Medan 12-09-2019. Aktivis
perlindungan anak dari berbagai organisasi di Medan mendesak Pemerintah Kota
Medan mengintensifkan pola koordinasi antar instansi pemerintah dalam
penanganan anak dan perempuan terlantar.
Desakan
tersebut mereka sampaikan pada diskusi penanganan kasus Rio Rita Amalia Bakara
(45 thn), pedagang asongan yang mengalami kecelakaan beberapa hari lalu, di
kantor Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), 12/09/2019. Diskusi yang
dihadiri aktivis anak dari PKPA, SOS Childrens Village Medan, PPA Sahabat Kota,
Sakti Peksos Kemensos, P2TP2A Sumut dan Dinas P3APM Medan.
Kecelakaan
Rio Rita
Amalia Bakara mengalami kecelakaan sekitar jam 22.00 di kawasan Simalingkar B
04/09/18). Becak motor yang ditumpanginya menabrak batu besar dan terbalik. Rio
ikut terbalik dan kepalanya membentur batu besar. Selain luka di bagian kepala,
kaki kanan dan tangannya cidera sehingga tidak dapat digerakkan. Warga sekitar segera
membawa korban untuk penanganan medis ke RSU USU.
Besoknya
(06/09/18) teman korban sesama pedagangan asongan melaporkan kecelakaan
tersebut kepada pendamping PKPA melalui telepon. Beberapa staff PKPA lalu menjenguk
korban ke RSU USU, korban saat itu hanya ditemani seorang anaknya.
Korban tidak
memiliki kartu BPJS dan identitas diri sehingga di rumah sakit berstatus pasien
umum (berbayar). Korban juga tidak memiliki saudara di Medan, saudara dari
pihak laki-laki dan perempuan semua di Jakarta. Ketiga anaknya masih berstatus
anak-anak sehingga tidak ada pihak yang menjamin penanganan medis lebih lanjut.
Akhirnya PKPA menjadi penjamin kepada rumah sakit.
Saat menjenguk
korban dan setelah mengetahui status ekonomi keluarga, termasuk tidak memiliki
identitas sebagai penduduk Medan, PKPA mengkoordinasikan penanganan medis dan
biayanya kepada staff Dinas Sosial Kota Medan, termasuk ketiga anaknya yang
setelah ibunya mengalami kecelakaan menjadi terlantar, seorang bersusia 10
tahun merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK).
Staff Dinas
Sosial Medan yang saat itu berada di luar Medan menyatakan biaya perobatan
korban di RSU USU tidak dapat ditanggung dan korban agar dirujuk ke RS Pirngadi
Medan. Pemindahan dari RSU USU ke RSU Pirngadi Medan, saat tersebut tidak dapat
dilakukan karena RSU USU tidak mau merujuk dengan alasan mereka mampu
menangani.
Terhadap
permintaan PKPA agar RSU USU memberikan keringanan biaya perawatan, pihak rumah
sakit melalui Humas menyatakan tidak memberikan, sehingga seluruh biaya
perobatan selama tiga hari dibayar anak perempuannya yang datang dari Jakarta
dan bantuan PKPA.
Penanganan Anak
Tiga anak
korban (dua laki-laki dan satu perempuan) oleh PKPA dikoordinasikan mengenai pengasuhannya
selama ibu mereka dirawat. Dua anak laki-lakinya memilih menjaga ibunya di
rumah sakit dan satu orang yang berkebutuhan khusus diasuh sementara oleh SOS
Childrens Village.
Selama menjaga
ibunya, kedua anak laki-lakinya tidak dapat mengamen sehingga mereka tidak
memiliki uang untuk kebutuhan sehari-hari. Beberapa aspek dapat ditanggulangi
dari bantuan personal staff PKPA dan pihak lain.
Respon aktivis anak
Aktivis anak
menilai kasus tersebut hanyalah satu dari sekian banyak masalah anak dan
keluarga terlantar yang selama ini diabaikan Pemerintah Kota Medan. Mereka
menilai pemerintah tidak respon dan tidak memiliki mekanisme pola tanggap
darurat yang sistemik.
“Mereka tidak
seluruhnya penduduk Medan, mereka dari berbagai daerah dan disinilah pentingnya
pemerintah menyadari letak geografisnya sebagai tujuan kaum urban, maka penting
tersedia pola penanganan kasus emergency khususnya anak dan perempuan karena kasus
ini bukanlah yang pertama dan tidak satu-satunya” ujar Misran Lubis, Koordinator
Jaringan Perlindungan Anak (JPA) Sumut dalam diskusi kasus tersebut.
Menurut
Misran, Medan Rumah Kita bukan semata-mata ditujukan kepada penduduk Medan,
tapi hendaknya dapat dinikmati oleh siapapun, apalagi dalam kasus tersebut
korban dan anaknya telah dua tahun tinggal di Medan.
Sementara T.
Muhammad Razali, dari SOS Childrens Village Medan menyinggung lemahnya pola
koordinasi antar dinas terkait dalam kasus tersebut. Menurutnya, antar dinas
kelihatan saling lempar masalah sehingga masalah yang ada tidak tertangani
semestinya.
“Kita
mendengar ada dibentuk P2TP2A dan di setiap kecamatan ada Satgas namun, fungsi
lembaga tersebut hanya dalam kertas saja, mereka bukan menyelesaikan masalah
tapi lari dari masalah” ujarnya seraya menyoroti kinerja dinas terkait yang
lebih banyak pada teori-teori, bukan pada aspek peningkatan kierja pada
pelayanan prima kepada masyarakat.
Untuk itu
Misran, berharap agar Walikota Medan segera mengintensifkan pola koordinasi dan
kerjasama penanganan masalah diantara dinas-dinas sehingga tersedia layanan
tanggap darurat yang mudah diakses oleh siapa saja di Medan.
“Ini penting,
karena kita selalu menerima berbagai kasus di lapangan, masyarakat taunya
melapor ke LSM atau pendamping di lapangan, padahal tanggungjawab tersebut
harusnya dipikul pemerintah. Makanya kami sangat berharap agar Walikota harus
lebih aktif mengurusi aspek pelayanan kepada masyarakat, khususnya anak-anak
terlantar di Medan” tegasnya.