Perlindungan Khusus bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik
Manager Program Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh

Deklarasi Hak-Hak Anak menyatakan, anak karena ketidak-matangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran. Anak (seseorang yang berusia di bawah 18 tahun) dikategorikan sebagai orang yang lemah dan rawan. Kelompok beresiko karena sifatnya tergantung kepada orang dewasa, karena tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral dan spiritualnya belum matang. Belum bisa berpikir seperti orang dewasa berpikir, belum mampu membuat keputusan mana yang baik dan kurang baik. Hingga kendati mereka dalam batas tertentu telah memiliki pendirian atau pilihan namun karena secara mental dan fisik belum matang menyebabkan perbuatannya dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan.

Peradilan Khusus
Di Indonesia sekitar 4.277 anak berusia di bawah 16 tahun menjalani proses pengadilan. Sekitar 13.242 anak berusia 16-18 tahun dipenjara dan 98 % diantaranya laki-laki. Sedikitnya 80 % kasus anak yang ditangani di kepolisian diteruskan ke dalam proses peradilan forma, dimana 80 % adalah kasus petty crimes (kejahatan ringan). Dari jumlah tersebut sekitar 83 % menjalani proses peradilan dan dihukum penjara. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jumlah anak yang ditahan polisi berdasarkan data BAPAS, 2004-2005 mencapai 60 orang dan 73 anak terlibat kasus makar (Naning P & Hadi Utomo: 2007)

Penyelenggaraan peradilan khusus bagi anak-anak telah berlaku dalam sistem peradilan yang mengacu kepada UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Ketentuan lain yang relevan seperti UU No. 23 tentang Perlindungan Anak, UU No. 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia pengertian anak berada dalam penafsiran hukum negatif. Sebagai subjek hukum, anak memiliki tanggungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukan, namun karena statusnya di bawah umur, anak memiliki hak-hak khusus, hak untuk memperoleh normalisasi dari perilakunya yang menyimpang sekaligus tetap mengupayakan agar anak memperoleh hak atas kesejahteraan layak dan masa depan lebih cerah.

Pengertian anak dalam hukum pidana di Indonesia mencakup pengertian bahwa anak dinilai belum mampu untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya dan anak berhak atas pengembalian hak-haknya melalui proses substitusi hak-hak anak yang timbul dari aspek hukum perdata dan tata negara untuk mensejahterakan anak dan berlangsungnya rehabilitasi mental-spiritual si anak akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan serta hak untuk memperoleh pelayanan, asuhan dan hak-hak lainnya dalam proses hukum acara pidana

Peradilan bagi anak yang melakukan penyimpangan bukan untuk menghukum tapi bertujuan untuk memberikan kepentingan yang terbaik kepada anak (the best interests of the child). Hal ini merupakan prinsip yang seharusnya melandasi dalam setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh siapapun. Pasal 3 Konvensi Hak Anak menyebutkan, ”Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, para penguasa pemerintahan atau badan legislatif, kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama.”

Penjatuhan pidana yang dilakukan seorang hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana merupakan perampasan kemerdekaannya, untuk itu penjatuhan pidana kepada anak harus dijadikan sebagai ultimum remedium, sebagai pilihan terakhir dan pilihan ini harus melalui pertimbangan sangat matang dan melibatkan banyak pihak berkompeten dan itu juga harus diyakini bertujuan untuk memberikan atau dalam rangka kepentingan yang terbaik bagi anak.

Fakta Peradilan Anak di Indonesia
Berbagai masalah dalam penerapan sistem peradilan anak hingga kini masih terjadi seperti akibat kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap berbagai ketentuan nasional dan internasional tentang peradilan anak. Faktor lain menyangkut batasan usia anak yang berbeda pada instansi yang menangani perkara anak.

UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak juga memiliki kelemahan yang merugikan anak, misalnya batas usia anak diajukan ke pengadilan adalah 8 tahun. Di banyak negara batasan usia minimal pertanggungjawaban perbuatan kriminal 12 tahun atau lebih tinggi. Di Austria misalnya 14 tahun, Portugal 16 tahun, Belgia 18 tahun dan Luxemburg usia minimal 18 tahun.

Pasal 5 UU No. 3 tahun1997 dinyatakan, dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, dapat diperiksa oleh Penyidik. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat anak tersebut tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan si anak kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan

Proses peradilan anak sebagaimana dimaksud UU No. 3 tahun 1997 masih sering diabaikan. Ketika diperiksa Kepolisian, anak tidak dampingi petugas kemasyarakatan, psikolog atau penasehat hukum. Ada anak-anak di tahan, ada hakim memerintahkan anak ditahan dan banyak lagi kejanggalan atau bahkan pelanggaran hukum yang dialami anak-anak yang (disangka atau terbukti) melakukan tindak pidana.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, pengadilan anak (juvenile court) didasarkan pada asas parent patriae, dimana penguasa harus bertindak apabila anak membutuhkan pertolongan dan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak dijatuhi hukuman pidana tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan sesuai kebutuhan si anak.

Lembaga pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia umumnya juga tidak layak, di beberapa daerah LAPAS belum ada atau LAPAS dijadikan tempat titipan tahanan orang dewasa. Penjara Indonesia saat ini sangat tidak layak dalam konteks kepentingan terbaik bagi anak, bila dilihat dari aspek infrastruktur dan fasilitasnya maupun petugas. Malah yang terjadi, LAPAS dipenuhi dengan tahanan orang dewasa yang merupakan titipan karena penjara dewasa over kapasitas dan tahanan titipan tersebut adalah tahanan kasus narkoba. Tidak salah kemudian, banyak orang menyatakan bahwa LAPAS adakalanya justru menjadi lembaga pendidikan kriminal bagi anak.

Penutup
Dalam pertimbangan UU No. 3 tahun 1997, diakui bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang, namun nyatanya banyak anak-anak dizalimi secara hukum
Proses hukum terhadap anak tidak hanya untuk membuktikan kesalahannya dan apa akibat dari kesalahannya.

Hal terpenting harus dibuktikan mengapa si anak melakukan penyimpangan, bagaimana upaya pemerintah, masyarakat dan keluarga untuk menanggulangi perilakunya. Kebijakan kriminal (criminal policy) mengenai perbuatan menyimpang yang dilakukan anak tidak seharusnya disamakan dengan penyimpangan orang dewasa. Penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan anak bukan hanya proses pembuktian kesalahannya tapi harus membuktikan tindakan-tindakan yang berdasarkan situasi dan kondisi objektif si anak, bukan atas dasar criminal mind yang datang dari dalam diri si anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar