Pariwisata Aceh; dilema harga dan layanan

Menarik membaca berita berjudul Penjual Makanan dan Jasa Angkutan Mark-up Harga, di Harian Serambi Indonesia, 27 Februari 2010. Disebutkan, seorang pejabat Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, telah empat kali tertipu dengan harga, saat makan di rumah makan, restoran maupun café di Banda Aceh. Asisten II Bidang Keistimewaan Pembangunan dan Ekonomi Setda Aceh, juga mengaku sering menerima kekecewaan pelayanan yang diterima wisatawan yang berkunjung ke Aceh.

Ada juga pengalaman teman saat negosiasi rumah sewa di Banda Aceh untuk pembukaan kantor cabang tempatnya bekerja, awal Februari lalu. Hasil nego, disepakati sewa Rp. 30 juta setahun. Diapun mengajukan permohonan dana kepada kantor pusatnya. Ajaib, saat akan membayar, harga naik menjadi Rp. 60 juta/tahun. Bukankah telah disepakati 30 juta? Si pemilik rumah berdalih: saya salah, harganya memang segitu. Masalah bagi teman tersebut, tidak serta merta dia dapat membatalkan akibat perubahan harga tersebut. Si pemilik rumah memaksanya harus menyewa. Katanya, beberapa hari lalu dia menolak pihak lain yang juga ingin menyewa rumah tersebut dengan harga Rp. 80 juta/tahun, jadi dia sudah rugi kalau tak jadi. Masalah lain, teman tersebut tidak mungkin meminta tambahan dana ke kantor pusatnya. Bahkan dia kena damprat atasannya: anda ini main-main atau apa?

Pengalaman tahun 2009 lalu di Iboih, Sabang, ketika membeli ikan kepada nelayan di sana. Pagi hari, delapan ekor ikan disepakati Rp. 150 ribu dan akan diantar ke Pulau Rubiah, tempat kami memanggang ikan tersebut. Semua berjalan lancar, sampai sore hari, saat akan membayar biaya transport antar jemput Iboih-Pulau Rubiah plus ikan tersebut. Harga naik menjadi Rp. 250 ribu. Mengapa naik? Alasannya; salah hitung. Paling ironis tatkala kami memanggil beberapa orang yang menyaksikan negosiasi tadi pagi, si penjual berkata kepada orang tersebut (bahasa lokal); biarkan saja, mereka bukan orang sini, mereka orang NGO. Mendengar itu, dengan bahasa lokal saya menjawab: jadi itu alasannya, kalau sama orang NGO harganya mahal? Kendati terkejut dengan jawaban saya dengan bahasa lokal, si penjual tetap bertahan, katanya setelah ditimbang ikan tersebut melebihi harga semula. Padahal tadi pagi ikan tersebut tidak dibeli kiloan, tapi sesuai jumlah yang dipilih dan ikan tersebut telah dimasukkan dalam kantong plastik. Kejadian itu membuat teman yang berasal dari luar negeri marah dan mengatakan: saya tak akan pernah ke sini lagi, saya juga tak akan rekomendir teman saya ke sini. Ini penipuan!

Contoh lain, berkaitan dengan harga mahal, di salah satu warung di pinggir pantai Pulau Rubiah, Desember 2009, sepiring mie instant pakai telur dengan hanya direbus seharga Rp. 10 ribu. Demikian juga harga sewa boat dan peralatan; tidak terstandar, harga berubah-ubah, tergantung bahasa apa yang digunakan.

Sementara perlakuan diskriminatif; karena bukan orang lokal, karena orang NGO atau orang bule, misalnya di salah satu lokasi wisata di Sabang, ada dikutip biaya parkir kenderaan dan yang meminta anak kecil, katanya disuruh orang tuanya. Namun ada juga kenderaan tidak dikenakan biaya parkir, karena mereka orang lokal. Kasus perlakuan diskriminatif mengarah penipuan dan pemalakan ini sudah terjadi sejak kedatangan di objek wisata seperti harga sewa mobil yang berbeda antara orang lokal dengan pengunjung dari luar.

Ada banyak lagi pengalaman orang-orang dari luar Aceh tentang harga yang berubah dan tidak rasionil. Modusnya beragam, salah hitung, salah sebut, karena yang menyebut harga sebelumnya bukan pengambil keputusan, hingga alasan; di sini harganya memang begitu.

Tsunami, dengan banyaknya orang luar yang datang serta uang beredar, diduga awal mula berbagai praktik tidak fair tersebut. Walaupun kemudian dugaan tersebut menjadi diragukan jika berkaca pada pengalaman di daerah bencana lain seperti gempa di Bantul, Yogyakarta maupun gempa di Sumatera Barat 2009 lalu. Naiknya harga-harga jasa atau barang hanya sementara.

Ungkapan filosof, Rockefeller, mungkin relevan; jika anda tidak puas dengan jumlah kecil, anda takkan pernah puas dengan jumlah besar dan jika anda tidak bermurah hati ketika memiliki sedikit, anda takkan berubah tiba-tiba ketika anda menjadi kaya.


Pariwisata sebagai industri jasa
Pemerintah Aceh dengan visi; terwujudnya pembangunan dan pengembangan potensi budaya dan pariwisata sebagai andalan pertumbuhan ekonomi daerah dengan membuka lapangan kerja dan usaha baru bagi masyarakat. Poin keenam misi, sebagai penjabaran visi tersebut adalah meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan yang mampu membuka peluang lapangan kerja dan usaha baru disektor pariwisata dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah.

Dalam kaitan meningkatkan kunjungan wisatawan, berkaitan dengan pariwisata sebagai industri jasa. Menurut Kotler (2000) terdapat lima bagian penting dalam industri jasa yaitu; reliability yaitu konsistensi dan kesesuaian pelayanan, responsiveness mencakup kemampuan merespon secara cepat keluhan pelanggan, assurance yaitu kemampuan meyakinkan pelanggan serta memenuhi janji kepada pelangan, emphaty yaitu kepedulian kepada pelanggan, dan tangible, terkait dengan penampilan fisik, peralatan dan media komunikasi yang tersedia.

Oka A.Yoeti (1996) mengatakan, wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan untuk sementara waktu ke daerah atau tempat lain. Karena jauh dari tempat tinggalnya, maka ia memerlukan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, semenjak dia berangkat sampai ke tempat tujuan, selama di tempat tujuan hingga ia pulang ke tempat tinggalnya.

Merujuk pendapat Kotler dan Oka di atas, berbagai modus penipuan maupun harga-harga mahal yang tidak sesuai kualitas pelayanan jelas memperburuk market share pariwisata Aceh. Mereka yang sudah berpengalaman pahit tentu tidak akan merekomendir tempat wisata yang pelayanannya buruk. Orang menyesal, merasa tertipu, kecewa, memutuskan pulang lebih awal dan berjanji tidak datang lagi. Pelaku pariwisata, sadar atau tidak telah membakar jembatannya sendiri (burn his own bridge). Secara ekonomis hal ini berdampak langsung terhadap masyarakat pelaku pariwisata, termasuk kepada pemerintah setempat. Teori modernis menyebutnya sebagai kesalahan orang itu sendiri. Betatapun memikatnya objek wisata yang tersedia, tapi jika pelayanannya tidak reliability maka orang akan mengabaikan.

Meningkatkan SDM pariwisata Aceh
Industri pariwisata dunia telah mengalami globalisasi melalui liberalisasi dan aliansi perdagangan jasa yang tertuang dalam Persetujuan Umum Tarif Jasa (GATS), pada tingkat regional melalui pemberlakuan AFTA dan AFAS. Dunia menjadi tanpa batas, transaksi perdagangan barang dan jasa, sumber daya modal maupun mobilitas manusia menjadi mudah. Selain itu kemajuan tekhnologi, sarana transportasi dan perilaku banyak wisatawan yang memiliki lebih dari satu tujuan wisata menuntut komplementaritas, pengayaan alternatif wisata, peningkatan fasilitas dan kesiapan sumber daya manusia pariwisata di suatu lokasi.

Sementara itu, otonomi daerah menyebabkan terjadinya persaingan antar kabupaten/kota/ provinsi dari aspek acquisition, satisfaction dan retention. Persaingan ini berdampak terhadap upaya setiap daerah meningkatkan daya tarik dan keunggulan daya saing (competitive advantage). Dalam konteks lebih luas, juga terjadi persaingan antar negara memperebutkan kue pariwisata yang besar tersebut. Aceh sendiri, selama ini masih dominan kebagian kue wisatawan backpacker (penyandang ransel).

Menjadikan Aceh sebagai salah satu destinasi wisata andalan nasional yang berbasis pada Agama Islam dan pelestarian nilai-nilai budaya, selain aspek sarana dan prasarana mutlak diperlukan pembangunan kualitas sumber daya manusia pariwisata Aceh merujuk pengertian Sosiologi; cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan masyarakat merupakan tenaga pembangunan dan dampak pembangunan. Sosiologi pembangunan menekankan hubungan interaksi masyarakat untuk terbangunnya kohesi sosial; memberikan spirit dan value untuk saling berbagi dan menjaga kelangsungan hidup setiap warga dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan ciri budaya dan kebudayaan masyarakat Aceh yang toleran, bersahabat dan bergotong-royong.

Flippo (1996) menyatakan, pengembangan sumber daya manusia menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian atas pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia, agar tercapai sasaran individu, organisasi dan masyarakat. Merujuk Andrew E. Sikula (1981), pemerintah Aceh harus memiliki perencanaan yang benar dalam menentukan kebutuhan SDM agar pelaksanaannya berinteraksi dengan rencana pemerintah pada sektor pariwisata, sehingga berbagai upaya promosi yang dilakukan dalam menarik wisatawan tidak antiklimaks di lapangan, akibat kurang siapnya masyarakat sebagai pelaku dan penerima manfaat dari pembangunan pariwisata tersebut. Sikap tidak profesional oknum-oknum dalam memberikan pelayanan jangan sampai merusak citra pariwisara Aceh secara umum.

Peningkatan kualitas SDM penting dilakukan mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan setidaknya pada lima aspek bagian jasa seseperti dikemukakan Kotler yaitu reliability, responsiveness, assurance, emphaty dan tangible. Menggunakan media-media yang ada seperti Meunasah, Mesjid hingga diskusi warung kopi akan mengurangi formalitas, simbolika maupun dana yang diperlukan. Instansi pariwisata dan stakeholder lain juga sangat penting melaksanakan Training of Trainers berbasis masyarakat sehingga keterbatasan tenaga yang dimiliki pemerintah dapat diatasi.

Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional tersebut bukan hanya kepada awak-awak pariwisata secara langsung, akan tetapi termasuk kepada petani, nelayan, pedagang, sektor transportasi dan masyarakat secara umum, karena keseluruhannya berintegrasi secara langsung dengan usaha pariwisata (tourism business integration) dimana hubungan yang saling mendukung akan menguntungkan pihak-pihak tersebut.

Tahap berikutnya peningkatan kualitas SDM masyarakat berkaitan dengan pengetahuan, sikap profesional dan keterampilan dalam pengemasan daya tarik wisata, diversifikasi produk serta pengembangan kehidupan masyarakat pariwisata (living culture) yang khas dengan memperhatikan arah perubahan hubungan antara para pelaku kepariwisataan sebagaimana disebutkan World Travel and Tourism Council (WTTC) tahun 2003, yaitu kemitraan yang koheren antara para pelaku kepariwisataan, usaha swasta dan pemerintah, penyampaian produk wisata yang secara komersial menguntungkan namun tetap memberikan jaminan manfaat bagi setiap pihak yang terlibat dan berfokus pada manfaat bukan saja bagi wisatawan yang datang namun juga bagi masyarakat yang dikunjungi serta bagi lingkungan alam, sosial dan budaya setempat.

Tes Baru Deteksi Gen Autis

Selasa, 16 Maret 2010 | 11:19 WIB

Sumber:http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/16/11190591/Tes.Baru.Deteksi.Gen.Autis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tipe terbaru tes genetik untuk mendeteksi abnormalitas gen pada anak yang mengarah pada autisme dinilai lebih akurat dibandingkan standar tes yang selama ini ada. Demikian kesimpulan studi terkini.

Dalam penelitian tersebut, para ahli memberikan tiga pilihan jenis tes pada 933 orang berusia 13-22 tahun yang pernah didiagnosis autis. Tiga jenis tes itu, yakni G-banded karyotype tes, chromosomal microarray analysis (CMA), dan fragile X testing. Ketiga tes tersebut merupakan jenis tes yang sudah banyak dipakai.

Karyotype test mengenali lanturan (aberasi) kromosom yang terkait dengan autis sebanyak 2 persen, sementara fragile X mutasi genetik ditemukan pada 0,5 persen pasien. Sedangkan CMA berhasil mendeteksi kelainan kromosom lebih dari 7 persen pada pasien. Perbedaan hasil yang signifikan ini dinilai memiliki tingkat keakuratan yang lebih besar. Oleh sebab itu, para ahli menyarankan agar CMA menjadi tes pertama untuk mengetahui sindrom autisme pada anak.

Tujuan dari dilakukannya tes genetik pada anak yang autis adalah membantu orangtua menentukan apakah jika nanti hamil lagi mereka akan memiliki anak yang juga autis atau tidak.

Apabila hasil tes menemukan kromosom yang tidak normal pada anak, orangtua juga perlu melakukan tes. Jika ditemukan gen yang abnormal, bisa disimpulkan orangtua tersebut berisiko tinggi memiliki anak autis lagi. Namun, jika ternyata gennya normal, ada kemungkinan terjadi duplikasi sehingga risiko memiliki anak autis lebih rendah.

"Pada sebagian besar kasus, kami meyakini paling tidak ada kecenderungan genetik pada terjadinya autis, tetapi kemampuan tes yang ada untuk mengidentifikasi gen yang spesifik itu sulit karena teknologinya belum ada. Selain itu, secara umum para ahli memang belum bisa menentukan secara pasti mekanisme genetik yang memicu autis," kata Dr Robert Marion, ahli genetik anak dari Montefiore Medical Center, New York, Amerika Serikat.

Saat ini standar praktis untuk menguji apakah seorang anak menderita autis adalah dua jenis tes genetik, yakni karyotype dan fragile X testing, yang sudah dikenal sejak 1960-an.

Seperti halnya karyotyping, CMA juga melihat kromosom yang tidak normal, tetapi 100 kali lebih akurat. CMA bisa mengenali submikroskopik duplikasi DNA yang disebut varian ulang nomor yang dikaitkan dengan autisme.

Kromosom bisa diibaratkan sebuah perpustakaan dan tiap buku adalah gennya. "Apa yang kita cari adalah buku yang sampulnya sudah hilang yang menggambarkan hilangnya fragmen kromosom atau ekstra fragmen kromoson yang mengandung gen autis," kata Dr David Miller, ahli genetik.

Meski begitu, masih banyak hal yang belum bisa diungkap oleh para pakar genetik. Sebanyak 10-15 persen kasus autisme tidak berasal dari kelainan genetik. Semuanya masih misterius.

Tes Baru Deteksi Gen Autis

Selasa, 16 Maret 2010 | 11:19 WIB

Sumber:http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/16/11190591/Tes.Baru.Deteksi.Gen.Autis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tipe terbaru tes genetik untuk mendeteksi abnormalitas gen pada anak yang mengarah pada autisme dinilai lebih akurat dibandingkan standar tes yang selama ini ada. Demikian kesimpulan studi terkini.

Dalam penelitian tersebut, para ahli memberikan tiga pilihan jenis tes pada 933 orang berusia 13-22 tahun yang pernah didiagnosis autis. Tiga jenis tes itu, yakni G-banded karyotype tes, chromosomal microarray analysis (CMA), dan fragile X testing. Ketiga tes tersebut merupakan jenis tes yang sudah banyak dipakai.

Karyotype test mengenali lanturan (aberasi) kromosom yang terkait dengan autis sebanyak 2 persen, sementara fragile X mutasi genetik ditemukan pada 0,5 persen pasien. Sedangkan CMA berhasil mendeteksi kelainan kromosom lebih dari 7 persen pada pasien. Perbedaan hasil yang signifikan ini dinilai memiliki tingkat keakuratan yang lebih besar. Oleh sebab itu, para ahli menyarankan agar CMA menjadi tes pertama untuk mengetahui sindrom autisme pada anak.

Tujuan dari dilakukannya tes genetik pada anak yang autis adalah membantu orangtua menentukan apakah jika nanti hamil lagi mereka akan memiliki anak yang juga autis atau tidak.

Apabila hasil tes menemukan kromosom yang tidak normal pada anak, orangtua juga perlu melakukan tes. Jika ditemukan gen yang abnormal, bisa disimpulkan orangtua tersebut berisiko tinggi memiliki anak autis lagi. Namun, jika ternyata gennya normal, ada kemungkinan terjadi duplikasi sehingga risiko memiliki anak autis lebih rendah.

"Pada sebagian besar kasus, kami meyakini paling tidak ada kecenderungan genetik pada terjadinya autis, tetapi kemampuan tes yang ada untuk mengidentifikasi gen yang spesifik itu sulit karena teknologinya belum ada. Selain itu, secara umum para ahli memang belum bisa menentukan secara pasti mekanisme genetik yang memicu autis," kata Dr Robert Marion, ahli genetik anak dari Montefiore Medical Center, New York, Amerika Serikat.

Saat ini standar praktis untuk menguji apakah seorang anak menderita autis adalah dua jenis tes genetik, yakni karyotype dan fragile X testing, yang sudah dikenal sejak 1960-an.

Seperti halnya karyotyping, CMA juga melihat kromosom yang tidak normal, tetapi 100 kali lebih akurat. CMA bisa mengenali submikroskopik duplikasi DNA yang disebut varian ulang nomor yang dikaitkan dengan autisme.

Kromosom bisa diibaratkan sebuah perpustakaan dan tiap buku adalah gennya. "Apa yang kita cari adalah buku yang sampulnya sudah hilang yang menggambarkan hilangnya fragmen kromosom atau ekstra fragmen kromoson yang mengandung gen autis," kata Dr David Miller, ahli genetik.

Meski begitu, masih banyak hal yang belum bisa diungkap oleh para pakar genetik. Sebanyak 10-15 persen kasus autisme tidak berasal dari kelainan genetik. Semuanya masih misterius.