Anak yang berkonflik dengan Hukum: Hukuman atau Perlindungan ?

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik

Pernahkah kita melihat, mendengar atau mengetahui seorang anak yaitu seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, disidangkan di pengadilan hanya karena ia berkelahi dengan anak seusianya? Atau pernahkah kita melihat, mendengar atau mengetahui seorang anak dipenjara karena melakukan perbuatan kriminal?

Anak sebagai kelompok lemah dan rawan
Deklarasi Hak-Hak Anak menyatakan, anak karena ketidak-matangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran.

Anak dikelompokkan sebagai orang yang lemah dan rawan. Kelompok sangat beresiko karena sifatnya tergantung kepada orang dewasa, karena tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral dan spiritualnya belum matang. Belum bisa berpikir seperti orang dewasa berpikir, belum mampu membuat keputusan (adjustment) mana yang baik dan kurang baik. Hingga kendati mereka dalam batas tertentu telah memiliki pendirian atau pilihan namun karena keadaan mental dan fisik yang belum matang tadi, menyebabkan perbuatan atau keputusannya dianggap belum dapat dipertanggungjawabkannya.

Secara sosiologis, budaya atau sistem nasional di dunia, anak-anak dikesampingkan. Mereka adalah kelompok yang dieksklusi secara sosial, kultural atau secara legal karena dianggap belum memiliki kapasitas memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Tidak ada satu sistem hukum di dunia, baik sistem hukum kontinental, englo section atau sistem hukum lain yang menjelaskan, anak-anak memiliki kapasitas yang legal (legal capacity) untuk memutuskan, hingga anak-anak tidak dibenarkan dan dilibatkan dalam kegiatan politik. Mereka tidak diakui untuk ikut dalam pemilihan atau memilih wakil-wakil yang dianggap mewakili suara mereka. Tidak dapat dipilih untuk ikut menentukan kebijakan walaupun anak-anak adalah kelompok yang paling rawan terhadap resiko kalau terjadi kesalahan pengambilan keputusan atau kebijakan.

Anak-anak, juga dianggap lemah hingga belum mampu mengambil keputusan dan melakukan kegiatan seksualitas, reproduksi, walau kenyataannya mereka menjadi sasaran eksploitasi seksual paling banyak. Tapi walaupun dianggap tidak mempunyai kapasitas melakukan aktivitas seksual dalam beberapa sistem hukum termasuk di Indonesia namun terkadang mereka dianggap bertanggungjawab atau ikut bertanggungjawab secara legal bila eksploitasi seksual terjadi kepada mereka. Anak-anak bukan dianggap korban dari satu kejahatan yang harus dilindungi tapi ikut mempertanggungjawabakan secara legal apa yang mereka alami.

Perlakuan Khusus
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia pengertian anak berada dalam penafsiran hukum yang negatif. Sebagai subjek hukum, anak memiliki tanggungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Akan tetapi, karena statusnya masih di bawah umur, maka si anak memiliki hak-hak khusus, hak untuk memperoleh normalisasi dari perilakunya yang menyimpang sekaligus tetap mengupayakan agar si anak memperoleh hak atas kesejahteraan layak dan masa depan lebih cerah.

Dengan demikian, pada hakikatnya pengertian anak dalam hukum pidana di Indonesia mencakup pengertian bahwa anak dinilai belum mampu untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya dan anak berhak atas pengembalian hak-haknya melalui proses substitusi hak-hak anak yang timbul dari aspek hukum perdata dan tata negara untuk mensejahterakan anak dan berlangsungnya rehabilitasi mental-spiritual si anak akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan serta hak untuk memperoleh pelayanan, asuhan dan hak-hak lainnya dalam proses hukum acara pidana

Anak yang melakukan kejahatan sebenarnya tidak harus dijatuhi pidana, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 3 tahun 1997, pasal 22 dan 24. Sebenarnya penjatuhan pidana yang dilakukan seorang hakim, sebagai perampasan kemerdekaan terhadap seorang anak, harus sebagai hal ultimum remedium, sebagai pilihan terakhir dan pilihan ini tentu saja harus melalui pertimbangan sangat matang dan melibatkan banyak pihak berkompeten dan itu juga harus diyakini bertujuan untuk memberikan atau dalam rangka kepentingan yang terbaik bagi anak tersebut. Dan kita tentu mahfum, penjara Indonesia hari ini sangat tidak layak dalam konteks kepentingan terbaik bagi anak, baik bila dilihat dari aspek infrastruktur dan fasilitasnya maupun petugasnya. Malah yang terjadi sekarang, penjara anak juga dijejali tahanan orang dewasa yang merupakan titipan karena penjara dewasa over kapasitas dan tahanan titipan tersebut adalah tahanan kasus narkoba. Celaka bukan?

Perlakuan khusus bagi anak sangat diperlukan karena pada dasarnya proses hukum yang dilakukan tersebut tujuannya tidak hanya sebagai proses untuk membuktikan kesalahannya dan apa akibat dari kesalahannya tersebut, jika terbukti. Hal penting yang juga harus dicari pembuktiannya adalah mengapa si anak melakukan penyimpangan tersebut serta apa dan bagaimana upaya yang seharusnya dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga dalam menanggulangi perilakunya itu.

Hal ini diperlukan dan seharusnya menjadi nafas dalam suatu proses peradilan anak, karena, bila merujuk kepada keadaan mental dan fisiknya yang belum matang, maka situasi, keadaan atau pengaruh dari luar dirinya memiliki peranan lebih besar dibanding yang berasal dari dirinya yang sebenarnya, sehingga anak memang tidak pada tempatnya untuk dibebankan tanggungjawab atas apa yang dia lakukan.

Kita, sebagai orang dewasa sebenarnya lebih dan harus bertanggungjawab dari anak itu sendiri. Oleh karena itu dari aspek kebijakan kriminal (criminal policy) perbuatan menyimpang yang dilakukan anak tidak dapat dan seharusnya tidak disamakan dengan penyimpangan yang dilakukan orang dewasa. Penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan anak dengan demikian bukan hanya sekedar proses pembuktian kesalahannya tapi harus dapat membuktikan tindakan-tindakan yang berdasarkan situasi dan kondisi objektif si anak, bukan atas dasar criminal mind yang datang dari dalam diri si anak.

Peradilan bagi anak yang melakukan penyimpangan pada hakikatnya bukan untuk menghukum tapi bertujuan untuk memberikan kepentingan yang terbaik kepada anak (the best interests of the child), kepentingan terbaik anak adalah merupakan prinsip yang seharusnya melandasi dalam setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh siapapun. Pasal 3 Konvensi Hak Anak menyebutkan, ”Dalam semua tindakan yang menyangkut anak- anak, baik yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, para penguasa pemerintahan atau badan legislatif, kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama.”

Fakta Indonesia
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, pengadilan anak (juvenile court) didasarkan pada asas parent patriae, dimana penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan dan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak dijatuhi hukuman pidana tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan sesuai kebutuhan si anak.

Tentu saja, proses hukum seperti ini sangat jauh berbeda dengan realitas Indonesia. Kendati telah diberlakukan UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, namun nyatanya sistem peradilan anak yang terjadi di Indonesia masih sangat compang-camping.

Betapapun dalam pertimbangan UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak diakui bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang, namun nyatanya banyak anak-anak di Indonesia yang mengalami kezaliman secara hukum

Pasal 5 UU No. 3/1997 dinyatakan, dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. (2) apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. (3) apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan Proses seperti dinyatakan UU di atas, nyatanya sering diabaikan.

Ketika diperiksa di kantor Kepolisian, anak tidak dampingi petugas kemasyarakatan, psikolog atau penasehat hukum. Ada anak-anak di tahan di tahanan kepolisian, ada hakim yang memrintahkan anak ditahan dan banyak lagi kejanggalan-kejanggalan atau bahkan pelanggaran hukum yang dialami anak-anak yang (disangka atau terbukti) melakukan tindak pidana.

Benar statement Save the Children International Alliance, bahwa kondisi sekarang jauh lebih buruk bagi anak-anak bahkan bila dibandingkan dari 100 tahun lalu. Benar juga bahwa Indonesia bukanlah negara hukum dan tapi negara undang-undang, karena menyangkut perlindungan dan kesejahteraan anak, di Indonesia tak kurang ada 97 peraturan yang memiliki kekuatan hukum.

Akhirnya, kita yang mengklaim diri sebagai manusia dewasa, kita yang dianugrahi kekuasaan, kewenangan dan berbagai kebijaksanaan harus lebih berkomitmen untuk memperhatikan dan melindungi anak-anak, karena mereka juga kita anggap penerus darah kita, penerus generasi bangsa-negara. (Sulaiman Zuhdi Manik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar