Aceh Besar Kota Layak Anak, Akankah?

Sejak tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mengembangkan Kota Layak Anak. Kecamatan Kota Jantho ditetapkan sebagai lokasi percontohan. Program ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar anak dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat martabat kemanusiaan, terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi, berpatisipasi aktif demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Program kota layak anak merupakan bagian dari implementasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tahun 1989 tentang Convention on the Right of Child Konvensi yang telah diratifikasi hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Konvensi ini menegaskan partisipasi dan kepentingan terbaik bagi anak sebagai prinsip yang harus dijadikan pertimbangan dan tujuan setiap kegiatan yang dilakukan oleh negara, disamping prinsip non-diskriminasi dan kelangsungan hidup.

Pada Konferensi Habitat II: City Summit, di Istanbul, Turki (1996) perwakilan pemerintah dari seluruh dunia menandatangani Agenda Habitat: program aksi untuk membuat permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Paragraf 13 pembukaan Agenda Habitat secara khusus menegaskan anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota dan di komunitas; terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di komunitasnya. Dalam City Summit ini UNICEF dan UN-HABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka --gagasan yang mengadopsi hasil penelitian Kevin Lynch tahun 1971-1975 mengenai Children’s Perception of the Environment di Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City, sebagai cikal bakal Kota Ramah Anak.

Pada United Nations (UN) Special Session on Children (Mei 2002), para wali kota seluruh dunia berkomitmen untuk aktif menyuarakan hak anak dan mewujudkan kota layak anak. Pertemuan ini merekomendasikan kepada wali kota di seluruh dunia untuk mengembangkan rencana aksi kota ramah dan melindungi hak anak di kota mereka, mempromosikan peran anak sebagai aktor dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.

Terdapat lima prinsip dasar dalam pengembangan kota layak anak yaitu: [1] anak ditempatkan sebagai pusat pembangunan, [2] menyuarakan hak anak dan mendengarkan suara anak, [3] mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, [4] tidak melakukan diskriminasi dalam pemenuhan dan pemberian perlindungan hak anak, dan [5] tersedianya peraturan daerah (qanun), infrastruktur dan lingkungan yang mendukung anak tumbuh-kembang secara optimal.

Dalam kota layak anak berarti: [1] keputusan dan pendapat anak mempengaruhi arah dan kebijakan pembangunan kota, [2] terdapat mekanisme untuk menjamin anak dapat menyatakan pendapatanya, [3] anak berperan aktif dalam kehidupan keluarga dan masyarakat [4] anak memperoleh pelayanan hak-hak dasar seperti kesehatan dan pendidikan, [5] anak memperoleh air minum yang sehat dan memiliki akses terhadap sanitasi yang baik, [6] anak terlindungi dari setiap bentuk eksploitasi, kekerasan, perlakuan salah dan penelantaran, [7] anak aman berjalan di jalan raya, [8] anak dapat bertemu dan bermain dengan temannya, [9] anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan bebas polusi, [10] anak dapat berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial, [11] anak secara seimbang dapat mengakses setiap layanan tanpa diskriminasi berdasarkan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, kecacatan dan alasan lain.

Analisis trend
Akankah cita-cita mewujudkan Aceh Besar kota layak anak dapat dicapai? Pertanyaan ini mengemuka ketika saya melakukan analisis responsivitas kebijakan sosial dan anggaran terhadap perlindungan anak dari kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi di Kabupaten Aceh Besar, yang merupakan bagian dari penelitian UNICEF di empat provinsi dan delapan kabupaten/kota di Indonesia, dimana untuk Aceh Besar saya sebagai peneliti.

Dalam proses penelitian tersebut ditemukan aspe-aspek yang justru dominan dari sisi ancaman dan tantangan dibandingkan trend ke arah ketercapaian program tersebut dalam jangka pendek dan menengah. Ancaman dan tantangan tersebut diantaranya:

Pertama, membandingkan trend anggaran belanja daerah tahun 2006, 2007 dengan 2008 yang seharusnya sebagai titik start keberpihakan kebijakan dan anggaran daerah untuk kota layak anak, tidak terlihat signifikansi peningkatan anggaran langsung kepada anak pada setiap satuan kerja pelaksana daerah (SKPD). Demikian pula anggaran belanja di Kecamatan Kota Jantho sebagai pilot project kota layak anak, masih setali tiga uang dengan anggaran tahun-tahun sebelumnya, yang berfokus kepada belanja pengawai dan operasional. Tidak terdapat mata anggaran bertajuk kota layak anak, sehingga muncul pertanyaan benarkah Pemerintah Kecamatan Kota Jantho akan berperan maksimal dalam pengembangan kota layak anak? Akankah Pemerintah Kecamatan Kota Jantho dapat mengajak masyarakatnya untuk bersama-sama mendukung program kota layak anak, atau sebaliknya hanya menjadi penonton dan penggembira.

Dalam APBD 2008 Aceh Besar, antara anggaran langsung dengan tidak langsung yang diterima anak presentasenya tetap sama dengan tahun 2006 dan 2007 pada setiap SKPD, rata-rata hanya satu persen ke bawah. Memang, pada SKPD kesehatan dan pendidikan, terdapat peningkatan alokasi dana untuk anak secara langsung dan tidak langsung pada tahun 2008. Namun, jika dicermati anggaran tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan program rutin tahun sebelumnya.

Pengembangan kota layak anak belum secara nyata mempengaruhi kebijakan penyusunan anggaran tahun 2008. Peningkatan partisipasi anak melalui Forum Anak Aceh Besar atau dalam SKPD misalnya, sama sekali tidak ada, padahal partisipasi anak menjadi bagian sangat integral keberhasilan kota layak anak. Anak masih diposisikan sebagai objek dan menjadi bagian terkecil penerima manfaat langsung anggaran belanja daerah. Peran anak masih dikesampingkan sesuai prinsip-prinsip dan tujuan kota layak anak.

Kitapun masih disuguhkan pada pola penyusunan anggaran dengan asumsi-asumsi, bukan didasarkan data-data dan kebutuhan lapangan. Koneksi kebijakan anggaran dengan kebijakan pembangunan sebagaimana tertuang dalam rencana jangka menangah dan jangka panjang (RJM dan RJP) signalnya masih lemah. Update-data dan asessment lapangan dalam penyusunan anggaran kurang terlihat. Penyusunan anggaran dominan copy paste dengan menyesuaikan kepada angka inflasi. Aspek lain, ukuran keberhasilan anggaran masih sebatas indikator simbolis, belum sampai kepada outcome. Suatu kegiatan baru diukur dari aspek keterlaksanaan atau jumlah kehadiran orang, bukan kepada aspek bagaimana suatu pelatihan kepada guru misalnya berdampak terhadap peningkatan kualitas pembelajaran di kelas dan meningkatnya prestasi anak didik. Hal ini jelas akan berdampak terhadap efektivitas dan efisiensi anggaran, dalam hubungannya dengan pencapaian visi dan misi pemerintah kabupaten.

Kedua, program kota layak anak terlihat belum sebagai gerakan bersama diantara SKPD. Saya berfikir, jangan-jangan kota layak anak di Aceh Besar hanya karena dicanangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP), adanya program dari NGO serta komitmen personal Pak Bupati dan Ibu Bupati yang sangat tinggi kepada perlindungan anak. Pikiran seperti ini mengemuka tatkala menganalisis RJM kabupaten serta rencana strategis SKPD, maupun dari wawancara dan FGD dengan stakeholder dalam penelitian ini. Kota layak anak dalam konteks prinsip maupun pelaksanaan belum terakomodir secara integratif dan holistik pada rencana strategis SKPD, padahal keberhasilan kota layak anak harus didukung secara sinergis, koordinatif dan integratif oleh seluruh SKPD dan stakeholder.

Pengarusutmaan kota layak anak masih parsial. Bahkan program ini cenderung masih hanya simbolika-simbolika, belum menjadi bagian prioritas yang integral dengan kebijakan anggaran pembangunan Aceh Besar. Kreatifitas menterjemahkan program kota layak anak dalam rencana strategis dan anggaran pada SKPD kurang akseleratif. Kota layak anak masih dominan ditempatkan sebagai apologi belaka. Belum signifikan keterkaitan antara kebijakan dan anggaran dengan program kota layak anak, ini terlihat jelas misalnya pada level sosialisasi kepada masyarakat yang masih kurang sehingga banyak masyarakat belum mengetahui jika Kecamatan Kota Jantho sedang mengembangkan Kota Layak Anak. Demikian juga bagi aparat pemerintah, masih banyak yang memahami dari aspek judulnya saja. Ketika ditanyakan apa dan bagaimana kota layak anak, jawabnya; kemaren itu sudah ada sosialisasinya. Substansi dari kota layak belum tersosialisasi, ketika aparat pemerintah masih mengatakan mereka hanya pernah mengikuti sosialisasi tanpa memahami apa subtansi yang seharusnya mereka lakukan sebagai aparat pemerintah di Kabupaten Aceh Besar.

Ketiga, anggaran pendapatan selalu dikatakan sebagai kendala dalam meningkatkan program langsung kepada masyarakat. Namun jika dicermati APBD tahun 2006, 2007 dan 2008, justru kita dicengangkan pada beberapa mata anggaran yang tidak mencerminkan bahwa kita sedang dan harus berfokus kepada pembangunan kesejahteraan sosial. Para pejabat kita, yang sesungguhnya sudah memperoleh fasilitas dan kehidupan cukup, masih difasilitasi uang meugang, sementara rakyat dan anak-anak misalnya masih banyak berstatus gizi buruk. Apakah lebih penting dana meugang kepada pejabat daripada meningkatkan asupan makanan dan gizi anak-anak yang kurang gizi? Ini satu contoh, ada banyak lagi mata anggaran yang tidak mencerminkan keberpihakan kepada rakyat, kususnya anak-anak.

Baiklah, pendapatan berkorelasi terhadap anggaran belanja. Tapi pendapatan terbatas tidak kemudian lantas menyebabkan pemerintah hanya berusaha menghidupi dirinya sendiri melalui pendapatan daerah yang ada. Keterbatasan pemerintah seharusnya disikapi melalui pengembangan program peningkatan partisipasi masyarakat. Pada beberapa SKPD kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat ada tercantum, namun jika ditelaah dari bentuk kegiatan dan metode pelaksanaan maupun indikator keberhasilannya, partisipasi masyarakat tersebut masih pada level tokenisme, pemerintahlah selalu menjadi aktor utama, masyarakat hanya penggembira, layaknya anak-anak yang memang bendera di pinggir jalan ketika seorang petinggi negara datang.

Tidak adanya program peningkatan partisipasi masyarakat terhadap kota layak anak, menyebabkan sekarang ini pihak-pihak yang menjalankan program berjalan sendiri. Masyarakat tidak merasa memiliki. Contoh kecil, belum ada papan informasi yang mudah dibaca masyarakat bahwa Kota Jantho sedang dijadikan pilot project kota layak anak. Di masyarakat belum tersedia informasi-informasi yang mudah diperoleh mengenai apa itu kota layak anak. Masih banyak jurang pemisah antara keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat, sehingga bagaimana mungkin mereka akan berpartisipasi. Tersedianya taman bermain bagi anak di Kota Jantho misalnya tidak akan signifikan dampak positifnya dari aspek outcome, karena bagi banyak orang taman tersebut ternyata hanya penambahan fasilitas dari yang sudah ada untuk meramaikan Kota Jantho. Banyak kurang mengetahui jika penyediaan taman tersebut bagian dari kota layak anak. Akibatnya di fasilitas tersebut justru terjadi kekerasan terhadap anak.

Penutup
Kita sangat berharap, pencanangan Kabupaten Aceh Besar sebagai kota layak anak merupakan komitmen kuat pemerintah dengan melibatkan stakeholder secara aktif. Pemerintah semestinya mampu mengajak masyarakat untuk memusatkan perhatian pada apa yang tersedia dan apa yang dapat dilakukan setiap orang, hingga setiap masyarakat terdorong untuk melihat, mencari dan menggali kebijaksanaan serta sumber-sumber yang ada dan membangun kekuatannya untuk pembangunan kota layak anak di Aceh Besar. Masyarakat semestinya diajak bersama-sama untuk mengetahui, bersama untuk melaksanakan, bersama untuk menjadi, serta bersama untuk hidup dan membangun kota layak anak berdasarkan nilai-nilai lokal.

Adanya partisipasi masyarakat tentu saja harus diawali dengan perubahan sikap seluruh elemen pemerintah di Aceh Besar dari aspek kebijakan, anggaran dan tanggungjawab terhadap masyarakat, dalam arti pembangunan kesejahteraan sosial yang bermartabat merupakan prioritas paling penting pembangunan Aceh Besar. Masyarakat bukanlah pelayan aparat pemerintah, sebaliknya aparat pemerintahlah yang menjadi pelayan bagi masyarakat. Ironi seperti ini masih sangat kental dan merupakan ancaman serius terhadap keberhasilan pembangunan Aceh Besar, di dalamnya termasuk soal disiplin dan kinerja dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat, ketika jam kerja masih dianggap sebatas tanda tangan absensi.

Dalam kaitan dengan kota layak anak, sangat penting untuk mengkoordinasikan dan mensinergikan kembali kekuatan yang ada pada pemerintah dan masyarakat. Sudah seharusnya dibentuk gugus tugas, komisi atau apapun sebutannya yang melibatkan unsur-unsur pemerinah dan masyarakat sebagai leading sektor untuk akselerasi keberhasilan kota layak anak. Kita tidak menginginkan kota layak anak hanya sebatas simbolika dan retorika, karena perlindungan anak merupakan kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah.