kegiatan seksual yang dilakukan anak, onani merupakan jumlah terbanyak yaitu 93 orang yang seluruhnya laki-laki. Aktifitas seksual lain adalah 28 orang telah berciuman dan delapan orang memeluk/meraba bagian sensitif lawan jenis. Seluruh anak yang melakukan aktifitas seksual adalah anak-anak.
Frekuensi kegiatan seksual tersebut yaitu, 10-16 kali dalam seminggu dua orang anak, 3-10 kali seminggu 18 anak, kurang dari tiga kali dilakukan 109 orang anak. Kegiatan seksual dilakukan bersama teman sebanyak lima anak, bersama pacar oleh 22 anak, dengan orang dewasa dilakukan enam anak, keluarga (bukan termasuk incest) dua anak, dan 94 melakukan onani ketika sendiri. Anak-anak yang sudah terlibat dalam aktifitas seksual di atas seluruhnya berusia di atas 16 tahun.
Menganai kegiatan seksual yang dilakukan anak, di satu sisi hal ini tidak terlepas dari perkembangan biologis dan psikologis si anak. Akan tetapi, kebebasan akibat telah bekerja dan tidak sekolah serta karena telah mempunyai uang berkonstribusi terhadap perlaku anak.
Seorang anak di Aceh Timur mengatakan, “Kalau pacaran kan harus ada uang, kitakan ngajak pacar jalan atau makan bakso. Kalau pacaran juga kan kita pakaian yang baru. Kalau ngak ada uang ngak usah pacaran, maulah.”
7.9. Kekerasan yang dialami dan dilakukan anak
a. Kekerasan di lokasi kerja
Selain sikap dan perilaku sebagaimana disebutkan di atas, di lokasi kerja anak-anak juga mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikis. Sebanyak 189 dari 635 orang anak (30 persen) yang diwawancarai mengaku mengalami kekerasan di lokasi kerja, dimana kekerasan psikis paling dominan yaitu dihardik, dibentak, dicaci-maki dan diolok-olok yang menyebabkan anak merasa rendah diri dan beberapa orang mengatakan dendam kepada pelaku. Kekerasan lain ialah 12 anak menyatakan pernah dipukul dan lima orang ditampar. Pelaku kekerasan di lokasi kerja 97 persen adalah orang dewasa sesama pekerja, disamping ada pelaku sesama pekerja anak. Namun, dalam penelitian ini, kekerasan seksual ataupun penganiayaan berakibat cidera parah atau meninggal tidak ditemukan.
Kekerasan dapat terjadi karena anak melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam bekerja. Lainnya, disebabkan adanya perebutan lahan, misalnya di Aceh Timur, dalam memasang bube anak-anak memperebutkan lokasi yang banyak kepiting, pada saat seperti ini antara anak tidak jarang terjadi pertengkaran.
b. Kekerasan dalam rumah tangga
Di rumah tangga, anak-anak yang diwawancarai juga menyatakan mengalami kekerasan, dengan jenis kekerasan paling sering adalah dimarahi. Sebanyak 325 anak atau 51 persen dari 635 anak pernah mengalami kekerasan ini. Alasannya sangat variatif namun paling sering karena anak tidak mau disuruh orang tua. Penolakan anak diantaranya karena anak sudah lelah akibat bekerja.
Kekerasan lain yang dialami ialah 22 orang dipukul dengan frekuensi satu-dua kali seminggu, ditampar dialami 11 anak dengan frekuansi kurang dari sekali seminggu, tiga orang ditendang dan seorang mengaku pernah diraba bagian sensitifnya oleh anggota keluarga.
c.Kekerasan di sekolah
Kekerasan yang paling sering dialami pekerja anak yang masih sekolah adalah dimarahi yang dialami 118 anak atau 34 persen dari total pekerja anak yang masih sekolah. Kasus kekerasan lain di sekolah adalah dipukul dialami 21 orang anak, ditampar dialami lima anak dan ditendang dialami dua orang anak.
Guru adalah pelaku kekerasan paling sering yaitu 105 kasus ( 72 persen), sisanya lima kasus dilakukan kepala sekolah dan empat kasus oleh guru BP dan lainnya dilakukan oleh teman sesama pelajar.
Seringnya guru kelas memarahi karena di kelas anak sering mengantuk, tidak menyelesaikan pekerjaan rumah atau terlambat masuk sekolah. Anak mengantuk dan tidak menyelesaikan pekerjaan rumah merupakan dampak dari pekerjaan yang dilakukan. Contoh kasus di Aceh Timur, anak memasang pancing kepiting (bubei) pada sore hari jam 17.00. Setelah dipasang setiap lima jam sekali anak harus mengontrol. Kontrol pertama dilakukan jam 22.00 dan kontrol kedua jam 03.00 dini hari. Dengan demikian anak tidak mempunyai waktu istrahat cukup dan dampaknya mengantuk di kelas.
Kekerasan dalam lembaga pendidikan merupakan cermin dari berbagai praktik kekerasan yang dapat diterima secara kultural di Indonesia, karena kekerasan seringkali dipandang sebagai cara menyelesaikan masalah. Pemerintah Indonesia dalam 35th session dalam Consideration of Report Submitted By States Parties under article 44 of The Convention khususnya dalam Concluding Observation Convention on the Rights of the Child Committee on Indonesia paragraph 41, dikiritik tajam karena masih tingginya kasus-kasus kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian maupun pelecehan seksual di lembaga pendidikan.47
Dalam konteks Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kekerasan terhadap anak, apapun bentuknya, dimanapun dilakukan serta siapapun pelakunya dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Bahkan jika pelaku adalah orang tua maka ancaman hukumannya ditambah 1/3 dari ketentuan yang ada. Dalam pasal 80 dinyatakan:
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72 juta
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada pasal 2 mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya
d. Anak sebagai pelaku kekerasan
Selain sebagai korban kekerasan, anak-anak juga menjadi pelaku kekerasan. Di Aceh Timur dan Aceh Utara, terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan anak terhadap sesama pekerja anak diantaranya karena perebutan lahan atau tempat kerja dalam hal ini untuk mendapatkan lahan dimana terdapat banyak kepiting. Seperti dikatakan Akhmad Fauzi48 sektor perikanan sebagai sumber daya yang dimiliki bersama (common property) memang seringkali menimbulkan perebutan daerah tangkap (space interception externally) dimana masing-masing pihak ingin mendahului yang lainnya untuk mencapai fishing ground.
Konflik memperebutkan lahan sudah terjadi di kalangan anak-anak dan beberapa kasus hal ini dapat menyebabkan tindak kekerasan. Dalam rentang waktu tiga bulan terakhir, sebanyak 106 anak mengekspresikan kemarahan akibat perebutan lahan tersebut dengan cara menendang, memukul sebanyak 93 orang (44 persen), menghardik berjumlah 84 kasus (40 persen), menendang 13 kasus (enam persen). Frekuensi kekerasan yang dilakukan anak yaitu di atas 16 kali dalam seminggu sebanyak 24 orang anak, 03-10 kali seminggu dilakukan 39 anak dan kurang dari tiga kali seminggu dilakukan sebanyak 147 anak.
Selain perebutan lahan kerja, masalah yang terjadi dalam hubungan sehari-hari juga muncul sebagai faktor menyebabkan anak melakukan kekerasan terhadap sesama. Misalnya akibat diejek atau diolok-olok, disamping adakalanya dalam pembagian hasil. Di Pulo Aceh, malam 21 November 2006 di warung Abdul Salam di Desa Seurapong, peneliti menyaksikan perdebatan lima orang anak mengenai pembagian hasil dari penjualan lobster yang mereka hasilkan. Perdebatan terjadi pada soal pemotongan untuk biaya operasional yaitu minyak, makan dan rokok. Seorang anak menyatakan bahwa minyak yang dibeli tadi pagi belum habis dan anak lain mempersoalkan mengapa ia memperoleh pembagian paling sedikit.
7.10 Hubungan anak dengan orang tua/keluarga
Dalam masyarakat Aceh, fungsi pendidikan dalam keluarga “lebih dominan untuk membina sikap, tingkah laku dan tata kelakuan serta tata cara mencari nafkah hidup. Karena fungsi lain sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga pendidikan formal.”49
Sebanyak 470 anak (74 persen) menyatakan masih memiliki kedua orang tua. Adapun kategori anak dan hubungannya dengan keluarga adalah :
Anak yang memiliki kedua orang tua dan tinggal bersama kedua orang tua sebanyak 420 laki-laki dan 16 orang perempuan
Anak laki-laki yang memiliki kedua orang tua tetapi tinggal hanya bersama ayah berjumlah dua orang, dan anak perempuan yang memiliki kedua orang tua tetapi hanya tinggal bersama ayah tidak ada
Anak mempunyai kedua orang tua tetapi hanya tinggal bersama ibu berjumlah 19 orang laki-laki dan satu anak perempuan.
Anak laki-laki hanya mempunyai ayah dan tinggal bersama ayah satu orang
Anak laki-laki mempunyai kedua orang tua tetapi hanya tinggal bersama ibu berjumlah 19 orang
Anak laki-laki mempunyai kedua orang tua tetapi tinggal bersama orang lain sebanyak 12 orang
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pada dasarnya antara anak dan orang tua/ keluarga memiliki keterikatan sangat kuat dan hal ini sekaligus mengindikasikan peranan besar keluarga terhadap bekerja atau tidaknya seorang anak.
Sedangkan 12 dari 24 anak perempuan (50 persen) tidak mempunyai saudara kandung yang bekerja di perikanan, sisanya 12 anak memiliki saudara kandung yang bekerja di sektor yang sama.
Hubungan masih kuat antara anak dengan keluarga yang terlihat dari frekuensi anak pulang ke rumah setelah bekerja, dapat dijadikan pertimbangan dalam rangka melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan berbasiskan keluarga, sebab sebagaimana telah disebutkan di atas, selain karena orang tua/keluarga berperan mendorong anak untuk bekerja, pada pihak lain keluarga dan orang tua juga dapat dijadikan kekuatan untuk mencegah dan menanggulanginya.
7.11 Akses kepada layanan
7.11.a Bantuan pendidikan
Angka pekerja anak yang menerima bantuan pendidikan yaitu 272 anak atau 78 persen dari total pekerja anak yang masih sekolah. Bantuan tersebut berupa beasiswa diterima 134 anak, 138 peralatan sekolah. Pihak yang paling signifikan memberikan bantuan pendidikan adalah NGO (86 persen) dengan waktu pemberian bantuan periode awal tsunami. Bantuan lain berasal dari pemerintah (14 persen) dan bantuan pembebasan iuran sekolah.
7.11.b Pelatihan keterampilan
Dari 635 anak, hanya 16 orang yang pernah menerima pelatihan keterampilan, yaitu satu orang keterampilan menjahit dan 15 keterampilan seperti pertukangan dan bengkel dan pelatihan keterampilan tersebut tidak selesai diikuti. Rendahnya pendidikan ketrampilan yang diikuti anak mengindikasikan sangat kurangnya perhatian terhadap mereka.
Tidak adanya pendidikan ketrampilan mengakibatkan anak belajar sambil bekerja. Artinya pekerja anak sektor perikanan yang sudah terlanjur bekerja tidak dibekali ketrampilan yang berdampak pada rendahnya daya saing dan upah yang murah. Contoh kasus, di Kabupaten Simeulue seorang anak berumur 12 tahun sudah bekerja sebagai di sektor perikanan dan menghidupi keempat adiknya. Di Aceh timur seorang anak berumur enam tahun sudah mulai bekerja sebagai pencari kepiting.
7.11.c Akses kepada layanan medis
Hampir sama dengan bantuan pendidikan, tingginya persentase pemberian bantuan layanan kesehatan kepada pekerja anak sektor perikanan terkait dengan bencana tsunami. Jawaban anak menggunakan kuesioner, pihak paling sering pelayanan medis yang diterima anak adalah NGO sebanyak 35 kali layanan. Pemerintah hanya melakukan tiga kali layanan dari total layanan yang diterima anak.
7.11.d. Akses bantuan makanan dan peningkatan gizi
Program makanan tambahan yang diterima pekerja anak di sektor perikanan sebanyak 43 kali dan 31 kali atau 72 persen diantaranya dilakukan NGO, sedangkan 28 persen diberikan pemerintah dan lembaga sosial lainnya. Bantuan makanan ini merupakan kegiatan NGO pasca tsunami, dengan kata lain sebelum tsunami bantuan ini tidak ada program peningkatan gizi yang diterima pekerja anak di sektor perikanan.
7.12 Cita-cita dan harapan anak
Cita-cita sebagai suatu orientasi hidup dan hal-hal positif untuk mengembangkan diri dan membiasakan memiliki tujuan hidup50 melalui wawancara menggunakan kuesioner ditemukan cita-cita anak yang terefleksi dari lingkungan keseharian dan jenis kelamin anak.
Tabel 12: Cita-cita
No
Cita-cita
LL
PR
Total
1
Guru
32
13
45
2
TNI
124
0
124
3
Polisi
67
3
70
4
Pegawai negeri
28
0
28
5
Dokter
22
4
26
6
Nelayan
164
0
164
7
Tidak tau
174
4
178
TOTAL
611
24
635Refleksi lingkungan yang dimaksud ketika cita-cita yang disebutkan merupakan pekerjaan yang dapat dimengerti atau dilihat anak dalam kehidupannya sehari-hari.
Cita-cita menjadi nelayan yang dikemukakan 164 orang anak selain karena sudah tidak sekolah, anak menyatakan tidak memiliki keahlian di luar sektor perikanan. Jn (17) dalam FGD anak di Aceh Besar mengatakan, “Kita ini anak laut, dunia kita sejak nenek moyang sudah di laut. Sulit kalau pindah kerja dari laut.”51
Keterikatan dengan budaya dan kebudayaan pesisir demikian dalam dimensi lain karena menurut anak-anak, di laut mudah mencari uang sehingga mereka tetap ingin bekerja di sektor perikanan namun tidak dengan pekerjaan seperti sekarang. 87 persen dari 164 anak yang bercita-cita menjadi nelayan ingin memiliki boat sendiri, 12 persen ingin mengembangkan kerambah lobster dan sisanya tidak tahu (hom), nelayan yang bagaimana kelak diinginkannya.
Keinginan menjadi tentara atau polisi berkaitan dengan penilaian anak seperti ingin kelihatan gagah, berwibawa, mempunyai senjata. Anak-anak yang bercita-cita menjadi pegawai negeri karena mereka ingin memperoleh penghasilan tetap, dan anak yang ingin menjadi dokter, karena melihat prestise seorang dokter di masyarakat. Cita-cita menjadi guru yang dikatakan 13 orang anak perempuan, juga dapat dilihat dari aspek gender, dimana guru selama ini sering diasumsikan sebagai pekerjaan perempuan.
Bagaimana jika anak dipindahkan dari pekerjaan yang mereka lakukan sekarang? Pilihan paling tinggi adalah sekolah kembali. Angka ini menjelaskan banyak anak-anak yang bekerja di sektor perikanan karena keterpaksaan dan mereka ingin bersekolah kembali.
Keinginan anak untuk bersekolah maupun mengikuti keterampilan, merupakan suatu potensi dalam mengembalikan mereka kepada dunia anak-anaknya, dunia dimana mereka seharusnya belum bekerja, karena masa anak-anak merupakan saat dimana mereka memperoleh pengasuhan, pembinaan dan pendidikan untuk masa depannya yang cerah.
Dengan pendidikan anak-anak akan dibekali sejumlah keterampilan sosial seperti kemampuan berkomunikasi, menjalin interaksi sosial dan membangun relasi harmonis di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Coleman (1988) keterampilan sosial sebagai aspek penting dalam emotional intelligence. Hasil studi menunjukkan kunci utama mencapai prestasi dan meraih sukses dalam kehidupan adalah kecerdasan emosional bukan semata kecerdasan intelektual. Selain itu, pendidikan akan meningkatkan status sosial individu/kelompok masyarakat yang kemudian menjadi instrumen dan kekuatan pendorong proses mobilitas vertikal karena memungkinkan seseorang dapat memilih alternatif jenis pekerjaan terbaik.52
Dikaitkan dengan program pendidikan dasar wajib sembilan tahun, pengembalian anak ke sekolah secara korelatif akan meminimalkan jumlah pekerja anak. Dengan bersekolah, waktu anak untuk bekerja menjadi lebih sedikit, dan ini lebih. Menjadi kecil kemungkinan mereka bekerja di bawah usia 15 tahun. Dalam hal dimana bekerja bertujuan untuk memberikan pendidikan dan bimbingan, anak dapat dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan ringan yang diperbolehkan sesuai Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerjaan yang tidak mengganggu pendidikannya dan tidak berbahaya secara fisik dan psikis anak.
Namun demikian, berdasarkan pengalaman Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) melakukan pendampingan pekerja anak di sektor perikanan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara (2001-2003), keinginan sekolah seperti dikemukakan anak di atas hendaknya dilihat secara kritis, karena akibat telah terbiasa dengan uang, telah merokok, hidup bebas dan berbagai efek domino akibat mereka telah bekerja dan beberapa tahun telah putus sekolah, pengembalian anak ke sekolah formal sering gagal. Anak-anak hanya bersemangat pada tahap awal. Penyebabnya beragam; mulai dari unsur bangunan pokok pendidikan seperti guru dan peserta didik yang kurang dapat menerima kehadiran anak di kelas, pelajaran kurang menarik minat anak hingga cara pengajaran itu sendiri yang menyebabkan anak menjadi malas dan akhirnya berhenti sekolah.
Demikian juga pengalaman Yayasan Anak Bangsa mengembalikan pekerja anak ke sekolah di Banda Aceh. Guru tidak semua peka. Anak minder karena diisolasi kawan-kawannya, dan guru mendiskriminasi. Guru tidak mencoba memahami situasi anak. Ketika misalnya anak datang ke sekolah dengan baju tidak rapi, guru memarahinya. Ketika anak merasa pertanyaan yang diajukannya diabaikan guru, semangat anak pudar dan tidak mau sekolah. Kasus lain, anak lupa membuat PR karena sore hingga malam bekerja, lalu dihukum berdiri dengan kaki sebelah di depan kelas. Anak merasa sangat malu dan tidak mau sekolah lagi.53
Pendidikan inklusif agaknya perlu dipertimbangkan untuk diakomodasi bagi pekerja anak. Di beberapa negara, pendidikan inklusif digunakan sebagai pendekatan untuk mengakomodasi anak-anak penyandang cacat dalam pendidikan umum. Akan tetapi, secara internasional pendidikan inklusif telah dipandang lebih luas sebagai suatu perubahan yang merespon keberagaman di antara semua murid.
Pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai suatu pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk Pendidikan untuk Semua adalah benar-benar untuk semua. Suatu cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari perkembangan dini anak, program pra-sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusif, suatu kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga.54
Sebagian anak yang tidak ingin kembali bersekolah berencana membuka usaha sendiri seperti warung kelontong dan warung makanan-minuman. Pilihan ini terutama dikemukakan anak berusia di atas 15 tahun. Selain telah merasa malu untuk sekolah kembali, anak ingin merasa mengembangkan bisnis kecil-kecilan dapat membangun masa depan lebih baik. Menurut mereka berdagang tetap dianggap lebih menguntungkan dibandingkan bekerja sebagai nelayan.
Pilihan lain yang dikemukakan anak adalah mengikuti pendidikan keterampilan tertentu seperti pelatihan perbaikan mesin boat dan pelatihan pembuatan boat, pilihan yang dipandang sangat realistis dan prospektif mengingat di desa-desa nelayan memang sangat jarang, bahkan tidak ada bengkel khusus untuk perbaikan mesin boat. Ketika mesin boat rusak, mereka harus membawanya ke ibu kota kabupaten, menyebabkan pengeluaran (transport dan waktu) menjadi lebih besar. Di Pulo Aceh misalnya, jika boat rusak parah harus dibawa untuk perbaikan ke Banda Aceh, membutuhkan waktu 2-4 hari. Dalam masa menunggu perbaikan tersebut nelayan tidak bekerja, sementara kebutuhan rumah tangga tetap harus dipenuhi.
8. Kesimpulan
Selain memberikan konstribusi positif bagi perekonomian penduduk, sektor perikanan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di sisi lain juga menyebabkan banyaknya anak-anak yang bekerja di sektor tersebut. Keterlibatan anak bekerja dan menghasilkan uang di sektor perikanan, semestinya tidak dilihat sebagai hal yang wajar, apalagi menguntungkan, karena anak-anak sebagaimana diatur dalam berbagai hukum internasional dan nasional bukanlah orang yang sepatutnya untuk bekerja. Dunia anak adalah belajar dan bermain. Bekerja adalah dunia orang dewasa. Anak dengan berbagai hak-hak yang melekat dalam dirinya, seharusnya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang dapat memberikan masa depannya yang cerah.
Di tujuh kabupaten/kota lokasi penelitian diperkirakan terdapat 2.000-4.000 orang anak-anak yang terlibat dalam berbagai aktifitas di sektor perikanan. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.000-1.500 orang dapat dikategorikan pekerja anak. Sekitar 500-750 anak dari jumlah ini bekerja dalam kategori jenis pekerjaan terburuk untuk anak sesuai Konvensi ILO No. 182 seperti menyelam, melaut, menembak ikan dan memancing. Dalam konteks usia minimum anak diperbolehkan bekerja seperti diatur dalam Konvensi ILO No. 138, penelitian ini menemukan anak-anak berusia di bawah 15 tahun melakukan pekerjaan yang dapat membahayakan secara fisik, psikis, kesehatan maupun pendidikan anak.
Merokok, menggunakan narkoba, hingga melakukan kekerasan korelatif dengan dunia kerja yang terpaksa mereka jalani. Kekerasan di lokasi kerja juga mereka alami, termasuk di sekolah akibat mengantuk dan lelah karena sebelum sekolah ada harus bekerja terlebih dahulu.
Kemiskinan ditemukan cukup dominan sebagai faktor yang menyebabkan anak-anak terpaksa bekerja lalu putus sekolah, atau sebaliknya, putus sekolah lalu bekerja. Kemiskinan orang tua anak disebabkan beragam faktor mulai dari konflik bersenjata yang terjadi puluhan tahun, gempa dan tsunami, hingga kemiskinan yang menjadi ciri masyarakat desa umumnya, disamping kemiskinan akibat ada pihak yang membuat atau menginginkan nelayan tetap miskin.
Rekomendasi
Kemiskinan, pendidikan dan anak-anak bekerja merupakan tiga mata rantai yang tidak terpisahkan. Dari ketiga aspek tersebut, pendidikan merupakan instrumen paling penting untuk mengurangi tingkat kemiskinan sekaligus dapat mencegah dan menanggulangi anak-anak yang terpaksa bekerja. Berdasarkan hal tersebut peningkatan akses dan kualitas pendidikan formal, non-formal dan informal bagi anak-anak di kawasan pesisir hendaknya dipergunakan sebagai salah satu strategi untuk memutuskan lingkaran setan dan subkultur kemiskinan di kalangan orang tua dan anak-anak yang terpaksa bekerja.
Dalam hal ini, penyelenggaraan inclusive education serta pendekatan sekolah terbuka dan fleksibel (open flexi time school) perlu dipertimbangkan berdasarkan berbagai efek negatif yang ditimbulkan dari anak-anak bekerja pada usia dini, sehingga lingkungan pendidikan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi anak (child friendly school), dimana anak merasa nyaman menggunakan bahasanya, mengekspresikan dirinya, mengembangkan kreatifitasnya dan melaksanakan berbagai kegiatan lain. Anak dapat berpartisipasi secara aktif dan kreatif serta dapat mengambil manfaat dari kegiatan yang diikutinya.
Selain itu, meningkatkan sinergi makro kelembagaan dan meningkatkan akses keluarga anak kepada sumber daya yang mendukung produktifitas dan pemenuhan kebutuhan dasar melalui pendekatan positive deviance penting untuk dilakukan sehingga ada sinergi dengan pendekatan pendidikan yang dilaksanakan kepada anak-anak.
Peningkatan kesadaran publik (public awareness raising) tentang hak-hak anak; tentang konvensi internasional, perundangan nasional dan peraturan daerah berkaitan dengan the worst forms of child labor; dan tentang nilai pendidikan menjadi keharusan. Dalam jangka panjang, nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang terlalu banyak menekankan nilai kepatuhan anak secara evolusioner harus diimbangi dengan nilai kewajiban orang tua memenuhi hak-hak anaknya. Dalam konteks Aceh yang bernuansa Islam diperlukan reinterpretasi tentang dalil-dalil agama yang selama ini mungkin disalahkonsepsikan dan dijadikan justifikasi kewenangan dan kepemilikan orang tua atas anak-anaknya, melemahkan posisi dan daya tawar anak dalam keluarga. Upaya melibatkan tokoh agama untuk mensinergiskan ajaran agama Islam dengan instrumen internasional dan nasional berkaitan dengan isu hak anak dapat dijadikan satu strategi awal.
Daftar Pustaka
A. Rani Usman, 2003, Sejarah Perdaban Aceh, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Abidin Hasyim, dkk., Budaya Malu dalam Keluarga Masyarakat Aceh, dalam http://pustaka.nad.go.id/pdia/PDIA%20(D)/budaya/3.pdf, hal. 28
Ahmad Sofian, dkk., (2003) mengenai Pekerja Anak di Sektor Perikanan di Pantai Timur Sumatera Utara dan penelitian Indrasari Tjandraningsih dan Benjamin White (1995) di Jawa.
Ahmad Sofian, dkk., 1999, Kekerasan Seksual Terhadap Anak Jermal, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ahmad, Alia, 2005, Inequality in the Access to Secondary Education and Rural Poverty in Bangladesh: An Analysis of Household and School Level Data, http://www.nek.lu.se/publications/workpap/Papers/WP05_36.pdf, hal. 3.
Akhmad Fauzi, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan: isu, sintetis, dan gagasan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Akhmad Fauzi, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan: isu, sintetis, dan gagasan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Bagong Suyanto, 1999, Analisis Situasi Pekerja Anak dan Permasalahan Pendidikan Dasar di Jawa Timur, Airlangga University Press, Surabaya
Buletin Pesisir, edisi Juli-September 2000
http://id.wikipedia.org/wiki/Nanggroe_Aceh_Darussalam#Pasca-tsunami_2004Tenaga Kerja
http://id.wikipedia.org/wiki/Nanggroe_Aceh_Darussalam#Pasca-tsunami_2004Tenaga Kerja
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/27/0042.html
http://www.heartnsouls.com/cgi-bin/click2.pl?id=c369&url=/cerita/d/c369.shtml
http://www.heartnsouls.com/cgi-bin/click2.pl?id=c369&url=/cerita/d/c369.shtml
http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=67591
Human Right Watch, 2005, Failing Our Children: Barriers to the Rights to Education, http://hrw.org/reports/2005/education0905/education0905.pdf
Indrasari Tjandraningsih & Benjamin White, Anak-anak Desa dalam Kerja Upahan, Prisma No. 1, 1992, LP3ES, Jakarta, hal. 81
Johan Galtung, 2003, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Pustaka Eureka, Surabaya,
Kondisi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial tahun 2006, dalam Ceureumen No. 36, 21 Desember 2006
Long Term Effects of Sport Diving, lihat dalam http://www.scuba-doc.com/LTE.htm
M. Burhan Bungin, 2005, Metodologi Penelitian Kuantitatif: komunikasi, ekonomi, dan kebijakan publik serta ilmu-ilmu sosial lainnya, Kencana, Jakarta
M. Cholil Mansyur, tt, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya,
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Tinjauan Aspek Penataan Ruang dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir, makalah pada Seminar Umum Dies Natalis Institut Teknologi Surabaya ke-43, Surabaya, 8 Oktober 2003
Miles, M.B. & A.M.Huberman, 1984, Qualitative Data Analysis: a source book for new methods, Sage Publication Inc, Beverly Hills CA
Nugroho SBM, Jurus Memberantas Kemiskinan, Harian Suara Merdeka, 4 November 2002
Paragraph 43: The Committee is deeply concerned that corporal punishment in the family and in schools is widespread, culturally accepted and still lawfull.
Rekomendasi Simposium Internasional “Inklusif dan Penghapusan Hambatan Pembelajaran, Partisipasi dan Perkembangan – Berkembangnya Sekolah Inklusif dan Ramah terhadap Anak di Asia”, Sumatra Barat, Indonesia, 26-29 September 2005. Lihat dalam: http://www.eenet.org.uk/reg_networking/asia_newsletter_issue2%20Bahasa.pdf.
Saratri Wilonoyudho, Harian Kompas, Sabtu, 23 Juli 2005
Sarjono Herry Warsono, Implikasi Peningkatan Jumlah Pekerja Anak di Indonesia, http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/majalah_balitfo/volume_2_4/implikasi%20_peningkatan.php
Shaffer, Paul, 2001, New Thinking on Poverty: Implications for Poverty Reduction Strategies, http://www.un.org/esa/socdev/poverty/papers/paper_shaffer, hal. 10
Soetjipto Wirasarjono, 1994, Gelandangan dan Pilihan Kebijaksanaan dalam Gelandangan: pandangan ilmu sosial, LP3ES, Jakarta, hal. 63
Sulaiman Zuhdi Manik, Anak yang berkonflik dengan Hukum: Hukuman atau Perlindungan?, Aneuk, edisi II, Mei-Juni 2006, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Banda Aceh
Sutawi dan David Hermawan, Mengurangi Benang Kusut Kemiskinan Nelayan Jawa Timur, http://www.kompas.com/Kompas-cetak/0304/29/jatim/281767.htm
Tabloid Ceureumen, (dwi mingguan) No. 36, 21 Desember 2006
UNICEF, 2003, Education As A Preventive Strategy Against Child Labor, http://www.unicef.org/evaldatabase/files/Child_Labour_Evaluation_Report_27_Feb_2004.pdf
UNICEF, New York, tt, Dunia yang Layak bagi Anak-Anak
W.A. Gerungan, 1986, Psikologi Sosial, Eresco, Bandung
www.sahabatnestle.co.id/homev2/main/TKSK/TKSK_Home.asp
Zainal Arifin, Problema Pekerja Anak Ibarat Gunung Es, http://www.suaramerdeka.com/harian/0201/14/kha1.htm
1 Lihat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nanggroe_Aceh_Darussalam#Pasca-tsunami_2004Tenaga Kerja
2 Tabloid Ceureumen, (dwi mingguan) No. 36, 21 Desember 2006, hal. 11
3 Sebagaimana dinyatakan dalam M. Burhan Bungin, 2005, Metodologi Penelitian Kuantitatif: komunikasi, ekonomi, dan kebijakan publik serta ilmu-ilmu sosial lainnya, Kencana, Jakarta, hal. 138
4 Miles, M.B. & A.M.Huberman, 1984, Qualitative Data Analysis: a source book for new methods, Sage Publication Inc, Beverly Hills CA
5 Lihat W.A. Gerungan, 1986, Psikologi Sosial, Eresco, Bandung, hal. 55
6 Wawancara, 22 November 2006
7 http://www.heartnsouls.com/cgi-bin/click2.pl?id=c369&url=/cerita/d/c369.shtml
8 Focused Group Discussion stakeholder di Aceh Barat, 17Oktober 2006
9 Focused Group Discussion Anak di Aceh Besar, Op-cit.
10 Focused Group Discussion Anak di Aceh Barat, Op-cit.
11 Dalam UNICEF, New York, tt, Dunia yang Layak bagi Anak-Anak
12 Antara lain penelitian Ahmad Sofian, dkk., (2003) mengenai Pekerja Anak di Sektor Perikanan di Pantai Timur Sumatera Utara dan penelitian Indrasari Tjandraningsih dan Benjamin White (1995) di Jawa.
13 http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/27/0042.html
14 Akhmad Fauzi, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan: isu, sintetis, dan gagasan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 17
15 Kondisi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial tahun 2006, dalam Ceureumen No. 36, 21 Desember 2006, hal. 11
16 http://id.wikipedia.org/wiki/Nanggroe_Aceh_Darussalam#Pasca-tsunami_2004Tenaga Kerja
17 Focused Group Discussion dengan Stakeholder di Aceh Barat, Op-cit.
18 Dirangkum dari hasil Focused Group Discussion Stakeholder di Aceh Besar, Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, Simeulue dan Aceh Timur
19 Dalam Sutawi dan David Hermawan, Mengurangi Benang Kusut Kemiskinan Nelayan Jawa Timur, http://www.kompas.com/Kompas-cetak/0304/29/jatim/281767.htm
20 Nugroho SBM, Jurus Memberantas Kemiskinan, Harian Suara Merdeka, 4 November 2002
21 Sutawi dan David Hermawan, Mengurangi Benang Kusut Kemiskinan Nelayan Jawa Timur, http://www.kompas.com/Kompas-cetak/0304/29/jatim/281767.htm
22 Buletin Pesisir, edisi Juli-September 2000
23 Focused Group Discussion Anak di Simeulue, Op-cit.
24 Focused Group Discussion Stakeholder di Aceh Besar, Op-cit
25 Focused Group Discussion dengan Stakeholder di Simeulue, 12 November 2006
26 Sulaiman Zuhdi Manik, Anak yang berkonflik dengan Hukum: Hukuman atau Perlindungan?, Aneuk, edisi II, Mei-Juni 2006, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Banda Aceh, hal. 14-16
27 Indrasari Tjandraningsih & Benjamin White, Anak-anak Desa dalam Kerja Upahan, Prisma No. 1, 1992, LP3ES, Jakarta, hal. 81
28 Abidin Hasyim, dkk., Budaya Malu dalam Keluarga Masyarakat Aceh, dalam http://pustaka.nad.go.id/pdia/PDIA%20(D)/budaya/3.pdf, hal. 28
29 Focused Group Discussion Anak di Aceh Barat, Op-cit.
30 Wawancara, 18 November 2006
31 Focused Group Discussion Anak di Aceh Besar, Op-cit.
32 Wawancara, 3 November 2006
33 Focused Group Discussion Anak di Aceh Besar, Op-cit.
34 Wawancara, 8 November 2006
35 Focused Group Discussion Anak di Aceh Barat, Op-cit.
36 Wawancara, 7 November 2006
37 Focused Group Discussion Stakeholder di Aceh Barat, Op-cit.
38 Wawancara, 15 Oktober 2006
39 Wawancara, 6 November 2006
40 Dalam Bagong Suyanto, 1999, Analisis Situasi Pekerja Anak dan Permasalahan Pendidikan Dasar di Jawa Timur, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 7
41 Wawancara, 15 Oktober 2006
42 Diterjemahkan secara bebas dari artikel: Long Term Effects of Sport Diving, lihat dalam http://www.scuba-doc.com/LTE.htm
43 Wawancara, 16 Oktober 2006
44 Ibid.
45 Wawancara, 6 November 2006
46 Wawancara, 8 Oktober 2006
47 Paragraph 43: The Committee is deeply concerned that corporal punishment in the family and in schools is widespread, culturally accepted and still lawfull.
48 Akhmad Fauzi, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan: isu, sintetis, dan gagasan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 17
49 Abidin Hasyim, dkk., Op-cit., hal. 28
50 www.sahabatnestle.co.id/homev2/main/TKSK/TKSK_Home.asp
51 Focused Group Discussion Anak di Aceh Besar, Op-cit.
52 Zainal Arifin, Problema Pekerja Anak Ibarat Gunung Es, Op-cit.
53 Sulaiman Zuhdi Manik, 2006, Op-cit., hal. 82
54Rekomendasi Simposium Internasional “Inklusif dan Penghapusan Hambatan Pembelajaran, Partisipasi dan Perkembangan – Berkembangnya Sekolah Inklusif dan Ramah terhadap Anak di Asia”, Sumatra Barat, Indonesia, 26-29 September 2005. Lihat dalam: http://www.eenet.org.uk/reg_networking/asia_newsletter_issue2%20Bahasa.pdf.