Darurat Kekerasan di Sekolah

Pengeluaran  anak didik dari sekolah, masih terjadi. Setidaknya, satu kasus pengaduan dari orang tua anak diterima Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) November 2017.

Di satu sekolah menengah kejuruan di Kota Tebing Tinggi, seorang anak didik yang sedang magang di satu pusat perbelanjaan diketahui mengambil satu jenis es krim dan memakannya. Kasus tersebut sebenarnya telah selesai secara restoratif justice di kepolisian, namun guru pembimbing dan kepala sekolah berpandangan lain, si anak dan tiga rekannya dikeluarkan dari sekolah.

Mengeluarkan anak bermasalah dari sekolah bukan kasus di atas saja. Ada beragam cara dan bentuk pelepasan tanggungjawab sekolah terhadap anak-anak bermasalah dengan hukum yaitu anak sebagai korban, pelaku maupun saksi. Sekolah, tidak mau repot, apalagi kepentingan peserta didik lain sering dijadikan alasan. Solusi jangka pendek selalu dipandang sebagai kebaikan. Sekolah melepaskan tanggungjawab dan kewajibannya.

Tindakan tidak bertanggungjawab. Sekolah justru dipertanyakan peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan maupun guru bimbingan yang ada di sekolah tersebut. Sekolah bukan saja bertugas menertibkan anak-anak selama dalam pengawasannya. Sekolah memiliki mandat untuk mendidik dan mengajar setiap anak. Guru sangat berperan membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal (Mulyasa: 2005:10). Perilaku anak di luar sekolah  dipengaruhi bagaimana si anak dibentuk di sekolah. Jika  ada anak bermasalah secara hukum dalam proses belajar-mengajar, maka mungkin di sekolahnya juga ada masalah.

Dilema Pendidik
Pendidik dan tenaga kependidikan sekarang sering mengeluh berujung diam terhadap sikap-perilaku anak zaman now yang personalitinya dianggap sulit dikendalikan. Rujukan pengalaman dididik dulu tidak efektif diterapkan, malah dapat berujung fatal. Beberapa berkata; sejak ada undang-undang perlindungan anak pendidik tidak bebas lagi mengajar. Mereka merasa dikekang karena dicubit sedikit saja muridnya, orang tuanya sudah melapor ke polisi. Makanya ada pendidik mengusulkan agar diberikan diskresi menerapkan hukuman di sekolah.

Pengetahuan dan keterampilan pendidik kurang terupdate. Malah, masih ada bersikap seperti raja yang tak pernah salah atau menakuti untuk menenteramkan peserta didik. Terjadi pergeseran makna pendidikan yang holistik akibat sikap dan budaya pendidik dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pada beberapa kasus keterikatan yang saling memerlukan (sekolah dan peserta didik) didasari oleh besaran dana yang akan diterima. Kuantitas peserta didik menjadi target karena terkait dengan alokasi anggaran dan pencapain jam mengajar.

Kegundahan peserta didik terhadap beban pelajaran, suasana kelas membosankan hingga konflik antar peserta didik, pendidik hingga kepala sekolah, secara langsung berimbas kepada peserta didik. Frustasi, skeptisme hingga ketidak-sukaan kepada elemen-elemen sekolah tidak jarang berujung kepada sikap frustasi atau mengambil jalan pintas. Kekerasan terhadap anak hingga menuding anak sebagai pembawa masalah di sekolah diantara wujud sekolah kita.

Gugus Tugas di Sekolah
Pengeluaran peserta didik dari sekolah, bullying dan perilaku negatif lain sesungguhnya tidak akan terjadi jika seluruh lembaga pendidikan telah memahami dan menerapkan secara utuh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Permen ini menakankan pentingnya setiap lembaga pendidikan melakukan tindakan pencegahan untuk menciptakan lingkungan satuan pendidikan yang bebas dari tindak kekerasan, membangun lingkungan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta jauh dari tindak kekerasan antara lain dengan  membentuk tim pencegahan tindak kekerasan dengan keputusan kepala sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa dan  perwakilan orang tua/wali. Gugus tugas sekolah tersbutlah bertugas untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan hukum terhadap anak didik terutama dalam proses belajar-mengajar.

Lembaga pendidikan diwajibkan menyusun dan menerapkan Prosedur Operasi Standar (POS) pencegahan tindak kekerasan dengan mengacu kepada pedoman yang ditetapkan Kementerian dan melakukan sosialisasi POS dalam upaya pencegahan tindak kekerasan kepada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, komite sekolah dan masyarakat.

Permen ini menegaskan bahwa dalam penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan tidak reaktif-emosional dengan mengeluarkan anak didik, tatapi mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, pertumbuhan dan perkembangannya, persamaan hak (tidak diskriminatif), mempertimbangkan pendapat peserta didik, tindakan yang bersifat edukatif dan rehabilitatif dan perlindungan terhadap hak-hak anak dan hak asasi manusia.

Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 3 tahun 2016 tentang penerapan regulasi baru di tahun pelajaran 2016/2017 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia menekankan bahwa kekerasan terhadap anak sebagai situasi yang teramat penting dan darurat untuk diselesaikan, sehingga Kemendikbud mendorong setiap sekolah dan daerah memiliki prosedur dan jaring pengaman dalam pencegahan dan menanggulangi kekerasan terhadap anak.

Penutup
Keikhlasan sekolah menerapkan Permen 82/2015 secara aktif dan holistik, tidak bermakna pengakuan bahwa di sekolah tersebut darurat kekerasan terhadap anak. Permen ini menekankan aspek pencegahan sebagai aspek utama dengan menjalin kolaborasi terbuka dengan orang tua dan siswa dan simpul jejaring lain. 

Opini ini telah dipublikasikan di: http://harian.analisadaily.com/opini/news/darurat-kekerasan-di-sekolah/471380/2017/12/18

Bappeda Kota Gunungsitoli Komitmen Beri Ruang Partisipasi Anak

Gunungsitoli/13/12/2017. Forum Anak Kota Gunungsitoli (FAKOLI) didampingi Dinas Pengendalian Penduduk, Ppemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas (P5A) Kota Gunungsitoli dan PKPA Cabang Nias lakukan hearing kepada BAPPEDA di  Gunungsitoli (Selasa 21/12/2017) sebagai tindak lanjut audiensi FAKOLI kepada Walikota Gunungsitoli akhir November 2017 lalu.

Hearing yang diikuti 20 orang dari pengurus dan anggota FAKOLI tesebut dilakukan di ruang rapat Bappeda Kota Gunungsitoli diterima Sekretaris BAPPEDA, Karya Septianus Batee, SSTP, MAP, didampingi  Kasubbag Umum, Kasubbag Program, Kepada Bidang dan beberapa staff.

Ketua FAKOLI, Tania Ziliwu, setelah memperkenalkan pengurus FAKOLI juga  menyampaikan tujuan FAKOLI sebagai wadah partisipasi anak dan mengingatkan kembali pentingnya keterlibatan anak dalam perencanaan, proses dan evaluasi pembangunan  Gunungsitoli.

“Kami berharap Pemerintah Gunungsitoli dapat melibatkan forum anak dalam Musrenbang. Kita sedang berupaya menjadikan Gunungsitoli sebagai Kota Layak Anak, maka hal tersebut akan tampak pada tingkat partisipasi anak dan pemenuhan hak anak di Gunungsitoli, serta anggaran-anggaran yang responsif hak anak” ujar Tania. “Kamipun telah mengajukan program kegiatan yang nantinya akan kami laksanakan tahun 2018” tambah Tania Ziliwu.

Staf Community and Child Development PKPA Cabang Nias menambahkan bahwa anak memiliki sejuta ide untuk membangun Gunungsitoli, oleh sebab itu sangat diharapkan Pemerintah dapat mendengar suara anak, melalui Forum Anak Kota Gunungsitoli.

Sekretaris BAPPEDA Gunungsitoli mengapresiasi kedatangan Forum Anak tersebut, karena Pemerintah sangat memerlukan saran dan kritik untuk membangun Kota Gunungsitoli. "BAPPEDA berjanji akan mengundang dan melibatkan FAKOLI mulai dari konsultasi publik, asistensi dan musrenbang RKPD  tahun 2018. Selain itu, BAPPEDA juga berjanji akan menyampaikan kepada Walikota Gunungsitoli untuk  menerbitkan surat edaran terkait pelibatan anak pada setiap rapat atau musyawarah yang berkaitan dengan anak ke masing-masing SKPD se Kota Gunungsitoli, " tegas Sekretaris BAPPEDA, Karya Septianus Batee, SSTP, MAP.

Ditanyakan soal anggaran pembinaan FAKOLI, menurut Sekretaris BAPPEDA, hal itu telah ditampung di APBD 2018 dan nantinya akan masuk pada anggaran Dinas P5A. Pemerintah Kota Gunungsitoli sedang mempersiapkan sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, dan lingkungan ramah anak.


Menurut Yendri Caniago, Kepala Seksi Perlindungan Anak Dinas P5A Kota Gunungsitoli, tahun 2017, FAKOLI telah mendapatkan dana pembinaan, fasilitas mengikuti jambore anak, pertemuan forum anak tingkat provinsi hingga nasional. “Kami akan mendampingi kegiatan-kegiatan FAKOLI kedepan” ujar Yendri Caniago.

Anak-anak Suarakan Pentingnya Kontribusi Perusahaan untuk Pemenuhan Hak Anak melalui Film dan Teater

Medan, 13 Desember 2017. Anak-anak di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh suarakan pentingnya setiap perusahaan berkontribusi dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. Pandangan tersebut disuarakan melalui film fiksi, dokumenter dan pementasan teater yang mengikuti Festival Film Anak (FFA) dan Festival Teater Anak (FTA) 2017 yang diselenggarakan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) bekerjasama dengan SDF dan Opic Picture.

Suatu perusahaan tidak lagi semata-mata bertujuan ekonomis atau tujuan sosial dalam menyediakan barang atau jasa kepada konsumen. Setiap perusahaan secara suka rela harus memenuhi prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia melalui kontribusi nyata pada pemenuhan hak-hak dan perlindungan anak.

Children Rights and Business principal (CRBP) atau prinsip dunia usaha dan hak anak secara global telah diluncurkan Maret 2012 dan di Indonesia CRBP dikampanyekan sejak 2013 dan tahun 2017 ini PKPA memilih BISNIS dan HAK-HAK ANAK sebagai tema FFA-FTA dengan tujuan agar perusahaan meningkat perannya dalam usaha pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan anak.

Selama enam bulan proses pelaksanaan FFA-FTA 2017 dudukung sponsor KNH, ICCO, PT.Tirta Sibayakindo, Bank Sumut, Neko Neko Bakery & Cake, Faber Castell dan  Yayasan Smile ini, PKPA mengajak berbagai komunitas film dan teater anak di Sumatera Utara dan Aceh untuk ikut mengkampanyekan pentingnya kontribusi perusahaan untuk pemenuhan hak anak. Dari berbagai kegiatan yang dilakukan PKPA, sebanyak 19 film terdiri dari 11 film fiksi dan delapan film dokumenter mengikuti FFA-FTA 2017. Festival teater diikuti 11 kelompok.

Pemenang FFA dan FTA 2017
Juara pertama FFA 2017 untuk film fiksi dengan judul Aduh Makk !! karya Medan Art of Cinematography,  juara kedua film berjudul ASA karya Movie Maker Muslim Medan dan juara ketiga Aku Ilham karya Smile Program Medan. Juara harapan I-III film fiksi adalah Ketika Harus Memilih (Ninestar SMKN 9 Medan), Siapa yang Salah (Forum Anak Gunungsitoli) dan Secarik Pilu (Kita Kita Production).

Juara I-III kategori film dokumenter adalah Menembus Batas (Movie Maker Muslim Medan), Rumah Momong (Amal Tani Production Langkat) dan Mimpi Jalanan (Komunitas Film Simalingkar, Medan). Sedangkan juara harapan I-III dokumenter adalah Harapan Anak Sampah (SMK BBC Medan), Bukan Akhir Kisahmu (Teenage Picture, Medan) dan Asa Tangan-tangan Kecil (Poli Yafsi, Medan).

Pemenang kelompok teater anak yaitu juara I-III, Mana Taman Bermain Kami (Teater Rawit Medan), Mimpi Kesatria (Teater 8 Medan), Rumah Matahari (Teater Temuga Medan) dan juara Teater Sasada Medan). Juara harapan I-III teater yaitu Sebuah Mimpi (Teater Sasada Medan), Senja Pinggiran Kota (Teater Tabel) dan Layang-layang (Teater Enceng Gondok)

Yayasan PKPA atas dukungan Parfi Sumut dan Yayasan Smile serta beberapa perusahaan akan tetap melakukan pembinaan kepada komunitas film dan teater anak di Sumatera Utara sehingga pengetahuan dan keterampilan anak meningkat khususnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengkampanyekan pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan anak.


Program yang akan dilaksanakan antara lain pelatihan penulisan skenario atau cerita, pelatihan tehnik produksi film, editing, pendalaman materi tentang anak, hingga pementasan teater atau pemutaran film produksi anak di komunitas-komunitas dampingan PKPA di Sumatera Utara dan Aceh. 

Forum Anak Deli Tua Dikukuhkan

Deli Tua. Anak-anak di Kelurahan Deli saat ini sudah memiliki wadah untuk berpartisipasi dan menyatakan pandangannya dengan dibentuknya Forum Anak Kelurahan Deli Tua, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang. Kepengurusannya dibentuk melalui Keputusan Lurah Deli Tua Nomor 1431/12/2017.
 
Pengukuhan pengurus dilakukan dalam rangkaian Promosi Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Gedung Madrasah Islamiah, Deli Tua, Minggu, 10/12/2017, yang dihadiri Camat Deli Tua, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Deli Serdang dan jajaran, PPL KB, tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat setempat.

Lurah Deli Tua, Sueb, S.Sos, mengatkan, forum anak tersebut dibentuk menindaklanjuti Keputusan Bupati Deli Serdang Nomor 369 tahun 2011 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak Kabupaten Deli Serdang.

“Forum anak ini diharapkan akan menjadi sarana bagi anak-anak di Kelurahan Deli Tua untuk menyalurkan aspirasinya, sehingga mereka dapat berfikir kritis dan peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di Kelurahan Deli Tua.” Jelas Sueb S.Sos.

Ditambahkan Sueb, forum anak yang diketuai Meutia Anggraini tersebut, nantinya akan menjadi kader-kader perubahan serta motivator bagi anak-anak di kelurahan. “Jadi besar harapan kita agar organisasi ini dapat aktif terus”, harap Sueb.

Sebanyak 21 orang anak tergabung dalam kepengurusan forum anak dengan Ketua Meutia Anggaini dan Sekretaris Nurul Huda. Selain itu, kepengurusan juga dilengkapi wakil ketua, bendahara, bagian kehumasan, kreativitas dan bagian perlengkapan.

Misran Lubis, Senior Officer, dalam sambutannya menjelaskan PKPA mendukung Forum Anak Deli Tua mulai dari proses pembentukan hingga beberapa kegiatan. “Minggu depan PKPA akan melibatkan mereka dalam pemetaan situasi anak di Kelurahan Deli Tua, sehingga diketahui apa saja kekuatan dan aspek yang harus ditingkatkan perbaikannya kedepan. Sebanyak 350 orang anak di kelurahan akan mereka wawancarai” pungkas Misran

ABH Jangan Distigma

Ketika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1/2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak ditandatangani Presiden RI, 25 Mei 2016, ada bertanya; apakah anak akan dikebiri, diberatkan hukuman, dipasang chip dan direhabilitasi?
 
Amarah keluarga korban perkosaan kepada pelaku berusia anak yang menghendaki agar si pelaku dipenjara seumur hidup atau hukuman mati, dapat dimengerti. Keluarga, pantas marah, apalagi korban ada sampai dibunuh dan pelaku bukan satu orang. 
 
Perdebatan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) bukan baru dan tak hanya di Indonesia. Merujuk kasus yang dilakukan anak ada mempertanyakan; masih pantaskah anak diperlakuan khusus dalam proses penangkapan, penyidikan, penahanan dan pemenjaraan? Pemerkosaan, pembunuhan, penipuan dan tindak pidana lain, terkadang tidak dapat dibedakan antara yang dilakukan anak dengan orang dewasa, atau anak dimanfaatkan orang dewasa menjadi pelaku. Beberapa kasus, kita tak percaya pelakunya anak, baik pelaku utama atau bersama orang dewasa. Dari aspek dampak, bukan saja kepada korban dan keluarga, masyarakat luas ikut merasakan dampak perilaku anak. 
 
Menurut mereka, pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang diratifikasi melalui Kepres No. 36/1990 membolehkan negara menentukan batas usia lebih awal. Batasan usia (criminal responsibility) di bawah 18 tahun dianggap terlalu tinggi karena kedewasaan seseorang sekarang dikatakan cepat. Usia boleh anak, tapi perilaku bukan anak-anak lagi hingga terjadi diskrepansi antara batasan usia dalam KHA dan perundangan dengan tindakan anak. 
 
Kepentingan terbaik anak
Ratifikasi KHA dan perundangan nasional yang selaras adalah pengakuan anak sebagai pemilik hak aktif (active holder of rights) dan tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. KHA mengakui anak secara fisik dan mental belum matang, sehingga anak dianggap belum memiliki kapasitas legal mempertanggung jawabkan perbuatannya. 
 
Anak diberikan limitasi pertanggungjawaban pidana akibat kebelum matangannya. Menurut Andre Ata Ujan (2009) kriteria menuntut tanggung jawab hukum seseorang yaitu jika subyek mengetahui dan mengerti perbuatannya (mens rea) dan nyata melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya (actus reus), yang berarti subyek tidak saja harus mengerti, tetapi memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatannya. 
 
Jika anak diduga melakukan tindak pidana dan dituntut bertanggung jawab secara hukum, anak tetap memperoleh hak-haknya seperti diatur UU No. 39/199 tentang HAM, UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Perppu No. 1/2016 tentang Perlindungan Anak. Deklarasi internasional juga mengatur hak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH); Deklarasi Jenewa (1924), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Deklarasi Hak Anak (1959), dan Resolusi PBB No. 2076/1977 tentang Standar Minimum Perlakuan terhadap Tahanan; Resolusi No. 40/33/1985 tentang Peraturan Administrasi Peradilan Anak (Beijing Rules), Resolusi No. 45/113/1990 tentang Perlindungan Anak yang Terampas Kemerdekaannya (Havana Rules), Resolusi No. 45/112/1990 tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines), Resolusi No. 45/110/1990 tentang Peraturan Standar Minimum PBB untuk Upaya Non Penahanan (Tokyo Rules). 
 
KHA mengatur prinsip perlindungan terhadap anak dan negara berkewajiban memberikan perlindungan khusus kepada ABH (children in conflict with law). Menurut Komite Hak Anak (CRC/C/33, 24/8/1994) ABH adalah kelompok yang membutuhkan perlindungan khusus (special protection measures). Pasal 37b KHA menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan anak harus sesuai undang-undang dan harus digunakan sebagai jalan terakhir (ultimum remedium) dan untuk jangka waktu terpendek. Pasal 40 KHA menegaskan setiap anak dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum.
 
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28B ayat 2 menyatakan setiap anak memiliki hak konstitusional atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. ABH, sebagai bagian dari anak Indonesia dijamin hak-haknya. 
 
Pengertian anak ABH dalam UU No. 11/2012 tentang SPPA, adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Batasan usia anak yang berkonflik dengan hukum ialah telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
 
Indonesia menyatakan perlindungan khusus adalah bentuk perlindungan yang diterima anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. Perlindungan hukum terhadap anak merupakan bagian dari perlindungan kesejahteraan anak. Penanganan ABH diutamakan kepada perdamaian dari pada proses hukum formal. 
 
UU SPPA mengatur untuk menghindarkan dan menjauhkan anak dari proses peradilan untuk pembalasan dan ganti rugi (retributif). SPPA menekankan kepada keadilan restoratif (restoratif justice), yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 
 
UU SPPA menggunakan pendekatan doer-victims relationship yaitu hubungan pelaku-korban bukan pendekatan daad-dader straftecht, perbuatan atau pelaku. Anak, semaksimal mungkin harus dijamin untuk tidak terisolasi akibat kasus yang dilakukan maupun proses dan putusan hukum. Keadilan dan kepentingan terbaik anak harus diutamakan dan menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan yang akan diambil. Proses hukum formal harus dilakukan sebagai langkah paling terakhir. 
 
Penahanan harus disertai alasan kuat, dalam waktu singkat dan harus menjamin anak untuk tetap memperoleh hak-haknya seperti hak atas pengasuhan, pendidikan, bermain, beribadah, dan lain-lain. Penahanan anak tidak boleh dilakukan jika si anak dijamin oleh orang tua/wali dan/atau lembaga, jaminan bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
 
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA bahwa hakim anak wajib wajib mengupayakan diversi; pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pasal 7 UU SPPA mengatakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, diversi dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
 
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional dan jika diperlukan dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat, berdasarkan pendekatan keadilan restoratif dengan memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. 
 
Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Dari tujuan tersebut terlihat bahwa penghukuman bukanlah cara terbaik menyelesaikan masalah anak, penghukuman justru dianggap pintu masuk terjadinya pelanggaran hak anak. 
 
Gang rape
Perppu No. 1/2016 mengatur pemberatan hukuman hingga pidana 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati, pidana tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku. Tindakan lain yang dikenakan adalah pengebirian secara kimia dan penanaman detektor elektornik pada pelaku.
 


Pasal 81 ayat 3-5 Perppu No. 1/2016 mengatur tentang pelaku yang dihukum kebiri kimia (penyuntikan hormon) dan dipasang detektor elektornik yaitu pendidik anak, pengasuh anak, aparat perlindungan anak, anggota keluarga, dan masyarakat sipil yang melakukan pelecehan seksual secara bersama-sama atau gang rape dengan syarat khusus yaitu kejahatan seksual pada anak secara berulang, pelaku menyebabkan korban terluka berat, sakit jiwa, terkena penyakit menular, terganggu alat reproduksinya, atau meninggal. Hukuman kebiri akan dikenakan paling lama dua tahun (tidak permanen) dan dilakukan setelah pelaku menjalani hukuman pokok, diantaranya pidana penjara maksimal 20 tahun.

Desember 2017

Aden-aden yang mekar



Anak-anak Dilibatkan Kampanyekan Bisnis dan Hak Anak

Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) melibatkan komunitas film dan teater anak di wilayah Pulau Sumatera untuk mengkampenyakan bisnis dan hak-hak anak melalui Festival Film Anak (FFA) dan Festival Teater Anak (FTA) tahun 2017 dengan tema Bisnis dan Hak-Hak Anak. 

“Tahun 2017 ini adalah ke 10 kalinya PKPA menggelar FFA dan FTA, sebagai media untuk mengkampanyekan perlindungan anak dan tahun 2017 ini kita memilih tema Bisnis dan Hak-Hak Anak” kata Sulaiman Zuhdi Manik, Panitia Pelaksana, kepada wartawan, Rabu (26/7/2017).

Tema tersebut, lanjut Sulaiman, sebagai upaya PKPA mensosialisasikan hubungan antara bisnis dan pemenuhan hak-hak anak. “Relasi keduanya tidak sebatas pada aspek pekerja anak saja, sektor bisnis berkaitan dengan dampak positif dan negatif terhadap pemenuhan dan perlindungan anak, melalui kegiatan ini kita harapkan masyarakat dan pelaku bisnis semakin memahami aspek tersebut” ujar Sulaiman.

Sub tema
Menurut Sulaiman, ada tujuh sub tema yang dapat dipilih pelaku film atau teater yaitu peran perusahaan mendukung fasilitas dan kegiatan anak di lingkungan, aktifitas/operasional bisnis yang melanggar hak anak, peran pemerintah dan masyarakat dalam mencegah pekerja anak, pekerja anak sektor domestik (industri rumah tangga, PRTA), pekerja anak di sektor industri (perikanan, perkebunan, pertanian, tekstil, pertambangan, retail, perhotelan, dll), pekerja anak di jalanan dan pelibatan anak dalam bisnis ilegal (Narkoba, prostitusi, judi, dll).

Untuk membantu pihak-pihak dalam pemahaman tema dan sub tema tersebut, PKPA, tambah Sulaiman, akan melakukan workshop film dan teater pada awal Agustus 2017 di Medan, sehingga diharapkan calon peserta dapat segera mengirimkan sinopsis atau draft naskah kepada panitia. “Wokshop ini dilakukan gratis atau bagi pihak yang ingin melakukan workshop sendiri di komunitas atau sekolahnya, PKPA akan menyediakan fasilitator secara gratis”, ujar Sulaiman

Syarat-syarat
Adapun syarat-syarat mengikuti FFA dan FTA 2017 yaitu peserta adalah tim yang terdiri dari minimal tiga orang anak (usia 6 - 18 tahun) berdomisili di wilayah Sumatera, tim didampingi orang dewasa (misalnya guru/orang tua/staf lembaga pendamping anak, seluruh proses produksi film dilakukan oleh anak (orang dewasa hanya sebagai pembimbing) dan peserta wajib mengisi formulir dan mengikuti tahapan kegiatan FFA dan FTA.


Deadline penyerahan berkas lomba pada 29 September 2017 sementara penganugrahan kepada pemenang FFA dan FTA 2017 pada 21 Oktober 2017, bertepatan dengan perayaaan hari ulang tahun PKPA ke 21. Informasi lengkap dapat menghubungi panitia melalui telepon, SMS atau WA ke nomor  082304007061, facebook festivalfilmanak” atau mengakses di www.pkpaindonesia.org”, pungkas Sulaiman.  

Menggunakan Sepeda Motor ke Sekolah

http://harian.analisadaily.com/opini/news/menggunakan-sepeda-motor-ke-sekolah/357036/2017/06/06

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik. 

Secara nasional, Korlantas Polri menyebutkan, tahun 2016 terjadi 105.374 kasus kecelakaan lalu lintas de­ngan korban meninggal 25.859 orang, luka berat 22.939 orang dan luka ringan 120.913 orang. Kasus tersebut me­ningkat dari tahun sebelumnya yaitu 98.970 kasus tahun 2015 dan 95.906 kasus tahun 2014 (kompas.com). Tahun 2016, dari 4.427 jumlah kecelakaan sepeda motor yaitu 527 orang meninggal, 579 luka berat dan 3.321 luka ringan (news.viva.co.id).
Di Jakarta, tahun 2016, 1.253 orang pelajar jadi korban kecelakaan lalu lintas di jalan raya dan 1.156 orang tahun 2015 (http://www.otomania.com). Sementara di Sumatera tahun 2015 terjadi 21.390 pelanggaran lalu lintas dan 20.165 kali tahun 2016. Operasi Zebra tahun 2015 menindak langsung (tilang) 27.525 set, teguran 3.865 kali dan 17.066 set tilang serta teguran 3.099 kali tahun 2016 (daerah.sindonews.com).
Keselamatan Anak
Kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas melibatkan pelajar atau anak (seseorang berusia di bawah 18 tahun) di berbagai provinsi di Indonesia, termasuk Sumatera Utara telah menjadi keprihatinan. Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia kehila­ngan hingga 400 ribu nyawa di bawah usia 25 tahun setiap tahun karena kece­lakaan lalu lintas atau setara seribu kema­tian remaja setiap harinya (http://otomotif.liput­an6.com).
Rendahnya kesadaran mematuhi peraturan berlalu lintas dan memiliki surat izin mengemudi (SIM) serta lemahnya penerapan hukum untuk menjadikan keselamatan anak sebagai pertimbangan utama menye­babkan anak-anak kita masih bebas memakai sepeda motor dalam berbagai akifitas. Orang tua, penegak hukum dan pendidik mengalami paradox-ambigu; mengakui kebe­naran tapi manipulatif bersikap. Kemauan taat regulasi, tapi unsur kebebasan dalam diri berakibat regulasi yang diketahui diabaikan akibat penga­ruh materi, keadaan milleu (lingkungan) atau kata hati (consciensi). Proses ber­fikir otak bagian neo cortex sering ne­gatif menghadapi apakah anak dibiarkan menggunakan kenderaan atau tidak.
Kita, orang tua, membiarkan atau me­mfasilitasi anak menggunakan kende­raan bermotor. Orang tua narsistik; bang­ga jika anaknya sudah mahir mengen­derai sepeda motor. Narsistik intensi agresivitas, kecenderungan berperilaku yang berlawanan dengan aturan umum atau norma sosial secara sengaja yang dapat mengakibatkan kerugian dan keru­sakan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Kita tahu mereka belum me­miliki SIM tapi membiarkan atau me­nyuruh anak memakai kenderaan dan terkadang disertai pesan agar melalui jalan kecil atau gang untuk menghindari polisi. Pesan langsung kepada anak ba­gai­mana cara melanggar hukum. Pelang­garan itu dimulai dari pesan orang tua dan keluarga.
Konvensi Hak Anak menyatakan, anak belum matang secara fisik dan men­tal sehingga penting untuk selalu diberikan perlindungan untuk menjamin anak memperoleh perlin­dungan dan hak-haknya agar mereka dapat hidup, tum­buh, berkembang dan berpartisipasi se­ca­ra optimal sesuai harkat dan martabat kema­nu­siaan, serta mendapat perlindu­ngan dari segala hal yang membaha­yakan keselamatan fisik dan psikisnya.
Perkembangan usia anak relevan dengan perilaku berlalu lintas. Keinginan memperoleh kepantasan dan kemata­ngan seringkali menjerumuskan mereka berperilaku mengarah kenakalan. Ling­kungan dan teman sangat mempe­nga­ruhi, apalagi keluarga ikut mendukung atau kurang membimbing. Mereka sedang mencari indentitas dan pola hidup dan hal itu sering tidak sesuai norma hukum dan sosial. Penelitian Caspi dan Moffit (Davies, Hollin dan Bull, 2004) perilaku kriminalitas anak (kriminalitas kecil hingga kriminal berat) telah muncul dari masa kanak-kanak namun akan meningkat pada usia masa remaja dan mencapai puncaknya di usia remaja akhir (16-18 tahun). Mereka bangga melang­gar hukum. Mereka bangga jika mele­wati polisi tapi tidak diberhentikan. Lagi-lagi orang tua bangga jika selama berken­dara, anak belum pernah diber­hen­tikan polisi atau tilang.
Umumnya pengelola sekolah telah melarang siswa memakai kenderaan ke sekolah, namun larangan tersebut terbatas karena anak memarkirkan kenderaan di luar lingkungan sekolah. Pendidik sebenarnya tahu pola ngibul siswa tersebut, apalagi ada pihak me­manfaatkan situasi dengan menye­diakan lahan parkir di luar sekolah. Tapi benar, ada juga sekolah dimana siswanya benar-benar tidak ada menaiki kenderaan sendiri ke sekolah.
Norma hukum
UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan aturan pelak­sanaannya secara otomatis melarang siswa (belum berusia 17 tahun) menaiki kenderaan sendiri karena belum memi­liki SIM sesuai jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan (pasal 77 ayat 1) dengan sanksi pidana kurungan paling lama empat bulan atau denda paling banyak satu juta rupiah (pasal 281).
Aturan tersebut merupakan ancaman pidana bersifat alter­natif; pidana kuru­ngan atau denda. Hakim akan me­nentukan hukuman paling tepat kepada pelanggar. Polisi biasanya menilang dan meminta orang tua anak mengambil ken­deraan di kantor polisi setelah mengurus surat tilang. UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur pidana penjara kumulatif dengan pidana denda. Ketika anak sebagai pelaku, pidana denda tidak termasuk dalam pida­na pokok atau tambahan. Pidana pokok untuk anak adalah peringatan, pidana dengan syarat pembinaan di luar lem­baga, pelayanan masyara­kat atau pe­ngawasan. Kemudian pidana pelati­han kerja, pembinaan dalam lembaga dan pili­han terakhir adalah penjara. Se­men­tara pidana tambahan yai­tu ­pe­rampasan keuntungan yang dipe­roleh dari tindak pidana atau  pemenuhan kewajiban adat.
Tanggung jawab suatu tindak pidana dalam asas hukum pidana kita mengatur bahwa tidak dapat dialihkan kepada orang lain, termasuk orang tua atau keluarga anak. Orang tua hanya dapat diminta pertanggungjawaban perdata sesuai pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana orang tua dan wali bertanggung jawab tentang keru­gian yang disebab­kan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.
Penegakan hukum yang adil
Orang tua menjadi kunci utama dan pihak paling bertanggungjawab. Peneli­tian kriminalitas remaja di Inggris (Snyder: 2006) dan Sickmund (2006) di Amerika Serikat menemukan pelaku kejahatan kekerasan anak banyak berasal dari rumah tidak harmonis, latar belakang sosial-ekonomi rendah, akses ke senjata tanpa pengawasan yang cukup, pernah mengalami kekerasan dan pengabaian serta anak yang meng­gunakan atau menyalahgunakan zat adiksi terlarang (Brown, 2010).
Kesadaran bahwa hal tersebut mem­bahayakan keselamatan anak, hendak­nya menjadi dasar pertimbangan orang tua, terutama jika mendasarkan perilaku berlalu lintas kita masih buruk. Kepenti­ngan terbaik anak adalah pertimbangan dan tujuan utama kepu­tusan orang tua.
Tujuan adanya hukum untuk mem­peroleh kedamaian, keserasian dan ketertiban. Kita semestinya mematuhi aturan hukum agar hidup berkeadilan dan berkebaikan. Masyarakat berperan menentukan penegakan hukum dan dalam hukum yang tegak dan adil itulah level kebudayaan kita. Jika tetap membiarkan pelanggaran, maka disitu­lah berarti kebudayaan kita berada. Jangan salahkan jika ada menilai kita sebagai masyarakat kacau, karena perilaku kita kacau di jalan raya.
Distribusi hak dan kewajiban kita tidak seimbang. Hukum yang berlaku tidak lagi menjadi dasar berperilaku. Pemakluman terhadap anak berkendara tanpa SIM hanya akan memperlemah hukum dan peran penegaknya. Kesemra­wutan dan perilaku kacau masyarakat di jalan raya dipicu ketidakadilan hukum. Seorang saja yang patuh tidak cukup di jalan raya. Ego setiap manusia akan muncul di jalan raya dan itu hanya akan membuat kesemerawutan bertambah. Mengikuti orang yang melawan arus menjadi biasa. Kehadiran fisik polisi di jalan menjadi acuan kepatuhan. Tentu tidak setiap saat polisi berdiri di setiap jengkal jalan raya.
Penegakan hukum yang tegas terha­dap anak tidak sekedar menilang dan meminta orang tua menebus tilang serta meng­ambil kenderaan di kantor polisi. Perlu dibuat perjanjian tertulis melibat­kan orang tua dengan sanksi jika melakukan pelanggaran lagi orang tua membayar denda maksimal atas pelang­ga­ran anaknya, atau bisa jadi SIM orang tuanya dicabut. Hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia dan oleh karena itu hukum harus selalu dite­gakkan dengan memper­hati­kan kepas­tian, kemanfaatan dan keadilan. ***
Penulis bekerja di Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)

Petani Garam Korban Gempa: mereka belum bangkit sendiri

7 Desember 2016, gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, menyebabkan korban jiwa, kerusakan rumah, jalan raya dan fasilitas umum. Seseran gempa juga berdampak langsung terhadap petani garam di Gampong (desa) Lancang Paru, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Bentuk kerusakan seperti runtuhnya Jambo (rumah produksi) dan Jantan (alat penyaring air dan pasir laut) serta keretakan tanah di area Jambo maupun aliran air menyebabkan air laut bebas masuk ke lahan.

Pasca 7 Desember 2016, selama lebih satu bulan lebih mereka yang bertani garam, bersama penduduk lainnya juga harus hidup di tenda di Dusun Lapangan. Sampai minggu ketiga Februari 2017, dari 402 kepala keluarga di Gampong Lancang Paru, masih banyak tidur di tenda yang didirikan di depan rumah dengan alasan untuk keamanan dari gempa susulan atau bagian-bagian rumah yang retak atau rubuh.  

Turun-temurun


Petani garam di Gampong Lancang Paru, sudah ada lebih 100 tahun lalu. Saat ini terdapat 94 unit rumah produksi (Jambo) dan sedikitnya 200 orang penduduk gampong menjadi petani garam yang didominasi perempuan, dengan lahan dan tampat produksi tidak jauh dari rumah. Mereka ada petani yang memiliki Jambo dan lahan sendiri serta ada menyewa atau menjadi pekerja di lahan orang lain dengan sistem bagi hasil; dua bagian untuk pemilik lahan dan Jambo serta satu bagian untuk pekerja.

Garam yang diproduksi adalah garam kasar untuk konsumsi rumah tangga dengan pasar utama di Kabupaten Pidie Jaya. Garam dari Lancang Paru memiliki keistimewaan karena diolah alamiah dan sangat baik digunakan untuk mengolah asam sunti. Jika menggunakan garam produksi pabrik, asam sunti yang diolah cepat busuk dan rasanya kurang enak. Garam tersebut juga digunakan untuk penyedap rasa masakan.

Rutinitas kerja sejak zaman nenek-moyang tersebut dianggap menjadi tradisi kerja dan identitas mereka. Identitas yang tidak hanya memberikan makna terhadap kehidupan dan pola relasi di lingkungan kerja tapi sekaligus menjadi ciri yang melatarbelakangi usaha pertanian garam tetap mereka lakukan sampai sekarang. Identitas sebagai petani garam dari nenek moyang tersebut telah merupakan totalitas dan menunjukkan ciri-ciri, keadaan khusus atau jati diri dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari pekerjaan dan kehidupan mereka sehari-hari. Alasan ini pula menyebabkan model produksi baru yang pernah disediakan satu lembaga internasional pasca gempa dan tsunami Aceh tahun 2010 lalu mereka tinggalkan, karena dianggap menjauhkan dari tradisi yang mendarah-daging.

Rutinitas kerja
Pagi hari,  jam 07.00, mereka mulai bekerja, mengangkat pasir laut ke Jantan dan menyiram pasir dalam Jantan dengan air laut. Hasil saringan air yang ditampung dalam jerigen kemudian dibawa dalam tong bekas cat atau jeregen dengan cara menjunjung ke Jambo, kemudian dimasukkan ke kuali untuk dimasak selama 10-12 jam.

Bekerja lebih 12 jam sehari dengan memasak 200 liter air asin dalam dua tungku, petani garam akan menghasilkan 20-25 kilogram garam. Dengan harga jual Rp. 3.000/kg maka penghasilan diperoleh Rp. 60-75 ribu/hari. Jumlah harian garam yang diproduksi tidak pasti. Menurut petani, jumlah dan kualitas garam tergantung musim hujan atau kemarau. Musim hujan, kandungan garam berkurang, jika dimasak 100 liter biasanya menghasilkan 15-16 kilogram garam. Pada musim kemarau, dengan jumlah air yang sama akan menghasilkan 20-25 kilo garam. Musim kemarau kandungan garam dalam pasir dan air lebih tinggi.

Harga jual garam petani kepada muge (pengumpul) yang datang menggunakan sepeda motor, tidak pasti, setiap hari. Muge yang menentukan harga. Jika produksi petani banyak, musim kemarau, harga beli Muge biasanya rendah; pada kisaran Rp. 1.800-2.000/kilo. Jika produksi berkurang (musim hujan) harga garam akan naik, dengan harga tertinggi Rp. 4.000/kilogram. Dengan demikian range harga jual garam petani kepada Muge adalah Rp. 1.800-4.000/kilo. 

Jika musim kemarau, sambil memasak air garam, petani biasanya mengangkat pasir laut untuk disimpan di Jambo (rumah produksi). Pada musim hujan, pasir simpanan tersebut yang dipergunakan. Mereka mengangkat kembali pasir dari Jambo ke tempat penyaringan (Jantan) yang letaknya 15-30 meter dari Jambo dengan menjunjung dalam karung plastik dengan berat 20-35 kilogram. Pernah dipergunakan alat atau kereta dorong, namun daya tahan alat dorong tersebut tidak lama, akibat pengaruh air asin, daya tahannya maksimal enam bulan. Membeli kembali alat dorong baru, secara ekonomi dikatakan tidak mungkin. Alat pengangkat pasir dan air yang lain belum ada ditemukan petani.    

Petani garam mengatakan, mereka hanya kuat mengangkat pasir 30-40 kali sehari. Selain karena berat beban pasir dan air yang diangkat, pekerjaan tersebut setiap hari dilakukan, sehingga lelah kemaren belum hilang, hari ini sudah melakukan pekerjaan yang sama. Apalagi, selain menjadi petani garam, pada saat bersamaan pekerjaan domestik dikerjakan. Rutinitas perempuan di pedesaan tetap dilakukan. Bagi perempuan orang tua tunggal, sambil bekerja di ladang garam, mereka menjaga anak, memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lain. Jika proses memasak air sudah dilakukan di Jambo, mereka berjalan kaki pulang ke rumah untuk mencuci atau memasak dan kemudian kembali lagi ke Jambo untuk mengecek proses pemasakan air menjadi garam.

Hasil garam untuk keluarga
Hasil jual garam berkontribusi langsung terhadap nafkah harian keluarga dan membiayai keperluan anak sehari-hari seperti uang transport ke sekolah, uang jajan dan keperluan harian lain. Suami yang berkerja sebagai buruh kapal penangkap ikan, penghasilannya tidak pasti. Mereka umumnya keluarga miskin dengan penghasilan pas-pasan. Anak-anak mereka ada putus sekolah terutama setelah tamat sekolah menengah pertama.

Biaya harian anak ke sekolah seperti transport, uang jajan dan keperluan sekolah lain dirasakan membebani, apalagi jumlah anak mereka antara 4-5 orang. Pemerintah memang menggratiskan uang sekolah, namun transport dan jajan harian serta pungutan lain dianggap memberatkan. Terutama akibat kenaikan harga-harga kebutuhan sekarang, total pendapatan keluarga dianggap tidak mencukupi. Putus sekolah dan kemudian bekerja membantu orang tua menjadi pilihan anak laki-laki dan perempuan.

Bagi perempuan yang memiliki suami, jika penghasilan suami dari melaut tidak mencukupi, uang dari hasil bertani garamlah menjadi tumpuan, termasuk jika suami tidak bekerja karena ada acara sosial di kampung atau faktor cuaca menyebabkan nelayan tidak melaut.

Belum bangkit sendiri
Besarnya biaya pembangunan Jambo dan Jantan bagi banyak perempuan, terutama orang tua tunggal, yang mencapai 5-7 juta disebutkan sebagai faktor utama mengapa dua bulan lebih pasca gempa belum bertani garam lagi. Jambo-jambo dan Jantan yang rubuh akibat gempa sampai sekarang masih ada dibiarkan begitu saja, beberapa sudah dirubuhkan dan Jambo yang masih dianggap kuat, petani sudah memulai aktivitasnya seminggu pasca gempa.

Selalu menanti bantuan kemanusiaan, dianggap bukan pilihan terbaik untuk kelanjutan hidup keluarganya. Tidak semua keperluan hidup terpenuhi dari bantuan kemanusiaan berbagai pihak. Tidak semua bantuan yang datang dapat merespon secara spesifik keperluan korban gempa, terutama untuk perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas. Bantuan berbagai pihak dominan berupa makanan, mie instan, minyak goreng atau keperluan anak sekolah. Sensifitas kemanusiaan kita masih dominan pada aspek tersebut.


Mereka, petani garam di Gampong Lancang Paru, merupakan korban gempa bumi. Usaha mereka terdampak langsung dan gempa tersebut menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan mereka. Masyarakat korban gempa Pidie Jaya, khususnya petani garam, bukan saja berhak atas bantuan kemanusiaan pada masa tanggap darurat, dalam konteks hak asasi manusia, kita berkewajiban untuk secara bersama-sama membangun kembali bagian mata pencaharian mereka yang rusak akibat gempa, sebagaimana dimandatkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Bukan “belas kasihan” atau turut serta pada masa tanggap darurat, tetapi akan sangat penting untuk menghidupkan kembali sektor ekonomi dan mata pencaharian petani garam korban gempa oleh pemerintah maupun masyarakat dengan membangun kembali Jambo, Jantan dan menyediakan peralatan kerja sehingga korban bangkit bersama membangun kehidupannya, dengan tetap memperhatikan dan mengakui identitas diri petani garam untuk meningkatkan produksi, meringankan beban kerja, mempersingkat waktu dan alur kerja, meningkatkan harga jual dan menyediakan ruang kerja yang sehat untuk perempuan












Lakukan Promosi Kesehatan Pribadi kepada Anak Korban Gempa, PKPA Gandeng Mahasiswa KKN Unsiyah

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) menggandeng mahasiswa Unsiyah yang sedang KKN di Kecamatan Trienggadeng, Pidie Jaya untuk melakukan dukungan psikososial dan promosi kesehatan pribadi kepada anak-anak korban gempa di Kabupaten Pidie Jaya.

Pelibatan mahasiswa KKN tersebut diantaranya bertujuan untuk menjangkau lebih banyak anak-anak  yang didampingi di gampong.  “Staff dan relawan lokal PKPA terbatas, sementara jumlah anak-anak yang memerlukan dukungan sosial di gampong-gampong jumlahnya sangat banyak sehingga pelibatan mahasiswa diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendampingan,” ujar Ismail Marzuki, Team Leader PKPA, saat melakukan pembekalan aneka permainan anak untuk dukungan psikososial kepada mahasiswa di kawasan pantai Trienggadeng, Jumat, 10/02/2016.

“Sudah beberapa kali kegiatan di gampong dan sekolah, mahasiswa KKN tersebut terlibat dalam kegiatan PKPA, namun kami menilai mereka perlu dibekali tehnik dukungan psikososial dan promosi kesehatan diri untuk diterapkan di gampong tempat mereka KKN,” tambah Ismail.

Menurut Iswandi, mahasiswa Fakultas Kedokteran Unsiyah yang merupakan Ketua Kelompok KKN di Gampong Peulandong Tunong, mengatakan: “keterlibatan kegiatan dengan PKPA dapat meningkatkan kemampuan kami dalam melakukan game-game atau lomba untuk menyenangkan anak-anak di gampong. Kami juga terlibat dalam kegiatan promosi kesehatan diri yang dilakukan PKPA dan ini relevan dengan kami yang berasal dari mahasiswa Fakultas Kedokteran”.

Sementara menurut Habibi Sahidan, Ketua Kelompok mahasiswa KKN di Gampong Peulandok Teungoh, melalui sharing dengan PKPA keterampilan mereka melakukan mitigasi bencana, trauma healing untuk meredam dan menenangkan anak-anak di gampong semakin meningkat. PKPA, kata Habibi, memiliki peralatan dan metode game-game untuk mempromosikan kesehatan diri yang menyenangkan kepada anak-anak dan itu sangat menarik bagi anak-anak. Kami melihat, setelah terlibat dalam permainan ular tangga kesehatan di gampong, anak-anak sangat tertarik dan gembira mengikutinya, dalam permainan itulah pesan-pesan kesehatan diri disampaikan, tambah Habibi.


PKPA sendiri, tambah Ismail, masih akan terus melakukan berbagai dukungan psikososial dan promosi kesehatan kepada anak-anak di Pidie Jaya. “Sampai Maret 2017, kami masih akan bekerja untuk anak-anak korban gempa.” Pungkas Ismail.