Kitalah Dokter Anak Kita

Faiz Akbar Manik (3 tahun) setelah selesai ikut terapi fisik dan menjelang masuk Applied Behavioral Analysis (ABA) klinik tempatnya terapi menganjurkan untuk tes Bera, tes darah dan berbagai macam tes lain. Berkonsultasi dengan spesial THT dan tes Bera disalah satu klinik. Kemudia konsul lagi ke spesial anak dan spesialis pencernaan, lalu ke laboratorium.

Kami membawa ke beberapa dokter spesilis untuk melakukan semua tes yang diminta. Terakhir ke dokter spesialis anak yang merekomendasikan tes tersebut untuk mengetahui hasil tes. Semua normal dan ada perkembangan positif dibandingkan setahun lalu. Motorik cukup signifikan, walaupun untuk perkembangan motorik halus masih harus terapi Okupasi lagi, kata kakak asuhnya di klinik sekitar 3-6 enam bulan lagi. Gerakan tangan terutama, masih seperti kasar dan kaku.

Membawa hasil dari laboratorium kami kembali ke spesialis anak dan………sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan, ketika sang dokter dengan santai mengatakan: “anak seperti ini biasanya otaknya di bawah normal”. Mendengar itu, istri saya seketika dwon. Mukanya pucat, tangannya dingin. Pandangannya nanar.

“Dengan darah, keringat dan air mata, sejak dinyatakan menyandang autis pada usia 09 bulan kami merawat dan melakukan segala upaya untuk menyembuhkannya. Segenap cinta, segenap kasih sayang, perhatian, ketulusan, keikhlasan, optimis dan harapan kami berikan. Pada usia 1-2 tahun seringkali kami harus tidur sampai pagi menungguinya yang tidak tidur. Tak juga kami dan kedua abangnya pernah melupakan proses terapi di rumah walau sekejap. Kami ingin agar anak kami tumbuh dan berkembang secara layak dan normal.

Ditengah suasana beku saya bertanya “Ini kesimpulan tentang anak saya atau pengalaman menanganani anak autis, dok?

“Ini pengalaman, saya sudah bertahun-tahun menangani anak autis”, jawabnya enteng.

“Tapi pengalaman kebanyakan tidak harus selalu menjadi kesimpulan. Setiap anak punya perbedaan. Setiap anak punya keunikan. Dari mana dokter berkesimpulan seperti itu, bukankah hasil tes di laboratorium membuktikan normal, atau di lab ada kesalahan diagnosis, atau……apa..?”.

“Ya, itu yang saya amati dari anak-anak yang saya tangani”

“Berarti bukan kesimpulan tentang anak saya, kan? Bukan dari hasil tes”.

Tanpa mendengar jawabannya saya seketika mengajak istri untuk beranjak. Saya berfikir hal ini jika diperpanjang akan membuat istri saya semakin dwon, lagi pula si dokter tersebut selalu mengatakan pengalamannya, bukan berdasarkan data-fakta personal anak saya. Akan sulit berdiskusi dengan pola pikir seperti itu. Akan menjadi neraka bagi istri saya di tempat tersebut, ketika seorang dokter tidak memperhatikan aspek psikologis seseorang.

Di klinik tempat anak saya terapi, hasil asessment dan berbagai tes menunjukkan normal. Dokter spesialis jiwa anak (hasil tes usia 2 tahun) juga mengatakan normal. Ini untuk kesekian kali saya dan istri kecewa berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.

“Tidak. Anak kita tidak seperti itu. Faiz adalah seseorang yang pintar, bahkan kita telah sepakat untuk membantu, membimbing dan membawanya ke masa depan yang cerah. Kita akan hantarkan anak-anak kita kepada masa depan yang cerah. Jangan putus asa, jangan pernah merasa percuma atas apa yang telah kita lakukan. Semua yang telah kita lakukan pasti ada hasilnya. Jangan pernah berhenti melakukan apa yang sudah kita rencanakan untuk membantunya. Sedetikpun jangan lewatkan.

“Kita, dulu, mengibaratkan dia berada di suatu ruangnya. Kita telah berkomitmen untuk menembus tembok ruangnya itu dan membawanya ke dalam kehidupan sebagaimana anak-anak normal. Jangan pernah berhenti, the child's name is today. [Banyak hal kebutuhan kita dapat ditunda, tapi tidak untuk anak-anak. Untuk mereka kita tidak boleh menunda "besok", Nama mereka adalah "HARI INI", itukan kata Gabriel Mistral]. Kitalah selalu menjadi dokternya”. Mari.

Medan, tengah Mei 2008


PAPA FAIZ AKBAR MANIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar