Darurat Kekerasan di Sekolah

Pengeluaran  anak didik dari sekolah, masih terjadi. Setidaknya, satu kasus pengaduan dari orang tua anak diterima Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) November 2017.

Di satu sekolah menengah kejuruan di Kota Tebing Tinggi, seorang anak didik yang sedang magang di satu pusat perbelanjaan diketahui mengambil satu jenis es krim dan memakannya. Kasus tersebut sebenarnya telah selesai secara restoratif justice di kepolisian, namun guru pembimbing dan kepala sekolah berpandangan lain, si anak dan tiga rekannya dikeluarkan dari sekolah.

Mengeluarkan anak bermasalah dari sekolah bukan kasus di atas saja. Ada beragam cara dan bentuk pelepasan tanggungjawab sekolah terhadap anak-anak bermasalah dengan hukum yaitu anak sebagai korban, pelaku maupun saksi. Sekolah, tidak mau repot, apalagi kepentingan peserta didik lain sering dijadikan alasan. Solusi jangka pendek selalu dipandang sebagai kebaikan. Sekolah melepaskan tanggungjawab dan kewajibannya.

Tindakan tidak bertanggungjawab. Sekolah justru dipertanyakan peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan maupun guru bimbingan yang ada di sekolah tersebut. Sekolah bukan saja bertugas menertibkan anak-anak selama dalam pengawasannya. Sekolah memiliki mandat untuk mendidik dan mengajar setiap anak. Guru sangat berperan membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal (Mulyasa: 2005:10). Perilaku anak di luar sekolah  dipengaruhi bagaimana si anak dibentuk di sekolah. Jika  ada anak bermasalah secara hukum dalam proses belajar-mengajar, maka mungkin di sekolahnya juga ada masalah.

Dilema Pendidik
Pendidik dan tenaga kependidikan sekarang sering mengeluh berujung diam terhadap sikap-perilaku anak zaman now yang personalitinya dianggap sulit dikendalikan. Rujukan pengalaman dididik dulu tidak efektif diterapkan, malah dapat berujung fatal. Beberapa berkata; sejak ada undang-undang perlindungan anak pendidik tidak bebas lagi mengajar. Mereka merasa dikekang karena dicubit sedikit saja muridnya, orang tuanya sudah melapor ke polisi. Makanya ada pendidik mengusulkan agar diberikan diskresi menerapkan hukuman di sekolah.

Pengetahuan dan keterampilan pendidik kurang terupdate. Malah, masih ada bersikap seperti raja yang tak pernah salah atau menakuti untuk menenteramkan peserta didik. Terjadi pergeseran makna pendidikan yang holistik akibat sikap dan budaya pendidik dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pada beberapa kasus keterikatan yang saling memerlukan (sekolah dan peserta didik) didasari oleh besaran dana yang akan diterima. Kuantitas peserta didik menjadi target karena terkait dengan alokasi anggaran dan pencapain jam mengajar.

Kegundahan peserta didik terhadap beban pelajaran, suasana kelas membosankan hingga konflik antar peserta didik, pendidik hingga kepala sekolah, secara langsung berimbas kepada peserta didik. Frustasi, skeptisme hingga ketidak-sukaan kepada elemen-elemen sekolah tidak jarang berujung kepada sikap frustasi atau mengambil jalan pintas. Kekerasan terhadap anak hingga menuding anak sebagai pembawa masalah di sekolah diantara wujud sekolah kita.

Gugus Tugas di Sekolah
Pengeluaran peserta didik dari sekolah, bullying dan perilaku negatif lain sesungguhnya tidak akan terjadi jika seluruh lembaga pendidikan telah memahami dan menerapkan secara utuh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Permen ini menakankan pentingnya setiap lembaga pendidikan melakukan tindakan pencegahan untuk menciptakan lingkungan satuan pendidikan yang bebas dari tindak kekerasan, membangun lingkungan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta jauh dari tindak kekerasan antara lain dengan  membentuk tim pencegahan tindak kekerasan dengan keputusan kepala sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa dan  perwakilan orang tua/wali. Gugus tugas sekolah tersbutlah bertugas untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan hukum terhadap anak didik terutama dalam proses belajar-mengajar.

Lembaga pendidikan diwajibkan menyusun dan menerapkan Prosedur Operasi Standar (POS) pencegahan tindak kekerasan dengan mengacu kepada pedoman yang ditetapkan Kementerian dan melakukan sosialisasi POS dalam upaya pencegahan tindak kekerasan kepada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, komite sekolah dan masyarakat.

Permen ini menegaskan bahwa dalam penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan tidak reaktif-emosional dengan mengeluarkan anak didik, tatapi mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, pertumbuhan dan perkembangannya, persamaan hak (tidak diskriminatif), mempertimbangkan pendapat peserta didik, tindakan yang bersifat edukatif dan rehabilitatif dan perlindungan terhadap hak-hak anak dan hak asasi manusia.

Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 3 tahun 2016 tentang penerapan regulasi baru di tahun pelajaran 2016/2017 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia menekankan bahwa kekerasan terhadap anak sebagai situasi yang teramat penting dan darurat untuk diselesaikan, sehingga Kemendikbud mendorong setiap sekolah dan daerah memiliki prosedur dan jaring pengaman dalam pencegahan dan menanggulangi kekerasan terhadap anak.

Penutup
Keikhlasan sekolah menerapkan Permen 82/2015 secara aktif dan holistik, tidak bermakna pengakuan bahwa di sekolah tersebut darurat kekerasan terhadap anak. Permen ini menekankan aspek pencegahan sebagai aspek utama dengan menjalin kolaborasi terbuka dengan orang tua dan siswa dan simpul jejaring lain. 

Opini ini telah dipublikasikan di: http://harian.analisadaily.com/opini/news/darurat-kekerasan-di-sekolah/471380/2017/12/18

Bappeda Kota Gunungsitoli Komitmen Beri Ruang Partisipasi Anak

Gunungsitoli/13/12/2017. Forum Anak Kota Gunungsitoli (FAKOLI) didampingi Dinas Pengendalian Penduduk, Ppemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas (P5A) Kota Gunungsitoli dan PKPA Cabang Nias lakukan hearing kepada BAPPEDA di  Gunungsitoli (Selasa 21/12/2017) sebagai tindak lanjut audiensi FAKOLI kepada Walikota Gunungsitoli akhir November 2017 lalu.

Hearing yang diikuti 20 orang dari pengurus dan anggota FAKOLI tesebut dilakukan di ruang rapat Bappeda Kota Gunungsitoli diterima Sekretaris BAPPEDA, Karya Septianus Batee, SSTP, MAP, didampingi  Kasubbag Umum, Kasubbag Program, Kepada Bidang dan beberapa staff.

Ketua FAKOLI, Tania Ziliwu, setelah memperkenalkan pengurus FAKOLI juga  menyampaikan tujuan FAKOLI sebagai wadah partisipasi anak dan mengingatkan kembali pentingnya keterlibatan anak dalam perencanaan, proses dan evaluasi pembangunan  Gunungsitoli.

“Kami berharap Pemerintah Gunungsitoli dapat melibatkan forum anak dalam Musrenbang. Kita sedang berupaya menjadikan Gunungsitoli sebagai Kota Layak Anak, maka hal tersebut akan tampak pada tingkat partisipasi anak dan pemenuhan hak anak di Gunungsitoli, serta anggaran-anggaran yang responsif hak anak” ujar Tania. “Kamipun telah mengajukan program kegiatan yang nantinya akan kami laksanakan tahun 2018” tambah Tania Ziliwu.

Staf Community and Child Development PKPA Cabang Nias menambahkan bahwa anak memiliki sejuta ide untuk membangun Gunungsitoli, oleh sebab itu sangat diharapkan Pemerintah dapat mendengar suara anak, melalui Forum Anak Kota Gunungsitoli.

Sekretaris BAPPEDA Gunungsitoli mengapresiasi kedatangan Forum Anak tersebut, karena Pemerintah sangat memerlukan saran dan kritik untuk membangun Kota Gunungsitoli. "BAPPEDA berjanji akan mengundang dan melibatkan FAKOLI mulai dari konsultasi publik, asistensi dan musrenbang RKPD  tahun 2018. Selain itu, BAPPEDA juga berjanji akan menyampaikan kepada Walikota Gunungsitoli untuk  menerbitkan surat edaran terkait pelibatan anak pada setiap rapat atau musyawarah yang berkaitan dengan anak ke masing-masing SKPD se Kota Gunungsitoli, " tegas Sekretaris BAPPEDA, Karya Septianus Batee, SSTP, MAP.

Ditanyakan soal anggaran pembinaan FAKOLI, menurut Sekretaris BAPPEDA, hal itu telah ditampung di APBD 2018 dan nantinya akan masuk pada anggaran Dinas P5A. Pemerintah Kota Gunungsitoli sedang mempersiapkan sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, dan lingkungan ramah anak.


Menurut Yendri Caniago, Kepala Seksi Perlindungan Anak Dinas P5A Kota Gunungsitoli, tahun 2017, FAKOLI telah mendapatkan dana pembinaan, fasilitas mengikuti jambore anak, pertemuan forum anak tingkat provinsi hingga nasional. “Kami akan mendampingi kegiatan-kegiatan FAKOLI kedepan” ujar Yendri Caniago.

Anak-anak Suarakan Pentingnya Kontribusi Perusahaan untuk Pemenuhan Hak Anak melalui Film dan Teater

Medan, 13 Desember 2017. Anak-anak di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh suarakan pentingnya setiap perusahaan berkontribusi dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. Pandangan tersebut disuarakan melalui film fiksi, dokumenter dan pementasan teater yang mengikuti Festival Film Anak (FFA) dan Festival Teater Anak (FTA) 2017 yang diselenggarakan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) bekerjasama dengan SDF dan Opic Picture.

Suatu perusahaan tidak lagi semata-mata bertujuan ekonomis atau tujuan sosial dalam menyediakan barang atau jasa kepada konsumen. Setiap perusahaan secara suka rela harus memenuhi prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia melalui kontribusi nyata pada pemenuhan hak-hak dan perlindungan anak.

Children Rights and Business principal (CRBP) atau prinsip dunia usaha dan hak anak secara global telah diluncurkan Maret 2012 dan di Indonesia CRBP dikampanyekan sejak 2013 dan tahun 2017 ini PKPA memilih BISNIS dan HAK-HAK ANAK sebagai tema FFA-FTA dengan tujuan agar perusahaan meningkat perannya dalam usaha pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan anak.

Selama enam bulan proses pelaksanaan FFA-FTA 2017 dudukung sponsor KNH, ICCO, PT.Tirta Sibayakindo, Bank Sumut, Neko Neko Bakery & Cake, Faber Castell dan  Yayasan Smile ini, PKPA mengajak berbagai komunitas film dan teater anak di Sumatera Utara dan Aceh untuk ikut mengkampanyekan pentingnya kontribusi perusahaan untuk pemenuhan hak anak. Dari berbagai kegiatan yang dilakukan PKPA, sebanyak 19 film terdiri dari 11 film fiksi dan delapan film dokumenter mengikuti FFA-FTA 2017. Festival teater diikuti 11 kelompok.

Pemenang FFA dan FTA 2017
Juara pertama FFA 2017 untuk film fiksi dengan judul Aduh Makk !! karya Medan Art of Cinematography,  juara kedua film berjudul ASA karya Movie Maker Muslim Medan dan juara ketiga Aku Ilham karya Smile Program Medan. Juara harapan I-III film fiksi adalah Ketika Harus Memilih (Ninestar SMKN 9 Medan), Siapa yang Salah (Forum Anak Gunungsitoli) dan Secarik Pilu (Kita Kita Production).

Juara I-III kategori film dokumenter adalah Menembus Batas (Movie Maker Muslim Medan), Rumah Momong (Amal Tani Production Langkat) dan Mimpi Jalanan (Komunitas Film Simalingkar, Medan). Sedangkan juara harapan I-III dokumenter adalah Harapan Anak Sampah (SMK BBC Medan), Bukan Akhir Kisahmu (Teenage Picture, Medan) dan Asa Tangan-tangan Kecil (Poli Yafsi, Medan).

Pemenang kelompok teater anak yaitu juara I-III, Mana Taman Bermain Kami (Teater Rawit Medan), Mimpi Kesatria (Teater 8 Medan), Rumah Matahari (Teater Temuga Medan) dan juara Teater Sasada Medan). Juara harapan I-III teater yaitu Sebuah Mimpi (Teater Sasada Medan), Senja Pinggiran Kota (Teater Tabel) dan Layang-layang (Teater Enceng Gondok)

Yayasan PKPA atas dukungan Parfi Sumut dan Yayasan Smile serta beberapa perusahaan akan tetap melakukan pembinaan kepada komunitas film dan teater anak di Sumatera Utara sehingga pengetahuan dan keterampilan anak meningkat khususnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengkampanyekan pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan anak.


Program yang akan dilaksanakan antara lain pelatihan penulisan skenario atau cerita, pelatihan tehnik produksi film, editing, pendalaman materi tentang anak, hingga pementasan teater atau pemutaran film produksi anak di komunitas-komunitas dampingan PKPA di Sumatera Utara dan Aceh. 

Forum Anak Deli Tua Dikukuhkan

Deli Tua. Anak-anak di Kelurahan Deli saat ini sudah memiliki wadah untuk berpartisipasi dan menyatakan pandangannya dengan dibentuknya Forum Anak Kelurahan Deli Tua, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang. Kepengurusannya dibentuk melalui Keputusan Lurah Deli Tua Nomor 1431/12/2017.
 
Pengukuhan pengurus dilakukan dalam rangkaian Promosi Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Gedung Madrasah Islamiah, Deli Tua, Minggu, 10/12/2017, yang dihadiri Camat Deli Tua, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Deli Serdang dan jajaran, PPL KB, tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat setempat.

Lurah Deli Tua, Sueb, S.Sos, mengatkan, forum anak tersebut dibentuk menindaklanjuti Keputusan Bupati Deli Serdang Nomor 369 tahun 2011 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak Kabupaten Deli Serdang.

“Forum anak ini diharapkan akan menjadi sarana bagi anak-anak di Kelurahan Deli Tua untuk menyalurkan aspirasinya, sehingga mereka dapat berfikir kritis dan peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di Kelurahan Deli Tua.” Jelas Sueb S.Sos.

Ditambahkan Sueb, forum anak yang diketuai Meutia Anggraini tersebut, nantinya akan menjadi kader-kader perubahan serta motivator bagi anak-anak di kelurahan. “Jadi besar harapan kita agar organisasi ini dapat aktif terus”, harap Sueb.

Sebanyak 21 orang anak tergabung dalam kepengurusan forum anak dengan Ketua Meutia Anggaini dan Sekretaris Nurul Huda. Selain itu, kepengurusan juga dilengkapi wakil ketua, bendahara, bagian kehumasan, kreativitas dan bagian perlengkapan.

Misran Lubis, Senior Officer, dalam sambutannya menjelaskan PKPA mendukung Forum Anak Deli Tua mulai dari proses pembentukan hingga beberapa kegiatan. “Minggu depan PKPA akan melibatkan mereka dalam pemetaan situasi anak di Kelurahan Deli Tua, sehingga diketahui apa saja kekuatan dan aspek yang harus ditingkatkan perbaikannya kedepan. Sebanyak 350 orang anak di kelurahan akan mereka wawancarai” pungkas Misran

ABH Jangan Distigma

Ketika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1/2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak ditandatangani Presiden RI, 25 Mei 2016, ada bertanya; apakah anak akan dikebiri, diberatkan hukuman, dipasang chip dan direhabilitasi?
 
Amarah keluarga korban perkosaan kepada pelaku berusia anak yang menghendaki agar si pelaku dipenjara seumur hidup atau hukuman mati, dapat dimengerti. Keluarga, pantas marah, apalagi korban ada sampai dibunuh dan pelaku bukan satu orang. 
 
Perdebatan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) bukan baru dan tak hanya di Indonesia. Merujuk kasus yang dilakukan anak ada mempertanyakan; masih pantaskah anak diperlakuan khusus dalam proses penangkapan, penyidikan, penahanan dan pemenjaraan? Pemerkosaan, pembunuhan, penipuan dan tindak pidana lain, terkadang tidak dapat dibedakan antara yang dilakukan anak dengan orang dewasa, atau anak dimanfaatkan orang dewasa menjadi pelaku. Beberapa kasus, kita tak percaya pelakunya anak, baik pelaku utama atau bersama orang dewasa. Dari aspek dampak, bukan saja kepada korban dan keluarga, masyarakat luas ikut merasakan dampak perilaku anak. 
 
Menurut mereka, pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang diratifikasi melalui Kepres No. 36/1990 membolehkan negara menentukan batas usia lebih awal. Batasan usia (criminal responsibility) di bawah 18 tahun dianggap terlalu tinggi karena kedewasaan seseorang sekarang dikatakan cepat. Usia boleh anak, tapi perilaku bukan anak-anak lagi hingga terjadi diskrepansi antara batasan usia dalam KHA dan perundangan dengan tindakan anak. 
 
Kepentingan terbaik anak
Ratifikasi KHA dan perundangan nasional yang selaras adalah pengakuan anak sebagai pemilik hak aktif (active holder of rights) dan tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. KHA mengakui anak secara fisik dan mental belum matang, sehingga anak dianggap belum memiliki kapasitas legal mempertanggung jawabkan perbuatannya. 
 
Anak diberikan limitasi pertanggungjawaban pidana akibat kebelum matangannya. Menurut Andre Ata Ujan (2009) kriteria menuntut tanggung jawab hukum seseorang yaitu jika subyek mengetahui dan mengerti perbuatannya (mens rea) dan nyata melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya (actus reus), yang berarti subyek tidak saja harus mengerti, tetapi memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatannya. 
 
Jika anak diduga melakukan tindak pidana dan dituntut bertanggung jawab secara hukum, anak tetap memperoleh hak-haknya seperti diatur UU No. 39/199 tentang HAM, UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Perppu No. 1/2016 tentang Perlindungan Anak. Deklarasi internasional juga mengatur hak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH); Deklarasi Jenewa (1924), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Deklarasi Hak Anak (1959), dan Resolusi PBB No. 2076/1977 tentang Standar Minimum Perlakuan terhadap Tahanan; Resolusi No. 40/33/1985 tentang Peraturan Administrasi Peradilan Anak (Beijing Rules), Resolusi No. 45/113/1990 tentang Perlindungan Anak yang Terampas Kemerdekaannya (Havana Rules), Resolusi No. 45/112/1990 tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines), Resolusi No. 45/110/1990 tentang Peraturan Standar Minimum PBB untuk Upaya Non Penahanan (Tokyo Rules). 
 
KHA mengatur prinsip perlindungan terhadap anak dan negara berkewajiban memberikan perlindungan khusus kepada ABH (children in conflict with law). Menurut Komite Hak Anak (CRC/C/33, 24/8/1994) ABH adalah kelompok yang membutuhkan perlindungan khusus (special protection measures). Pasal 37b KHA menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan anak harus sesuai undang-undang dan harus digunakan sebagai jalan terakhir (ultimum remedium) dan untuk jangka waktu terpendek. Pasal 40 KHA menegaskan setiap anak dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum.
 
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28B ayat 2 menyatakan setiap anak memiliki hak konstitusional atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. ABH, sebagai bagian dari anak Indonesia dijamin hak-haknya. 
 
Pengertian anak ABH dalam UU No. 11/2012 tentang SPPA, adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Batasan usia anak yang berkonflik dengan hukum ialah telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
 
Indonesia menyatakan perlindungan khusus adalah bentuk perlindungan yang diterima anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. Perlindungan hukum terhadap anak merupakan bagian dari perlindungan kesejahteraan anak. Penanganan ABH diutamakan kepada perdamaian dari pada proses hukum formal. 
 
UU SPPA mengatur untuk menghindarkan dan menjauhkan anak dari proses peradilan untuk pembalasan dan ganti rugi (retributif). SPPA menekankan kepada keadilan restoratif (restoratif justice), yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 
 
UU SPPA menggunakan pendekatan doer-victims relationship yaitu hubungan pelaku-korban bukan pendekatan daad-dader straftecht, perbuatan atau pelaku. Anak, semaksimal mungkin harus dijamin untuk tidak terisolasi akibat kasus yang dilakukan maupun proses dan putusan hukum. Keadilan dan kepentingan terbaik anak harus diutamakan dan menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan yang akan diambil. Proses hukum formal harus dilakukan sebagai langkah paling terakhir. 
 
Penahanan harus disertai alasan kuat, dalam waktu singkat dan harus menjamin anak untuk tetap memperoleh hak-haknya seperti hak atas pengasuhan, pendidikan, bermain, beribadah, dan lain-lain. Penahanan anak tidak boleh dilakukan jika si anak dijamin oleh orang tua/wali dan/atau lembaga, jaminan bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
 
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA bahwa hakim anak wajib wajib mengupayakan diversi; pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pasal 7 UU SPPA mengatakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, diversi dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
 
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional dan jika diperlukan dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat, berdasarkan pendekatan keadilan restoratif dengan memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. 
 
Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Dari tujuan tersebut terlihat bahwa penghukuman bukanlah cara terbaik menyelesaikan masalah anak, penghukuman justru dianggap pintu masuk terjadinya pelanggaran hak anak. 
 
Gang rape
Perppu No. 1/2016 mengatur pemberatan hukuman hingga pidana 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati, pidana tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku. Tindakan lain yang dikenakan adalah pengebirian secara kimia dan penanaman detektor elektornik pada pelaku.
 


Pasal 81 ayat 3-5 Perppu No. 1/2016 mengatur tentang pelaku yang dihukum kebiri kimia (penyuntikan hormon) dan dipasang detektor elektornik yaitu pendidik anak, pengasuh anak, aparat perlindungan anak, anggota keluarga, dan masyarakat sipil yang melakukan pelecehan seksual secara bersama-sama atau gang rape dengan syarat khusus yaitu kejahatan seksual pada anak secara berulang, pelaku menyebabkan korban terluka berat, sakit jiwa, terkena penyakit menular, terganggu alat reproduksinya, atau meninggal. Hukuman kebiri akan dikenakan paling lama dua tahun (tidak permanen) dan dilakukan setelah pelaku menjalani hukuman pokok, diantaranya pidana penjara maksimal 20 tahun.

Desember 2017

Aden-aden yang mekar