Laki-laki Sebagai Mitra Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

Tidak semua laki-laki sebagai pelaku kekerasan, walaupun faktanya, laki-laki merupakan pelaku dominan kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki memiliki peranan penting dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki bukan musuh. Laki-laki hendaknya dijadikan partner yang bertanggungjawab untuk terkondisinya keadilan gender.

Kasus Kekerasan terhadap perempuan
Di Indonesia, tahun 2010, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mencapai sekitar 100 ribu kasus dan terdapat 3.530 kasus kekerasan terhadap perempuan di ruang publik seperti pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual. Disebutkan, 96 % dari total kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga.

Di Sumatera Utara, catatan akhir tahun Perempuan Sumatera Utara 2010 menyatakan, jumlah perempuan korban kekerasan berbasis gender (KBG) masih tinggi. Data Januari-Oktober 2010, dari total 85 kasus yang ditangani, 69% merupakan KDRT, lebih setengahnya kekerasan psikis, kemudian kekerasan fisik, kekerasan seksual dan pencabulan terhadap anak dan perempuan dewasa.

Di Aceh, data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A), tahun 2006 hingga 2010, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Tahun 2006 sebanyak 19 kasus dan tahun 2010 tercatat 188 kasus, didominasi KDRT seperti pemerkosaan, pemukulan, pencabulan dan pelecahan seksual.

Pihak-pihak tersebut mengakui, jumlah kasus yang dilaporkan maupun diberitakan media massa merupakan fenomena gunung es, banyak kasus tidak dilaporkan dengan berbagai alasan, dari pilihan dan keterpaksaan korban, keluarga, lingkungan atau “sistem” di lokasi tersebut.

Komnas Perempuan menyatakan, relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki serta perangkat hukum yang belum maksimal melindungi perempuan dari kekerasan, diantara faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, para pejabat publik belum memiliki perspektif gender yang baik. Kapasitas penyelenggara negara memberikan layanan kepada perempuan korban tindak kekerasan juga sangat mengkhawatirkan. Perangkat sarana dan prasarana untuk memastikan korban mendapatkan keadilan tidak tercapai seperti diamanahkan undang-undang.

Di Sumatera Utara dan Aceh, ekonomi disebutkan sebagai faktor penting. Pernikahan dini juga berkontribusi menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Lalu, di Sumatera Utara, APBD juga dianggap belum sensitif gender dan tidak pro rakyat miskin, sementara arena pengambilan keputusan sangat lemah dalam perspektif gender.

Kekerasan juga masalah laki-laki
Kekerasan bukan masalah perempuan semata. Beberapa penelitian mengenai KDRT kurun 25 tahun menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan untuk menjadi pelaku maupun korban kekerasan. Prof. Murray Straurs menyatakan beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan mungkin, atau lebih mungkin, melakukan kekerasan terhadap laki-laki. Satu penelitian menemukan, 36% dari korban KDRT adalah laki-laki. Selain itu, laki-laki lebih cenderung untuk tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami, dan biasanya polisi lebih mungkin untuk menangkap laki-laki dibandingkan perempuan dalam kasus domestik. Selama ini kampanye penghapusan KDRT lebih difokuskan kepada perempuan sehingga mereka lebih sadar akan masalah ini sebagai kejahatan, atau terbangunnya opini; pelaku KDRT laki-laki. Bagi laki-laki, kasus yang “tidak mungkin” dilaporkan ini menimbulkan beban psikologis tambahan. (www.vortxweb.net/gorgias/mens_issues).

Peneliti Inggris, Anna Randle, PsyD, yang meringkas berbagai penelitian mengenai efek KDRT pada laki-laki dua dekade terakhir menyatakan, walaupun sebagian besar KDRT yang dilaporkan dilakukan laki-laki terhadap perempuan tapi penting untuk memperhatikan prevalensi kekerasan terhadap laki-laki terutama dari aspek psikologis. Menurutnya, laki-laki yang disalahgunakan oleh mitra perempuan mereka dapat menderita trauma psikologis signifikan, seperti gangguan stress pasca-trauma, depresi dan pikiran untuk bunuh diri.

Di Jerman, satu penelitian untuk melihat spektrum kekerasan interpersonal terhadap laki-laki (Ludger Jungnitz, dkk: 2004 dalam www.bmfsfj.de), menemukan variasi kekerasan yang dialami sejak anak-anak, remaja hingga dewasa yang terjadi di lingkungan, lingkungan kerja dan kehidupan sehari-hari, walaupun pria yang diwawancarai ada mengaku bahwa hal tersebut tidak dianggap sebagai kekerasan, seperti tindakan kekerasan fisik di depan umum dianggap sebagai perselisihan biasa.

Di Indonesia, konstruksi tidak adil gender dan konsep maskulinitas dalam budaya patriarkhi bukan hanya berdampak terhadap perempuan, tetapi juga kepada laki-laki. Harapan, didikan hingga paksaan agar seorang laki-laki kuat, gagah, berani, tidak cengeng, tidak menangis, mandiri dan lain-lain merupakan beban tersendiri bagi laki-laki sejak dari kecil dan hal tersebut sangat mempengaruhi tumbuh-kembang dan kehidupan mereka sehari-hari hingga dewasa. Anak laki-laki tidak boleh menangis, kalau menangis namanya cengeng. Anak laki-laki harus kuat dan berani, kalau tidak kuat dan berani bukan laki-laki, dan seterusnya.

Kendati setiap orang memiliki mekanisme pertahanan diri namun konstruksi dan reproduksi demikian, beberapa penelitian menemukan, banyak merasa tegang, cemas, kewalahan, terancam, terhina, diremehkan, merasa ditinggalkan, ditolak atau kehilangan harga diri. Penggagas the new psychology of men menyatakan, banyak laki-laki mengalami trauma keterpisahan dini, kendati pada saat lain laki-laki diberikan previledge dalam rangka pengembangan identitas laki-laki yang dikontruksi tersebut. Bagi anak perempuan, tidak jarang peran sosialnya dimarginalkan agar menjadi perempuan yang diharapkan.

Laki-laki sebagai mitra
Tahun 2007, konferensi dengan tema Men as Partners to End Violence Against Women yang dilaksanakan UNIFEM dan Ministry of Social Development and Human Security Thailand mengakui; laki-laki bukan saja pelaku, tetapi korban kekerasan, sehingga laki-laki hendaknya tidak dijadikan musuh, melainkan sebagai mitra dan sahabat untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sebelumnya, tahun 1999, Jurnal Perempuan, telah menggagas inisiatif keterlibatan laki-laki dalam menegakkan keadilan gender melalui Deklarasi Cowok Cowok Anti Kekerasan. Secara nasional, tahun 2009, beberapa LSM di Indonesia telah menggagas Aliansi Laki-laki Baru untuk melibatkan laki-laki dalam mencapai keadilan gender.

Di Aceh aliansi ini mulai digagas sejak 2009. Aliansi ini, dikatakan Nur Hasyim, dari Rifka Annisa, pada seminar Aliansi Laki-Laki Baru (ALLB) Aceh, 26 April 2011, merupakan gerakan challenging asusmsi tentang arti menjadi laki-laki yang selama ini diyakini laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya patriarkhis yang memberikan previllage dan kekuasaan yang berpotensi mendominasi dan mendiskriminasi perempuan. Gerakan ini akan mentransformasi konsep menjadi laki-laki yang tidak lagi dilandasi oleh dominasi akan tetapi berbagi tanggungjawab, saling menghargai dan cinta kasih.

Menurut Dian Mariana, dari Yayasan Pulih, gerakan ini sekaligus akan mengontrol anggotanya untuk tidak menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Anggota yang aktif akan berfikir 100 kali untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Efeknya, forum ini bisa menjadi contoh bagi laki-laki lain sehingga secara signifikan akan turut menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan.

Keterlibatan laki-laki bukan bermakna untuk membajak dan mereduksi peran perempuan yang telah berlangsung selama ini, akan tetapi bagian dari gerakan perempuan untuk keadilan gender. Selama ini, masih ada anggapan upaya pemenuhan hak-hak maupun penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan agenda perempuan saja. Pada pihak lain muncul asumsi, gerakan tersebut sebagai upaya perempuan mereduksi peran dan fungsi laki-laki yang dipahami oleh laki-laki. Gerakan ini akan merubah cara pandang terhadap laki-laki sebagai pelaku kekerasan, menjadi laki-laki sebagai sahabat untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Dengan demikian, keterlibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian penyelesaian masalah pada perempuan dan laki-laki itu sendiri, dari aspek primer, sekunder dan tersier. Laki-laki harus dibebaskan dari perannya selama ini sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki juga memiliki peran untuk mensosialisasikan kepada rekannya sesama laki-laki.***


Banda Aceh, 07 Mei 2011

Melindungi Anak dari Pornografi

Oleh : Sulaiman Zuhdi Manik

Undang-undang No. 44 tahun 2008 menyebutkan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Data pengguna internet Indonesia tahun 2006-2010 versi IDC, PT Telkom, dan Nokia Siemens Network adalah; tahun 2006 mencapai 20 juta, selanjutnya menjadi 25 juta tahun 2007, 31 juta (2008), 40,4 juta (2009), serta 48,7 juta akhir tahun 2010. Angka ini sejalan dengan pengguna Facebook dan Twitter di Indonesia yang sangat banyak (http://www. sharingvision.biz/tag/jumlah-pengguna-internet-di-indonesia).

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) semester I tahun 2007 menyebutkan sekitar 42% pengguna mengakses internet melalui warung internet warnet). Sementara data PT. Telkom tahun 2007; sebanyak 40% pengguna internet mengakses dari warnet. Indonesia sendiri menargetkan setengah penduduknya pada tahun 2015 telah mengakses internet, sesuai misi World Summit on the Information Society (WSIS). http://www. detikinet.com/read/2010/06/09/ 121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta)

Sementara kepemilikan PC di Indonesia sebanyak enam juta unit dengan pertumbuhan pasar 100-300 ribu unit per tahun. Sedangkan sambungan telepon tetap adalah 8,15 juta satuan sambungan telepon (SST) dengan pertumbuhan kurang dari 1% per tahun. Disebutkan, sebanyak 40-60% akses internet bagi masyarakat Indonesia dilayani oleh warnet.

Sekarang, di kecamatan, fasilitas warnet telah tersedia. Di kota-kota besar; di gang-gang senggol sekalipun telah terdapat warnet dengan berbagai fasilitas dan tarif. Warnet tersebut ada yang melayani pelanggan 24 jam dengan tarif paket khusus dan tarif member. Fasilitas-fasilitas umum hingga warung-warung kopi dan kafe pun banyak telah dilengkapi akses internet free.

Demikian juga laptop, harga yang semakin murah menyebabkannya telah merakyat. Anak-anak sekolahpun telah banyak memilikinya. Berbagai modem dan kartu prabayar serta pascabayar juga berlomba menawarkan paket murah-meriah. Terakhir, teknologi telepon genggam dari harga mahal hingga murah telah menghantarkan internet pada genggaman setiap orang.

Ancaman pada Anak


Anak, seseorang berusia dibawah 18 tahun, salah satu kelompok pengguna internet, di warnet, di rumah, ruang publik atau telepon genggam. Akses anak terhadap internet dalam konteks pendidikan dan keterampilan adalah keniscayaan. Pada aspek lain, internet menjadi ancaman bagi pendidikan, keselamatan, harga diri dan moral anak, ketika konten pornografi, pornoaksi, perjudian, obat-obatan terlarang, phising, malware atau situs yang mengandung SARA mudah diakses anak. Satu study mengungkapkan, usia rata-rata anak mulai mengenal pornografi saat ini ialah 8 tahun. Sebelum booming internet, anak mengenalnya lewat media print pada usia 11-13 tahun. Sementara itu, Asosiasi Warung Internet (AWARI) pernah mengakui, warnet terutama yang bukan anggota AWARI, masih ada yang memperbolehkan akses ke situs-situs memuat konten negatif.

Di situs-situs jejaring sosial maupun email group sexting banyak ditemukan baik menggunakan nama asli maupun samaran. Foto-foto, video atau tautan video tersebut banyak bersifat terbuka. Beberapa orang bahkan mencantumkan nomor kontak di profilnya. Jejaring sosial juga telah menjadi media transaksi, penipuan dan iming-iming kasus trafiking untuk tujuan seksual (human trafficking), pelecehan, penghinaan dan perbuatan lain yang merendahkan harga diri dan martabat anak (cyber bully).

Seiring trend jejaring sosial, blog atau mailing list, kasus-kasus sexting juga menunjukkan gejala mengkhawatirkan. Sexting atau sex dan texting yaitu mengambil foto atau video bugil dengan menggunakan kamera ponsel lalu menyebarkannya melalui teknologi internet, seperti melampirkan di dalam email atau menjadikan sebagai profil atau di galeri dalam situs jejaring sosial misalnya situs-situs: Myspace, Facebook, Multiply, Friendster, Hi5, dan lain-lain (Peri Umar Farouk, 2009). Data Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2010 menyebutkan berbagai kasus penculikan dengan kondisi korban sebelumnya berkomunikasi melalui jejaring sosial dengan pelaku.

Di dunia maya, video, cerita, gambar porno atau kartun porno melibatkan anak atau orang dewasa mudah diakses. Karena sifatnya yang no boundaries, melalui search engine, akses ke situs-situs yang berbasis di Indonesia maupun luar negeri, blog, hingga jejaring sosial negatif mudah diperoleh secara gratis atau dengan cara bergabung kedalam group tersebut. Satu contoh di Banda Aceh, Maret 2010, dari 27 telepon genggam anak sekolah yang disita pihak sekolah, semua menyimpan video porno. Di kota-kota lain, kasus seperti ini juga terjadi. Malah, seorang anggota dewan yang terhormat sekalipun ternyata memiliki simpanan video porno untuk ditonton pada saat jenuh mengikuti sidang.

Survei Cosmogirl.com (2008) dari 1.280 remaja laki-laki dan perempuan menyebutkan sebanyak 20% remaja (13-19 tahun) pernah mengirimkan foto-foto porno atau semi porno diri mereka secara elektronik dan 39% pernah mengirimkan SMS-SMS bernada seks/porno. Sementara data pertemuan konselor remaja Yayasan Kita dan Buah Hati (2008); dari 1.625 siswa kelas 4-6 SD di Jabodetabek, sebanyak 66% menyatakan pernah menyaksikan pornografi melalui berbagai media seperti komik, games, situs porno, film, VCD dan DVD, handphone serta majalah dan koran. Alasan mereka menyaksikan pornografi tersebut seperti karena iseng, terbawa teman dan takut dibilang kuper. Adapun tempat mereka menyaksikan yaitu di rumah atau kamar pribadi, rumah teman, warnet dan rental. Satu study LSM (2007) menyebutkan 90 % akses internet berbau pornografi dilakukan anak saat mereka sedang mengerjakan tugas sekolah atau belajar bersama.

Menurut Peri Umar Farouk (2009), tahun 2009, sedikitnya 700 mini video porno asli remaja Indonesia dan ribuan gambar beredar di ruang maya. Data lain menyebutkan, jumlah laman internet pornografi anak terus bertambah. Disebutkan, sekitar 200 gambar memuat pornografi anak diedarkan setiap hari. Diperkirakan, sekitar 12% situs di dunia ini mengandung pornografi. Setiap harinya 266 situs porno baru muncul dan diperkirakan ada 372 juta halaman website pornografi. Disebutkan juga, 25% yang dicari melalui search engine adalah pornografi. Sebanyak 35% dari data yang diunduh dari internet adalah pornografi. Setiap detiknya, 28.258 pengguna internet melihat pornografi dan setiap detiknya $89.00 dihabiskan untuk pornografi di internet (www .korananakindonesia. wordpress.com).

Ketentuan Perlindungan Anak

Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography yang ditandatangani Indonesia pada 24 September 2001 mendefenisikan pornografi anak adalah; "setiap representasi, dengan sarana apapun, yang melibatkan anak secara eksplisit dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual". Protokol opsi ini menyatakan zero tolerance untuk pornografi anak. Pembuatan, penyebaran sampai kepemilikan pornografi anak dianggap sebagai kejahatan

Pasal 4 Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi menyatakan setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat pornografi anak. Dalam pasal 15 disebutkan kewajiban setiap orang untuk melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Undang-undang No. 1 tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak menyatakan; pelibatan anak dalam pornografi sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan tanggungjawab pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 25 Oktober 2010 juga telah menandatangani nota kesepahaman tentang Pemberdayaan Perempuan dalam Rangka Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak dengan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Salah satu ruang lingkup nota kesepahaman ini adalah promosi, sosialisasi, pelatihan, dan pemantauan penggunaan Internet Sehat dan Aman, termasuk untuk anak.

Bahaya Pornografi Bagi Anak

Konvensi Hak Anak menyatakan, anak secara fisik dan mental belum matang. Mereka belum memiliki filter yang baik untuk menentukan mana yang layak dan tidak layak untuk mereka. Anak juga adalah seseorang peniru paling besar. Para ahli di bidang kejahatan seksual terhadap anak menyatakan, aktifitas seksual pada anak umumnya dipicu pengalaman dan apa yang mereka lihat.

Dr Donald L. Hilton Jr, MD, dokter ahli bedah saraf Amerika Serikat dalam satu seminar di Jakarta (2010) menyatakan, pornografi lebih berbahaya dari pada kecanduan narkoba. Jika narkoba merusak tiga bagian otak, maka kecanduan pornografi akan merusak lima bagian otak yaitu Lobus Frontal, Gyrus Insula, Nucleus Accumbens Putamen, Cingulated, dan Cerebellum. Menurutnya, kecanduan pornografi akan mengakibatkan otak bagian tengah depan; Ventral Tegmental Area (VTA) secara fisik mengecil. Penyusutan jaringan otak yang memproduksi dopamine, bahan kimia pemicu rasa senang, menyebabkan kekacauan kerja neurotransmiter; zat kimia otak yang berfungsi sebagai pengirim pesan. Pornografi akan menyebabkan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol, sehingga secara berantai akan mengakibatkan anak tidak mampu mengontrol perilakunya, berkurangnya rasa tanggung jawab bahkan mengalami gangguan memori. Keadaan tersebut terjadi bertahap yang ditandai tindakan impulsif, ekskalasi kecanduan, desensitifisasi hingga penurunan perilaku. Berikutnya, penurunan perilaku tersebut potensial menjurus kepada depresi. Disebutkan, anak-anak yang biasa menyaksikan pornografi, pada saat dewasa mereka akan cenderung memandang perempuan sebagai objek seksual. Bila kondisi sosialnya kurang harmonis, anak tersebut berpotensi melakukan kekerasan seksual dan phedophilia.

Dr Mark B. Kastlemaan, Kepala Edukasi & Training Officer for Candeo USA, mengatakan, pornografi adalah narkoba lewat mata. Gambar-gambar porno akan membuat mereka tidak mampu membuat perencanaan, mengambil keputusan dan mengendalikan hawa nafsu serta emosi. Padahal otak adalah pengendali impuls. Pada kasus lain, kerusakan ini memungkinkan anak dan remaja melakukan incest.

Akhirnya, mengutip Randy Hyde, PhD, orang tua, keluarga dan lingkungan merupakan terapis terbaik untuk belajar, tumbuh dan meraih potensi tertinggi seseorang. Karakter baik akan menghasilkan perilaku yang baik, sebaliknya karakter buruk akan menghasilkan perilaku buruk pula.***

Artikel ini dimuat di Harian Analisa, Sabtu 30 April 2011
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=93990:melindungi-anak-dari-pornografi&catid=78:umum&Itemid=131

DUKA TANGSE






Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis, 10 Maret 2011. Lepas Maghrib, suasana gelap dan sunyi berubah duka; air bah menerjang 11 desa. Timbunan lumpur, batu dan kayu-kayu log yang dibawa air dari gunung mencari jalannya; merusak rumah, sekolah, jembatan, jalan dan lahan pertanian. 11 orang dinyatakan meninggal, ratusan rumah hancur dan ribuan penduduk harus mengungsi.

Murka alam kembali memperingatkan kita. Tangse adalah potret khianat kita pada lestari alam. Tangse, tempat durian dan beras super nikmat itu berasal, semoga menjadi cemeti untuk kita berlaku adil pada alam. Duka Tangse kiranya melecut kita melestarikan alam, untuk menjadi tempat terbaik bagi perempuan dan anak-anak.

DUKA TANGSE

Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis, 10 Maret 2011. Lepas Maghrib, suasana gelap dan sunyi berubah duka; air bah menerjang 11 desa. Timbunan lumpur, batu dan kayu-kayu log yang dibawa air dari gunung mencari jalannya; merusak rumah, sekolah, jembatan, jalan dan lahan pertanian. 11 orang dinyatakan meninggal, ratusan rumah hancur dan ribuan penduduk harus mengungsi.

Murka alam kembali memperingatkan kita. Tangse adalah potret khianat kita pada lestari alam. Tangse, tempat durian dan beras super nikmat itu berasal, semoga menjadi cemeti untuk kita berlaku adil pada alam. Duka Tangse kiranya melecut kita melestarikan alam, untuk menjadi tempat terbaik bagi perempuan dan anak-anak.

MK: Usia Anak Dapat Dipidana Minimal 12 Tahun

koranbogor.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini, anak yang berusia 8 tahun hingga 18 tahun diberikan tanggungjawab pidana sesuai dengan UU No 3/1997 Tentang Pengadilan Anak.

“Menyatakan frase 8 tahun dalam pasal 1 angka 1, pasal 4 ayat 1 dan pasal 5 ayat 1 UU No 37/1997 tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan UUD 1945,” kata ketua majelis hakim konstitusi Mahfud MD.

Hal ini diumumkan Mahfud ketika dalam sidang uji materi di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis, (24/2/2011).

Dalam amar pertimbanganya, mahkamah menilai perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Bahwa penetapan usia maksimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagiannegara-negara.

Pertimbangan lainnya yaitu umur 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental dan intelektual yang stabil.

“Serta sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Sehingga dapat bertanggungjawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan kewajibannya,” tandas Mahfud.
“Berdasarkan pandangan hukum diatas, MK berpendapat batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin pasal 28B ayat 2 UUD 1945,” terang Mahfud.

MK sebagai the interpreter of constitution maka penghapusan usia 8 tahun dapat dilaksanakan jika batas minimum yang ditentukan oleh makhkamah yakni 12 tahun. “Menyatakan permohonan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai 12 tahun,” tegas Mahfud.

Seperti diketahui, judicial review ini di mohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM). Mereka memohon MK untuk menghapuskan frase kata dalam UU No 3/1997 Tentang Pengadilan Anak.

Pemohon minta penghapusan sepanjang frase Pasal 1 butir 2 “maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”. Pasal 4 ayat 1, sepanjang frase” sekurang-kurangnya 8 tahun”. Pasal 5 ayait 1 sepanjang frase, “belum mencapai umur 8 tahun. Pasal 23 ayat 2 huruf a sepanjang frase, ” pidana penjara,” dan pasal 31 ayat 1 sepanjang frase “di lembaga pemasyarakatan anak”.

PERJALANAN SUATU PAGI

Karakteristik Incest di Aceh

Kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh orang-orang yang dianggap sebagai pelindung seperti ayah kandung/tiri, paman, kakek atau abang. Korbannya bukan saja anak perempuan, anak laki-lakipun berpotensi menjadi korban, walaupun dari kasus-kasus terungkap korban umumnya anak perempuan.

Salah satu kekerasan seksual yang dapat dialami anak adalah incest, yaitu hubungan seksual antara anggota keluarga dalam rumah, baik antara kakak-adik kandung/tiri, ayah dengan anak kandung/tiri, paman dengan keponakan atau ibu dengan anak kandung/tiri (Ruth S Kempe & C. Henry Kempe). Pengertian incest lebih luas ialah hubungan seksual yang dilakukan seseorang dalam keluarga atau seseorang yang sudah seperti keluarga, baik laki-laki atau perempuan, seperti ayah kandung, ayah tiri, ibu dari pacar, saudara laki-laki, saudara tiri, guru, teman, pendeta/ulama, paman atau kakek (Jenny Marsh; 1988)

Bentuk-bentuk incest
Dari bentuknya, incest terhadap anak mencakup seluruh perilaku yang berhubungan dengan aktivitas seksual baik yang benar-benar sudah terjadi, masih berupa ancaman, rayuan, iming-iming ataupun yang masih diupayakan diantaranya:
- Ajakan, rayuan dan paksaan untuk berhubungan seks
- Sentuhan atau rabaan seksual seperti pada bibir, buah dada, vagina atau anus
- Penunjukan alat kelamin (exibisionisme)
- Penunjukan hubungan seksual (menyimpang atau tidak)
- Mengelurkan kata-kata porno
- Memaksa melakukan masturbasi
- Memukul vagina atau buah dada
- Meletakkan atau memasukkan benda-benda, jari dan lain-lain ke delam vagina atau anus
- Berhubungan seksual
- Sodomi
- Mengintip
- Mengambil dan menunjukkan foto anak kepada orang lain dengan atau tanpa busana atau ketika berhubungan seks
- Mempertontonkan pornografi atau anak yang digunakan untuk tujuan pornografi (dalam Pendampingan dan Penanganan Anak Korban Incest, Sulaiman Zuhdi Manik, dkk, 2002)

Kasus di Aceh
Sepanjang tahun 2005-2010 beberapa kasus incest terungkap di Aceh. Tahun 2010 di Kabupaten Bener Meriah, pelaku berusia 32 tahun, selama dua tahun, berulangkali memperkosa anak tirinya yang berusia 14 tahun. Korban hamil dan melahirkan. Masih tahun 2010, di Banda Aceh, seorang anak penderita tuna netra berusia 17 tahun diperkosa ayah tirinya berulangkali. Selain itu, korban kerap mengalami kekerasan dari ibunya jika dia tidak mau mengemis. Sementara tahun 2009 beberapa kasus terungkap seperti di Kecamatan Nisam, Aceh Utara, seorang anak diperkosa dan dibawa lari abang iparanya. Lalu di Kecamatan Jeunib, Kabupaten Bireuen, seorang ayah berusia 25 tahun berulangkali memperkosa anak tirinya yang berusia 15 tahun. Kemudian di Kecamatan Blang Mangat Lhokseumawe, ayah memperkosa anak tirinya berusia 17 tahun. Sementara kasus di Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara, seorang anak perempuan berkali-kali diperkosa ayah tirinya hingga korban hamil.

Sebagaimana kasus-kasus incest, secara umum kasus yang terungkap di Aceh memiliki karakteristik sebagai berikut:

Pertama, kasus-kasus disebutkan bukanlah jumlah sebenarnya. Sebagai kasus yang terjadi pada ranah domestic (keluarga/rumah tangga) incest seringkali baru diungkapkan dalam waktu lama atau telah terdapat akibat secara fisik dan psikis atau karena korban sudah tidak tahan lagi terhadap kekerasan yang dialaminya. Selain itu, jikapun diketahui, karena melihat langsung atau diberitahu, pada beberapa kasus ada upaya pihak-pihak untuk menutupinya dengan cara membujuk, merayu atau mengancam atau memindahkan korban ke tempat lain agar tidak diketahui masyarakat setempat. Ada kasus, ibu korban justru memaksa korban agar tidak menceritakan kekerasan tersebut karena jika pelaku ditangkap dan dihukum maka tidak ada lagi yang akan mencari nafkah.

Penutupan kasus seperti ini selain menyebabkan korban tidak memperoleh hak-haknya, akan tetapi efek jera bagi pelaku tidak ada sehingga dimungkinkan dia mengulang perbuatannya. Pada kasus-kasus di provinsi lain, hal ini ditemukan, pelaku ada memperkosa dua sampai tiga orang anak kandung/tirinya dan peristiwa tersebut berlangsung dalam waktu lama, ada sampai 10 tahun atau lebih baru terungkap atau dilaporkan.

Kedua, umumnya disertai ancaman, rayuan dan kekerasan. Ancaman ditujukan kepada korban secara fisik dan psikis maupun kepada orang yang dicintai korban, terutama ibunya. Kepada korban dia diancam jika tidak menuruti keinginan pelaku, dia akan dibunuh, diusir dari rumah, akan disakiti dan berbagai ancaman yang menegaskan “kekuasaannya” terhadap korban. Sementara rayuan, pelaku mengiming-iming korban akan diberikan sesuatu seperti telapon tenggam, pakaian atau uang dan dari kenyataannya janji dan ruyuan tersebut tidak dipenuhi pelaku, menyebabkan korban kecewa dan membuka kasus tersebut.

Ketiga, korban umumnya perempuan dengan usia antara 14-17 tahun, walaupun beberapa kasus ada korban berusia di atas tujuh tahun.

Keempat, antara pelaku dan korban tinggal dalam satu rumah dan masih dalam lingkup keluarga dekat, dari ayah atau ibu.

Kelima, keadaan rumah sempit dan terbuka (kamar tidak memiliki kunci) sehingga pelaku dapat dengan mudah masuk ke kamar korban baik pada siang maupun malam hari. Umumnya kasus tersebut terjadi di kamar korban atau kamar satu-satunya di rumah tersebut, ketika anggota keluarga lain tidur atau pergi. Beberapa pelaku mengatakan, niat tersebut ada ketika dia melihat korban sedang tidur dengan posisi pakaian terbuka, melihat korban yang baru mandi hanya mengenakan handuk, disamping alasan tergiur dengan pertumbuhan fisik si korban.

Keenam, dari kasus yang diamati sepanjang tahun 2005-2010, 95 persen lebih merupakan pemaksaan untuk berhubungan seksual.

Ketujuh, korban dan pelaku yang masih dalam keluarga inti dan umumnya tinggal satu rumah menyebabkan incest terjadi dalam waktu yang lama dan berulang-ulang, diantaranya ada beberapa korban hamil dan melahirkan. Adanya ancaman kepada korban maupun orang yang dicintai korban pada pihak lain turut menjadi faktor pendukung kasus tersebut berlangsung dalam waktu lama. Pada pihak lain, patut diduga, hal ini berhubungan dengan kurang harmonis atau terbukanya komunikasi dalam rumah tangga tersebut, sehingga korban tidak nyaman atau merasa bebas mengungkapkan hal-hal yang terjadi kepadanya kepada anggota keluarganya.

Kedelapan, beberapa pelaku menyatakan adanya hubungan yang kurang harmonis antara dia dan istrinya sehingga dia mengaku terpaksa melakukan hal tersebut kepada anak tiri/kandungnya. Mereka mengatakannya sebagai pelampiasan. Dalam beberapa kasus, hal ini juga dikatakan pelaku kepada korban, sehingga dalam satu kasus korban menganggapnya sebagai bentuk rasa sayang kepada orang tuanya tersebut.

Kesembilan, dari kasus-kasus yang terungkap, belum ditemukan indikasi pelaku adalah pedhopilia (hasrat seksual kepada anak-anak), sebab jika dilihat dari usia, korban umumnya telah menstruasi. Biasanya kaum pedhopilia cenderung memilih korban anak perempuan yang belum menstruasi.

Dampak bagi korban
Dari hasil observasi dan wawancara kepada korban serta analisis pemberitaan media massa, berbagai dampak fisik dan psikis ditemukan sebagaimana umumnya korban kekerasan seksual dan khususnya incest. Dampak tersebut berhubungan dengan:
- Pelaku adalah orang dekat seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, abang ipar atau kakek
- Terjadi secara berulang-ulang
- Berlangsung dalam waktu lama
- Disertai ancaman dan kekerasan pada dirinya atau orang yang dicintai si korban

Beberapa dampak tersebut adalah sangat tertutup, trauma fisik dan psikologis berkepanjangan, menyendiri, mengalami kebingungan dan kekhawatiran takut kepada orang laki-laki dewasa. Dampak lainnya, berkaitan dengan cara kekerasan tersebut dialaminya, serta berapa lama kejadiannya, diantaranya menumbulkan luka atau bekas luka pada bagian tubuh, hingga hamil.

Hal lain, adanya sikap masyarakat setempat yang justru menyalahkan korban. Dengan alasan untuk menjaga nama baik kampung, korban diusir atau dipaksa pindah dan pada kasus lain, korban juga tidak diterima ditempat baru karena dianggap akan membawa sial bagi kampung tersebut. Pengusiran atau tidak menerima korban tersebut justru semakin membuat korban merasa bersalah terhadap apa yang tidak dikehendakinya. Pada beberapa kasus yang ditemukan dan didampingi, keadaan ini semakin memperparah dampak pssikologis yang dialami korban (stress pasca trauma).

Hukuman bagi pelaku
Dari kasus-kasus yang terungkap di Aceh, pelaku dijerat menggunapan pasal-pasal Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan pasal 294 KUHP dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun bagi siapapun yang melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri, atau anak pungutnya, anak peliharaannya atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik, dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa. Pasal lain yang digunakan adalah pasal 285, 287, 291, 294 dan 297 KUHP Jo pasal 81 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002 pasal 80 dan 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.

Banda Aceh, 8 Februari 2011