PERJALANAN SUATU PAGI

Karakteristik Incest di Aceh

Kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh orang-orang yang dianggap sebagai pelindung seperti ayah kandung/tiri, paman, kakek atau abang. Korbannya bukan saja anak perempuan, anak laki-lakipun berpotensi menjadi korban, walaupun dari kasus-kasus terungkap korban umumnya anak perempuan.

Salah satu kekerasan seksual yang dapat dialami anak adalah incest, yaitu hubungan seksual antara anggota keluarga dalam rumah, baik antara kakak-adik kandung/tiri, ayah dengan anak kandung/tiri, paman dengan keponakan atau ibu dengan anak kandung/tiri (Ruth S Kempe & C. Henry Kempe). Pengertian incest lebih luas ialah hubungan seksual yang dilakukan seseorang dalam keluarga atau seseorang yang sudah seperti keluarga, baik laki-laki atau perempuan, seperti ayah kandung, ayah tiri, ibu dari pacar, saudara laki-laki, saudara tiri, guru, teman, pendeta/ulama, paman atau kakek (Jenny Marsh; 1988)

Bentuk-bentuk incest
Dari bentuknya, incest terhadap anak mencakup seluruh perilaku yang berhubungan dengan aktivitas seksual baik yang benar-benar sudah terjadi, masih berupa ancaman, rayuan, iming-iming ataupun yang masih diupayakan diantaranya:
- Ajakan, rayuan dan paksaan untuk berhubungan seks
- Sentuhan atau rabaan seksual seperti pada bibir, buah dada, vagina atau anus
- Penunjukan alat kelamin (exibisionisme)
- Penunjukan hubungan seksual (menyimpang atau tidak)
- Mengelurkan kata-kata porno
- Memaksa melakukan masturbasi
- Memukul vagina atau buah dada
- Meletakkan atau memasukkan benda-benda, jari dan lain-lain ke delam vagina atau anus
- Berhubungan seksual
- Sodomi
- Mengintip
- Mengambil dan menunjukkan foto anak kepada orang lain dengan atau tanpa busana atau ketika berhubungan seks
- Mempertontonkan pornografi atau anak yang digunakan untuk tujuan pornografi (dalam Pendampingan dan Penanganan Anak Korban Incest, Sulaiman Zuhdi Manik, dkk, 2002)

Kasus di Aceh
Sepanjang tahun 2005-2010 beberapa kasus incest terungkap di Aceh. Tahun 2010 di Kabupaten Bener Meriah, pelaku berusia 32 tahun, selama dua tahun, berulangkali memperkosa anak tirinya yang berusia 14 tahun. Korban hamil dan melahirkan. Masih tahun 2010, di Banda Aceh, seorang anak penderita tuna netra berusia 17 tahun diperkosa ayah tirinya berulangkali. Selain itu, korban kerap mengalami kekerasan dari ibunya jika dia tidak mau mengemis. Sementara tahun 2009 beberapa kasus terungkap seperti di Kecamatan Nisam, Aceh Utara, seorang anak diperkosa dan dibawa lari abang iparanya. Lalu di Kecamatan Jeunib, Kabupaten Bireuen, seorang ayah berusia 25 tahun berulangkali memperkosa anak tirinya yang berusia 15 tahun. Kemudian di Kecamatan Blang Mangat Lhokseumawe, ayah memperkosa anak tirinya berusia 17 tahun. Sementara kasus di Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara, seorang anak perempuan berkali-kali diperkosa ayah tirinya hingga korban hamil.

Sebagaimana kasus-kasus incest, secara umum kasus yang terungkap di Aceh memiliki karakteristik sebagai berikut:

Pertama, kasus-kasus disebutkan bukanlah jumlah sebenarnya. Sebagai kasus yang terjadi pada ranah domestic (keluarga/rumah tangga) incest seringkali baru diungkapkan dalam waktu lama atau telah terdapat akibat secara fisik dan psikis atau karena korban sudah tidak tahan lagi terhadap kekerasan yang dialaminya. Selain itu, jikapun diketahui, karena melihat langsung atau diberitahu, pada beberapa kasus ada upaya pihak-pihak untuk menutupinya dengan cara membujuk, merayu atau mengancam atau memindahkan korban ke tempat lain agar tidak diketahui masyarakat setempat. Ada kasus, ibu korban justru memaksa korban agar tidak menceritakan kekerasan tersebut karena jika pelaku ditangkap dan dihukum maka tidak ada lagi yang akan mencari nafkah.

Penutupan kasus seperti ini selain menyebabkan korban tidak memperoleh hak-haknya, akan tetapi efek jera bagi pelaku tidak ada sehingga dimungkinkan dia mengulang perbuatannya. Pada kasus-kasus di provinsi lain, hal ini ditemukan, pelaku ada memperkosa dua sampai tiga orang anak kandung/tirinya dan peristiwa tersebut berlangsung dalam waktu lama, ada sampai 10 tahun atau lebih baru terungkap atau dilaporkan.

Kedua, umumnya disertai ancaman, rayuan dan kekerasan. Ancaman ditujukan kepada korban secara fisik dan psikis maupun kepada orang yang dicintai korban, terutama ibunya. Kepada korban dia diancam jika tidak menuruti keinginan pelaku, dia akan dibunuh, diusir dari rumah, akan disakiti dan berbagai ancaman yang menegaskan “kekuasaannya” terhadap korban. Sementara rayuan, pelaku mengiming-iming korban akan diberikan sesuatu seperti telapon tenggam, pakaian atau uang dan dari kenyataannya janji dan ruyuan tersebut tidak dipenuhi pelaku, menyebabkan korban kecewa dan membuka kasus tersebut.

Ketiga, korban umumnya perempuan dengan usia antara 14-17 tahun, walaupun beberapa kasus ada korban berusia di atas tujuh tahun.

Keempat, antara pelaku dan korban tinggal dalam satu rumah dan masih dalam lingkup keluarga dekat, dari ayah atau ibu.

Kelima, keadaan rumah sempit dan terbuka (kamar tidak memiliki kunci) sehingga pelaku dapat dengan mudah masuk ke kamar korban baik pada siang maupun malam hari. Umumnya kasus tersebut terjadi di kamar korban atau kamar satu-satunya di rumah tersebut, ketika anggota keluarga lain tidur atau pergi. Beberapa pelaku mengatakan, niat tersebut ada ketika dia melihat korban sedang tidur dengan posisi pakaian terbuka, melihat korban yang baru mandi hanya mengenakan handuk, disamping alasan tergiur dengan pertumbuhan fisik si korban.

Keenam, dari kasus yang diamati sepanjang tahun 2005-2010, 95 persen lebih merupakan pemaksaan untuk berhubungan seksual.

Ketujuh, korban dan pelaku yang masih dalam keluarga inti dan umumnya tinggal satu rumah menyebabkan incest terjadi dalam waktu yang lama dan berulang-ulang, diantaranya ada beberapa korban hamil dan melahirkan. Adanya ancaman kepada korban maupun orang yang dicintai korban pada pihak lain turut menjadi faktor pendukung kasus tersebut berlangsung dalam waktu lama. Pada pihak lain, patut diduga, hal ini berhubungan dengan kurang harmonis atau terbukanya komunikasi dalam rumah tangga tersebut, sehingga korban tidak nyaman atau merasa bebas mengungkapkan hal-hal yang terjadi kepadanya kepada anggota keluarganya.

Kedelapan, beberapa pelaku menyatakan adanya hubungan yang kurang harmonis antara dia dan istrinya sehingga dia mengaku terpaksa melakukan hal tersebut kepada anak tiri/kandungnya. Mereka mengatakannya sebagai pelampiasan. Dalam beberapa kasus, hal ini juga dikatakan pelaku kepada korban, sehingga dalam satu kasus korban menganggapnya sebagai bentuk rasa sayang kepada orang tuanya tersebut.

Kesembilan, dari kasus-kasus yang terungkap, belum ditemukan indikasi pelaku adalah pedhopilia (hasrat seksual kepada anak-anak), sebab jika dilihat dari usia, korban umumnya telah menstruasi. Biasanya kaum pedhopilia cenderung memilih korban anak perempuan yang belum menstruasi.

Dampak bagi korban
Dari hasil observasi dan wawancara kepada korban serta analisis pemberitaan media massa, berbagai dampak fisik dan psikis ditemukan sebagaimana umumnya korban kekerasan seksual dan khususnya incest. Dampak tersebut berhubungan dengan:
- Pelaku adalah orang dekat seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, abang ipar atau kakek
- Terjadi secara berulang-ulang
- Berlangsung dalam waktu lama
- Disertai ancaman dan kekerasan pada dirinya atau orang yang dicintai si korban

Beberapa dampak tersebut adalah sangat tertutup, trauma fisik dan psikologis berkepanjangan, menyendiri, mengalami kebingungan dan kekhawatiran takut kepada orang laki-laki dewasa. Dampak lainnya, berkaitan dengan cara kekerasan tersebut dialaminya, serta berapa lama kejadiannya, diantaranya menumbulkan luka atau bekas luka pada bagian tubuh, hingga hamil.

Hal lain, adanya sikap masyarakat setempat yang justru menyalahkan korban. Dengan alasan untuk menjaga nama baik kampung, korban diusir atau dipaksa pindah dan pada kasus lain, korban juga tidak diterima ditempat baru karena dianggap akan membawa sial bagi kampung tersebut. Pengusiran atau tidak menerima korban tersebut justru semakin membuat korban merasa bersalah terhadap apa yang tidak dikehendakinya. Pada beberapa kasus yang ditemukan dan didampingi, keadaan ini semakin memperparah dampak pssikologis yang dialami korban (stress pasca trauma).

Hukuman bagi pelaku
Dari kasus-kasus yang terungkap di Aceh, pelaku dijerat menggunapan pasal-pasal Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan pasal 294 KUHP dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun bagi siapapun yang melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri, atau anak pungutnya, anak peliharaannya atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik, dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa. Pasal lain yang digunakan adalah pasal 285, 287, 291, 294 dan 297 KUHP Jo pasal 81 ayat 1 UU No. 23 tahun 2002 pasal 80 dan 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.

Banda Aceh, 8 Februari 2011