PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA SABANG DALAM BIDANG PARIWISATA DAN WIRAUSAHA KREATIF MENYONGSONG PELABUHAN BEBAS

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

I. Sabang dan Sejarah Pelabuhan Bebas
Dalam website Pemerintah Kota Sabang (www.sabangkota.go.id) disebutkan, Sabang dengan luas 39.375 Ha dari segi geografis Indonesia, merupakan wilayah administratif paling barat, dan berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Thailand dan India yang dikelilingi Selat Malaka di Utara, Samudera Hindia di Selatan dan Barat serta Selat Malaka di Timur.

Wilayah Kota Sabang terbagi menjadi dua buah kecamatan yaitu Sukakarya dan Sukajaya. Kecamatan Sukajaya terdiri dari 10 kelurahan, yaitu Kelurahan Paya, Keuneukai, Beurawang, Jaboi, Balohan, Cot Abeuk, Cot Ba'u, Anoi Itam, Ujong Kareung, dan Ie Meulee. Sedangkan di Kecamatan Sukakarya terdapat 8 kelurahan, yaitu Kelurahan Iboih, Batee Shok, Paya Seunara, Krueng Raya, Aneuk Laot, Kota Bawah Timur, Kota Bawah Barat, dan Kota Atas.

Kota Sabang sebelum Perang Dunia II merupakan kota pelabuhan terpenting dibandingkan Singapura. Sejak tahun 1881, masa pemerintahan kolonial Belanda, Sabang telah dikenal sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station. Pada 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai tahun 1895, dikenal dengan istilah vrij haven yang dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station, dikenal dengan nama Sabang Maatshaappij. Perang Dunia II ikut mempengaruhi kondisi Sabang dimana tahun 1942 Sabang diduduki pasukan Jepang, kemudian dibom pesawat sekutu dan mengalami kerusakan fisik hingga ditutup.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintis gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas. Gagasan tersebut diwujudkan dan diperkuat dengan terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 menetapkan Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dan atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Sabang terpaksa dimatikan berdasarkan UU No 10/1985. Pada tahun 1993 dibentuk Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat Sabang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan.

Tahun 1997 di Pantai Gapang, Sabang, berlangsung Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dengan fokus kajian mengembangkan kembali Sabang. Pada 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), diresmikan Presiden BJ Habibie dengan Keppes No. 17, 28 September 1998.
Tahun 2000 Sabang dicanangkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid dengan terbitnya Inpres No. 2 tahun 2000, 22 Januari 2000. Selanjutnya diterbitkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Aktifitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang tahun 2002 mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Namun tahun 2004 aktifitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer. (www.sabangkota.go.id)

Pada tahun 2006, Gubernur Aceh, menerbitkan Surat Kebuptusan yang membentuk Tim Advisori dan Tim Advokasi Percepatan Pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Keputusan ini sebagai follow-up Undang-undang No. 11 Tahun 2006 11 Juli 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang mengamanatkan kepada BPKS melalui Dewan Kawasan Sabang (DKS) untuk pengembangan Pelabuhan Internasional di Sabang (http://www.bpks.go.id)


II. Potensi Pariwisata Sabang
Dalam situs Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Sabang disebutkan sebagai kawasan yang unik dan khusus. Secara geografis Sabang berada pada persimpangan perdagangan dunia, karena berada pada jalur lalu lintas pelayaran (international shipping line). Posisinya begitu penting karena dapat menjadi pintu gerbang arus masuk investasi, barang dan jasa dari luar negeri, termasuk sebagai sentra pengembangan industri padat-teknologi dan tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke seluruh wilayah Indonesia serta negara-negara lain. Hal ini semakin didukung dengan adanya Terusan Kra (Canal Kra) di Thailand yang sedang dibangun, sehingga Sabang dapat menjadi Buffer Zone bagi kapal-kapal container atau kapal-kapal kargo lainnya yang melalui Selat Malaka dan Samudera Hindia (lihat juga dalam http://www.bpks.go.id)

Dari aspek pariwisata, dalam berbagai dokumen disebutkan, letak geografisnya menjadikan Sabang sebagai salah satu objek wisata dengan aneka keindahan alam terutama wisata bahari. Disebutkan, wisata bahari Sabang tidak kalah indah dengan Nusa Penida Bali, Bunaken, Pantai Senggigi di Lombok dan daerah tujuan wisata lain di Indonesia, bahkan di dunia seperti Long Island, Maldives. Misalnya Pulau Rubiah, memiliki kelebihan karena masih hidup banyak biota laut yang di negara-negara lain telah langka atau telah punah seperti ketam kelapa (bigus latro), kima raksasa (tridacna gigas), ikan bulu ayam (lion fish). Selain itu juga kaya dengan tumbuhan ganggang serta terumbu karang warna-warni (diolah dari berbagai sumber).

Master Plan Kawasan Sabang 2007 – 2021 telah menetapkan daerah wisata yang akan dijadikan prioritas dalam pengembangan Kawasan Pariwisata Sabang dalam jangka waktu 5 tahun mendatang yaitu daerah wisata bahari di Iboih dan Gapang. Selanjutnya dikembangkan Kawasan Internasional Resort di Gua Sarang Kampung Paya, Revitalisasi Kota Lama Sabang dan pembangunan wisata bahari di Pantai Nipah (Pulau Nasi). Eksplorasi keindahan alam bawah laut di Iboih dan Gapang akan dilanjutkan hingga ke Pulo Rubiah. Selain pemandangan alam bawah laut, potensi wisata yang dapat dikelola dari Iboih dan Gapang adalah wisata memancing (game fishing). Potensi pariwisata ini merupakan peluang untuk menarik kunjungan wisatawan dunia dengan semua fasilitas berskala internasional (http://www.bpks.go.id)

Adapun potensi obyek wisata alam (nature tourist attraction) di Kawasan Sabang yaitu Taman Laut Pulau Rubiah, Pantai Iboih, Pantai Gapang, Pantai Paradiso, Pantai Tapak Gajah, Pantai Nipah, Pulo Aceh, Atraksi Alam Lumba-lumba, Atraksi Alam Ikan Pari, Pantai Pasir Putih Lhung Angen, Danau Aneuk Laot, Air Terjun Pria Laot, Air Panas Gunung Merapi Jaboi, Air Panas Keuneukai,Tugu KM “0” (http://www.bpks.go.id), demikian juga bangunan-bangunan sisa peninggalan Jepang dan sisa Perang Dunia II maupun berbagai atraksi budaya lokal.


III. Permasalahan Sumber Daya Manusia Kepariwisataan Sabang
Pariwisata merupakan industri jasa. Menurut Kotler; 2000, terdapat lima bagian jasa yaitu; (1) reliability; konsistensi dan kesesuaian pelayanan, (2) responsiveness mencakup kemampuan merespon secara cepat keluhan pelanggan, (3) assurance, kemampuan meyakinkan pelanggan serta memenuhi janji kepada pelangan, (4) emphaty yaitu kepedulian kepada pelanggan, dan (5) tangible, terkait dengan penampilan fisik, peralatan dan media komunikasi yang tersedia.

Dari pengalaman penulis, pengalaman teman-teman serta sumber bacaan yang ada ditemukan beberapa permasalahan dalam industry kepariwisataan Sabang yaitu:

Pertama; otonomi daerah menyebabkan terjadinya persaingan antar kabupaten/kota/provinsi dari aspek acquisition, satisfaction dan retention. Pada satu sisi persaingan ini berdampak terhadap upaya Pemko Sabang meningkatkan daya saingnya, namun di pihak lain kurang diimbangi dengan mempertimbangkan, memperhatikan dan mengkoneksikan dengan pembangunan pariwisata di kabupaten/kota/provinsi atau negara lain. Kemajuan tekhnologi, sarana transportasi maupun perilaku banyak wisatawan yang memiliki lebih dari satu tujuan wisata menuntut komplementaritas dan pengkayaan alternatif wisata. Bahkan diantara lima kabupaten/kota yang menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) andalan di Aceh yaitu Banda Aceh, Sabang, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Singkil hal ini belum akseleratif. Kelima DTW masih nafsi-nafsi dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaannya. Demikian juga dengan kurangnya perluasan Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dalam sektor pariwisata, karena harus diakui market share pariwisata Malaysia dan Thailand lebih baik dibandingkan Indonesia, sementara secara geografis Sabang berdekatan dengan kedua negara tersebut, sehingga diharapkan Sabang menjadi tujuan kedua.

Kedua, masih terkait dengan otonomi daerah, keterbatasan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki terutama pada sektor pariwisata yaitu lemahnya pengetahuan dan keterampilan tentang kepariwisataan berujung pada lemahnya arah kebijakan pariwisata yang disusun serta terbatasnya anggaran Pemerintah Kota Sabang membangun industry pariwisata mengakibatkan pemeliharan sarana dan parasarana kurang mendukung dan kurangnya kegiatan-kegiatan kepariwisataan dalam rangka mendatangkan dan membuat wisatawan berlama-lama tinggal di Sabang.

Tugu Nol Kilometer misalnya, sebagai tempat bersejarah (ujung suatu negara, Indonesia) orang yang berkunjung ke sana akhirnya kecewa karena hanya menjumpai bangunan bisu yang jorok dan penuh coretan. Tak ada yang dapat dilakukan selain berfoto-foto. Bagi yang tidak membawa minuman, siap-siap segera pulang. Fasilitas jalan sebagai salah satu faktor pentingpun nyatanya hanya mulus pada awal pelaksanaan anggaran, rata-rata bertahan 3-4 bulan. Setelah itu jalanan tambal sulam, berlubang atau akhirnya membuat orang mengurungkan niatnya. Demikian juga kebersihan dan kerapian objek wisata. Kita dengan mudah menyaksikan lautan dan pantai-pantai yang indah dihiasi sampah botol bekas minuman, sampah plastik, sampah sisa makanan maupun tumbuhan-dedaunan kering yang tidak dibersihkan. Bahkan itu dilakukan orang-orang di sana. Kitapun semakin miris jika melihat objek wisata seperti benteng Jepang, nyaris tidak terurus atau bahkan beralih fungsi seperti terjadi di salah satu kawasan Sumur Tiga.

Hal-hal di atas mengindikasikan bahwa perencanaan, pengembangan, pengimplementasian dan pengontrolan yang menjamin terselenggaranya sektor pariwisata yang baik dan menarik di Sabang masih belum didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten

Ketiga, pelaku pariwisata Sabang hingga saat ini masih berpuas diri dengan keindahan alam yang ada. Keindahan alam nyatanya sedang mematikan kreatifitas pelaku usaha pariwisata sehingga dari waktu ke waktu objek-objek wisata Sabang tetap begitu-begitu saja. Pelaku pariwisata maupun Pemerintah Kota Sabang kurang menyadari betapa pentingnya diversifikasi produk-produk baru yang kompetitif sesuai selera pasar. Seorang wisatawan asal Filipina, Juli 2009, mengatakan kepada saya; sama sekali tidak ada yang berbeda dengan tiga tahun lalu. Dia juga mengatakan jika tipuan harga yang dilakukan pengelola di Pantai Iboih masih sama saja, dengan menaikkan harga yang tinggi karena dia bukan orang Indonesia. Kita juga belum menyaksikan adanya sinergi antara atraksi budaya-kebudayaan, upacara-upacara misalnya upacara adat laot, pertunjukan seni-budaya Aceh yang kaya dengan aktifitas wisata di Sabang. Padahal atraksi-atraksi semacam ini selain akan melestraikan budaya dan kebudayaan Aceh itu sendiri, juga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, hal ini akan semakin memperkaya pengalaman wisatawan yang menyebabkan mereka merasa senang dan betah tinggal di Sabang.

Dengan hanya menjual alam dan isinya secara apa adanya lamban laun menyebabkan wisatawan meninggalkan Sabang untuk beralih ke tempat atau negara lain yang menawarkan pengalaman lebih menyenangkan dan baru. Ingat, kenikmatan atau ketidak-nikmatan di suatu tempat seperti efek domino, seseorang akan menceritakannya kepada orang lain, secara langsung atau melalui tulisan di media massa

Keempat, terkait dengan point ketiga, sampai saat ini sektor pariwisata di Sabang masih belum didukung ketersediaan produk-produk berupa makanan-minuman atau souvenir yang mencirikan Sabang sebagai daerah wisata bahari, dan penduduknya dominan bermata pencaharian petani dan nelayan. Hanya dua item produk yang menjadi oleh-oleh Sabang yaitu Bakpia dan Kaos Oblong. Keduanyapun mudah didapat di Banda Aceh. Souvenir, anehnya justru ada berasal dari Yogyakarta, Padang, Sumatera Utara atau dari Bali. Di beberapa tempat memang tersedia souvenir berbahan baku binatang laut atau tempurung. Namun souvenir dengan modal dan corak tersebut juga ada di seluruh Indonesia, bahkan model, kerapian dan kualitasnya jauh lebih bagus dan harganya lebih murah.

Dikaitkan dengan pekerjaan utama penduduk Sabang sebagai petani dan nelayan, sektor pariwisata tampaknya belum terkoneksi sehingga produk hasil pertanian dan perikanan belum bersentuhan dengan aspek pariwisata, khususnya sebagai oleh-oleh. Jika di berbagai tempat wisata lain di Indonesia produk pertanian dan perikanan dijual di tempat-tempat wisata; mentah atau telah diolah, maka di Sabang hal ini belum dilakukan, hingga posisi Sabang sebagai salah satu DTW utama di Aceh belum berkontribusi dari aspek ekonomi kepada petani dan nelayan. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan sumber daya manusia penduduk itu sendiri dalam mengkreasi dan mengolah hasil pertanian dan perikanan untuk sektor pariwisata, menyangkut bagaimana seseorang mengolah dan mengemas suatu produk.

Kelima, berkaitan dengan pelayanan. Menurut Oka A.Yoeti (Pengantar Ilmu Pariwisata: 1996) wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan untuk sementara waktu ke daerah atau tempat lain. Karena jauh dari tempat tinggalnya, maka ia memerlukan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, semenjak dia berangkat sampai ke tempat tujuan, selama di tempat tujuan hingga ia pulang ke tempat tinggalnya.

Seperti umumnya tempat wisata di Indonesia, palayanan yang tersedia bagi wisatawan di Sabang boleh disebutkan sangat minimal namun dengan harga maksimal. Pelayanan dimaksud bukan hanya berkaitan dengan fasilitas akan tetapi menyangkut sikap dan perilaku orang-orang yang terkait secara langsung dan tidak langsung. Secara khusus, menyangkut sikap dan perilaku masyarakat pengelola wisata di Sabang banyak aspek negatif menyebabkan seseorang menjadi menyesal, merasa tertipu, kecewa, memutuskan pulang lebih awal dan berjanji tidak akan datang lagi. Sikap seperti ini muncul karena:
a. Harga-harga yang ditetapkan tidak rasional (misalnya di salah satu restorant di pinggir pantai Pulau Rubiah, sepiring mie instant pakai telur dengan masakan hanya direbus seharga Rp. 10.000,- Demikian juga harga sewa boat dan peralatan yang mahal untuk ukuran wisatawan lokal. Pada beberapa item, harga sewa dan jasa menggunakan standard mata uang asing
b. Harga berubah-ubah. Contoh kasus, seorang wisatawan lokal pada pagi hari telah sepakat dengan pemilik boat harga lima empat ekor ikan Rp. 150,000,- Pada sore hari ketika pembayaran, si pimilik memaksa pembeli membayar Rp. 250.000,- dengan alasan dan raut muka memaksa tadi pagi dia salah menyebutkan harga (kejadian di Iboih, Agustus 2009)
c. Perlakuan diskriminatif; karena bukan orang Aceh, orang NGO dan orang bule. Hal ini berkaitan dengan harga suatu barang, harga sewa, jasa maupun pungutan-pungutan yang diberlakukan. Contoh kasus, pada Agustus 2009 di Iboih, ada dikutip biaya parkir kenderaan dan yang meminta adalah anak kecil yang katanya disuruh orang tuanya, dan ada juga yang tidak dikenakan biaya parkir. Kasus perlakuan diskriminatif yang mengarah kepada penipuan dan pemalakan ini bukan hanya di objek wisata, tapi juga sejak kedatangan di Pelabuhan Balohan, dimana supir bus, calo dan pihak-pihak yang memanfaatkan keadatangan wisatawan lokal dan mancanegara untuk kepentingan pribadi seperti harga sewa mobil yang berbeda antara orang lokal dan pengunjung dan praktek-praktek menjengkelkan lainnya.
d. Pelayanan minimal. Hampir di semua tempat wisata di Sabang pelayanan dalam arti sikap dan perilaku yang kurang menghargai dan menyenangkan, terkadang hal ini membuat wisatawan seperti pengemis atau terdakwa

Berbagai sikap dan perilaku disebutkan di atas pada dasarnya ibarat membakar jembatannya sendiri (burn his own bridge), hal tersebut akan menyebabkan wisatawan cepat pulang atau tidak datang lagi. Secara ekonomis hal ini berdampak langsung terhadap masyarakat pelaku pariwisata tersebut, termasuk kepada Pemko Sabang. Dalam teori modernis menyebutnya akibat kesalahan orang itu sendiri dan menurut istilah Maclleland mereka kurang Need for Achivement.

IV. Meningkatkan Kompetensi SDM Dalam Pariwisata dan Wirausaha Kreatif Menyongsong Pelabuhan Sabang
Industri pariwisata dunia telah mengalami globalisasi melalui liberalisasi dan aliansi perdagangan jasa yang tertuang dalam Persetujuan Umum Tarif Jasa (GATS) dimana pada tingkat regional dilaksanakan dengan pemberlakuan AFTA dan AFAS. Hal ini menyebabkan dunia tanpa batas yang bertujuan untuk mempermudah transaksi perdagangan barang dan jasa, sumber daya modal maupun mobilitas manusia. Selain itu, WTO memperkirakan pada abad 21 sektor pariwisata menjadi industri potensial. Diperkirakan ada 1,6 milliar wisatawan tahun 2020, dengan potensi pembelanjaan meningkat lima kali lipat dari tahun 2005, mencapai US$ 2 triliun.

Persaingan antar negara maupun daerah menjadi keharusan jika suatu DTW tidak ingin kehilangan kue pariwisata tersebut. Sabang sendiri, sebagaimana dikatakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sabang, Drs Helmi Ali (Harian Serambi Indonesia, 2/8/2009), saat ini pangsa pasar wisatanya masih didominasi turis backpacker (penyandang ransel). Untuk itu dalam rangka meningkatkan arus kunjungan, lama tinggal serta menarik pangsa pasar turis kelas atas, selain aspek sarana dan prasarana mutlak diperlukan pembangunan kualitas SDM stakeholders pariwisata di Sabang.

Pembangunan kualitas SDM yang dimaksud merujuk pengertian Sosiologi; cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan masyarakat merupakan tenaga pembangunan dan dampak pembangunan. Sosiologi pembangunan menekankan kepada hubungan interaksi masyarakat, diantaranya diwujudkan dengan gotong royong. Aktivitas ini sangat poisitf dalam membangun kohesi sosial; memberikan spirit dan value untuk saling berbagi dan menjaga kelangsungan hidup setiap warga dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan ciri budaya dan kebudayaan asli masyarakat Aceh itu sendiri yang toleran, bersahabat dan bergotong-royong. Dalam konteks terbatasnya anggaran Pemerintah Kota Sabang dalam membangun sektor pariwisata, meningkatnya kualitas dan kuantitas gotong-royong masyarakat akan sangat membantu.

Sebagaimana dinyatakan Flippo (1996:1) penatalaksanaan sumber daya manusia menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian atas pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia, agar tercapai sasaran individu, organisasi dan masyarakat. Untuk itu, merujuk Andrew E. Sikula (1981;145), Pemko Sabang sebagai regulator mutlak memiliki perencanaan yang baik dan dan benar dalam menentukan kebutuhan SDM dengan mempertemukan kebutuhan tersebut agar pelaksanaannya berinteraksi dengan rencana Pemko Sabang dalam pembangunan sektor pariwisata, sehingga berbagai upaya promosi pariwisata yang dilakukan Pemko Sabang dalam menarik kunjungan wisatawan tidak paradox di lapangan, akibat kurang siap dan mendukungnya masyarakat sebagai pelaku dan penerima manfaat dari pembangunan pariwisata tersebut.

Pertama, Pemko Sabang sesuai dengan arah kebijakannya untuk mengembangkan sektor pariwisata bahari, alam maupun budaya hendaknya menentukan kompetensi SDM yang ada pada dinas kepariwisataan. Sebagaimana sektor kesehatan dengan dokter-nya, sektor pendidikan dengan guru-nya, maka sektor pariwisata hendaklah diposisikan secara profesional. Persaingan yang ketat antar negara maupun DTW di dalam negeri menuntut profesionalitas setiap staff pengelola pariwisata. Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang telah ditandatangani negara anggota ASEAN misalnya, menuntut upaya sertifikasi standar pelayanan yang dapat diterima (accepteble) bagi sesama anggota ASEAN.

Sebagai efek pemberlakuan UU No. 29/1999 tentang Otonomi Daerah, instansi kepariwisataan turut berpengaruh dengan adanya perpindahan pegawai dari satu dinas/badan yang tidak relevan, menyebabkan kualitas SDM yang dimiliki (pengetahuan, sikap dan keterampilan) banyak yang lemah tentang kepariwisataan, baik pada aspek perencanaan, penyusunan arah kebijakan, pelaksanaan maupun pengawasan dan evaluasinya. Hal ini diperburuk dengan kurangnya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas SDM dalam instansi kepariwisataan tersebut, baik akibat faktor dana maupun kelemahan mengakses peluang-peluang yang ada. Bahkan, tidak jarang pula mereka yang telah dilatih dan telah mampu beradaptasi dengan tugas dan tanggungjawabnya kemudian dimutasikan lagi ke instansi lain.

Otonomi juga menyebabkan hubungan antara pemerintah pusat dengan provinsi/kabupaten/kota menjadi renggang, padahal tenaga-tenaga ahli kepariwisataan banyak terdapat di instansi di atasnya. Atas nama otonomi pula seringkali tenaga-tenaga ahli tersebut tidak dimanfaatkan dalam meningkatkan kualitas staff di Kota Sabang, misalnya dalam Training of Trainers Pariwisata untuk selanjutnya melatih staff lain, termasuk masyarakat secara terus-menerus.

Kedua, terkait dengan aspek pertama di atas, pengembangan pendidikan kejuruan kepariwisataan (SMK) di Sabang sangat diperlukan, sehingga SDM lokal memiliki kompetensi dalam mengelola dan mengembangkan potensi wisata di daerahnya. Diperlukan adanya model kompetensi manusia pariwisata yang sesuai dengan karakteristik objek wisata dan arah kebijakan pembangunan pariwisata Sabang dengan tetap mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).

Ketiga, meningkatkan kualitas SDM masyarakat. Sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan daerah pariwisata dan wisatawan peningkatan kualitas SDM masyarakat sedemikian penting terus dilakukan mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan setidaknya pada lima aspek bagian jasa sebagaimana dikemukakan Kotler yaitu reliability, responsiveness, assurance, emphaty dan tangible. Menggunakan media-media yang ada seperti Meunasah, Mesjid hingga diskusi warung kopi akan mengurangi formalitas, simbolika maupun dana yang diperlukan. Instansi pariwisata dan stakeholder lain juga sangat penting melaksanakan Training of Trainers berbasis masyarakat sehingga keterbatasan tenaga yang dimiliki pemerintah dapat diatasi.

Tahap berikutnya peningkatan kualitas SDM masyarakat berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam pengemasan daya tarik wisata, diversifikasi produk serta pengembangan kehidupan masyarakat pariwisata (living culture) yang khas dengan memperhatikan arah perubahan hubungan antara para pelaku kepariwisataan sebagaimana disebutkan World Travel and Tourism Council (WTTC) tahun 2003, yaitu (1) kemitraan yang koheren antara para pelaku kepariwisataan, usaha swasta dan pemerintah, (2) penyampaian produk wisata yang secara komersial menguntungkan, namun tetap memberikan jaminan manfaat bagi setiap pihak yang terlibat dan (3) berfokus pada manfaat bukan saja bagi wisatawan yang datang namun juga bagi masyarakat yang dikunjungi serta bagi lingkungan alam, sosial dan budaya setempat.

Keempat, pada level pengembangan produk-produk pariwisata, pemerintah melalui program-program pelatihan keterampilan, pra dan vocational training, entrepreneurship serta bantuan modal usaha hendaklah menekankan kepada apa yang dibutuhkan dalam pengembagan sektor kepariwisataan di Sabang, bukan kepada apa yang dipikirkan oleh pembuat program maupun masyarakat penerima program. Melalaui survey model community employment assessment (CEA) akan diketahui pelatihan sektor apa saja yang relevan dilaksanakan untuk menghasilkan produk souvenir pariwisata yang dibutuhkan konsumen. Pola pelatihan keterampilan dengan mendasarkan kepada jenis kelamin; perempuan menjahit, bordir, membuat kue dan salon, laki-laki pertukangan, perbengkelan, las dan sebagainya, sudah saatnya ditinggalkan. Demikian juga dari aspek penyelenggaraan yang sering manipulative dengan pengurangan jumlah jam maupun kualitas pelatihan. Berbagai pelatihan yang dilaksanakan haruslah mengacu kepada competency based training (CBT) sehingga produk pelatihan tersebut dapat meningkatkan keunggulan daya saing (competitive advantage) sektor pariwisata Sabang

Pada sektor pertanian dan perikanan sebagai mata pencaharian banyak penduduk, juga perlu dilakukan pelatihan-pelatihan bagi petani dan nelayan sehingga antara kedua sektor tersebut dapat dilakukan integrasi dengan usaha pariwisata (tourism business integration) yang akan menguntungkan kedua pihak. Produk ikan asin misalnya, dengan mengemas secara hygienis maka ikan asin Khas Sabang, dapat menjadi oleh-oleh lain, demikian juga produk pertanian seperti ubi-ubian, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Kelima, setelah keempat aspek tersebut terjamin, pada tahap berikutnya adalah peningkatan kualitas SDM dalam aspek promosi, komunikasi dan pemasaran pariwisata. Selama ini ada kecenderungan promosi lebih digalakkan dan dikedepankan akibatnya terjadi perbedaan antara apa yang dipromosikan dan kenyataan di lapangan. Aspek promosi, komunikasi dan pemasaran berkaitan dengan penguasaan tehnologi informasi dan komunikasi yang berkembang, sehingga produk-produk pariwisata yang dipublikasikan tersebut dapat ter-update secara luas hingga ke mancanegara maupun dalam rangka koneksi dengan DTW lain di dalam dan luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar