Rencana Pengaturan Standar ILO tentang Pekerja Rumah Tangga dan Pemahaman Konvensi PBB tentang Buruh Migran

Sumber: buruh-migran@yahoogroups.com

I. Rencana Pengaturan Standar ILO tentang Pekerja Rumah tangga Sampai saat ini belum ada konvensi ILO mengenai pekerja rumah tangga (PRT).

ILO baru sampai pada tahap menyampaikan kuesioner terkait dengan rencana pengaturan pekerja rumah tangga kepada negara anggotanya yang isinya meminta kepada negara anggota untuk memberikan tanggapan dan opsi apakah pengaturan tersebut dalam bentuk konvensi, rekomendasi, atau konvensi dilengkapi dengan rekomendasi.

Untuk memenuhi permintaan ILO tersebut, Depnakertrans telah melakukan pembahasan dengan Depkes, BAPPENAS, Menko Kesra, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dan hasilnya sepakat untuk mengusulkan dukungan terhadap standar internasional di bidang Pekerja Rumah Tangga dalam bentuk Rekomendasi.

Hal ini menunjukkan kepada dunia internasional mengenai adanya political will Pemerintah Indonesia dalam hal pengaturan dan perlindungan Pekerja Rumah Tangga secara internasional. Adapun pertimbangan standar internasional mengenai Pekerja Rumah Tangga dalam bentuk Rekomendasi , adalah bahwa Rekomendasi ILO merupakan pedoman bagi negara anggota untuk menyusun suatu kebijakan nasionalnya.

Sehingga apabila nanti disepakati suatu pengaturan nasional bagi perlindungan pekerja rumah tangga kita dapat menjadikan Rekomendasi ILO itu sebagai acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional, dengan demikian standar dalam bentuk Rekomendasi ini tidak mengikat. Apabila standar tersebut dalam bentuk Konvensi, walaupun tidak ada kewajiban untuk meratifikasinya namun tujuan Konvensi itu diaqdopsi dengan harapan agar negara anggota dapat meratifikasinya, dan apabila kita meratifikasi maka Konvensi tersebut menjadi hukum positif di Indonesia.

Rencana pengaturan Standar Interansional tentang Pekerja Rumah Tangga prosesnya masih panjang. Masukan negara anggota secara tripartit yang akan disampaikan dalam waktu dekat ini, baru akan dirumuskan oleh ILO dan menjadi bahan sidang ILC pada bulan Juni 2010. Hasil pembahasan pada sidang ILC 2010 tersebut akan kembali disampaikan kepada negara anggota untuk dimintakan tanggapan. Tanggapan negara anggota tersebut menjadi bahan Sidang ILC tahun 2011 dan kemudian diadopsi suatu standar internasional yang harus disepakati oleh semua negara anggota dengan kemungkinan, apakah nantinya disepakati dalam bentuk konvensi, rekomendasi, atau konvensi dilengkapi dengan rekomendasi , dan / atau bahkan tidak terjadi kesepakatan untuk mengadopsi suatu standat internasional.

Sebagai klarifikasi bahwa rencana dibuatnya Standar Internasional PRT bukan semata merupakan domain Depnakertrans, tetapi Lintas-Departemen antara lain : Departemen Hukum dan HAM, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Meneg Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial. Sebagai tindak lanjut, Depnakertrans akan mengadakan lagi rapat koordinasi dengan mengundang Departemen-departem en terkait untuk membahas permasalahan ini.

Untuk semua PERJANJIAN INTERNASIONAL dikoordinir oleh Departemen Luar Negeri.

II. Pemahaman mengenai konvensi PBB tentang Buruh Migran

1. Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dideklarasikan di New York pada tanggal 18 Desember 1990 dan diberlakukan sebagai hukum pada tanggal 1 Juli 2003. Sebagai bagian dari anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 2004, namun penandatanganan bukan berarti meratifikasi.

2. Sampai saat ini, negara yang meratifikasi konvensi Buruh Migran baru sekitar 35 (tiga puluh lima) negara.

3. Ketentuan yang diatur di dalam Konvensi Buruh Migran antara lain perlindungan hak berserikat bagi pekerja migrant, tidak boleh mem-PHK pekerja migrant, akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, dan akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migrant. Dengan demikian substansi Konvensi Buruh Migran tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4. Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi ini dengan pertimbangan bahwa apabila konvensi ini diratifikasi maka hanya akan melindungi pekerja migrant dan anggota keluarganya di Indonesia, dan pengesahan ini tidak bisa menjangkau perlindungan bagi TKI di negara tujuan penempatan. Konvensi ini akan mempunyai makna apabila negara tujuan penempatan juga meratifikasi konvensi inisehingga berlaku asas resiprokal.

5. Selain itu Konvensi Buruh Migran juga memiliki kelemahan yaitu tidak mengatur perlindungan kepada tenaga kerja perempuan, sedangkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagian besar adalah tenaga kerja perempuan. Sehingga dalam melakukan pemahaman terhadap ketentuan Konvensi Buruh Migran harus lebih hati-hati.

6. Depnakertrans telah melakukan pertemuan antar departemen membahas Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dengan mengundang Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Kabinet dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Rekomendasi yang disampaikan bahwa Konvensi Buruh Migran masih memerlukan kajian lebih mendalam dengan tetap mempertimbangkan prinsip Kehati-hatian sebelum dilakukan pengesahan.

7. Hasil Rakor pelaksanaan RAN-HAM di Cisarua tanggal 3 s.d 4 April 2008 yang diprakarsai oleh Ditjen HAM, menyatakan ratifikasi terhadap Konvensi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya belum mendesak,karena itu perlu pengkajian yang lebih mendalam, prinsip kehati-hatian, dan benar-benar memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia. Dalam draft RAN-HAM yang ke-3 (ketiga) Tahun 2010 s.d 2014, konvensi buruh migran kembali dicantumkan untuk diratifikasi, namun dalam urutan terakhir tidak prioritas untuk diratifikasi.

Pusat Humas Depnakertrans