Anak-anak Korban Gempa Padang Tidak Terdata PKPA Ingatkan Pemerintah akan Bahaya ESKA


Memasuki hari keempat pasca gempa 7,6 pada Skala Richter yang mengguncang Sumatera Barat, berdasarkan pemantauan tim kemanusiaan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dari sejumlah Posko Tanggap Darurat baik pemerintah maupun non pemerintah, anak-anak yang menjadi korban gempa di Padang belum terdata secara khusus, sehingga sangat potensial menjadi korban Ekspoitasi Seksual Komersial Anak (ESKA).

Hal itu disampaikan Kordinator ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian, SH, MA kepada wartawan di Medan, Minggu (4/10).

“Pada situasi bencana anak-anak sangat rentan terhadap penyalahgunaan, perlakukan salah, terutama rawan dieksploitasi secara seksual,” kata Sofian.

Padahal, lanjutnya, baik instrument kemanusiaan, standar minimal penanggulangan bencana mampun Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana telah menegaskan, anak-anak termasuk kelompok rentan yang harus mendapat perlindungan khusus dalam situasi darurat.

Data yang dihimpun oleh Posko PKPA dari Satkorlak di Kota Padang hingga Sabtu siang (12.00 WIB) menyebutkan, dari 535 korban meninggal dunia, dengan daerah sebaran Kota Padang (230), kota Pariaman (49), Bukit Tinggi (7), Solok (4), Padang Pariaman (211), Kabupaten Agam (24), Pasaman Barat (3) dan Pesisir Selatan (7).

Sementara untuk korban luka berat 323 orang dan luka ringan 2570 yang berasal sejumlah daerah.

Menurut Sofian, anak-anak yang orang tua meninggal akan kehilangan keluarga utama atau keluarga pengganti yang akan melindungi mereka. Kondisi ini perlu diwaspadai, karena sangat potensial dimanfaatkan oleh orang lain mencari keuntungan.

”Berbagai temuan PKPA selama penanggulangan tanggap bencana baik di Aceh dan Nias, maupun di Yogya-Jateng, keputusasaan warga korban bencana karena kesulitan hidup atau kehilangan harta benda juga sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang menyaru sebagai relawan untuk melakukan kejahatan trafficking dengan iming-iming pekerjaan dan sebagainya,” jelas Direktur PKPA itu.

Sofian menerangkan, data yang dihimpun oleh Kordinator Emergency Aid PKPA yang saat sedang melakukan assessment di sejumlah titik di Sumatera Barat menyebutkan, saat ini ribuan relawan telah masuk ke Sumatera Barat, baik dari dalam maupun luar negeri.

Dari luar negeri disebutkan antara lain, Singapura, Australia, Amerika Serikat, Jepang, Perancis dan Jerman. Untuk relawan lokal, berasal sejumlah daerah di Indonesia yang berasal Sumatera, Jawa, Bali dan Makassar.

”Kami tidak ada maksud mempolitisir atau mendramatisir situasi, namun, bila sistem kordinasi, distribusi dan reaksi terhadap anak-anak longgar seperti lemahnya pendataan, itu berarti pemerintah tidak bisa belajar dari pengalaman yang sudah-sudah,” tukasnya.

Perkuat NGO Lokal
Situasi anak-anak yang menjadi korban gempa Sumatera Barat sangat memprihatinkan, terutama anak-anak yang mengalami trauma pasca gempa.

Berdasarkan pantauan tim relawan PKPA ke sejumlah kelompok keluarga yang mengungsi ke rumah sanak saudaranya, terdapat beberapa anak yang sering mengalami ketakutan.

”Memang di sini, kami belum ada menemukan posko pengungsian di tenda-tenda darurat, melainkan beberapa keluarga berkumpul di satu kediaman, mungkin ini sudah menjadi tradisi masyarakat,” kata Misran Lubis, Kordinator Emergensy Aid PKPA di Padang, Sabtu (3/10).

Menurut Misran, penanganan masalah trauma anak dan psikososial pasca gempa tampaknya akan mengalami banyak hambatan karena di Sumatera Barat belum ada lembaga non pemerintah (NGO) atau LSM yang konsern pada masalah anak, apalagi yang berpengalaman dalam penanganan anak dalam situasi emergency.

”Pemerintah harusnya cepat tanggap dan memperkuat LSM lokal di Sumatera Barat, agar bisa mencegah dan meminimalisir terjadinya tindakan eksploitasi atau terganggunya tumbuh kembang anak karena trauma,” cetus Misran. (Sumber: Jufri Bulian Ababil, Media Officer PKPA, 081375724945)