Gempa pagi, saat sedang tidur
menyebabkan mereka terkejut dan di rumah, perabotan atau peralatan ada yang
jatuh, pecah dan runtuh. Mereka gugup, panik, lari ketakutan, apalagi sesaat
setelah gempa aliran listrik padam menyebabkan suasana gelap dan hampir dari
semua penjuru gampong orang-orang berteriak, berlarian dengan ketakutan,
menangis histeris dan dari mesjid terdengar suara Azan.
Anak-anak ada yang tertimpa prabotan atau
bagian rumah karena tidak dapat segera lari saat gempa terjadi atau beberapa
anak mengatakan, gempa yang menghentak itu menyebabkan mereka seketika panik sehingga tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan saat itu. Suasana gelap menyebabkan mereka
hanya mengandalkan feeling untuk mencari jalan keluar dari kamar dan rumah.
Seorang anak mengatakan, suasana pagi itu seperti akan kiamat.
Pagi, ketika matahari terbit, mareka
menyaksikan suasana gampong akibat seseran gempa; mesjid runtuh, rumah tersungkur
dan peralatan di dalamnya berserakan, tanah dan jalanan retak. Penduduk
berkumpul, menangisi suasana, beberapa orang masih menjerit dan menahan sakit
akibat tertimpa perabotan atau bagian rumah. Kesedihan, kepanikan, tangisan dan
peluk haru masih menyelimuti. Menjelang siang mereka semakin terlokalisir di
penampungan, penduduk yang cidera memperoleh pertolongan medis.
Ketakutan pulang ke rumah berlaku
serta-merta. Anak-anak tetap dalam pengawasan orang tua. Kewaspadaan mengekangi
apalagi gempa susulan terus terjadi. Ruang gerak anak semakin dibatasi, larangan
bentakan dan hardikan mengakrabi anak yang ingin manyalurkan kelebihan
tenaganya untuk melihat langsung suasana gampong. Orang tua khawatir, cemas dan
ingin menjaga anak sehingga larangan atau memarahi diterapkan.
Setelah gempa dan hidup di penampungan
atau tenda di depan rumah, wawancara dan observasi team PKPA Emergency Aid
mencatat pengalaman anak-anak.
Dampak Emosi
Dampak secara emosi ketakutan terhadap
terjadinya gempa susulan dan takut mendengar suara kuat. Perasaan takut yang bersifat khayalan
diantaranya kecemasan terhadap terjadinya tsunami dan cepat merespon hal-hal
tertentu, misalnya jika diminta menutup pintu anak segera melakukan atau
ketakutan sembaru keluar rumah jika mendengar suara kuat seperti piring jatuh
atau benda yang bergerak. Kecemasan berada dalam rumah dialami, terutama bagi
anak yang bagian rumahnya ada retak atau rusak. Mandi, makan, ganti baju dan
aktifitas dalam rumah lain dilakukan penuh waspada dan kecemasan, karena jika
terjadi gempa mereka takut terkena reruntuhan rumah.
Dampak Pikiran
Dampak pada pikiran disebutkan,
anak-anak sulit berkonsentrasi, karena sering memikirkan terjadinya gempa
susulan atau memikirkan keluarga jika berada jauh dari keluarga. Khayalan dan
halusinasi terhadap gempa yang berakibat tsunami disebutkan sering membayangi
keseharian mereka, sering dikhayalkan akibat-akibat jika tsunami terjadi di
gampongnya.
Mudah terkejut atau terusik merupakan
dampak lain pada pikiran anak dan hal tersebut membuat pikirannya tidak tenang.
Anak lain mengatakan dia sering merasa bingung karena kehidupan yang dijalani
berubah dari biasanya. Dari hidup dalam rumah secara tenang. Rumahnya ada
secara fisik tapi tidak dapat ditinggali seperti biasanya. Mandi harus cepat
dan dengan waspada, timba saja jatuh telah membuat jantungnya berdebar kencang,
bahkan ada sampai pucat ketakutan. Mimpi buruk pada malam hari ketika tidur di
tenda disebutkan sering dialami. Beberapa anak mengatakan, mimpi itu mungkin
terjadi karena sebelum tidur mereka sering mengingat peristiwa gempa yang lalu.
Dampak Perilaku
Dari aspek perilaku, anak-anak yang
mengalami gempa di Pidie Jaya mengaku ruang gerak mereka selalu dibatasi orang
tuanya. Mereka sering diingatkan untuk tidak pergi jauh atau tidak pergi
sendiri dan menghindari berada di bawah gedung atau bangunan. Orang tua
mengkhawatirkan terjadinya gempa susulan dan takut anaknya mengalami hal tak
diinginkan. Anak dan orang tua mengatakan, sejak gempa, sensifitas anak
terhadap nasehat orang tua semakin meningkat dan kewaspadaan anak semakin
tinggi. Anak lain mangatakan sejak gempa dia menjadi phobi terhadap gelap,
karena pada saat gempa terjadi suasana gelap.
Ketidak-bebasan juga dirasakan khususnya
anak perempuan ketika berganti pakaian di tenda atau jika di dalam rumah
dilakukan dengan hati-hati, antisipasi jika ada gempa.
Pada waktu tidur anak mengaku takut
tidur sendiri, dia harus ditemani dan ada anak berusia di bawah lima tahun
mengatakan kalau tidur harus dipeluk orang tua. Perubahan perilaku tidur anak
disebutkan terjadi karena sekarang mereka tidak tidur di rumah atau kamar,
tetapi di tenda luar rumah dan bersempitan. Jam tidur anak menjadi lebih cepat
karena pada malam hari suasana gampong tidak seperti biasa, ramai dan kegiatan
belajar sering tidak dilakukan karena aktifitas belajar-mengajar di sekolah
berubah pasca gempa. Jadwal pulang sekolah menjadi lebih cepat dan konsentrasi
belajar anak berkurang. Bagi anak yang bersekolah di tanda atau sekolah
sementara, mengaku suasana belajar menjadi tidak enak, karena panas atau
berdesakan. Apalagi selama belajar di sekolah anak mengaku waspada terhadap
gempa.
Pada beberapa anak, latah secara refleks
terjadi. Di satu sekolah misalnya, seorang guru mengatakan, anak-anak bahkan
akan lari dari ruangan kelas jika mendengar angin saja, apalagi bila terjadi
gempa, secara komunal anak akan segera berlari dari kelas.
Dampak Fisik
Dampak secara fisik diantaranya
mengalami luka akibat tertimpa reruntuhan atau perabotan rumah. Pada beberapa
anak, suasana tenda yang sempit, panas dan banyak nyamuk menyebabkan mereka
sulit tidur sehingga sering pusing, tidak enak badan dan masuk angin.
Konsumsi makanan yang dominan mie instan
pada minggu pertama di pengungsian menyebabkan anak mencret atau sulit buang
air besar, termasuk sampai sekarang, mereka ada jarang makan sayur dan buah.
Sementara penyakit kulit disebutkan terjadi karena pengaruh air untuk mandi
yang tidak bersih atau berubah menjadi kuning dan bau akibat gempa. Air
tersebut juga ada diminum setelah dimasak. Anak lain ada kehilangan selera
makan akibat lauk tidak berubah.
Kerusakan rumah yang belum diperbaiki,
ternyata menjadi perhatian sekaligus sumber masalah bagi anak. Ada mengatakan,
melihat kerusakan rumah tersebut menyebabkan dia menjadi teringat kepada
peristiwa gempa 7 Desember 2016, disamping perasaan takut atau lama berada di
dalam rumah. Sedih dikatakan anak, jika melihat rumah yang rusak tersebut, dan
ada sampai memikirkan apakah orang tuanya akan memiliki biaya untuk memperbaiki
kerusakan tersebut.
Hoax
Anak-anak mengatakan, mereka sering
mendengar informasi tidak jelas bahwa akan terjadi gempa lebih besar yang berakibat
tsunami.Apalagi sejak terjadinya gempa di Deli Serdang, Sumatera Utara dan
Pulau Sabang, informasi gempa lebih besar yang akan terjadi di Aceh sering beredar di masyarakat. Orang-orang
dewasa membicarakan dan anak mendengar, selanjutnya secara berantai informasi
hoax tersebut menjadi topik pembicaraan.
Di beberapa gampong, informasi berantai
tentang adanya suara gentayangan pada malam hari menjadi sumber ketakutan
anak-anak. Suara yang disebut “suara burung” tersebut terdengar seperti
tangisan dan disebutkan suara itu sering terdengar pada malam hari. Apalagi
anak-anak tidak ada yang mendengarkannya secara langsung, sehingga bagi mereka
hal tersebut menjadi sesuatu yang sulit dipahami namun karena mereka anak-anak
yang memiliki keterbatasan pengalaman hidup, keterampilan menyelesaikan masalah
dan keterbatasan mengelola perasaaan, informasi-informasi hoax tersebut pada
akhirnya menambah beban pikiran dan perasaan anak. Informasi hoax menjadi
sumber keresahan, kebingungan dan perasaan tidak aman bagi anak-anak. Mereka
mengalami tekanan tiada henti yang berdampak terhadap perubahan hidup, hubungan
sosial, tingkah laku dan emosi anak.
Dukungan Psikososial
Fasilitasi dukungan psikososial bagi
anak-anak korban gempa di Kabupaten Pidie Jaya penting dilakukan agar anak-anak
bangkit kembali (resiliensi) dan membantu mereka untuk memiliki kemampuan
mengatasi masalah yang sama di masa datang dengan pendekatan yang menekankan
pemahaman adanya hubungan dinamis antara aspek psikologis dan sosial dengan
fokus menguatkan faktor resiliensi dan relasi sosial anak dengan lingkungannya.
Permainan
Permainan
merupakan bentuk aktivitas sosial dominan pada anak. Banyak waktu anak-anak
dihabiskan untuk bermain sendiri atau bersama teman. Permainan
adalah kegiatan menyenangkan dan
bagi anak-anak, proses melakukan sesuatu lebih menarik dari pada hasil yang
akan didapatkannya (Schwartman, 1978)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar