ABH Jangan Distigma

Ketika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1/2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak ditandatangani Presiden RI, 25 Mei 2016, ada bertanya; apakah anak akan dikebiri, diberatkan hukuman, dipasang chip dan direhabilitasi?
 
Amarah keluarga korban perkosaan kepada pelaku berusia anak yang menghendaki agar si pelaku dipenjara seumur hidup atau hukuman mati, dapat dimengerti. Keluarga, pantas marah, apalagi korban ada sampai dibunuh dan pelaku bukan satu orang. 
 
Perdebatan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) bukan baru dan tak hanya di Indonesia. Merujuk kasus yang dilakukan anak ada mempertanyakan; masih pantaskah anak diperlakuan khusus dalam proses penangkapan, penyidikan, penahanan dan pemenjaraan? Pemerkosaan, pembunuhan, penipuan dan tindak pidana lain, terkadang tidak dapat dibedakan antara yang dilakukan anak dengan orang dewasa, atau anak dimanfaatkan orang dewasa menjadi pelaku. Beberapa kasus, kita tak percaya pelakunya anak, baik pelaku utama atau bersama orang dewasa. Dari aspek dampak, bukan saja kepada korban dan keluarga, masyarakat luas ikut merasakan dampak perilaku anak. 
 
Menurut mereka, pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang diratifikasi melalui Kepres No. 36/1990 membolehkan negara menentukan batas usia lebih awal. Batasan usia (criminal responsibility) di bawah 18 tahun dianggap terlalu tinggi karena kedewasaan seseorang sekarang dikatakan cepat. Usia boleh anak, tapi perilaku bukan anak-anak lagi hingga terjadi diskrepansi antara batasan usia dalam KHA dan perundangan dengan tindakan anak. 
 
Kepentingan terbaik anak
Ratifikasi KHA dan perundangan nasional yang selaras adalah pengakuan anak sebagai pemilik hak aktif (active holder of rights) dan tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. KHA mengakui anak secara fisik dan mental belum matang, sehingga anak dianggap belum memiliki kapasitas legal mempertanggung jawabkan perbuatannya. 
 
Anak diberikan limitasi pertanggungjawaban pidana akibat kebelum matangannya. Menurut Andre Ata Ujan (2009) kriteria menuntut tanggung jawab hukum seseorang yaitu jika subyek mengetahui dan mengerti perbuatannya (mens rea) dan nyata melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya (actus reus), yang berarti subyek tidak saja harus mengerti, tetapi memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatannya. 
 
Jika anak diduga melakukan tindak pidana dan dituntut bertanggung jawab secara hukum, anak tetap memperoleh hak-haknya seperti diatur UU No. 39/199 tentang HAM, UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Perppu No. 1/2016 tentang Perlindungan Anak. Deklarasi internasional juga mengatur hak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH); Deklarasi Jenewa (1924), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Deklarasi Hak Anak (1959), dan Resolusi PBB No. 2076/1977 tentang Standar Minimum Perlakuan terhadap Tahanan; Resolusi No. 40/33/1985 tentang Peraturan Administrasi Peradilan Anak (Beijing Rules), Resolusi No. 45/113/1990 tentang Perlindungan Anak yang Terampas Kemerdekaannya (Havana Rules), Resolusi No. 45/112/1990 tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines), Resolusi No. 45/110/1990 tentang Peraturan Standar Minimum PBB untuk Upaya Non Penahanan (Tokyo Rules). 
 
KHA mengatur prinsip perlindungan terhadap anak dan negara berkewajiban memberikan perlindungan khusus kepada ABH (children in conflict with law). Menurut Komite Hak Anak (CRC/C/33, 24/8/1994) ABH adalah kelompok yang membutuhkan perlindungan khusus (special protection measures). Pasal 37b KHA menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan anak harus sesuai undang-undang dan harus digunakan sebagai jalan terakhir (ultimum remedium) dan untuk jangka waktu terpendek. Pasal 40 KHA menegaskan setiap anak dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum.
 
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28B ayat 2 menyatakan setiap anak memiliki hak konstitusional atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. ABH, sebagai bagian dari anak Indonesia dijamin hak-haknya. 
 
Pengertian anak ABH dalam UU No. 11/2012 tentang SPPA, adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Batasan usia anak yang berkonflik dengan hukum ialah telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
 
Indonesia menyatakan perlindungan khusus adalah bentuk perlindungan yang diterima anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. Perlindungan hukum terhadap anak merupakan bagian dari perlindungan kesejahteraan anak. Penanganan ABH diutamakan kepada perdamaian dari pada proses hukum formal. 
 
UU SPPA mengatur untuk menghindarkan dan menjauhkan anak dari proses peradilan untuk pembalasan dan ganti rugi (retributif). SPPA menekankan kepada keadilan restoratif (restoratif justice), yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 
 
UU SPPA menggunakan pendekatan doer-victims relationship yaitu hubungan pelaku-korban bukan pendekatan daad-dader straftecht, perbuatan atau pelaku. Anak, semaksimal mungkin harus dijamin untuk tidak terisolasi akibat kasus yang dilakukan maupun proses dan putusan hukum. Keadilan dan kepentingan terbaik anak harus diutamakan dan menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan yang akan diambil. Proses hukum formal harus dilakukan sebagai langkah paling terakhir. 
 
Penahanan harus disertai alasan kuat, dalam waktu singkat dan harus menjamin anak untuk tetap memperoleh hak-haknya seperti hak atas pengasuhan, pendidikan, bermain, beribadah, dan lain-lain. Penahanan anak tidak boleh dilakukan jika si anak dijamin oleh orang tua/wali dan/atau lembaga, jaminan bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
 
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA bahwa hakim anak wajib wajib mengupayakan diversi; pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pasal 7 UU SPPA mengatakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, diversi dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
 
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional dan jika diperlukan dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat, berdasarkan pendekatan keadilan restoratif dengan memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. 
 
Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Dari tujuan tersebut terlihat bahwa penghukuman bukanlah cara terbaik menyelesaikan masalah anak, penghukuman justru dianggap pintu masuk terjadinya pelanggaran hak anak. 
 
Gang rape
Perppu No. 1/2016 mengatur pemberatan hukuman hingga pidana 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati, pidana tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku. Tindakan lain yang dikenakan adalah pengebirian secara kimia dan penanaman detektor elektornik pada pelaku.
 


Pasal 81 ayat 3-5 Perppu No. 1/2016 mengatur tentang pelaku yang dihukum kebiri kimia (penyuntikan hormon) dan dipasang detektor elektornik yaitu pendidik anak, pengasuh anak, aparat perlindungan anak, anggota keluarga, dan masyarakat sipil yang melakukan pelecehan seksual secara bersama-sama atau gang rape dengan syarat khusus yaitu kejahatan seksual pada anak secara berulang, pelaku menyebabkan korban terluka berat, sakit jiwa, terkena penyakit menular, terganggu alat reproduksinya, atau meninggal. Hukuman kebiri akan dikenakan paling lama dua tahun (tidak permanen) dan dilakukan setelah pelaku menjalani hukuman pokok, diantaranya pidana penjara maksimal 20 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar